PADA 18 November 2014, pemerintahan Jokowi-JK menaikkan harga BBM. Harga premium naik dari Rp6.500 menjadi Rp8.500, sementara harga solar naik dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Seperti biasa, pemerintah memberikan kompensasi dalam bentuk paket Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
Apa alasan pemerintahan Jokowi-JK menaikkan harga BBM? Karena konsumsi BBM dianggap sektor konsumtif, sehingga ketika anggaran terjepit, uang subsidinya lebih baik dialihkan ke sektor produktif. “Pemerintah memutuskan untuk melakukan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor-sektor produktif,” ungkap Jokowi dalam pidatonya saat menetapkan kenaikan harga BBM.[1]
Implisit dalam alasan pemerintah Jokowi-JK, terdapat asumsi yang dulu juga digunakan berkali-kali pada masa SBY, bahwa kebanyakan penikmat subsidi BBM adalah kelas menengah atas pemilik mobil pribadi, bukan rakyat miskin. Konsumsi BBM dengan mobil pribadi lebih ditujukan untuk prestis sosial daripada untuk kegiatan ekonomi. Karenanya, konsumsi BBM merupakan sektor konsumtif, bukan produktif.
Tapi, betulkah konsumsi BBM kita merupakan sektor konsumtif, bukan produktif, dalam arti tidak berkontribusi pada pembangunan ekonomi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui siapa mayoritas pengguna BBM. Mari kita mulai dari data konsumsi BBM berdasarkan jenisnya.
Berdasarkan data di atas, kita bisa lihat bahwa jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi adalah minyak solar, sementara urutan kedua ditempati oleh mogas (motor gasoline) atau bensin. Dari jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi ini, kita bisa memperkirakan bahwa dua sektor yang paling banyak menggunakan BBM adalah industri dan transportasi darat.
Karena sekarang industri sudah tidak lagi menggunakan BBM bersubsidi, itu berarti BBM bersubsidi paling banyak digunakan di sektor transportasi darat. Pertanyaan selanjutnya, jenis kendaraan apa yang paling banyak menggunakan BBM? Mari kita lihat data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya.
Dari data di atas, kita bisa lihat bahwa jenis kendaraan bermotor yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah sepeda motor, bukan mobil pribadi. Pada tahun 2012, ada sekitar 76,3 juta sepeda motor di Indonesia, sementara mobil penumpang hanya berjumlah sekitar 10,4 juta. Artinya, mayoritas pengguna BBM bersubsidi adalah para pengguna sepeda motor.
Lalu, digunakan untuk apa sepeda motor ini oleh para penggunanya? Kebanyakan adalah untuk kegiatan-kegiatan pencarian nafkah dan pemeliharaan keluarga, seperti bekerja, mengantar anak sekolah, belanja kebutuhan pokok, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, karena kegiatan-kegiatan inilah yang memungkinkan tenaga-kerja untuk berproduksi dan mereproduksi dirinya.
Tanpa adanya konsumsi BBM oleh pekerja untuk pergi ke tempat kerja, kegiatan produktif di tempat kerja menjadi tidak dimungkinkan. Tanpa adanya konsumsi BBM untuk mengantar anak sekolah, proses pembentukan tenaga-kerja di masa depan bisa terganggu. Tanpa adanya konsumsi BBM untuk pergi belanja ke pasar, pemulihan tenaga-kerja setelah energi keluar saat bekerja bisa terganggu.
Dalam ilmu ekonomi-politik, kegiatan-kegiatan di atas disebut “reproduksi tenaga-kerja.” Re-produksi berarti “memproduksi kembali.” Tenaga-kerja memang perlu terus diproduksi kembali agar kegiatan ekonomi terus berjalan. Setelah energi keluar saat bekerja, tenaga-kerja perlu dipulihkan kembali. Begitu pula, ketika si pekerja meninggal dunia, dia harus digantikan oleh tenaga-kerja baru yang dibentuk melalui proses perawatan anak, termasuk bersekolah.
Jadi, konsumsi BBM bukanlah sektor konsumtif yang tidak berkontribusi pada pembangunan ekonomi, seperti konsumsi “barang mewah.” Konsumsi BBM adalah sektor reproduktif. Dan sektor ini berkontribusi pada pembangunan ekonomi, karena merupakan syarat dari adanya kegiatan produktif. Kegiatan produktif mustahil berjalan tanpa kegiatan reproduktif.
