SATU bulan berjalan, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mulai menata dan menapaki jalan perubahan yang telah dijanjikan secara tertulis di dalam 42 halaman Visi, Misi dan Program Aksi semasa kampanye pada saat pemilihan umum silam.
Satu bulan memang terlalu dini untuk menilai dan mengukur, apalagi mendakwa hasil kinerja dari pemerintahan baru ini. Namun demikian, tidaklah terlalu dini jika kritik dan evaluasi kita layangkan sedari awal, sedari pemerintahan yang baru ini menentukan arah, rencana dan strategi-strategi kebijakannya. Justru pada masa awal inilah, arah dan trajektori dari jalan perubahan harus dikaji secara serius, untuk mengetahui ke mana sesungguhnya jalan ini akan membawa kehidupan masyarakat yang sangat mendambakan perubahan di negeri ini.
Mencermati arah kebijakan yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK di sektor industri manufaktur, diperkuat dengan kebijakan kenaikan harga BBM, tampak tanda-tanda yang meragukan jika jalan ini akan berujung pada perubahan mendasar bagi kondisi perekonomian masyarakat Indonesia.
Di satu sisi, sektor industri manufaktur merupakan kontributor terbesar bagi pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia selama dua dekade terakhir. Sejak diakselerasikan melalui Repelita di sepanjang tahun 1980an, persentase output sektor ini terhadap PDB berhasil melejit pesat dari sebesar 13 persen di tahun 1982 menjadi 26 persen di tahun 1996. Terhitung sejak 1996 hingga hari ini, persentase output industri manufaktur tidak pernah berada di bawah angka 20 persen (Lihat Grafik 1 dan 2).
Grafik 1 Output Perekonomian Indonesia Berdasarkan Sektor, 1967-2009
(Persentase dari total PDB)
(a) In 1967 the combined share of construction and mining utilities was 5 per cent
Persentase dari sektor jasa pada data ini berada pada posisi yang sangat besar dikarenakan merupakan gabungan dari beberapa sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan, transportasi dan komunikasi, dan sektor listrik, gas, dan air bersih.
Sumber: CEIC; RBA; World Bank; United Nations, dikutip dari (Elias & Clare 2011, 38).
Grafik 2 Kontribusi terhadap PDB menurut Lapangan Usaha (persentase)
* Data sampai dengan Triwulan III 2014
Sumber: Tahun 2010-2014 BPS, Kemenkeu, Bappenas, dan BI, 2013, dikutip dari Kompas Edisi Khusus 2014, 25 Oktober 2013; Triwulan III 2014, hasil kalkulasi penulis dari data Badan Pusat Statistik.
Terlebih, jika ditinjau dari kontribusinya terhadap ekspor, sektor industri manufaktur merupakan penyokong utama kinerja ekspor Indonesia, dengan persentase rata-rata sebesar 63 persen dari total ekspor di sepanjang tahun 2007-2011. Ditambah dengan jumlah tenaga kerja yang terserap dalam skala besar di dalamnya, semakin jelas posisi dari sektor industri manufaktur sebagai pilar penopang utama dari kinerja angka pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir.
Di sisi lain, jika geliat pertumbuhan dengan segala kontribusi besar sektor industri manufaktur terhadap kinerja perekonomian nasional ini diselami secara mendalam, justru tampak nyata permasalahan mendasar yang terkandung di dalamnya. Permasalahan, yang sayangnya memiliki korelasi kuat dengan keberlanjutan permasalahan yang hingga hari ini bergelayut dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang terbentang dari permasalahan ekonomi, sosial sampai ekologi.
Merujuk kepada hasil penelitian yang penulis jalankan bersama tim mengenai struktur industri manufaktur Indonesia periode 1996-2012,[1] terungkap sederet permasalahan yang dapat menjelaskan mengapa hingga hari ini, di tengah-tengah geliat angka pertumbuhan ekonomi yang terus dirayakan sebagai wujud kinerja perekonomian yang positif, permasalahan mendasar terutama kemiskinan, ketimpangan dan kerusakan lingkungan terus saja menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Pertama, terbentang permasalahan ekstraksi dan eksploitasi massif atas sumber daya alam dan tenaga kerja sebagai penopang utama dari geliat pertumbuhan, kinerja dan kontribusi dari sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini. Terbukti berdasarkan analisis terhadap klasifikasi industri berbasis intensitas faktor produksi (factor intensity) dari 10 subsektor industri manufaktur dengan output tertinggi dari tahun 1996-2012, berada pada porsi terbesar, yakni sebesar 37 persen di antaranya merupakan subsektor industri yang masuk dalam klasifikasi industri yang padat faktor tenaga kerja tidak terampil (unskilled labour-intesive/ULI).
