Andika Perkasa: Jejak Langkah Pengawal Presiden

Print Friendly, PDF & Email

SALAH satu hal penting yang dihadapi oleh Presiden Jokowi dalam lima tahun masa jabatannya adalah bagaimana mengurus militer. Dia adalah presiden sipil keempat setelah Suharto dan Orde Barunya tumbang dari kekuasaannya. Perlu diingat, tiga presiden sipil pendahulunya tidak ada yang berkuasa penuh selama lima tahun.

Kapasitas jabatan presiden otomatis membikin Presiden Jokowi sekaligus adalah Panglima Tertinggi TNI. Secara teoretis, dialah yang menentukan segala kebijakan militer. Namun kewenangan itu jauh panggang dari api. Kenyataan bisa sangat berbeda dengan apa yang ada di atas kertas kitab undang-undang. Militer Indonesia sering memandang dirinya sebagai lembaga negara yang mandiri. Militer Indonesia selalu membanggakan dirinya sebagai ‘tentara rakyat.’

Hubungan pemerintahan sipil dengan organisasi militer ini tidak pernah mudah, bahkan di negara-negara yang dikategorikan maju. Sekalipun tentara mengatakan mereka tidak berpolitik, bukan berarti mereka tidak memiliki kepentingan. Di negara-negara yang demokrasinya mapan, militer selalu punya kepentingan institusional, semisal kepentingan memiliki peralatan perang paling mutakhir, anggaran yang memadai, atau politik luar negeri yang akan menentukan kiprah militer. Sementara di negara yang demokrasinya belum mapan, sangat sering kepentingan elite militer menjadi kepentingan institusional.

Kondisi hubungan sipil militer ini kadang bertambah rumit karena pengaruh dari luar dan keadaan politik di dalam tubuh militer sendiri. Politisasi militer dari luar dan politik internal di kalangan elite militer sangat besar pengaruhnya pada sistem politik.

Ujian militer pertama terhadap Jokowi datang seminggu sebelum dia dilantik menjadi presiden. Ketika itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menemuinya. Saat itulah Moeldoko bertanya kepada Jokowi, ‘Saya tanya beliau. Bapak Jokowi bagaimana dengan komandan Paspampres, apakah Bapak punya calon yang telah disiapkan? Beliau menyampaikan, “Panglima saya sudah memilih Brigjen Andika sebagai Danpaspamres.”’[1]

Keputusan mengangkat Brigjen Andika Perkasa, yang saat itu menjabat Kadispen TNI-AD, tak pelak memancing kontroversi. Moeldoko sendiri mengelak menjelaskan prestasi apa yang dimiliki oleh Andika Perkasa sehingga pantas mendapat jabatan itu. Jabatan ini akan menyandang pangkat Mayor Jendral. Sementara baru setahun sebelumnya, Andika Perkasa mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jendral.

Pengakuan Moeldoko kepada pers juga terasa janggal karena biasanya jenjang kepangkatan dan jabatan perwira tinggi diputuskan oleh sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) TNI. Saat Moeldoko bertanya pun sesungguhnya Jokowi belum menjadi presiden RI. Tak pelak, ini menguatkan dugaan bahwa pengangkatan Andika Perkasa adalah pengangkatan politik (political appointment) ketimbang promosi militer yang profesional.

Apa yang membuat karir militer Andika Perkasa menjadi sedemikian istimewa? Apakah karir militer Andika Perkasa merupakan pola umum di dalam TNI, khususnya Angkatan Darat? Apa konsekuensi promosi seperti ini terhadap administrasi pemerintahan Jokowi?

Tulisan ini mencoba merangkai rekam jejak karir militer Andika Perkasa. Rekam jejak ini akan menjadi contoh kasus hubungan sipil-militer di masa pemerintahan Jokowi.

 

Komandan Paspampres

Terhitung sejak tanggal 23 Oktober, Andika Perkasa dipromosikan menjadi komandan Paspampres. Ia menggantikan Mayjen Doni Munardo (Akmil 1985) yang dipromosikan menjadi Komandan Kopassus. Sebelumnya, Andika Perkasa[2] menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD (Kadispenad).

Pengangkatan Andika Perkasa memang kontroversial dan dianggap berbau nepotisme. Media massa mengaitkan naiknya Andika dengan posisi sang mertua, Jenderal Purn. A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN, yang menjadi penasehat senior presiden yang baru saja dilantik. Kontroversi juga semakin menguat karena orang mengaitkan Andika Perkasa dengan ‘insiden Babinsa’ dalam pemilihan presiden 2014.[3] Kasus Babinsa memakan korban dengan disingkirkannya Kasad Jenderal TNI Budiman oleh presiden Yudhoyono.[4]

Dengan menjadi Komandan Paspampres, Andika menjadi perwira militer yang karirnya paling cemerlang dewasa ini. Dia adalah perwira pertama dikelasnya (Akmil 1987) yang menyandang pangkat Mayor Jenderal. Yang lebih luar biasa lagi, pangkat ini dia rengkuh hanya dalam waktu 11 bulan. Pada 2013, dia masih berpangkat kolonel. Namun pada 8 November 2013, dia diangkat menjadi kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad)[5] dan pangkatnya pun naik menjadi brigadir jenderal. Sebelas bulan kemudian, Andika mendapat promosi menjadi komandan Paspampres dengan pangkat mayor jenderal.

