ADORNO pernah berkata bahwa menulis puisi sesudah peristiwa Auschwitz adalah tindakan barbar. Yang ia maksud terutama adalah puisi lirik. Di atas tumpukan tubuh yang gosong oleh nyala api dan bersidekap kaku di kamar gas, puisi lirik adalah seperti janji surga yang kadaluarsa sejak lama. Penyair lirik datang melagukan individu manusia ketika sejarah dan kondisi sosial secara terang-terangan telah membuat usang ‘individu manusia’, ketika sejarah dan kondisi sosial mempertontonkan betapa mistiknya imaji tentang diri individual dengan segenap kedaulatan singularnya. Puisi lirik, sesudah Auschwitz, adalah seperti seseorang yang sore ini merasa cemas tak kebagian makanan dalam sebuah pesta sunatan kampung yang berlangsung seabad yang lalu. Puisi lirik, sesudah Auschwitz, adalah suatu kemubaziran bertele-tele yang dikira bijak.
Demikian juga dengan apa yang mungkin muncul dalam respon terhadap film Senyap garapan Joshua Oppenheimer. Kita dapat memuji sinematografinya yang cantik, penyuntingan adegannya yang bernas, ataupun mempersoalkan tiadanya kebaruan dalam konsep film ‘penyintas versus pelaku kekerasan’ yang sudah dicoba beberapa kali oleh para sineas lain. Namun berhenti pada aspek-aspek intrinsik semacam itu, pada kasus ini, ibarat berpanjang-lebar tentang aspek-aspek estetis dari liukan tubuh-tubuh dalam kamp konsentrasi akibat menghirup Ziklon B. Di sini yang jadi soal bukanlah moralitas atau imoralitas dari tindakan tersebut; yang ofensif bukanlah tindakan imoral itu. Yang ofensif adalah penggunaan kategori moral itu sendiri. Mengatakan bahwa pembantaian terhadap jutaan kader PKI dan seluruh organisasi sayapnya sebagai ‘kedurjanaan radikal’ adalah justru kedurjanaan itu sendiri. Kalau ada pelajaran yang bisa ditarik dari Senyap, juga Jagal, maka pelajarannya tak lain adalah bahwa berbicara moral pasca-65 adalah seperti bermain turntable di rumah duka.
Senyap mengisahkan riwayat keluarga penyintas di Sumatera Utara berhadapan dengan para pelaku pembantaian ‘65. Adi, seorang pemuda yang kakaknya mati dibacok bertubi-tubi, berkeliling ke rumah-rumah para jagal yang kini menginjak jompo. Rohani, ibunya yang telah sepuh, tak pernah sudi bertukar sapa dengan para tetangga pembunuh anaknya. Sembari merajang labu, ia ceritakan bagaimana mereka berlagak seolah tidak tahu apa-apa. Rohani membenci mereka dengan tulus hati. Rukun, ayah Adi, mendapati giginya rontok satu per satu ketika mendengar kabar anaknya mati ditikam berulang kali dan ditebas kemaluannya di dekat kebun sawit. Pada usianya yang kini lebih dari satu abad, ia tampak kurus kering dimakan Orde Baru. Penglihatannya sudah sangat samar dan kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Sebagai adik yang lahir dua tahun sepeninggal sang kakak, Adi menuntut permintaan maaf dari para pembantai kakaknya. Mereka kini hidup tenang sebagai sosok-sosok terhormat; mulai dari ketua DPRD, pesohor Pemuda Pancasila, sampai dengan jompo kampung yang disegani warga. Sebagai seorang tukang kacamata keliling, Adi menyambangi rumah mereka kerapkali dengan premis menawarkan jasa penyiapan kacamata sembari perlahan-lahan mengulik persoalan ‘65.
