Duduk di beton pembatas jalan arteri Nathan Road yang membelah Mongkok, distrik tersibuk di Hong Kong, Go Go, seorang mahasiswa tingkat tiga sedang asyik membaca sebuah buku. Ia bersama sejumlah pelajar, mahasiswa, dan masyarakat lokal sekitar sejak beberapa hari terakhir menduduki titik terpadat di jalanan ini dalam sebuah aksi protes politik yang telah diliput luas oleh media massa dari berbagai negara. Aksi politik menuntut hak untuk memilih maupun mencalonkan diri sebagai Chief Executive (jabatan eksekutif tertinggi di Hong Kong) berdasarkan prinsip one man one vote tanpa intervensi Beijing meledak sejak akhir September 2014 lalu, yang dibalas dengan represi oleh aparat kepolisian yang dinilai berlebihan oleh para pemrotes, simpatisan, dan opini media pada umumnya.
Represi aparat hanyalah pemicu bagi liputan media dan atensi yang lebih luas dari masyarakat di luar Hong Kong, satu hal yang menurut Go Go sebetulnya tidak dikehendaki oleh kelompok pro-demokrasi. Ini adalah persoalan domestik masyarakat Hong Kong sendiri. Protes yang kemudian dijuluki Umbrella Movement dan bersimbol pita kuning tersebut sudah berlangsung lebih daripada dua minggu pada saat ini dan tidak ada sedikit pun ada kehendak untuk mundur sebelum tuntutan mereka didengarkan Pemerintah. Go Go dan ribuan pemrotes lainnya tidak akan bergeming meski harus berhadapan dengan elemen-elemen aktivis pro-Beijing maupun kelompok triad dan preman yang dicurigai berada di balik bentrok fisik pada 3 Oktober lalu di Mongkok. Setelah bentrok inilah, beberapa bus dua dek yang sempat terperangkap dan menjadi panel tempat menempel poster tuntutan protes bisa ditarik oleh departemen transportasi. Tempat tersebut kini ditempati oleh sebuah ranjang susun dari kayu bertempel aneka poster protes.
Mongkok adalah jantung kehidupan ekonomi di Hong Kong. Bukan hanya deretan perkantoran, plaza, mal, dan kompleks pertokoan saja yang menghidupinya, melainkan juga sejumlah restoran bergaya fusion dan kompleks kakilima penjual suvenir di sepanjang Fa Yuen Street, tak jauh dari Nathan Road yang diblokade pemrotes, yang menjadi magnet bagi turis-turis asing dari berbagai Negara, termasuk daratan China. Dengan mudah Anda bisa mendengar sepintas lalu percakapan dalam bahasa Mandarin (ini yang terbanyak), bahasa Inggris, hingga bahasa Korea, Jepang, dan Prancis.
Tidak banyak gangguan yang berarti bagi ekonomi turisme Mongkok, sejumlah perkantoran dan plaza memang terpaksa tutup atau tetap buka dari pintu masuk di sisi lain blok gedung tersebut. Namun, di luar pemberitaan media yang mencemaskan mengenai risiko keselamatan pendemo dari kemungkinan bentrok dengan aparat kepolisian atau elemen gerakan anti-demokrasi yang memakai simbol pita biru, sesungguhnya kita dapat menikmati suasana parlemen jalanan yang damai dan unik. Demonstrasi di Hong Kong dikenal karena kesopanan dan ketertibannya. Di antara tenda-tenda, kasur, dan rak buku pelajar demonstran dapat dijumpai titik-titik pengumpulan sampah yang dipisahkan menurut jenisnya. Pelajar bergiliran memunguti sampah yang ditinggalkan mereka sendiri maupun pengunjung lainnya. Di Admiralty, distrik lain yang berada di Pulau Hong Kong, seorang pelajar dengan megafon mengingatkan pengunjung dalam bahasa Inggris dan Kanton supaya tidak menumpuk sampah secara berjejalan. Botol plastik bekas kemasan air mineral diubah oleh para pelajar menjadi kerajinan tangan nan cantik.
Pendudukan arteri utama di berbagai distrik di Mongkok, Tsim Sha Tsui, Central, Admiralty hingga Causeway Bay oleh elemen mahasiswa dan pelajar pro-demokrasi telah menciptakan pusat turisme tersendiri. Sepanjang siang hingga sore hari, orang-orang yang tertarik dengan peristiwa tersebut lalu-lalang, masing-masing dengan perangkat perekamnya sendiri, mengabadikan momen sejarah yang kelak akan mereka kenang. Saya adalah salah satunya. Berpasangan, berkelompok, sendirian atau dengan membawa anak-anak, kami semua mencerap langsung sebuah momen historis bagi masyarakat Hong Kong.
Salah satu jalur tangga pedestrian di Admiralty mendapat keistimewaan menjadi dinding untuk menempelkan kertas-kertas post it warna-warni dari para pengunjung dan simpatisan yang menuliskan pesan dan dukungan mereka bagi gerakan ini. Demonstran memberikan nama Lenon Wall Hong Kong bagi tangga tersebut. Orangtua-orangtua membawa anak-anaknya masing-masing dan membimbing mereka menuliskan pesan dan menempelkannya di Lenon Wall. Yang lain tampak bangga menjadi pemandu edukasi politik bagi putranya yang baru berusia tiga tahun.
Demonstrasi yang telah berjalan lebih daripada dua minggu dan kemungkinan ekskalasi konflik dengan elemen anti-demokrasi yang pada hari Minggu, 12 Oktober, mulai mengumpulkan massa secara terbuka, serta melebarnya masalah akibat lumpuhnya jalur transportasi yang terblokade, membuat ujung gerakan ini sulit diperkirakan. Ekskalasi konflik dengan aspirasi yang berseberangan akan meningkatkan risiko bentrok fisik yang memberi dalih bagi tindakan represi aparat kepolisian. Barikade yang dibangun pendemo di sejumlah titik jalan bahkan telah dibongkar paksa Kepolisian pada Senin, 13 Oktober.
Resistensi kelompok pro-demokrasi pun diperkeras dengan memperkuat barikade-barikade menggunakan bilah-bilah bambu perancah. Pada saat yang sama, konflik yang lebih tajam di level akar rumput berpotensi pecah, seiring munculnya frustrasi dan melemahnya dukungan setelah protes yang berkepanjangan. Pun, perjuangan dan keteguhan generasi muda Hong Kong meraih universal suffrage bisa menemui titik baliknya bila tuntutan mereka tidak mendapat respons positif baik dari Pemerintah Hong Kong maupun Beijing. Walaupun demikian, entah cerita apa yang bisa dinarasikan beberapa dekade berikutnya, setidaknya mereka telah menunjukkan kehendak dan aspirasi politik secara meyakinkan dan inspiratif kepada publik, bahwa masyarakat Hong Kong sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menentukan pemimpin eksekutifnya sendiri.
Mongkok
Admiralty