Banyak kalangan mempersoalkan apakah Andika Perkasa pantas mendapatkan kenaikan pangkat yang luar biasa itu? Penyelidikan mendalam atas perjalanan karir Andika memperlihatkan bahwa dia adalah sebuah anomali dalam karirnya sebagai perwira TNI. Karirnya tidak banyak diwarnai oleh operasi-operasi militer, penugasan sebagai staf, dan penugasan teritorial sebagaimana perjalanan karir perwira-perwira tinggi militer Indonesia pada umumnya. Andika melewatkan banyak waktunya untuk studi. Setidaknya, dalam kurun waktu antara 2003-2011, dia diketahui banyak berada di seputaran kota Washington D.C., Amerika Serikat. Sebelumnya pun, dia juga sudah belajar di Norwich University di negara bagian Vermont, Amerika Serikat. Dia menamatkan studi masternya di universitas itu.

 

Karir Militer

Perjalanan karir militer Andika Perkasa tampaknya tidak selazim perwira-perwira tinggi TNI-AD pada umumnya. Dia tergolong miskin pengalaman operasi militer. Namun, dia banyak menghabiskan waktunya bersekolah. Satu-satunya operasi militer yang membuat namanya dikenal publik adalah ketika dia memimpin penangkapan seorang yang dituduh sebagai pimpinan Al Qaeda, Omar Al-Faruq, di Bogor tahun 2002.[6] Penangkapan ini sendiri juga tidak lepas dari kontroversi. Al-Faruq ditangkap atas perintah dari BIN (Badan Intelijen Nasional) dan segera diserahkan kepada pihak Amerika Serikat. Yang kebetulan menjadi Kepala BIN saat itu adalah Hendropriyono, mertua Andika.

Biografi ringkas Andika Perkasa bisa diurutkan sebagai berikut. Lulus dari Akmil tahun 1987, Andika Perkasa langsung bergabung dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dia memulai karirnya sebagai komandan peleton. Pada tahun yang sama, ia dipromosikan menjadi Komandan Unit 3 Grup 2. Karirnya di Kopassus antara lain dilewati dengan menjadi Dansub Tim 2 Detasemen 81 Kopassus (1991), Den 81 Kopassus (1995), Danden-621 Yon 52 Grup 2 Kopassus (1997), Pama Kopassus (1998), dan Pamen Kopassus (1998). Antara tahun 1999/2000, Andika memasuki Sekolah Staf dan Komando (Seskoad) di Bandung. Dia menamatkan pendidikannya sebagai lulusan terbaik.

Pada tahun 2000, Andika dimutasi menjadi Kepala Seksi Kajian Strategis Hankam di Departemen Pertahanan. Dia bertugas di Departemen Pertahanan selama setahun. Pada 2002, dia diangkat menjadi Danyon 32 Grup 3/Sandha Kopassus, yang hanya dijalani sebentar saja. Tahun yang sama dia dimutasi menjadi Kepala Seksi Korem 051/WKT Dam Jaya. Ini juga dijalani sebentar karena kemudian dia dimutasi menjadi Pabandya A-33 Direktorat A Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Direktorat A ini adalah bagian dari BAIS yang menangani masalah-masalah dalam negeri.

Pada tahun 2005, Andika sempat dipromosikan menjadi Pamen BAIS. Dia menyandang pangkat letnan kolonel. Pada 2008, Andika diangkat menjadi Pabandya 4 Fasdik Komando Pendidikan dan Latihan (Kodiklat). Tahun 2011 ia diangkat menjadi Komandan Rindam Jaya. Dengan demikian, pangkatnya naik menjadi kolonel. Dari sini, Andika mendapat promosi sebagai komandan Korem 023/Kawal Samudera di Sibolga. Daerah di pesisir selatan pulau Sumatra ini adalah daerah yang relatif tenang dan tidak banyak memiliki gejolak sosial atau politik yang berarti.[7] Jabatan ini hanya diembannya selama enam bulan lebih sedikit (27 Juli 2012-15 Pebruari 2013).[8] Pada November 2013, Andika Perkasa diangkat menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI-AD. Jabatan ini hanya diembannya selama sebelas bulan dan pada pada bulan Oktober 2014, dia diangkat menjadi komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Jika dibandingkan dengan jalur karir militer para perwira TNI-AD pada umumnya, karir Andika Perkasa tampak sebagai sebuah anomali. Umumnya, untuk memasuki jajaran elit TNI-AD, seorang perwira harus memiliki aneka warna pengalaman, seperti melakukan operasi militer tempur (termasuk menjadi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB), memimpin pasukan, pengalaman menjadi perwira staff, memimpin wilayah komando territorial, belajar, mengajar, dan lain sebagainya.