Tetapi, bagaimana dengan pengguna mobil pribadi? Meskipun sebagian mobil digunakan untuk kegiatan reproduktif, bukankah jika mereka beralih ke sepeda motor, maka konsumsi BBM-nya bisa lebih hemat? Betul, meski jumlah mobil jauh lebih sedikit daripada jumlah sepeda motor, bisa jadi jumlah BBM yang dikonsumsi oleh mobil lebih besar daripada sepeda motor.
Tetapi, mengalihkan penggunaan mobil pribadi ke alat transportasi darat yang lebih hemat BBM tidak bisa dilakukan dengan menaikkan harga BBM. Selama 2005-2013, pemerintah sudah beberapa kali menaikkan harga BBM dari Rp2.400 menjadi Rp6.500, namun jumlah mobil pribadi tetap meningkat. Pada 2005-2012, jumlah mobil penumpang meningkat dari sekitar 5 juta menjadi 10,4 juta.
Para ekonom neoliberal meyakini dogma bahwa mekanisme harga (pasar) akan mendistribusikan sumberdaya secara rasional. Tapi di kenyataan, mekanisme pasar mendistribusikan sumberdaya berdasarkan siapa (kelas sosial) yang mampu bayar. Kenaikan harga BBM tidak begitu berpengaruh pada pengguna mobil pribadi yang mampu bayar, tetapi memukul rakyat pekerja. Jika masalahnya ada pada mobil pribadi, kenapa tidak mengeluarkan kebijakan yang secara spesifik menyasar mobil pribadi, seperti melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi?
Lalu, bagaimana dengan transportasi publik? Bukankah jika para pengguna kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor, beralih ke transportasi publik, maka konsumsi BBM akan lebih hemat? Betul, kita bisa memperkirakan, konsumsi BBM oleh 30 orang yang menggunakan 1 bis akan lebih hemat daripada konsumsi BBM oleh 30 orang yang menggunakan 30 motor.
Namun, mengharapkan perubahan pola konsumsi dari kendaraan pribadi ke transportasi publik tanpa adanya layanan transportasi publik yang murah dan berkualitas, adalah absurd. Apalagi jika mengharapkan perubahan pola konsumsi itu akan terjadi dengan kenaikan harga BBM. Dengan naiknya harga BBM, ongkos transportasi publik yang kebanyakan dikelola oleh swasta, malah akan naik. Dan di tengah maraknya kredit sepeda motor, masyarakat akan semakin beralih ke sepeda motor untuk menghindari ongkos transportasi publik yang semakin meningkat.
Argumen serupa juga berlaku untuk mereka yang mengharapkan perubahan pola konsumsi masyarakat dari BBM ke energi alternatif dengan alasan ekologis. Betul bahwa pola konsumsi itu perlu dirubah, tetapi bukan dengan kenaikan harga BBM. Masyarakat hanya bisa mengganti konsumsi BBM dengan energi alternatif jika modus transportasi yang murah, berkualitas dan menggunakan energi alternatif, memang tersedia.
Terakhir, bagaimana dengan pembangunan sektor-sektor yang menjadi sasaran pengalihan subsidi BBM, seperti infrastruktur, kesehatan dan pendidikan? Kita memerlukan pembangunan sektor-sektor itu. Tetapi, membangun sektor-sektor itu dengan mencabut subsidi BBM adalah sama dengan menaruh beban pembiayaan pembangunan sektor-sektor itu di pundak rakyat pekerja. Padahal, bukankah beban itu bisa diletakkan pada kapital, misalnya, dengan penarikan pajak yang tinggi atas kapital dan nasionalisasi aset-aset strategis?***
Penulis aktif di PRP Komite Kota Jakarta Pusat. Beredar di Twitterland dengan akun @mzakih.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Perhimpunan Rakyat Pekerja. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
————
[1] Pidato Jokowi saat menetapkan kenaikan harga BBM bisa dilihat di “Ini Pidato Lengkap Jokowi Saat Umumkan Kenaikan BBM Subsidi di Istana,” detiknews, 17/11/2014, http://news.detik.com/read/2014/11/17/223606/2751010/10/1/ini-pidato-lengkap-jokowi-saat-umumkan-kenaikan-bbm-subsidi-di-istana dan http://news.detik.com/read/2014/11/17/223606/2751010/10/2/ini-pidato-lengkap-jokowi-saat-umumkan-kenaikan-bbm-subsidi-di-istana.