Daftar Isi:
- Hegel yang Materialis Dialektis
- Apa yang Ada di Langit, di Bumi, dan Diantara Keduanya: Finansialisasi (Alam) sebagai Tahap Paling Maju dari Imperialisme
Sosiolog besar kulit hitam AS dan juga seorang Komunis, WEB Du Bois, sempat menanyakan empat pertanyaan penting yang mana ia selalu bergulat dengannya sepanjang hidupnya: bagaimana integritas menghadapi penindasan? Bagaimana kejujuran menghadapi penipuan? Bagaimana kelakuan baik menghadapi penghinaan? Serta bagaimana kebajikan menghadapi perilaku tanpa brutal? Empat pertanyaan ini merupakan buah dari refleksi dirinya menghadapi sistem kapitalisme di AS yang berkelit kelidan dengan norma sosial dominan tentang supremasi kaum kulit putih di AS. Bukan pertanyaan yang rumit sebenarnya mengingat hidup yang layak sebagai manusia (kulit hitam) dengan integritas, kejujuran, berprilaku baik dan memegang teguh nilai-nilai kebajikan musykil untuk direalisasikan di tengah sistem yang menindas.
Mungkin kita akan segera menyepelekan pertanyaan-pertanyaan Du Bois ini sebagai gestur “spiritualitas humanis ala borjuasi” dari seorang Komunis kelas menengah yang dengannya kita bisa melihatnya sebagai internalisasi ideologi kapitalisme. Akan tetapi kita perlu lebih kritis dalam melihat sinisme seperti ini. Du Bois hendak mengingatkan kepada kita satu bentuk penyikapan reflektif yang radikal mengenai apa arti menjadi manusia di tengah kondisi bencana, katastrofik yang carut marut yang secara terus menerus dinetralisasi sebagai kondisi alamiah masyarakat itu sendiri. Disinilah letak spritualisme humanis memiliki rupa revolusionernya. Karena ketika pertanyaan-pertanyaan Du Bois diupayakan untuk dijawab, maka aktualisasi menjadi manusia biasa pada dasarnya adalah sesuatu yang subversif karena ia mensyaratkan suatu bentuk oposisi terus menerus terhadap sistem yang menindas integritas manusia, mengutamakan penipuan atas kejujuran, memperbanyak penghinaan dan mengagungkan brutalitas untuk menundukan nilai-nilai kebajikan: Kita bukan hendak menjadi seorang pelawan sistem, tapi kita hanyak hendak hidup sebagai manusia yang bertintegritas! Bukan hendak menjadi seorang aktivis sayap Kiri, tapi hendak hidup dengan kejujuran!
Du Bois sepertinya hendak mengingatkan kepada kita; di tengah mudahnya gerakan Kiri untuk mengalami demoralisasi, maka spiritualitas menjadi penting. Spiritualitas ini bukan sebagai pelarian atas kekalahan yang terus-menerus diderita sepanjang proses perjuangan dan dengannya kita menjadi melankolis. Sebaliknya spiritualitas adalah upaya perjuangan untuk mencari sekaligus mendefinisikan makna bagi kita yang berlawan sekarang untuk memperpanjang nafas moral perjuangan itu sendiri. Bahwa perjuangan dalam meruntuhkan kapitalisme adalah selalu benar adanya yang melampaui kepentingan sesaat manusia. Sudah terlalu lama kita memberikan kesempatan yang terlampau luas kepada kalangan kelas yang berkuasa, konservatif dan sayap kanan untuk mempropagandakan spiritualitas korup mereka, dan kini proses tersebut harus diselesaikan sekali dan untuk selamanya oleh kita Gerakan Kiri. Di tengah penghujung 2014 yang semakin mendekati kita, refleksi atas apa yang sudah kita lakukan sepanjang tahun serta resolusi apa yang harus dibangun pada tahun-tahun ke depan, pengajuan mengenai makna spiritual bagi proses perlawanan kita menjadi sangat penting.
Tapi spiritualitas kita bukanlah spiritualitas palsu yang secara sengaja menutup kondisi penindasan yang berlaku. Di sini, sains dan pengetahuan menjadi penting untuk memahami kondisi bencana sistemik (baca: penindasan) yang membuat keberadaan manusia menjadi tidak relevan. Tanpa sains, makna spiritual perjuangan melawan kapitalisme ibarat perlawanan seorang yang buta. Kehadiran LBR pada edisi kali ini secara rendah hati berupaya untuk memperkuat saraf-saraf penglihatan serta pemahaman kita dalam memperteguh spiritualitas perlawanan Gerakan Kiri itu sendiri. Review dari Mitrardi Sangkoyo terhadap buku Jutta Kill berjudul Economic Valuation of Nature: The Price to Pay for Conservation? A Critical Exploration misalnya, menjelaskan dengan sangat baik bagaimana bentuk paling mutakhir dari kapitalisme, yaitu finansialisasi, bahkan begitu dekat dengan urat nadi kehidupan kita sendiri. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bagaimana perjuangan melawan kapitalisme adalah juga perjuangan menyelamatkan bumi –yang luasnya terbatas ini- untuk generasi yang akan hidup di tempat yang sama. Review kedua datang dari Muhammad Ridho yang mengulas buku Slavoj Zizek, Less Than Nothing yang mencoba menyelamatkan Hegel dari segala tuduhan terhadap pemikirannya, termasuk dari para kaum Marxian.
Hilangnya rasa solidaritas dan pengabaian terus menerus akan cinta terhadap keadilan dan kesetaran merupakan penanda bahwa manusia modern tengah berada dalam krisis spiritual yang akut. Krisis ini membuat mayoritas dari penghuni bumi hidup dalam kondisi tidak bermartabat dan penuh dengan penghinaan. Disini kita perlu bertanya, inikah hidup yang hendak kita jalani? Jawaban atas pertanyaan itu akan sanga tergantung pada konsistensi (atau dalam istilah Jane Austin sebagai constancy) kita dalam melakukan perjuangan untuk melawan kapitalisme itu sendiri. Disini perlu bagi kita untuk mengingat kembali pernyataan Subcomandante Marcos dalam Komunike terakhirnya pada 25 Mei 2014, “Merupakan keyakinan dan praktik kami bahwa untuk memberontak dan berjuang, tak dibutuhkan pemimpin atau juragan atau ratu adil atau juru selamat. Untuk berjuang, orang cuma perlu rasa malu, secuil martabat, dan banyak pengorganisasian.”
Selamat membaca!