Pada posisi kedua, dengan porsi sebesar 25 persen adalah subsektor industri dalam klasifikasi pada faktor modal manusia (human capital-intensive/HCI). Ditempel ketat oleh subsektor yang selama ini mendominasi industri Indonesia, yakni subsektor industri yang padat faktor sumber daya alam (natural resource-intensive/NRI), sebesar 23 persen.
Grafik 3 Corak Produksi Industri Manufaktur Indonesia
Sumber: Kalkulasi penulis dari data mentah industri besar dan sedang Badan Pusat Statistik 1996-2012; Data ekspor industri Kementerian Perindustrian 2007-2011.
Hasil analisis data ini menunjukkan dengan terang bagaimana output dari industri manufaktur Indonesia yang memainkan peranan besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan, pada kenyataannya bertumpu pada ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah. Sebagai bukti nyatanya, dua di antara subsektor yang berada dalam kategori ULI yang masuk dalam jajaran 10 subsektor industri manufaktur dengan output tertinggi tahun 1996-2012 adalah industri rokok kretek dan industri pakaian jadi dari tekstil, yang juga sangat nyata betapa keuntungan dicipta dari kedua subsektor ini sangatlah bertumpu pada upah buruh rendah pada skala yang massif.
Begitu juga dengan klasifikasi HCI, meskipun peningkatan porsinya tampak sebagai corak positif dari perkembangan industri manufaktur Indonesia selama khususnya sepuluh tahun terakhir, namun geliat kinerjanya juga tidak dapat dilepaskan dari syarat eksploitasi terhadap buruh dengan tingkat upah yang rendah. Adalah luas diketahui bahwa subsektor yang masuk dalam kategori HCI ini, terutama dalam wujud industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih, dan industri sepeda motor roda dua dan tiga, mengalami peningkatan output dengan tidak terlepaskan dari dinamika rantai produksi global (global production network). Dengan corak kepemilikan industri pada kedua subsektor tersebut yang berada dalam kategori penanaman modal asing, adalah jelas bahwa kedua subsektor industri ini merupakan manifestasi dari pengalihan aktivitas produksi (outsourcing) dari perusahaan-perusahaan pemegang merk dari luar ke Indonesia, yang berbasis pada lagi-lagi, determinan tingkat upah buruh yang murah.
Geliat aktivitas produksi yang mensyaratkan eksploitasi sumber daya alam dan berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan, tetap menjadi corak utama dari industri manufaktur Indonesia dalam rentangan waktu tujuh belas tahun tersebut. Bahkan pada tahun 2010, 2011 dan 2012, subsektor yang masuk dalam klasifikasi NRI ini merupakan subsektor industri dengan peringkat output tertinggi di Indonesia. Adalah industri minyak makan kelapa sawit, yang menjadi manifestasi utama dari industri dari klasifikasi NRI ini selama beberapa tahun terakhir. Seiring dengan semakin tergerusnya kawasan hutan sebagai sumber eksploitas, subsektor industri minyak makan dari minyak kelapa sawit tampil menggantikan posisi industri kayu lapis sebagai subsektor industri utama dalam klasifikasi NRI di Indonesia sejak paruh pertama tahun 2000an.
Dengan dampaknya yang nyata terhadap kerusakan lingkungan, bahkan tidak sedikit yang harus berujung pada konflik sosial,[2] corak dominan NRI dalam industri manufaktur Indonesia semakin mengungkapkan betapa ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam menjadi syarat utama di balik geliat pertumbuhan dan kontribusi besarnya terhadap kinerja perekonomian nasional selama ini.
Kedua, temuan dari penelitian yang penulis jalankan bersama tim memperlihatkan sebuah kondisi yang semakin memperparah permasalahan yang terkandung di dalam sektor industri manufaktur Indonesia yang selama ini diandalkan dan difasilitasi pemerintah untuk menggenjot angka pertumbuhan ekonomi. Sangat jelas dapat dicermati bahwa corak produksi dominan yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja di dalam sektor industri manufaktur Indonesia selama ini, berjalan dalam kondisi pemusatan penguasaan pasar pada segelintir perusahaan semata.
