PERJUANGAN menuntut upah layak dan pembatalan kenaikan BBM belum selesai. Kepada para pemirsa, dimohon kesabaran dan kebesaran hatinya. Mungkin sementara bisa turut berdoa untuk Ari Pepe, korban meninggal di Makassar pada 27 November 2014 lalu.
Kepada para pendemo, mari kita teruskan.
Arie Pepe diberitakan tewas akibat kepala terbentur batu, lari dari kejaran gas air mata bersama massa yang dikejar aparat dalam demo menolak kenaikan BBM di UMI Makassar. Menurut informasi lapangan yang bisa dipertanggungjawabkan, Ari meninggal karena ditabrak mobil water cannon milik aparat kepolisian, pada 27 November 2014 lalu, setelah sempat dipukul oleh aparat Brimob. Pembuluh darah kepalanya pecah, gusi robek dan giginya patah. Polisi membantahnya berbasis klaim laporan forensik kepolisian. Namun, pada malam setelah kejadian, di Rumah Sakit Wahidin di mana jenazah disemayamkan, penjagaan aparat kepolisian begitu ketat. Empat puluh personil, 1 mobil Baracuda, 5 mobil Kijang kepolisian, dan satu Dalmas pasukan Brimob bersenjata lengkap. Para aktivis mahasiswa dan wartawan yang berada di lokasi dilarang mengambil gambar.
Ari, usia 17 tahun, pemuda tak sekolah yang sering bersama mahasiswa UMI, adalah korban tewas pertama di rezim Jokowi-JK ini.
Bila sebagian Anda gerah karena para pendemo mulai menyindir bahkan mengutuki presiden tersayang Anda, anggaplah biasa karena itulah salah satu ciri demokrasi, sesuatu yang Anda, juga saya, dukung dipertahankan dari tangan Prabowo-Hatta pada pilpres lalu.
Bila sebagian Anda juga marah karena jalanan macet, pintu tol diduduki, mulailah membiasakan diri, karena satu-satunya cara agar ‘orang-orang pinggiran’ didengar aspirasinya adalah dengan unjuk kekuatan di jalan. Itu pun berbonus pemberitaan yang menjelekkan, tak peduli, sebab sekadar mengejar kehebohan akibat.
Bila perjuangan menuntut pembatalan kenaikan BBM dan untuk upah lebih layak secara nasional berhasil, Anda dan orang-orang tercinta akan ikut menikmati hasilnya. Walaupun rasanya akan sulit berhasil jika sebagian besar Anda masih sinis, tutup mata pada pentungan polisi, gas air mata, bogem dan tendangan sepatu PDH aparat ke warga, mahasiswa, buruh-buruh yang melakukan pendudukan dan aksi-aksi massa menuntut hak-hak ekonominya.
Sebagai informasi, setidaknya sejak pertengahan November lalu aksi-aksi buruh menuntut upah naik, minimal 30 persen, sudah dilakukan di kota-kota kawasan industri, seperti Kota dan Kabupaten Bekasi serta Tangerang. Pada tanggal 21 November 2014 puluhan ribu buruh terlibat aksi-aksi setidaknya di kawan industri Hyundai, Delta, EJIP, Jababeka, MM2100, dihadapi oleh represi aparat kepolisian dan tentara. Puluhan buruh dipukul, puluhan motor dirusak, setidaknya 15 orang buruh sempat dibawa ke kantor polisi. Seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Obon Tabroni, di BAP oleh polisi sebagai saksi.
Kejadian semacam ini tidak minggu-minggu ini saja, tetapi hampir setiap kali ketika aksi-aksi protes warga meningkat menjadi pendudukan dan atau mendesak dengan lebih berani, dan atau mempertahankan diri dengan segala daya upaya.
Pernahkah ada hal serupa berlaku pada pejabat korup, pelaku perkosaan, pelanggar HAM, dan pengusaha kriminal? Tidak. Karena demokrasi di dalam negara kita ini, sayangnya, masih demokrasi untuk kaum kaya, para patriarch dan para jenderal bertabur bintang.