Reaksi para pembantai kurang-lebih serupa. Mereka bangga telah melaksanakan ‘bela negara’ dan terus mengeong tentang ‘kerjasama ABRI dan rakyat’ dalam melangsungkan pembersihan ideologi komunis. Mereka sadar bahwa tugas menggorok leher orang berulangkali selama berbulan-bulan bisa membuat mereka gila. Untuk itulah mereka memberikan tips yang mereka rasa manjur: minumlah darah orang-orang yang kau gorok itu. Darah korban dipercaya bisa memberikan keteguhan sikap dan ketenangan batin untuk terus melanjutkan proses gorok-menggorok itu, seperti pengunduh kelapa yang sesekali membelah kelapa dan mereguk airnya di sela-sela proses panen. Situasi beralih jadi tegang ketika Adi mengaku bahwa dirinya merupakan adik dari salah satu korban yang mereka minum darahnya. Umumnya mereka merasa dijebak. Inong, salah seorang komandan aksi di Sungai Ular yang kini jadi jompo desa, merasa tertipu: “Kenapa pembicaraannya jadi lari ke politik?” Lidahnya menggeliat beberapa kali dari mulutnya yang tak bergigi lagi. Ia merasa dijebak berbicara tentang politik, padahal ia hanya ingin bercerita tentang masa mudanya yang penuh romansa—seperti ketika ia menebas leher kader-kader PKI, menghempaskannya ke sungai dan sesekali bersandar di batang pohon trembesi sembari menikmati pemandangan alam Deli. Inong sedang tak ingin bicara politik.
Adi Rukun dan Joshua Oppenheimer
Adi adalah pemuda yang sabar. Tak satupun kata maaf ia peroleh dari orang-orang yang dulu terlibat pembantaian ’65. Biasanya pembicaraan terhenti dengan pelaku yang tak merasa punya salah. Sebagian merasa jengah karena terus ditanyai, sebagian lain mengusir Adi dan Joshua beserta seluruh krunya. Adi demikian sabar meladeni imajinasi para pembantai. Termasuk ketika ia menyadari bahwa pamannya sendiri terlibat dalam peristiwa itu. Sang paman berkilah tidak tahu menahu dan hanya ditugasi untuk menjaga tahanan. Ketika Adi menceritakan bahwa salah satu tahanan itu adalah keponakannya sendiri, ia woles saja dengan tampang yang seakan membatin: “yaelah bray… cuma gitu doang dibahas”. Di saat-saat seperti itu, Adi biasanya akan pamit dengan amarah yang ia lipat rapi. Ia mengharapkan sesal berkepanjangan, tetapi bahkan secuil permintaan maaf pun tak berhasil dibawanya pulang. Memang sesekali kata maaf dilemparkan ke muka Adi. Tetapi itu tidak datang dari pelaku, melainkan dari anak perempuan atau istrinya yang kemungkinan melontarkannya karena pertanyaan-pertanyaan Adi sudah membuat suasana jadi tidak nyaman.
Film ini tak dituntaskan dengan resolusi konflik. Seperti Jagal, Senyap juga menyimpan momen-momen sublimnya di akhir. Jagal ditutup dengan adegan panjang Anwar Congo yang tengah muntah-muntah di balkon toko yang dulunya dipakai sebagai lokasi pembantaian. Itulah lokasi yang sama ketika Anwar memeragakan teknik membunuh dengan kawat yang ia ciptakan. Dalam suasana malam yang larut, Anwar batuk-batuk, berjalan gontai, mondar-mandir dan muntah beberapa kali tanpa narasi apapun yang mendahului atau menyertainya. Ia lalu turun dari sana, menyusuri lorong toko tas dan sepatu yang telah tutup, ke arah jalan raya. Film selesai. Adegan ini sangat menarik. Bagi pemirsa yang membacanya secara agak religius, Anwar seperti mengakui kesalahannya, memuntahkan semua dosanya dan dengan itu ‘bertobat’. Tafsir