Andika Perkasa tidak terlalu banyak memiliki pengalaman ini. Dia termasuk miskin dalam operasi tempur. Siaran pers tentang biografi Andika mengatakan bahwa ia pernah ‘melaksanakan operasi di Timor Timur pada 1990, operasi teritorial di Timor Timur (1992) dan operasi bakti TNI di Aceh (1994). Dia juga pernah bertugas dalam misi operasi khusus di Papua.’[9] Dia hanya sebentar menjadi komandan batalyon. Baik pengalaman melakukan operasi militer maupun memimpin pasukan ini hanya dialami pada awal-awal karir militernya.

Demikian pula dengan memimpin komando territorial. Dia tidak pernah menjadi komandan Kodim dan hanya enam bulan menjadi komandan Korem. Dia memang pernah menjadi perwira di Kodiklat, tetapi tidak pernah terdengar dia mengajar di Seskoad, sekolah yang dianggap sebagai pencipta elite TNI-Angkatan Darat.

 

Menjadi Mahasiswa

Sekalipun tidak banyak bergelut dengan pasukan, operasi dan teritorial, Andika membangun karirnya di Badan Intelijen Strategis (BAIS). Dia cukup lama bertugas di lembaga telik sandi itu. Namun, lagi-lagi ada anomali di sini. Periode bertugas di BAIS yang cukup lama itu lebih banyak dihabiskannya di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat, dengan menjadi mahasiswa. Paling tidak, ada tiga perguruan tinggi yang pernah menjadi tempat belajar Andika di Amerika Serikat.

Perguruan tinggi pertama yang dimasuki oleh Andika adalah Norwich University. Ini adalah universitas militer swasta yang berlokasi di kota Northfield, negara bagian Vermont, Amerika Serikat. Norwich University adalah universitas militer tertua di Amerika. Di sana Andika menyelesaikan studi tingkat masternya. Pada tahun 1999, dia menulis tesis yang berjudul ‘Iraq’s next major violation of Resolution 687 & the most likely response of the United States’ (Pelanggaran besar oleh Irak terhadap resolusi [PBB] no. 687 & kemungkinan tindakan Amerika Serikat). Andika masih berpangkat kapten ketika menulis tesis tersebut.

Tahun 2003, Andika Perkasa kembali melanjutkan studi. Kali ini dia belajar di National War College (NWC) yang merupakan bagian dari National Defense University. Universitas ini berlokasi di Fort Lesley J. McNair, Washington, D.C. satu dari tiga pos militer paling tua di Amerika Serikat yang masih aktif. Dalam daftar alumni, dia tercatat sebagai bagian dari Class 2004.[10]

Setelah setahun di National War College, Andika kembali bertugas di BAIS. Namun tidak berapa lama kemudian, Andika kembali melanjutkan studinya. Pada tahun 2005 dia belajar di George Washington University (juga di di Washington D.C.), tepatnya di The Trachtenberg School of Public Policy and Public Administration.[11] Media massa di Indonesia seringkali menuliskan bahwa Andika mendapatkan gelar PhD dari George Washington University. Akan tetapi, dari penelusuran yang saya lakukan, saya tidak menemukan bukti konklusif bahwa Andika Perkasa pernah menamatkan studi untuk menyandang gelar PhD.

Penelusuran di University of Microfilm International (ProQuest) juga tidak menemukan satu pun disertasi atas nama Andika Perkasa. Saya menghubungi perpustakaan di George Washington University untuk mencari disertasi atas nama pengarang yang sama. Hasilnya pun nihil. Akhirnya saya menghubungi langsung pihak George Washington University. Kurtis Hiatt, Associate Director of Media Relations universitas ini hanya mengkonfirmasi bahwa Andika Perkasa mendapat gelar Master of Philosophy dalam bidang Public Policy & Administration pada tahun 2011, tepat di tahun yang sama saat Andika mendapat posisi sebagai Komandan Rindam Kodam Jaya. Setahun kemudian, Andika diangkat menjadi komandan Korem 023/Kawal Samudera di Sibolga.