Struktur pasar oligopoli adalah kondisi yang dengan sangat nyata terungkap secara statistik di balik geliat kinerja industri manufaktur Indonesia di sepanjang tahun 1996-2012. Dengan menggunakan penghitungan rasio konsetrasi empat perusahaan teratas (four-firms concentration ratio/CR4), ditemukan kondisi struktur pasar oligopoli yang tersebar hampir di seluruh subsektor industri manufaktur Indonesia.
Dari seluruh subsektor industri manufaktur Indonesia selama periode 1996-2012, rata-rata jumlah subsektor dengan rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4) yang berada di atas 50 persen adalah sebesar 76,1 persen. Kondisi ini bermakna bahwa rata-rata 70 persen dari seluruh subsektor industri manufaktur Indonesia dari tahun 1996 sampai dengan 2012, berada dalam kondisi di mana lebih dari 50 persen pasar pada masing-masing produk subsektor tersebut dikuasai oleh empat perusahaan teratasnya saja. Pada tahun 2012 misalnya, dari total 356 subsektor industri manufaktur, 279 subsektor di antaranya (78 persen), berada dalam kondisi pasar yang bersifat oligopolistik dengan rasio konsentrasi empat perusahaan teratas (CR4) sebesar sama dengan atau di atas 50 persen (lihat Grafik 4).
Dengan pemusatan penguasaan pasar oleh segelintir perusahaan, kapasitas dari perusahaan untuk menekan biaya produksi khususnya dalam wujud tingkat upah dan biaya bahan baku menjadi semakin kuat. Tidak heran jika, permasalahan tingkat pendapatan yang rendah, ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan dapat terus lestari seiring dengan kondisi struktur industri manufaktur yang tidak mengalami perubahan fitur utama selama dua dekade terakhir.
Grafik 4 Corak Dominan Oligopoli dalam Struktur Pasar Industri Manufaktur Indonesia 1996-2012
Sumber: Kalkulasi penulis dari data mentah industri besar dan sedang Badan Pusat Statistik 1996-2012.
Ketiga, salah satu peranan besar dari industri manufaktur secara umum dipahami, terletak pada kontribusinya terhadap kinerja ekspor nasional. Akan tetapi, menyimak corak ekspor industri manufaktur Indonesia, sebaliknya justru sederet permasalahan tersebut terakumulasi di dalamnya. Dari produk eskpor industri manufaktur yang menyusun rata-rata 60 persen ekspor Indonesia tahun 2007-2011, 42 persen di antaranya adalah kategori produk NRI, terutama dalam bentuk produk pengolahan kelapa/kelapa sawit, pengolahan karet, dan produk pulp dan kertas, yang berada pada jajaran tiga teratas produk ekspor Indonesia. Disusul oleh produk dalam klasifikasi industri yang padat faktor teknologi (technology-intensive/TI), sebesar rata-rata 20,35 persen dari total ekspor tahun 2007-2011.
Dengan corak industri dalam klasifikasi TI yang merupakan rantai pemasok dalam jaringan produksi global berbasis tingkat upah rendah, dan dominasi produk yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, semakin nyata permasalahan sektor industri manufaktur Indonesia selama ini yang kontribusi ekspornya mensyaratkan keberlanjutan masalah sosial, ekonomi dan ekologi dalam kehidupan masyarakat.
Terlebih dengan penguasaan kekuatan oligopolistik atas pasar dari subsektor industri yang menghasilkan produk ekspor utama Indonesia tersebut, lengkaplah sudah kondisi permasalahan yang selama ini melekat di balik geliat sektor yang dikatakan sebagai penopang utama keberlangsungan perekonomian Indonesia. Dari 20 subsektor industri manufaktur dengan nilai ekspor tertinggi tahun 2009-2010 misalnya, 85 persen atau sebanyak 17 subsektor berada dalam kondisi struktur pasar dengan CR4 sebesar di atas 50 persen. Salah satu subsektor dalam klasifikasi Ti, sebagai contoh, dalam wujud ekspor produk televisi dan transmitter radio, memiliki CR4 masing-masing sebesar 90 dan 95 persen pada tahun 2009 dan 2010. Dengan kata lain, empat perusahaan teratas dalam subsektor ini mengusasi 90 sampai 95 persen total pasarnya.
