INDONESIA sebagai sebuah wacana yang dipikirkan dan diimpikan sangat belakangan muncul pada saya. Katakanlah, ia muncul ketika saya duduk di bangku kuliah. Yang pertama kali muncul sejak saya kecil tentu saja adalah Indonesia sebagai sesuatu yang terberi. Indonesia yang demikian, di kepala saya, bertahan kira-kira hingga saya tamat SMA.
Saya lahir dan menghabiskan masa kecil dengan Indonesia yang terberi itu di kota kecil Larantuka, Flores Timur, NTT. Ketika membaca One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez, saya membayangkan kota itu seterpencil Macondo. Begitu juga ketika membaca Cantik Itu Luka dari Eka Kurniawan dengan kota imajinernya Halimunda. Alkisah, penduduk kota Halimunda baru mendengar kabar tentang kemerdekaan Indonesia beberapa bulan setelah 17 Agustus 1945. Berita tentang G30S pun baru diketahui jauh setelah peristiwa itu terjadi di Ibu Kota. Demikianlah ilustrasi tentang keterpencilan Halimunda.
Ada sebuah peristiwa di masa kecil saya yang masih terkenang hingga kini. Biasanya, kala itu, di siang hari, ibu-ibu di kampung saya duduk berkerumun menyaksikan telenovela Meksiko, Maria Cinta yang Hilang. Terkadang sambil saling mencari kutu. Pada suatu siang di tahun 1996, pemandangannya berbeda. Saya baru pulang sekolah. Di rumah seorang tetangga, yang berkumpul menonton televisi lebih banyak dari biasanya. Bukan hanya ibu-ibu, bapak-bapak pun turut serta. Ternyata Maria Cinta yang Hilang-nya mereka tak ditayangkan hari itu. Televisi menayangkan peristiwa kematian Ibu Tien Soeharto, sang Ibu Negara.
Seorang bapak tiba-tiba nyeletuk, ‘oh Ibu Tien meninggal? Pantas! Semalam saya mendengar kucing meraung-raung di bawah jendela kamar saya. Saya bertanya-tanya, ada petanda apa ini. Ternyata Ibu Tien meninggal.’ Sontak, semua orang tertawa. Tangisan kucing di malam hari bagi kami bisa punya dua arti; pertama, ada orang berilmu hitam yang hendak mencelakai pemilik rumah atau kedua, kucing itu sudah melihat arwah orang yang akan meninggal.
Keseharian masyarakat Larantuka diwarnai pembauran antara kepercayaan mistik tradisional dengan kepercayaan agama modern, Katolik Roma. Sama halnya, tentu saja, dengan banyak daerah lainnya di Indonesia. Tinggal di kota itu, hiruk pikuk pembicaraan tentang Indonesia jauh dari tersentuh. Apalagi di tengah masyarakat yang penghasilannya dalam sehari hanya cukup untuk hidup hari itu. Ditambah lagi mayoritas dari mereka jarang ‘bervakansi’ jauh dari Larantuka. Keseharian mereka lebih banyak diisi oleh telenovela, sedikit perbincangan sepak bola, selebihnya tetek bengek kehidupan sehari-hari; laut yang surut dan pasang serta musim hujan yang kerap tak menjanjikan apa-apa.
Alhasil, hanya peristiwa-peristiwa besar tertentu saja yang sedikit menarik perhatian. Itu pun seringnya tidak dengan sebuah antusiasme yang berlebihan. Peristiwa kematian Ibu Tien tadi, misalnya, menjadi tak terlalu berbeda jauh dengan tontonan telenovela Meksiko. Jika ada rasa kehilangan seorang ibu negara atau seorang pahlawan, tentu hanya sedikit. Meskipun bendera setengah tiang akan berkibar di rumah-rumah setelah berita itu, seiring instruksi dari aparat kelurahan. Yang menarik, ketika peristiwa besar itu coba ditarik ke keseharian mereka, justru terdengar janggal, lantas menimbulkan gelak tawa. Celetukan dari seorang bapak tentang kucing yang meraung di bawah jendelanya dengan kematian Ibu Tien tadi, misalnya.
Indonesia bagaikan ada namun tiada di dalam keseharian di kota kecil itu. Bayangkan! Bahkan peristiwa reformasi dan peristiwa-peristiwa di sekitarannya menjadi tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan kepala plontos Zinedine Zidane. Sedikit menggelitik ingatan Anda, reformasi 1998 terjadi hampir berdekatan dengan Piala Dunia Sepak Bola di Prancis. Dan Zidane adalah bintang keseblasan Prancis yang ke laur sebagai pemenang kala itu. Saya menduga, wacana tentang Indonesia jarang bisa memberi kebahagiaan di tengah hidup yang menghimpit. Sehingga, justru Zidane-lah yang menjadi buah bibir masyarakat kota kecil nan terpencil itu di tahun 1998 ketimbang peristiwa Trisakti!
Setelah beranjak dewasa dan ke luar dari Larantuka, barulah Indonesia mendapat tempat tertentu dalam kepala saya. Menjadi wacana dan menjadi sebuah proyek, memparafrasekan Benedict Anderson, yang harus terus dipikirkan dan diupayakan. Tentu juga dengan pergaulan yang meluas serta bacaan-bacaan yang memberi referensi. Beruntunglah saya, karena lebih paham dan lebih menjadi ‘Indonesia’. Sedangkan kawan masa kecil saya dulu, yang tidak beranjak ke luar dari Larantuka, tidaklah demikian. Ia pagi hari mengeluarkan sepeda motornya dan ngojek, mencari penumpang. Mendapat Rp 30.000 di siang hari, pulang dan jadilah sebotol arak yang ditenggaknya tandas di pinggir pantai. Apakah ada Indonesia di sebuah bagian tertentu kepalanya? Saya kurang yakin. Barangkali wacana tentang Indonesia perlu didaratkan pada jalanan kota kecil saya tempat ia mencari penumpang untuk sepeda motornya dan perlu ditaburkan di pasir pantai tempat ia menenggak araknya.***