Media massa Indonesia juga kerap menyebutkan bahwa Andika pernah belajar di Universitas Harvard. Entri Wikipedia secara lebih spesifik menyebutkan dia adalah lulusan John F. Kennedy School of Goverment, Harvard University.[12] Saya menghubungi bagian urusan alumni JFK School of Government. Mereka tidak bisa mengonfirmasi bahwa Andika pernah belajar untuk mendapatkan gelar (degree) di Harvard. Bagian student registrar universitas Harvard yang saya hubungi untuk kepentingan tulisan ini menyarankan agar saya melakukan pengecekan di National Student Clearinghouse, sebuah website yang memberikan verifikasi pemberian kelulusan terhadap seseorang di universitas-universitas Amerika. Dalam email yang saya terima, tidak ada catatan (record) bahwa Andika Perkasa pernah mendapatkan gelar akademis di Universitas Harvard, termasuk di The John F. Kennedy School of Government.

 

 

Andika1Ilustrasi oleh Alit Ambara

 

Anti-teror dan Intel

Pada 18 November 2005, harian terkemuka The Washington Post mengeluarkan laporan investigasi tentang jaringan-jaringan asing yang dibina oleh CIA dalam perang melawan teror. Artikel yang memenangkan Pulitzer Prize, hadiah paling bergengsi di bidang jurnalisme itu, juga membahas jaringan kerjasama antara CIA dengan BIN (Badan Intelijen Negara). Sebagian dari artikel itu menyebutkan bagaimana kerjasama dibangun dengan dinas intelijen Indonesia, BIN, yang saat itu dipimpin oleh Hendropriyono.

Sekalipun tidak disukai Amerika karena pelanggaran keterlibatannya dalam pembantaian Talangsari 1989 yang memakan korban lebih dari 100 orang itu, Hendropriyono merupakan ‘angin segar’ untuk Amerika. Kepala BIN sebelumnya dipandang sebagai sebagai anti Amerika karena memata-matai pejabat-pejabat Amerika dan Australia yang bertugas di Indonesia.[13] Seorang pejabat CIA yang diwawancarai dalam artikel itu mengatakan bahwa Hendropriyono ‘sangat terarah, sangat kontroversial, tetapi juga sangat dinamis. Tidak seperti pendahulunya, dia mau bekerja dengan orang-orang Amerika, dengan harga tertentu.’[14]

Menurut artikel ini, George Tenet, Direktur CIA waktu itu berusaha keras menjalin kerjasama dengan Hendropriyono. Disamping mengunjungi kantornya dan berbincang lewat telpon, Tenet juga berusaha memenuhi dua permintaan pribadi Hendro, yakni menyediakan modal awal (seed money) untuk sekolah intelijen yang hendak didirikan Hendro di Batam dan membantu memasukkan seorang kerabat Hendro di universitas terkemuka Amerika. Ketika kemudian ada masalah pada nilai (akademis)-nya, Tenet kemudian mengatur agar dia bisa masuk National War College at Fort McNair, Washington D.C.

Agaknya yang dimaksud oleh artikel ini adalah Andika Perkasa, karena hanya dialah yang merupakan kerabat Hendropriyono yang pada belajar di National War College.[15] Selain itu, Andika juga terlibat dalam perang terhadap teror. Dialah yang menangkap Umar Al-Faruq, gembong Al-Qaeda yang kemudian diserahkan kepada CIA. Tidak diketahui bagaimana Andika bisa mendapatkan tugas untuk menangkap Al-Faruq mengingat dia bertugas di Kopassus ketika itu dan BIN tidak memiliki wewenang komando atas Kopassus.

Sebagaimana yang kita ketahui, Andika belajar di National War College (National Defense University). Dia tamat tahun 2004. Kita tidak tahu siapa yang membiayai studinya di National War College. Namun setelah tamat dari NDU, Andika kembali belajar dari George Washington University. Untuk belajar di universitas ini, Andika mendapat beasiswa dari American-Indonesian Cultural & Educational Foundation (AICEF). Namanya ada dalam dafter penerima beasiswa AICEF 1999-2006.[16]

Yang menarik, sekalipun menerima beasiswa, Andika ternyata bukanlah mahasiswa biasa. Ketika melakukan penelusuran untuk artikel ini, saya menemukan bahwa Andika memiliki beberapa properti yang tersebar di kota Bethesda dan kota Potomac, Montgomery County, negara bagian Maryland, Amerika Serikat. Kota-kota ini termasuk kota yang paling makmur di Amerika. Hingga tulisan ini dibuat, menurut public record negara bagian Maryland, Andika memiliki tiga properti yang tersebar di dua kota. Negara bagian Maryland memiliki informasi taksiran pajak atas semua properti yang ada di negara bagian ini dan informasi itu bisa bebas diakses oleh publik. Menurut public record yang ada, ketiga properti yang dimiliki oleh Andika dan istrinya itu bernilai antara $1 juta hingga $2 juta. Public record yang sama juga mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan kepemilikan atas ketiga properti itu hingga saat ini.[17]

 

Pembunuhan Theys

Dalam birografi yang diedarkan kepada pers menjelang pelantikannya sebagai Dan Paspampres, Andika Perkasa disebutkan pernah ‘bertugas dalam misi operasi khusus di Papua.’ Kita tidak tahu apa persisnya yang dilakukan oleh Andika di Papua. Kita juga tidak tahu kapan misi operasi khusus itu dia jalani.