Ekonomi Politik Industri Manufaktur
Serangkaian permasalahan ini membawa implikasi ekonomi politik pada tataran yang sangat luas. Pada ranah ekonomi, kondisi ini menunjukkan betapa output perekonomian Indonesia selama ini bertumpu pada sumbangan besar dari sektor industri manufaktur. Sementara itu, di balik sumbangan besar industri manufaktur tersebut, berjalan aktivitas produksi yang mensyaratkan eksploitasi atas sumber daya alam dan tenaga kerja secara massif oleh kekuatan oligopolistik, sebagai roda gigi yang menggerakkan sirkulasinya selama ini.
Pada ranah politik, angka pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh geliat industri dengan corak eksploitatif seperti ini adalah sumber utama justifikasi atas kinerja, bahkan prestasi dari kinerja pemerintahan, tidak hanya pada lingkup nasional, bahkan juga internasional. Diperparah dengan pemusatan keuntungan dari aktivitas industri manufaktur yang terkonsentrasi secara oligopolistik, serangkaian kebijakan pemerintah mulai dari bidang ekonomi sampai kepada legislasi politik pun tampak diarahkan untuk memfasilitasi dan menjaga kelancaran sirkulasi dari industri manufaktur yang mensyaratkan eksploitasi massif atas sumber daya alam dan tenaga kerja dengan tingkat upah murah tersebut. Daya tawar segelintir pemain dalam industri yang berjalan dalam struktur pasar oligopolistik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, tak pelak lagi menjadi sulit untuk ditandingi dalam kondisi yang seperti ini.
Dua periode pemerintahan sebelumnya mencerminkan betapa kebijakan pemerintah diarahkan untuk menjaga kelancaran kinerja industri manufaktur yang berjalan dengan syarat eksploitasi dengan kekuatan oligopolistik di dalamnya. Dua paket kebijakan ekonomi yang digulirkan pemerintahan SBY pada tahun 2013 silam, merupakan manifestasi nyata di mana pemerintah berperan aktif melalui insentif penghapusan pajak ekspor untuk mendongkrak kinerja ekspor industri manufaktur Indonesia yang sangat padat akan eksploitasi. Melalui alokasi anggaran untuk infrastruktur, kelancaran kinerja industri yang oligopolistik pun semakin terfasilitasi untuk menekan biaya produksi dalam menghisap sumber daya alam dan tenaga kerja dengan tingkat upah murah. Lebih jelas lagi, melalui implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah membuka jalur-jalur eksploitasi atas sumber daya alam dan tenaga kerja secara sistematis. Terbukti dari laporan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) tahun 2013, seluruh permasalahan dalam implementasi MP3EI termanifestasi dalam sengketa atau konflik lahan.
Kenaikan Harga BBM dan Arah Kebijakan Industri Pemerintahan Jokowi-JK
Terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dalam kontestasi politik yang penuh dengan drama di tahun 2014 ini telah menuai harapan perubahan mendasar dari masyarakat. Sebuah harapan di mana masalah mendasar seperti kemiskinan, ketimpangan dan kerusakan lingkungan tidak lagi menjadi warna dominan dari kehidupan masyarakat di negeri ini.
Sebulan berjalan, tampak dari arah kebijakan yang dipancangkan oleh pemerintahan yang baru ini khususnya di sektor industri manufaktur, menunjukkan tanda-tanda bahwa harapan yang telah digantung tinggi tersebut akan berbuah kekecewaan. Betapa tidak, dari arah kebijakan di bidang industri yang dapat diidentifikasi dari pemerintahan Jokowi-JK, mulai dari visi, misi dan program aksi, Nawa Cita, sampai kepada rencana kebijakan Kementerian Perindustrian dalam satu bulan terakhir, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan dari corak dan pola kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Pertama, dasar pijakan dari kebijakan industri pemerintahan Jokowi-JK tampak jelas menormalkan kondisi dan struktur industri manufaktur Indonesia yang telah berjalan selama ini, yang pada dasarnya sangat bermasalah. Dengan kata lain, kondisi, kinerja dan struktur industri manufaktur yang mensyaratkan eksploitasi massif atas sumber daya alam dan tenaga kerja, serta dikuasai oleh kekuatan segilintir perusahaan yang bersifat oligopolistik, diletakkan sebagai kondisi yang normal, bahkan sebagai salah satu pilar bagi peningkatan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Secara jelas dituangkan di dalam Visi, Misi dan Program Aksi, industri manufaktur diurutkan pada barisan pertama dari potensi untuk mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi nasional. Sama sekali tidak terkandung di dalam 42 halaman yang menunjukkan arah perubahan dari pemerintahan yang baru ini, adanya identifikasi atas permasalahan mendasar yang berlangsung di dalam sektor industri manufaktur Indonesia. Bahkan corak produksinya yang berlangsung selama ini justru dinormalkan dan dijadikan sebagai salah satu sumber utama penggerak pertumbuhan ekonomi dalam program ekonomi Jokowi-JK.