semacam ini diperkuat oleh isak-tangisnya ketika menonton peragaan pembunuhan yang ia lakukan sebelumnya. Jadi adegan muntah-muntah itu akan dibaca sebagai adegan dikutuknya Anwar seperti sosok antagonis dalam sinetron-sinetron kita. Secara sinematik, mungkin ini adalah tafsiran yang koheren. Namun itu bukan tafsiran satu-satunya. Saya tak ingin melepaskan Anwar sebagai sosok dalam film dan Anwar sebagai sosok sosio-historis yang konkrit. Setahu saya dari berita-berita yang muncul selepas penayangan Jagal, Anwar memprotes Joshua soal film itu, betapa ceritanya telah melenceng dari maksud Anwar semula untuk mengagungkan dan merayakan pembasmian komunis. Artinya, tafsiran tentang ‘pertobatan’ Anwar dalam adegan terakhir itu bisa jadi berlebihan. Saya cenderung melihatnya sebagai peristiwa biasa di mana Anwar pulang sehabis mabuk lalu muntah-muntah dan Joshua mengarahkannya untuk mengunjungi kembali lokasi itu. Adegan itu menggambarkan pak tua yang mabuk sehabis berpesta—itu saja. Namun bukan berarti adegan tersebut biasa saja. Menurut saya, justru karena digambarkan secara datar adegan itu demikian sublim. Adegan itu mengungkapkan betapa tumpulnya kategorisasi moral yang hendak dirajamkan para pemirsa ke sosok Anwar. Sang pembantai tidak melanggar hukum; ia berdiri di luar hukum. Ia bukan sosok imoral; ia hadir sebagai sosok ekstra-moral—mematung di luar segala sekat-sekat moralitas, Anwar adalah monumen yang menandai batas-batas kategori moral. Ia tidak menyesal; ia cuma muntah-muntah. Justru inilah yang membuat kita ngilu.
Suasana yang serupa juga kita temukan dalam Senyap. Setelah percakapan demi percakapan yang tak membuahkan hasil, menjelang akhir film kita diantarkan pada sebuah adegan yang demikian ganjilnya sampai bulu roma kita merinding. Sebelumnya, Rukun, ayah Adi yang sudah sangat sepuh itu ditanya oleh istrinya perihal Ramli, anak sulungnya yang dibantai waktu ’65. Ia sudah tak ingat lagi: “Ramli siapa ya?” Menjelang akhir film, ia diperlihatkan tengah berada di sebuah ruangan tempat menjemur pakaian. Dengan penglihatannya yang rabun, ia seperti tengah menduga-duga di manakah ia berada. Tanpa kursi roda, kakinya yang telah lumpuh memaksanya untuk merangkak terseok-seok mengitari ruangan mencari jalan keluar. Saat kepalanya menyapu baju-baju yang sedang tergantung di ruas-ruas jemuran, ia pun tambah panik. Dipikirnya ia telah melewati kelambu kamar rumah orang lain. Ia pun makin menyeru-nyeru: “Tolong! Tolong aku! Aku di mana? Ini kamar orang, nanti kalau ketahuan aku bisa dipukuli. Ampun! Tolong! Tolong!” Terseok-seoklah ia berkeliling kamar jemuran itu sambil mengaduh dan minta pertolongan. Adegan ini seperti memperlihatkan bagaimana Rukun secara tanpa sadar menubuhkan mémoire involontaire tentang pembantaian anak sulungnya. Seperti Ramli yang lari terseok-seok ke rumah bapaknya dengan usus sedikit terburai, mengaduh dan memanggil ibunya, hanya untuk terdiam beberapa saat di rumah sebelum akhirnya dibawa pergi di atas truk ABRI, kini sang bapak terseok-seok mengitari kamar di bawah ketakutan telah melanggar kamar orang lain, tanpa menyadari bahwa kamar itu adalah rumahnya sendiri. Adegan itu begitu sureal, begitu ganjil dan ngeri, sampai-sampai saya tak bisa memikirkan hal lain selama beberapa waktu setelah film selesai.