Namun, Andika diduga terlibat dengan satu pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua, yaitu dalam pembunuhan pemimpin kharismatik Papua, Theys Hiyo Eluai.[18] Pembunuhan itu terjadi pada 10 November 2001. Theys adalah ketua Presidum Dewan Papua (PDP), sebuah lembaga yang dibentuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk mempersiapkan otonomi khusus bagi Papua. Lembaga ini tidak disenangi oleh militer, terutama karena langkah-langkah Theys yang hendak memproklamasikan kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2001. Namun pada saat bersamaan, militer juga menghadapi beragam persoalan keamanan yang datang sekaligus, yakni meledaknya kekerasan komunal di berbagai daerah dan menguatnya pemberontakan separatis Gerakan Aceh Merdeka.

Theys dibunuh setelah menghadiri undangan peringatan Hari Pahlawan di markas Kopassus. Penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian memperlihatkan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Kopassus. Pada akhirnya, ada empat perwira dan tiga prajurit Kopassus yang diadili karena kasus pembunuhan ini. Keempat perwira itu adalah Letkol. Inf. Hartomo[19] (Akmil 1986), Mayor Inf. Donny Hutabarat[20] (Akmil 1990); Kapten Inf. Rionardo[21] (Akmil 1994) dan Lettu Agus Supriyanto.

Keterlibatan Andika Perkasa dalam pembunuhan Theys tidak pernah diselidiki tuntas. Dia diketahui diduga terlibat dari sebuah surat yang dikirim oleh ayah seorang terdakwa, Kapten Inf. Rionardo. Agus Zihof, sang ayah yang juga seorang purnawirawan itu, pernah mengirim surat kepada Kasad Jendral Ryamizard Ryacudu. Dia mengeluhkan bahwa anaknya dipaksa mengaku membunuh Theys oleh seorang yang bernama Mayor Andika Perkasa. Dalam suratnya itu, Agus Zihof mengungkapkan bahwa Andika berjanji akan memberikan kedudukan yang baik di BIN karena mertuanya adalah orang yang berpengaruh di sana.[22] Tim penyelidik khusus yang dibentuk untuk menginivestigasi kasus Theys menolak untuk memeriksa Andika.

Sekalipun dikecam oleh dunia internasional dan aktvis HAM, pembunuhan Theys Eluay justru mendapat pujian dari kalangan militer Indonesia. Kasad Jendral Ryamizard ketika itu terang-terangan mengatakan bahwa anggota Kopassus yang membunuh Theys adalah pahlawan. Kini, Ryamizard adalah Menteri Pertahanan dalam pemerintahan presiden Jokowi. Ia, bersama Hendropriyono, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kebijakan keamanan Indonesia saat ini.

 

Konsekuensi Untuk Pemerintahan Jokowi

Pengangkatan Andika Perkasa menjadi Komandan Paspampres dan lompatan karirnya yang meteorik itu sesungguhnya tidak terlalu sehat untuk formasi karir prajurit profesional di dalam TNI. Dalam hal ini, tulisan ini ingin mengritisi Presiden Jokowi yang mengangkat Andika Perkasa ke jabatan yang demikian tinggi tanpa melakukan pemeriksaan (vetting) yang cukup atas rekam jejak yang bersangkutan dan tidak memperhatikan lingkungan perwira-perwira tinggi di dalam TNI-AD. Kesalahan yang setimpal juga harus ditanggung oleh Panglima TNI yang tidak memberikan masukan alternatif kepada Jokowi yang saat itu masih berstatus presiden terpilih.

Pengangkatan dan promosi seperti ini hanya menguatkan dugaan bahwa patronase dan nepotisme sangat kuat berakar dalam tubuh organisasi militer Indonesia. Masalah ini umum ditemukan dalam birokrasi dan politik Indonesia. Akan tetapi, banyak orang tidak menyadari bahwa di dalam militer pun masalah ini ada dan berkembang. Umumnya orang enggan untuk membicarakannya sekalipun tahu bahwa masalah itu ada.

Patronase biasanya terjalin antara perwira yang lebih senior dengan anak buahnya. Patronase membuahkan loyalitas dan darma-bakti dari anak buah kepada atasan. Sementara itu, atasan menawarkan perlindungan dan keamanan karir bagi bawahannya. Kadang patronase berubah menjadi klik. Seperti pada masa akhir pemerintahan Suharto, militer terbelah antara klik ABRI Merah Putih dan klik ABRI Hijau.