Kedua, tidak tampak arah kebijakan industrialisasi yang jelas dari pemerintahan Jokowi-JK. Salah satu strategi dan kebijakan industrialisasi yang secara eksplisit disampaikan adalah kebijakan pembangunan 15 kawasan industri baru. Namun, lagi-lagi, tidak ditemukan elaborasi yang memadai tentang industri pada sektor apa yang akan didorong tumbuh melalui pembangunan 15 kawasan industri ini.
Dua arah yang tampak dari kebijakan industrialisasi Jokowi-JK adalah pembangunan industri pengolahan sumber daya alam dengan tingkat nilai tambah yang lebih tinggi khususnya berbasis pertanian dan maritim, dan industrialisasi dengan daya saing ekspor yang tinggi. Dua arah kebijakan ini sendiri mengandung permasalahan. Di satu sisi, jelas bahwa yang digenjot tetap adalah industri yang mensyaratkan eksploitasi massif atas sumber daya alam, untuk kemudian diolah dan diekspor. Di sisi lain, upaya untuk mengembangkan industri berbasis pertanian dan maritim yang berorientasi ekspor tampak tidak berpijak pada permasalahan mendasar dalam kehidupan petani dan nelayan. Untuk apa industri berbasis pertanian dan maritim yang berorientasi ekspor sementara pemenuhan kebutuhan pangan dasar petani dan nelayan saja hingga hari ini masih berada pada tingkat yang sangat rendah.
Ditambah lagi dengan strategi pembangunan sektor pertanian dan maritim berbasis kekuatan modal domestik, di mana konsentrasi modal domestik dari geliat industri manufaktur selama ini yang dikuasai secara oligopolistik, maka sumber modal bagi pengembangan sektor pertanian dan maritim lagi-lagi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan kapital dari struktur oligopoli industri manufaktur. Dapat dibayangkan, bagaimana sektor pertanian dan maritim yang akan dikuatkan pun nantinya, akan berada dalam kondisi struktur pasar dengan rasio konsentrasi yang tinggi.
Ketiga, merujuk kepada strategi pembangunan kawasan industri yang dicanangkan oleh Kementerian Perindustrian, orientasi dari kebijakan ini adalah untuk menarik investasi. Mengacu kepada corak dan kondisi struktur industri manufaktur Indonesia yang berlangsung hingga hari ini, daya tarik investasi di Indonesia tidak dapat lepas dari akses terhadap bahan baku sumber daya alam dan ketersediaan tenaga kerja dengan tingkat upah murah pada skala yang besar. Industrialisasi via pembangunan kawasan industri tanpa arah dan fokus sektoral yang jelas, maka kebijakan ini sama saja dengan memfasilitasi kembali geliat industri yang tetap mensyaratkan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja sebagai sumber pencipta nilai utamanya. Terlebih di dalam kondisi struktur pasar yang bersifat sangat oligopolistik, penguasaan pasar yang terpusat bermuara pada konsentrasi kapital, sehingga tidak heran jika berkembangnya pusat-pusat industri baru ini akan ditandai lagi oleh oligopoli sebagai warna dominannya. Temuan penelitian yang penulis lakukan mengkonfirmasi pola ini. Liberalisasi yang dilakukan pasca Reformasi, di satu mendorong munculnya ragam subsektor baru dalam industri manufaktur Indonesia. Namun demikian, subsektor yang baru muncul tersebut lagi-lagi berjalan dalam kondisi struktur pasar dengan rasio konsentrasi yang sangat tinggi.
Keempat, secara eksplisit sebuah permasalahan yang hendak diatasi dari kebijakan industrialisasi pemerintahan Jokowi-JK adalah persoalan ketimpangan industri antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Dari 15 kawasan industri baru yang dicanangkan untuk dibangun, 13 di antaranya berada di luar Pulau Jawa. Akan tetapi, jika menilik kembali permasalahan mendasar dari industri di Indonesia, bentuk yang paling utamanya justru tidak hanya terletak pada ketimpangan Jawa dan luar Jawa. Melainkan permasalahan yang berimplikasi besar terhadap kondisi perekonomian masyarakat luas adalah konsentrasi atau penguasaan pasar oleh segelintir perusahaan saja. Tampak, arah kebijakan industrialisasi pemerintahan Jokowi-JK sama sekali tidak menyentuh permasalahan ini. Sehingga, tidak heran jika nantinya, sentra-sentra industri yang tumbuh di luar Pulau Jawa akan tetap berada di dalam pemusatan kekuasaan pasar dari kekuatan oligopoli lama yang selama puluhan tahun menggerakan roda industri manufaktur di Pulau Jawa.