Anda yang mendukung pencabutan subsidi BBM, dan memaklumi kenaikan harganya, dengan berbagai alasan teknis, non-teknis, alokasi, dan kelestarian alam, sebenarnya selain kurang informasi dan salah waktu, juga salah keberpihakan.
Pertama, informasi hitung-hitungan besaran subsidi BBM, besaran harga, termasuk siapa pengkonsumsi utama BBM sudah semakin banyak. Artinya, subsidi BBM ini sebetulnya adalah soal politik dan keberpihakan ekonomi, bukan soal kesengsaraan ekonomi negeri yang didramatisir menjadi seolah-olah: ‘Kutukan Subsidi BBM’.
Kedua, tak satupun alasan rezim pro pencabutan subsidi BBM di negeri ini menyangkut kelestarian alam. Artinya mereka tidak sedang mengurangi subsidi untuk mengurangi kerusakan alam. Lebih lanjut, adakah kebijakan makro yang serius menangangi kerusakan alam? Ketika mereka tidak berpijak pada landasan itu, buat apa Anda merasionalisasi dan berpihak pada pencabutan subsidi?
Ketiga, memang, mahasiswa yang masih aksi menuntut pembatalan kenaikan BBM dan buruh yang semakin punya alasan untuk lebih keras beraksi menuntut kenaikan upah yang signifikan, belum memikirkan seberapa besar energi fosil telah dan akan merusak alam tempat hidup mereka kedepan. Tetapi, ‘belum memikirkan’ itu tidak sama dengan ‘tidak mau memikirkan’ atau ‘tidak mau perduli’. Para aktivis lingkungan yang beranjak dari landasan ini, dan berjuang lama untuk soal ini, harus marah lebih keras pada rezim pro-pencabutan subsidi, ketimbang kepada para mahasiswa yang “belum memikirkan” lingkungan. Karena tidak ada satupun alasan ekonomi yang menghambat rezim ini mengubah orientasi energi, bila mau, jauh-jauh hari sebelum ancaman pencabutan subsidi BBM dilancarkan lagi.
Apakah Anda bagian orang-orang yang nyinyir pada buruh yang menuntut kenaikan upah agar layak hidup? Yang menganggap penghasilan pas-pasan buruh adalah kewajaran; atau kalaupun mesti naik tidak bisa tinggi-tinggi karena status si penuntut sekadar buruh? Atau setuju dengan pikiran rezim bahwa upah layak hidup akan membuat ekonomi hancur karena investor kabur?
Ada dua sebab mengapa sebagian orang masuk dalam golongan orang-orang di dua kategori pertanyaan pertama. Pertama adalah buruh-buruh itu sendiri yang oleh situasi penindasan dibuat menjadi inferior, dan kedua orang-orang yang pada hakekatnya adalah buruh, atau berusaha di sektor informal, tetapi merasa berderajat lebih tinggi karena berbagai kemudahan akses.
Untuk yang pertama, pikirannya akan mudah berubah ketika ia didorong oleh kawan-kawan buruhnya sendiri yang sedang bergerak: ia menjadi lebih percaya diri bahwa kelayakan hidup lewat upah itu adalah hak. Peningkatan kepercayaan diri ini adalah komponen kesadaran penting yang dimenangkan ketika mogok terjadi. Walau sesaat, buruh-buruh yang inferior diberi kekuatan oleh pergerakan dan pemogokan: miskin bukanlah nasib. Organisasilah yang kemudian mengelola kesadaran ini agar dapat bertahan lama melawan gempuran kapital.
Untuk kategori kedua, kenapa sulit ya memberikan Anda pencerahan, bahwa upah rendah itu bukan nasib? Padahal ketika upah Anda tidak naik, pangkat tidak naik-naik, sulit mencari pekerjaan berupah lebih tinggi, tiba-tiba di-PHK sepihak atau perusahaan Anda tutup karena satu dan lain hal, di saat itu hidup Anda sama di ujung tanduknya dengan para buruh yang Anda pandang sebelah mata itu. Kalau Anda mau jujur, uang dan simpanan di kantong anda lebih banyak surut daripada naiknya, bukan?