Nepotisme adalah hubungan kekeluargaan yang dimiliki oleh seorang perwira militer dengan elite politik di negeri ini. Hubungan kekeluargaan itu pada akhirnya menentukan laju karir seorang perwira. Misalnya, anak seorang pemimpin politik tentu mendapatkan karir yang lebih baik—dan juga penugasan ke tempat yang ‘aman-aman saja’—ketimbang perwira yang tidak memiliki akses kekeluargaan ke kalangan elite politik. Ada cukup banyak perwira yang menjadi elite militer Indonesia yang juga berasal dari keluarga elite – entah karena perkawinan atau karena hubungan keluarga langsung.

Patronase dan nepotisme tentu berakibat tidak baik untuk organisasi TNI. Banyak perwira yang bekerja keras dan berdedikasi, namun kemudian tidak bisa mencapai jenjang karir yang maksimal hanya karena dia tidak memiliki ‘pelindung’ (patron) atau kerabat yang berpengaruh.

Tidak bisa tidak, pemerintahan presiden Jokowi harus kembali pada paradigma klasik hubungan sipil-militer, yakni dengan memberikan otonomi kepada militer, khususnya dalam hal promosi dan tour of duty. Ini adalah langkah terbaik mengingat presiden sipil seperti Jokowi tidak sepenuhnya paham akan kebudayaan organisasi di dalam militer dan tidak menguasai dinamika internalnya. Namun Presiden Jokowi hendaknya tetap juga memelihara hak ‘veto terbatas’ dalam hal promosi dan tour of duty. Veto ini ditujukan untuk mencegah perwira-perwira yang memiliki rekam jejak yang buruk dalam bidang HAM dan kejahatan-kejahatan lainnya (seperti korupsi) untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis TNI. ***

———–

[1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/10/17/ndke1t-ditanya-prestasi-andika-perkasa-panglima-tni-mengelak-menjawab

[2] Nama lengkapnya yang dikenal sekarang adalah Muhamad Andika Perkasa. Namun, dalam daftar abituren Akmil 1987 yang dikeluarkan website TNI-AD yang tertera adalah nama E. Andika Perkasa. Sumber untuk tulisan ini mengatakan bahwa nama Muhamad dipakai Andika ketika dia berpindah agama. Lihat http://www.tniad.mil.id/wp-content/uploads/2014/08/akmil87.pdf

[3] Kasus Babinsa bermula dari ‘pendataan’ yang dilakukan oleh anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) di wilayah Koramil Gambir, Jakarta Pusat. Pendataan tersebut menjadi politis karena anggota Babinsa itu kabarnya juga menanyakan preferensi pemilih orang yang didatanya. Brigjen Andika Perkasa, Kadispenad saat itu segera mengeluarkan siara pers yang menyatakan bahwa TNI-AD menemukan kesalahan yang dilakukan petugas Babinsa dan Komandan Koramil Gambir. Mereka dijatuhi hukuman administratif. Namun beberapa jam setelah keterangan tertulis Andika, Panglima TNI membantah keterangan pihak Kadispen TNI-AD. Dia mengatakan tidak ada bukti bahwa petugas Babinsa itu melakukan kesalahan. Lihat: http://posmetrobatam.com/2014/06/jenderal-moeldoko-meralat-keterangan-brigjen-andika/ Investigasi Majalah Tempo (edisi 7 Juli 2014) juga melaporkan bahwa insiden pendataan ini ternyata tidak terisolasi di Gambir saja. Beberapa daerah di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Di empat kabupaten di Sulawesi Tenggara, Pasi Intel Kodim mengumpulkan formulir C1 pemilihan presiden. Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayjen Bachtiar mengakui hal itu atas perintahnya.

[4] Kasus Babinsa ini hanya menjadi alasan penyingkiran Kasad Jendral TNI Budiman. Pendapat di media menyebutkan bahwa Budiman diganti karena terpengaruh ajakan perwira militer yang telah pensiun untuk mendukung salah satu kandidat presiden. Kabarnya, perwira-perwira aktif ini digalang oleh Hendropriyono. Pada pertengahan Mei 2014, Budiman kabarnya bertemu dengan Megawati Sukarnoputri. Pertemuan ini dilaporkan kepada Yudhoyono. Tampaknya Yudhoyono marah karena disebut sebagai ‘kapal karam’ itu oleh para perwira yang bersimpati pada salah satu calon presiden, terutama kepada Jokowi .

[5] Dia menggantikan Brigjen Rukhman Ahmad yang dipindah menjadi Kasdam VII/Wirabuana.

[6] Umar Al-Faruq atau Omar al-Farouq dipandang oleh Amerika sebagai wakil Al Qaeda di Asia Tenggara. Dia ditangkap oleh BIN pada 5 Juni 2002. Alasan penangkapannya adalah karena pelanggaran keimigrasian. Sehari setelah dia ditangkap (6 Juni 2002) dia diserahkan kepada pihak Amerika di Bandara Halim Perdana Kusumah. Al-Faruk melarikan diri dari penjara AS di Bagran, Afghanistan pada Juli 11, 2005. Namun pada September 25, 2006 dia terbunuh oleh pasukan Inggris di Basra, Irak.