Kelima, secara keseluruhan pola kebijakan industri pemerintahan Jokowi-JK tidak memiliki perbedaan mendasar dari pemerintahan sebelumnya, yakni tetap dalam bentuk pola kebijakan pemerintah sebagai fasilitator, yang memfasilitasi, menstimulus dan menjaga kelancaran kinerja industri manufaktur dengan coraknya selama ini yang sangat eksploitatif terhadal alam dan buruh, serta dengan strukturnya yang oligopolistik. Terbukti dari tiga insentif yang dicanangkan oleh Kementerian Perindustrian, yakni insentif infrastruktur melalui alokasi anggaran negara dalam porsi yang sangat besar, insentif administrasi melalui pelayanan kawasan industri, dan insentif fiskal khususnya dalam aspek pajak. Tiga bentuk kebijakan inilah yang selama ini menjadi manifestasi nyata dari peranan pemerintah dalam menjaga kelancaran sirkulasi produksi industri yang oligopolistik untuk menghisap sumber daya alam dan tenaga kerja secara massif.
Kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak yang dirasionalisasikan atas dasar pengalihan anggaran untuk sektor produktif, merupakan cerminan nyata dari arah kebijakan industri pemerintahan Jokowi-JK yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Seiring dengan posisi sektor industri manufaktur sebagai sektor ekonomi yang paling “produktif” di Indonesia, maka pengalihan anggaran subsidi BBM untuk belanja produktif pemerintah, khususnya dalam wujud anggaran pembangunan infrastruktur, adalah ditujukan dan memberi manfaat langsung dan yang paling besar bagi kelancaran aktivitas produksi industri manufaktur dengan coraknya yang eksploitatif dan oligopolistik. Terlebih dengan tidak ditemukannya problematisasi mendasar dari pemerintahan Jokowi-JK terhadap industri manufaktur dengan corak produksi dan kondisi strukturnya yang berlangsung hingga hari ini, semakin nyata betapa arah kebijakan fiskal pemerintah diabdikan untuk mendorong pertumbuhan sektor ekonomi yang pada kenyataannya sangat bermasalah ini.
Bahkan secara eksplisit, dinyatakan oleh Menteri Keuangan pemerintahan Jokowi-JK bahwa arah dari kebijakan ekonomi ditujukan untuk mendongkrak porsi output dari sektor industri manufaktur dalam persentasenya terhadap PDB menjadi sebesar 30 persen.[3] Megaproyek pembangunan kawasan industri dengan segala bentuk insentifnya yang memakan biaya besar, merupakan manifestasi dari upaya ini. Untuk membangun 13 kawasan industri di luar Jawa, dibutuhkan biaya sebesar Rp. 12 triliun. Selain dari mengandalkan kekuatan kapital domestik yang terkonsentrasi secara oligopolistik, dan menarik investasi asing melalui godaan upah buruh murah dan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, jelas secara terang-terangan pemerintahan Jokowi-JK mengorbankan kepentingan rakyat demi pembiayaan megaproyek ini. Apa lagi jika bukan melalui belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, yang alokasinya meningkat melalui kenaikan harga BBM, sebagai sumber utama dari pembiayaannya. Secara eksplisit, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan bahwa dasar dari pengalihan subsidi BBM adalah untuk “revitalisasi industri.”[4]
Ya, untuk meningkatkan dan memperluas output serta kinerja ekspor dari industri manufaktur yang, tidak dapat dibantah, mensyaratkan eksploitasi atas buruh dan kekayaan alam sebagai pilar penopangnya. Demi peningkatan dan perluasan aktivitas industri dengan corak eksploitatif dalam kendali kekuatan oligopolistik inilah, pemerintah mengalihkan subsidi BBM yang langsung berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas di negeri ini. Terbukti, kawasan-kawasan industri di luar Jawa yang pembangunannya memakan biaya besar tersebut, sangatlah mengandalkan eksploitasi terhadap sumber daya. Pemerintah sendiri menyatakan tujuan pembangunan kawasan industri di luar Jawa yang bertumpu pada potensi sumber daya alam di masing-masing kawasan. Jika dicermati berdasarkan lokasi dari kawasan industri di luar Jawa tersebut, pola pembangunan industri jelas diarahkan untuk menghisap sumber kekayaan alam yang terkandung di sana.[5] Sebagai contoh nyatanya adalah kawasan industri di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang mengandalkan potensi alam dalam wujud gas di daerah tersebut. Secara terang-terangan bahkan, Menteri Perindustrian Saleh Husin menyatakan bahwa kawasan-kawasan industri di luar Jawa dibangun berbasis pada sumber daya alam yang ada di lokasi tersebut.[6]
Ketika arah kebijakan industri dari pemerintahan yang baru ini tidak mengandung perbedaan mendasar dari pemerintahan sebelumnya, sulit untuk membayangkan akan terjadi perubahan mendasar dalam struktur industri manufaktur Indonesia dengan coraknya yang eksploitatif dan oligopolistik selama ini, sebagai salah satu akar permasalahan ekonomi, sosial dan ekologi yang terus melekat dalam kehidupan masyarakat hingga detik ini.