Terhadap kategori ketiga, tahu darimana Anda para investor ini akan kabur? Dari mulutnya asosiasi para investor dan pemodal itu? Atau dari menteri-menteri yang mengurus kemaslahatan para pemodal itu? Pernahkah Anda tahu berapa investasi yang masuk ke negeri ini, di sektor mana saja, berapa lama, berapa dan siapa yang untung dan berapa serta siapa yang rugi? Kenapa Anda lebih mempercayai mereka ketimbang puluhan ribu pekerja biasa yang sudah turun ke jalan sejak lama untuk sekadar menuntut upah naik satu digit saja, yang lebih banyak kena bogem aparat ketimbang memenangkan tuntutannya, tetapi tetap maju lagi demi hak yang sama?
Seorang buruh yang bekerja di Bekasi, melalui akun facebook-nya, merinci pengeluaran bulanan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Dengan upah 2,7 juta, pengeluaran perbulan sebelum kenaikan BBM sudah mencapai RP. 2.540.000, setelah harga naik pengeluaran mencapai RP. 3.005.000. Sementara jika upah naik 2,9 juta—seperti hasil rekomendasi upah di Bekasi—saja masih tekor.
Hitung-hitungan ini sangat sederhana, tak perlu matematika dan ekonomi pasar tingkat PhD, untuk menjawab: darimana kita akan tambal kekurangan penghasilan, selain bekerja semakin keras, semakin menggila dan semakin berhutang? Jangankan menggulung lengan baju, pakai baju pun tak sempat, Jok!
Rezim ini hanya bertugas untuk memastikan upah tidak naik tinggi, kapital dilindungi, dan rakyat pekerjanya tidak punya mimpi tinggi-tinggi.
Sebetulnya, semua ini hanya dibuat seakan-akan rumit oleh rezim neoliberal pro pasar bebas dan kapital besar untuk membuat rakyat biasa seperti kita belum apa-apa sudah pusing, sehingga belum apa-apa sudah tak berbuat apa-apa. Sebetulnya semua ini sederhana saja: “jika upaya untuk memastikan pekerja mampu keluar dari kemiskinan akan berdampak keras pada ekonomi, mungkin kita tidak butuh ekonomi macam ini”, demikian pernyataan Kshama Sawant, anggota Dewan Kota Seattle, AS, dari Partai Socialist Alternative, yang dipilih rakyat masuk dewan kota karena mengkampanyekan kenaikan upah $15 per jam.
Tidak sulit memahaminya, bukan? Yang sulit adalah mewujudkannya.
Tetapi ketika membayangkan saja Anda tidak berani, bagaimana mungkin Anda hidup dengan berani?
Sekarang mungkin ada sebagian Anda yang khawatir serta sinis bahwa protes-protes ini akan menguntungkan Prabowo dan Koalisi Bejat Merah Putih yang tak pernah rela kalah pemilu itu. Baiklah, kekhawatiran itu bisa dipahami, karena sebagian kami juga tak mau Prabowo dan koalisinya diuntungkan dari situasi kesulitan ini. Kekhawatiran itu layaknya jangan dialamatkan pada rakyat yang sedang kesulitan dan butuh protes, tetapi dialamatkan pada koalisi pendukung Jokowi yang sejak awal mesra-mesra saja dengan koalisi pendukung Prabowo. Jadi, kalau Prabowo dapat untung, itu bukan karena protes kami, tetapi karena pengecutnya koalisi Jokowi-JK terhadap para pelanggar HAM masa lalu.
Maka, mana mungkin kami korbankan satu-satunya kekuatan demi kepentingan presiden tersayang Anda? Tidak bisa dan tidak mungkin. Tugas kami bukan merasionalisasi, apalagi memaklumi. Pekerjaan kami adalah melawan. Bersama-sama dengan yang senasib, kami bertambah kekuatan, dan mudah-mudahan bertambah kesadaran untuk tidak kembali menitipkan nasib pada salah satu dari elit penguasa saat ini.
Kepada presiden kesayangan Anda, sejak awal kami sudah peringatkan: ‘mendengar siapa dan berpijak dimana? Kami tidak bisa, dan tidak akan, menunggu terlalu lama.’***