PAGI hari 31 Oktober 2014, tersiar berita yang sangat mengejutkan sekaligus menyedihkan. John Octavianus Silaban meniggal dunia akibat serangan jantung pada malam sebelumnya. John adalah kawan aktivis buruh, sekaligus sekjen Federasi Perjuangan Buruh Indonesia. Ia juga aktivis mahasiswa asal Universitas Gunadarma yang sangat aktif terlibat dalam gerakan reformasi menggulingkan Soeharto tahun 1998. Nyaris tak percaya, karena tak ada kabar John sakit sebelumnya dan usianya pun baru 37 tahun. Nyatanya kabar itu benar. Beruntung dewasa ini ada media sosial yang kadang kala bisa berguna sebagai pengabar terdepan buat berita yang tidak dianggap penting oleh media massa arus utama (mainstream). Konfirmasi segera didapatkan dari ucapan belasungkawa kawan dan kerabat yang bersangkutan melalui sosial media. John tidak meninggalkan tulisan yang renyah untuk kita kenang, tapi lewat sosial media kita mengetahui bahwa almarhum dikenang kawan-kawan seorganisasinya karena kutipan orasinya yang berbunyi ‘suka tidak suka, mau tidak mau kapitalisme harus dihancurkan.’
Beberapa hari berselang, aktivis buruh lainnya, Indah Arifah, juga berpulang ke haribaan-Nya. Menambah daftar aktivis buruh yang telah meniggalkan kita beberapa tahun terakhir, lagi-lagi dalam usia cukup muda. Beno Widodo, aktivis penting bagi serikat KASBI juga meninggal karena serangan jantung. Bina Wuryawan, salah seorang pemimpin serikat FSBKU-KSN di Tangerang, meninggal karena kekurangan albumin dalam darah. Tragisnya, mereka semua tak punya perlindungan sosial untuk menghadapi persoalan kesehatan mereka. Di negara Neoliberal yang kita tinggali bersama ini, para pejuang rakyat pekerja ada di garis depan mereka yang menanggung resiko kesehatan akut. Walau pun mereka berjuang untuk kepentingan kolektif orang banyak, tapi justru mereka yang paling kesulitan mendapatkan dukungan kolektif untuk mempertahankan hidup mereka.
Rasanya hampir tidak mungkin mendapatkan berita suka ataupun duka tentang para aktivis rakyat pekerja di media massa. Berita di media seperti punya arti mutlak hanya menyangkut para elite dan selebriti dengan segala kekonyolannya, atau cerita sensasi yang digadang-gadang dengan motif profit membayangi di belakangnya. Kita hanya dapat berharap kabar suka duka para aktivis rakyat pekerja masih dicatat di media-media alternatif. Para aktivis rakyat pekerja di mata media massa tampaknya setara dengan deskripsi di artikel Oase-nya yang dimuat (ironisnya) di media IndoPROGRESS ini, yaitu para ‘intelektual heroik—barangkali juga nekat’, pelaku aktif ‘keributan sia-sia di jalanan dan propaganda tanpa program.’ Ganjaran buat kenekatan para aktivis tersebut adalah diabaikan dari pengetahuan dan ingatan rakyat, bahkan dari komunitas gerakannya sendiri secara luas.
Persoalan gerakan dan kebutuhan menjaga hidup bersama yang sehat, bukan semata-mata menyangkut soal kesehatan fisik, tapi lebih mendasar lagi belum berhasilnya membangun budaya hidup bersama yang sehat. Bila menelisik pada riwayat kebanyakan aktivis gerakan rakyat yang telah meninggal dunia, umumnya ada kesamaan tragedy, yaitu pada akhirnya mereka harus menghadapi persoalan kesehatan mereka nyaris sendirian. Bisa dimaklumi karena biaya kesehatan di negeri kita memang sangat memberatkan buat rakyat kebanyakan – termasuk para aktivis rakyat. Iwan Fals terkenal dengan lirik lagunya, “kalau diantara kita jatuh sakit, lebih baik tak usah ke dokter, karena ongkos dokter terkait di awan tinggi” (Kembang Pete, 1985).
Gambaran dalam lagu tersebut rasanya masih tetap relevan menghantui kita, bahkan 30 tahun setelah lagu tersebut diciptakan. Percayalah solusi ‘rezim Jokowi’, seperti Kartu Indonesia Sehat hanya akan berhenti jadi solusi teknokratik semata, bila tidak ada gerakan sosial yang kuat, sehat, dan terorganisir. Akan jadi ironi karena tujuan kita mencari tatanan sosial alternatif, bukan cuma teknokrasi alternatif.
Menghadapi kesulitan struktural yang berkelanjutan untuk memastikan reproduksi sosial yang layak dan bermartabat, ternyata masih belum bisa dihadapi gerakan sosial kita dengan perkembangan keterorganisiran yang semakin baik dari waktu ke waktu. Kaum progresif masih sedikit yang berorganisasi dan memajukan kehidupan terorganisir. Budaya anti organisasi yang tumbuh subur sejak 1965, justru terus dipeluk erat-erat oleh kalangan progresif. Sepertinya, berorganisasi politik progresif itu adalah tindakan heroik dan nekat. Kritik dan perdebatan ilmiah tidak tumbuh sehat bahkan lebih menjurus pada sinisme dan sarkasme yang menebalkan atomisasi dan keterpecah-pecahan di antara mereka yang sebetulnya punya posisi politik relatif sama berhadapan dengan kapitalisme dan oligarki. Perbedaan posisi dan pendapat dalam berhadapan dengan realitas politik selama ini, belum membukakan jalan bagi pengetahuan melawan musuh-musuh struktural bersama. Jalan yang masih akan terus terjal bila tidak ada tradisi berorganisasi yang sehat di kalangan rakyat dan aktivis.
Daftar para aktivis rakyat yang telah meninggalkan kita karena problem kesehatan, bisa jadi sudah berupa daftar panjang dalam buku yang tebal dan nyaris terlupakan. Kita bisa terus membuka-buka lembar ingatan kita dan pasti menemukan lebih banyak nama kawan-kawan yang terlibat berjuang dan telah meninggal dunia. Perjuangan kelas tertindas untuk mendorong transformasi sosial yang lebih sosial, bukan semata-mata soal keluaran berupa kebijakan dan program, tapi juga soal ingatan dan kesadaran kolektif. Berhadapan dengan sejarah dan informasi yang nyaris sepenuhnya dikuasai oleh kelas berkuasa dan aparatusnya, maka tugas seluruh elemen rakyat tertindas untuk membangun ingatan dan sejarah tandingan. Sayangnya, tugas menjaga kesehatan ingatan perjuangan kolektif itu masih sangat terbatas dan tak berkelanjutan.
Tampaknya, tugas nyata kaum progresif di rezim baru paska SBY ini adalah memperluas gerakan menolak lupa. Tugas yang bersisian dengan kebutuhan menjaga pola hidup sehat para aktivisnya dan gerakan sosial yang kuat secara kolektif. Tugas yang wajib kita tunaikan demi menghormati sumbangan tulus perjuangan kawan John, kawan Beno, kawan Bina, kawan Iin, dan kawan-kawan lainnya yang telah mendahului kita.***