[7] Pengamat militer Aris Santoso mencatat bahwa ada beberapa kawan sekelas Andika di Akmil 1987 yang mendahuluinya sebagai komandan Korem. Mereka adalah ‘Irwan Zaini sebagai Danrem Palangkaraya, Kustanto Widiatmoko (kini Sekretaris Pribadi Presiden SBY, bekas Danrem Bogor), AM Putranto (Danrem Bogor), Ida Bagus Purwalaksana (Danrem Bali), Herindra (Danrem Banjarmasin) dan Restu Widiyantoro (Danrem Pematang Siantar).’ Aris Santoso juga melihat persamaan diantara perwira-perwira tersebut. Mereka adalah para lulusan S-2 dari Inggris atau Singapura, serta sama-sama pernah bertugas sebagai Pasukan Perdamaian di bawah payung PBB. Lihat, http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/2304866_5514.html

[8] Andika melakukan serah terima jabatan sebagai Danrem 023/KS pada 15 Pebruari 2013 kepada Kol. Kav. Abdul Rahman Made. Dia sudah berpangkat Brigjen ketika menyerahkan jabatan itu. http://analisadaily.com/news/read/kolonel-kav-abdul-rahman-made-danrem-023ks-yang-baru/7002/2014/02/17
Namun, Andika tidak menerima penyerahan tugas sebagai Kadispen TNI-AD hingga bulan November. Kita tidak tahu mengapa Andika harus menunggu 10 bulan untuk (Pebruari-November 2013) untuk menerima jabatan Kadispenad.

[9] http://www.antaranews.com/berita/460066/mayjen-tni-andika-perkasa-jabat-komandan-paspampres

[10] National Defense University menyediakan beberapa program untuk mahasiswa asing. Itu adalah National War College – International Fellows Program; Dwight D. Eisenhower School for National Security and Resource Strategy (dulu dikenal sebagai Industrial College of the Armed Forces, or ICAF) – International Fellows Program; College of International Security Affairs atau CISA – International Counterterrorism Fellows Program; Homeland Defense Program; dan Information Resources Management College (iCollege) – Advanced Management Program.
Beberapa elit militer dan sipil Indonesia yang menjadi lulusan dari sekolah ini. Mereka antara lain adalah Jendral Pur. Luhut Pandjaitan (Industrial College of the Armed Forces atau ICAF Class of 1991); Letjen Pur. Agus Widjojo, (ICAF/National War College Class of 1994); Laksda Pur. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo (NWC Class of 1996), Andi Widjajanto (ICAF Class of 2003); Mayjen TNI Andi Perkasa (NWC Class of 2004); Kol. Sanisandi Sugiharto (College of International Security Affairs atau CISA, Class of 2004); Kol. (ICAF Class of 2005); Letjen Pur. Marciano Norman (NWC Class of 2006); Letjen Subekti (NWC Class of 2007); Wibawanto Nugroho (CISA International Counterterrorism Fellows Program, Class of 2007); Marsma Mohamad Safi’i (NWC Class of 2008); Letkol Minulyo Suprapto (CISA Class of 2009); Brigjen Witjaksono (NWC Class of 2009); Letkol Karmin Suharna (CISA Class of 2010). Dua orang sipil yang pernah belajar di sini berasal dari keluarga militer. Andi Wijayanto adalah anak dari Mayjen Pur. Theo Syafei, tentara yang kemudian menjadi politisi dari PDIP. Andi Wijayanto sekarang menjadi Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Sementara Wibawanto Nugroho adalah anak dari Laksamana Pur. Widodo AS, mantan Menko Polkam. Dia juga Ketua Cabang Partai Gerindra untuk Amerika dan Kanada.

[11] Ada sedikit kesimpangsiuran tentang kapan Andika Perkasa mulai studi di George Washington University. Beberapa sumber mengatakan dia mulai di musim gugur tahun 2005. Namun Hendropriyono, mertuanya, dalam satu wawancara di Jawapos mengatakan dia mulai pada tahun ajaran 2004.

[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Andika_Perkasa

[13] Kepala BIN sebelum Hendropriyono adalah Arie J. Kumaat (1999-2001) dan ZA Maulani (1998-1999). Keduanya adalah Jendral TNI Angkatan Darat.