Adegan ini kemungkinan akan menuai kecaman moral pemirsa karena kamera demikian agresif menginvasi tubuh lumpuh pak tua Rukun yang panik ditelan masa lalunya. Salah seorang kritikus di situs Indiewire, misalnya, menyebut adegan itu ‘eksploitatif’ sebab seperti mempermainkan kepanikan ayah Adi demi ketakjuban sinematik. Namun, menurut saya, apa yang diusahakan sang sutradara dengan adegan ini bukanlah sekadar ‘ketakjuban sinematik’, melainkan justru gema yang selaras dengan keseluruhan tema film. Adegan itu seperti meninju kita dan karenanya menjadikan kita sadar bahwa sejarah itu sungguh hidup di sekujur pori-pori tubuh para penyintas. Kita tak bisa melempar kecaman atas adegan itu sebagai sesuatu yang imoral, sebab justru kategori moral itu sendirilah yang tengah dipertanyakan habis-habisan dalam Senyap, seperti juga dalam Jagal. Justru inilah yang menakjubkan dari kedua film itu: memaksa para pemirsanya untuk menatap tanpa kedip ke hadapan arus peristiwa yang membuat segala kategori moral jadi mubazir. Senyap membuat kita menatap tanpa meratap; ia membuat semua komentar moralis jadi seperti puisi lirik sesudah Auschwitz.
Menghormati para korban dengan cara sekadar mengecam perbuatan para pembantai sebagai perbuatan imoral dan durjana adalah justru menghina para korban itu sendiri. Itu berarti menyamakan mereka dengan korban pencopetan atau korban pelanggaran hukum lainnya. Sedangkan mereka tak bisa diciutkan hanya sebagai korban pelanggaran hukum atau penistaan moral, persis karena para pembantainya bekerja di luar batasan yang terdefinisikan oleh hukum dan moralitas. Para jagal itu beraksi dalam jeda antara hukum, dalam palung yang mengantarai moralitas revolusioner Orla dan moralitas reaksioner Orba. Mereka beroperasi dalam limbo. Inilah yang menjelaskan rekonsiliasi moral yang diupayakan Adi selalu menemui jalan buntu. Jangan-jangan memang bukan rekonsiliasi macam itu yang kita perlukan. Apa yang kita perlukan sekurang-kurangnya adalah rekonsiliasi legal yang diawali dengan pencabutan TAP MPRS 1966 yang melarang pendirian partai komunis dan penyebar-luasan Marxisme-Leninisme. Namun yang lebih penting adalah rekonsiliasi politik yang memaksa tunduk para pelaku dan semua yang diuntungkan oleh pembantaian itu pada cita-cita awal dari mereka yang dibantai: perwujudan sosialisme Indonesia. Jangan-jangan cuma ini ‘permintaan maaf’ yang paling mendekati—kalau pun belum bisa dikatakan sepadan—taraf luka yang membekas di sekujur tubuh para korban dengan penyintas ’65.
Moralitas adalah yang lenyap dalam Senyap. Kita tidak dibuat sedih oleh film ini—kata ‘sedih’ terlalu lunak untuk menggambarkan apa yang mengendap di dada. Kesedihan adalah masa lalu. Kemarahan adalah hari ini dan esok. Waktu bersedih telah lewat. Jam-jam sepi kemarahan baru dimulai. Maka biarkan amarah yang tua ini jadi doa kita bersama:
- “Maafkan aku, O bumi yang memerah darah,
- karena aku lembek dan sopan dengan para jagal ini!
- Engkau lah puing-puing manusia paling suci
- Yang pernah hidup pada gelombang sejarah.
- Remuklah tangan yang menumpahkan darah ini!
- Di atas lukamu aku bersumpah […]
- Kutuk akan jatuh ke lambung manusia
- Amuk massa dan perang saudara yang buas
- Akan tumpah di sekujur bumi;
- Darah dan kehancuran akan begitu sehari-hari
- Dan ngeri akan jadi karib
- Sehingga ibu-ibu akan tersenyum ketika memeluk
- Bayinya tercabik-cabik oleh perang;
- Rasa kasihan akan mampus oleh kedurjanaan harian:
- Dan hantu-hantu komunis, memekikkan kesumat,
- Dengan Maut di sisinya, mendidih dari neraka,
- Akan turun ke bumi dengan suara raja
- Berteriak ‘Petaka,’ dan melepaskan amuk perang;
- Sampai perbuatan busuk itu tercium di seluruh bumi
- Dan mayat-mayat merintih minta dikuburkan.”
—saduran bebas dari Julius Caesar, Act III, Scene I
5 November 2014