Transformasi Struktural
Berangkat dari analisis terhadap corak produksi dan kondisi struktur industri manufaktur Indonesia selama ini, dengan demikian yang dibutuhkan adalah perubahan mendasar yang menyasar transformasi struktural, meliputi struktur produksi, struktur penguasaan pasar, sampai kepada struktur relasi ekonomi politik sebagai penopangnya.
Transformasi struktur produksi dapat diretas dengan menggeser orientasi produksi, dari produksi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja untuk meningkatkan kinerja ekspor, menuju produksi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar dari masyarakat lokal. Merujuk kepada kondisi penguasaan pasar yang sangat oligopolistik, transformasi ini sangat mendesak untuk dilakukan. Betapa tidak, penguasaan pasar secara oligopolistik ini menjadikan masyarakat tidak memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri dan sangat bergantung pada pasar dan fluktuasi harga. Bayangkan, untuk memenuhi kebutuhan susu dan minyak goreng saja, seluruh masyarakat di segenap pelosok negeri bergantung pada pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan. Rasio konsentrasi empat perusahaan teratas (CR4) dari subsektor industri susu, minyak goreng dari kelapa, dan minyak goreng dari minyak kelapa sawit, selama periode 1996-2012 adalah sebesar rata-rata di atas 70 persen. Sehingga, jikapun tetap harus dilakukan industrialisasi, maka pembangunan industri di suatu wilayah harus menyasar pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berbasis potensi lokal yang dapat diberdayakan masyarakatnya sendiri.
Arah kebijakan pemerintah pun harus berbalik 180 derajat, jika struktur pasar yang oligopolistik dan sangat bermasalah ini hendak dituntaskan. Kebijakan-kebijakan fasilitasi secara makro yang selama ini digulirkan pemerintah harus digantikan dengan program-program industri pengolahan mikro yang berorientasi pemenuhan kebutuhan komunitas secara mandiri, sehingga terjadi perubahan struktur pasar pada skala wilayah dapat mendorong munculnya sumber produksi alternatif yang dapat menenuhi kebutuhan masyarakat.
Tentu saja, upaya ini akan mengganggu kepentingan dari kekuasaan oligopolistik segelintir pemain dalam sektor industri manufaktur yang tidak dapat dipungkiri memainkan pengaruh dan memiliki kekuasaan besar dan telah mapan dalam medan perpolitikan di negeri ini. Terkecuali memang pemerintahan yang baru ini adalah produk dari relasi ekonomi politik dalam corak oligopolistik yang sama,[7] seharusnya transformasi struktural sektor industri manufaktur ini diletakkan sebagai agenda utama dan telah termanifestasikan dalam arah kebijakan industri pemerintahan Jokowi-JK pada satu bulan pertama kinerjanya, seiring dengan janji jalan perubahannya yang telah menuai harapan besar dari masyarakat luas. Jika tidak, harapan akan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, sebagaimana muara dari jalan perubahan yang dijanjikan Jokowi-JK, tidak akan pernah berbuah kenyataan yang dapat dinikmati dalam keseharian hidup masyarakat di negeri ini.***
Penulis aktif di Purusha Research Cooperative & Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI)
———
[1] Dodi Mantra, Reza Istefi, Aditya Fernando, Safira Randolph, Di Balik Putaran Roda Gigi Industri Manufaktur Indonesia: Analisis Struktur Industri Manufaktur Indonesia 1996-2012 (Jakarta: Purusha Research Cooperative, 2014).