[14] Artikel The Washington Post ini ditulis oleh jurnalis kawakan Dana Priest. Lihat, The Washington Post, ‘Foreign Network at Front of CIA’s Terror Fight,’ 18 November , 2005; Halaman A01. Artikel ini bisa diakses di website Pulitzer: http://www.pulitzer.org/archives/6957

[15] Hendropriyono tidak pernah mengakui bahwa ada kerjasama antara CIA and BIN. Dia mengatakan bahwa Al-Faruq ditangkap karena membuat kekacauan di Ambon dan Poso. BIN menangkap Al-Faruq dan menyerahkannya ke imigrasi yang pada akhirnya menyerahkannya ke otoritas negara Mesir. Hendro juga menolak keras adanya bantuan dari George Tenet untuk memasukkan kerabatnya ke National War College. Namun dia mengakui bahwa menantunya Letkol Andika Perkasa, sedang menempuh pendidikan PhD di George Washington University dan mengambil jurusan public administration. Menurut Hendro, Andika mulai belajar di tahun ajaran 2004. Lihat, ‘Hendro: Saya Bukan Agen CIA,’ Jawapos, 20 November 2005.

[16] Lihat: http://www.aicef.org/Grantees.pdf AICEF sebenarnya hanya memberikan beasiswa pelengkap untuk mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika. Besarnya tidak boleh lebih dari $3,000 per tahun dan tidak boleh melebihi $12,000 dalam kurun waktu empat tahun. Tidak diketahui darimana Andika memperoleh beasiswa utama untuk belajar di GWU.

[17] Properti pertama dibeli pada 14 Juli 2004 dan berlokasi di Potomac, MD. Properti ini berupa rumah yang berdiri diatas tanah seluas 1.95 acres (0.79 hektar) itu dibeli seharga $1,830,000.00. Taksiran pajak negara bagian Maryland memperkirakan harga properti ini sekarang adalah $ 2,013,300.00. Lihat: http://sdat.resiusa.org/RealProperty/Pages/viewdetails.aspx?County=16&SearchType=STREET&AccountNumber=1001879465
Sedangkan properti kedua berlokasi di kota Bethesda, MD, dan dibeli pada 4 Januari 2006 seharga $2,056,855.00. Properti dengan bentuk Townhouse Condominium ini dilengkapi dengan lima kamar tidur, whirpool, dapur gourmet, whirlpool, dan ruang rekreasi dengan bar dan patio serta garasi untuk tiga mobil. Dalam taksiran pajak nilai rumah ini sekarang turun menjadi $1,657,500.00. Lihat: http://sdat.resiusa.org/RealProperty/Pages/viewdetails.aspx?County=16&SearchType=STREET&AccountNumber=0703447766
Sementara properti ketiga berlokasi di Potomac, MD. Properti ini dibeli pada 4 Juni 2007 dengan harga $1,631,240.00. Properti dengan bentuk condominium ini juga mengalami penurunan nilai. Menurut taksiran pajak negara bagian Maryland, sekarang rumah ini bernilai $1,059,000.00. Lihat: http://sdat.resiusa.org/RealProperty/Pages/viewdetails.aspx?County=16&SearchType=STREET&AccountNumber=0403458601

[18] Riwayat hidup singkat Theys Hiyo Eluay dan sepak terjangnya hingga terpilih sebagai ketua PDP bisa dilihat pada, At Ipenburg, ‘The life and death of Theys Eluay,’ Inside Indonesia. http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/the-life-and-death-of-theys-eluay

[19] Sekalipun dihukum karena kasus Theys, karir militer Hartomo tetap berjalan dengan baik. Jabatan terakhir yang diembannya adalah Komandan Pusat Intelijen Angkatan Darat (Pusintelad).

[20] Karir militer Donny Hutabarat juga rupanya melaju tanpa halangan. Sekalipun pernah mendapat beberapa rintangan. Dia dihukum karena pembunuhan Theys. Pada tahun 2008, dia dicopot dari jabatannya sebagai komandan Batalyon 731/ Kabaresi di Masohi, Maluku Tengah karena tidak mencegah anak buahnya menyerang polisi. http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1202199504/pencopotan-dan-yon Tapi karirnya tetap menanjak. Dia pernah menjabat sebagai komandan Kodim 0201/BS di kota Medan. Kemudian dari sana dia dipromosikan menjadi Waasintel Kodam I/Bukit Barisan.

[21] Rionardo juga menjalani karir militer yang cukup bagus. Dia masuk Seskoad dan lulus pada 2008. Dua tahun kemudian dia menjadi Dan Yonif 600/raider yang berlokasi di Manggar, Balikpapan Timur. Dari sini ia melompat menjadi komandan Kodim (Dandim) 0424/Tanggamus, Lampung. Ini adalah jabatan strategis mengingat saat dia dimutasi Tanggamus baru saja dilanda kerusuhan antar-etnis. Dia menjadi komandan Kodim yang berada di bahwa Korem Garuda Hitam ini (2 tahun 5 bulan). Saat ini Rionardo menjadi Paban II Srenad Reformasi Birokrasi.

[22] Lihat: http://www.thejakartapost.com/news/2002/07/27/delay-expected-theys039-murder-trial.html Menarik untuk diperhatikan bahwa hanya koran The Jakarta Post yang memuat berita tentang Agus Zihof tentang keterlibatan Andika dalam pembunuhan Theys ini.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.