[2] Berbanding lurus dengan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dan peningkatan output produksi industri pada subsektor pengolahan minyak kelapa sawit, terjadi peningkatan jumlah kasus konflik atau sengketa agraria di Indonesia. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2013 terjadi sebanyak 369 kasus konflik agraria dengan luas lahan sengketa mencapai 1,28 juta hektar dan melibatkan 139.874 kepala keluarga. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana jumlah konflik agraria mencapai 198 konflik dengan luas lahan yaitu 963.411,2 hektar atau meningkat sekitar 86,36 persen. Dari jumlah konflik itu, di sektor perkebunan adalah yang paling banyak terjadi konflik dengan 180 konflik (48,78%), infrastruktur 105 konflik (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), kelautan 9 konflik (2,44%), dan lain-lain 6 konflik (1,63%). Selain itu, dampak ini juga dapat dicermati dari pengakuan pemerintah itu sendiri, di mana berdasarkan laporan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2013, seluruh kendala yang diidentifikasi sebagai hambatan bagi MP3EI adalah konflik lahan, lihat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI (Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2013), ix.
[3] Sebagaimana telah diulas pada bagian awal tulisan ini, rata-rata persentase output sektor industri manufaktur Indonesia selama lima tahun terakhir adalah sebesar 24 persen. Angka ini dinilai masih kurang, hingga harus ditingkatkan menjadi 30 persen di bawah pemerintahan Jokowi-JK. http://www.kemenperin.go.id/artikel/10515/Pemerintah-Siapkan-Insentif-Industri-Manufaktur.
[4] http://www.kemenperin.go.id/artikel/10515/Pemerintah-Siapkan-Insentif-Industri-Manufaktur.
[5] Ke-13 kawasan industri itu adalah Teluk Bintuni (Papua Barat), Halmahera Timur, Bitung (Sulut), Palu, Morowali (Sulteng), Konawe (Sultra), Bantaeng (Sulsel), Batulicin (Kalsel), Ketapang (Kalbar), Landak (Kalbar), Kuala Tanjung dan Sei Mankei (Sumut), serta Tanggamus (Lampung). http://www.kemenperin.go.id/artikel/10394/Kawasan-Industri-Rp-12-T-Segera-Dibangun.
[6] http://www.kemenperin.go.id/artikel/10515/Pemerintah-Siapkan-Insentif-Industri-Manufaktur.
[7] Tanda meragukan jika pemerintahan Jokowi-JK dapat meretas upaya ini terutama terletak pada keberadaan penguasa struktur pasar industri yang oligopolistik di dalam kabinet pemerintahannya. Yang paling jelas adalah keberadaan Rahmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK merupakan wujud nyata dari kondisi ini. Rahmat Gobel salah satu diantaranya, hingga saat ini tercatat sebagai Komisaris Utama PT. Panasonic Gobel Eco Solution Manufacturing Indonesia, yang dahulunya adalah PT. Matsushita Gobel Electric Works Manufacturing, yang bergerak dalam subsektor industri peralatan listrik rumah tangga. Subsektor industri peralatan listrik rumah tangga adalah salah satu dari subsektor industri manufaktur dengan rasio konsentrasi (CR4) yang sangat tinggi, di mana pada tahun 2012, empat perusahaan teratas pada subsektor ini menguasai 82 persen dari total pasar. PT. Matsushita Gobel Electric Works Manufacturing sendiri berada pada posisi penguasaan pasar teratas pada subsektor ini, di mana sebesar 53 persen dari total pasar dikuasai oleh perusahaan yang dipimpin oleh Rahmat Gobel, yang sekarang menjadi Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Data hasil penelitian Tim Riset Struktur Industri Purusha Research Cooperative, Dodi Mantra, Reza Istefi, Aditya Fernando, Safira Randolph, Di Balik Putaran Roda Gigi Industri Manufaktur Indonesia: Analisis Struktur Industri Manufaktur Indonesia 1996-2012 (Jakarta: Purusha Research Cooperative, 2014). Belum lagi dengan posisi Menteri Pertanian yang dipegang oleh Andi Amran Sulaiman, yang jelas-jelas merupakan representasi dari pengusaha, bukan petani, yang disinyalir oleh banyak pihak memiliki hubungan dengan industri-industri pertanian raksasa yang selama ini mencengkeram sektor pertanian, bahkan secara global.