IV.2.3. Skenario Kenaikan
Pemerintah berencana menaikkan harga BBM eceran subsidi, namun sejauh ini belum diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan BBM. Mamun dari berbagai berita yang muncul di media dan pernyatan pejabat terkait, ada dua angka yang sering disebut yaitu Rp 2.000/ltr dan Rp 3.000/ltr.
Mengingat pada simulasi perhitungan diatas menggunakan pendekatan harga eceran dan harga keekonoian sebelum dan setelah pajak, maka pada bagian skenario kenaikan ini juga menggunakan pendeketan tersebut.
IV.2.3.1. Skenario Kenaikan Dengan Harga Eceran Premium Sebelum Pajak
IV.2.3.1.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 6.675/ltr (Rp 2.000 + Rp 4.675), Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 8.192 – Rp 6.675 = Rp 1.517/ltr,- atau sebesar Rp 23.907.920.000.000 (Rp 23,90 triliun),
Demikian akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 31,52 triliun (Rp 55,42 triliun – Rp 23,90 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 24,78 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 56,3 triliun (Rp 31,52 triliun + Rp 24,78 triliun), Yang terdiri dari Rp 24,78 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 31,52 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
IV.2.3.1.2 Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan merubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 7.675/liter (Rp 4,675 + Rp 3.000) Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 8.192 – Rp 7.675 = Rp 517/ltr,- atau sebesar Rp 8.147.920.000.000 (Rp 8,14 triliun),
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 24,78 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 32.92 triliun (Rp 8.14 triliun + Rp 24,78 triliun). Yang terdiri dari Rp 24,78 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 8,14 triliun merupakan dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan BBm solar sebesar Rp 3.000/liter.
IV.2.3.2. Skenario Kenaikan Dengan Harga Eceran Premium Setelah Pajak
IV.2.3.2.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikkan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 7.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 5.500), Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 8.192 – Rp 7.500 = Rp 692/ltr,- atau sebesar Rp 10.905.920.000.000 (Rp 10,90 triliun),
Demikian akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 31,52 triliun (Rp 42,42 triliun – Rp 10,90 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 37,78 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 69,3 triliun (Rp 31,52 triliun + Rp 37,78 triliun), Yang terdiri dari Rp 37,78 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 31,52 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
IV.2.3.2.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan merubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 8.500/liter (Rp 5.500 + Rp 3.000). Demikian, subsidi akan hilang sama sekali dan pertamina akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 308/ltr (Rp 8.192 – Rp 8.500) atau sebesar Rp 4.854.080.000.000 (Rp 4.85 triliun).
IV.3. Minyak Tanah
Demikian rumusan dalam penghitungan subsidi BBM bersubidi sebagaimana diatur dalam Pepres 71/2005 adalah :
Sebelum menghitung besarnya subsidi, perlu diketahui terlebih dahulu besaran harga patokan. Untuk mencari harga patokan digunakan rumus:
Keterangan
- Karena tahun 2014 dan harga MOPS belum diketahui maka simulasi ini menggunakan harga MOPS 2014 yakni USD 99,6/bbl atau Rp 7.517/liter ( USD 99.6 : 159 liter x Rp 12.000).
- Sementara Alpha yaitu 2.49% MOPS + Rp 263/ltr
- Alpha adalah 17% x Rp 7.517 = Rp 187/ltr
= Rp 187 + Rp 263 = Rp 450/ltr
- Demikian Harga Patokan yaitu Rp 7.517 + Rp 450 = Rp 7.967/liter
- Harga eceran – 10% pajak[1] atau 2.500 – 10% = Rp 2.250/ltr
- Pajak = Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%
- Maka biaya subsidi BBM per liter adalah (harga patokan – harga eceran ) atau ( Rp 7.967 – Rp 2.250 = Rp 5.717/ltr
Demikian Total Dana Subsidi Sesungguhnya Yang Ditanggung Dalam APBN adalah
Bila alokasi dana BBM untuk Minyak Tanah tahun 2015 yang dipatokan dalam APBN sebesar Rp 6,1 triliun, sedangkan subsidi sesungguhnya berdasarkan harga ekonomian adalah Rp 4,85 triliun, maka terdapat selisih lebih dana subsidi BBM di dalam APBN 2015 sebesar Rp 1.25 triliun[2] (Rp 6,1 triliun – Rp 4,85 triliun), sementara penerimaan Negara dari pajak (ppn) 10% adalah sebesar Rp 250 atau sekitar Rp 212,500,000,000. Demikian maka penerimaan Negara dari penghematan plus penerimaan pajak yaitu sebesar Rp 1,46 triliun
IV.2.3.1. Harga Keekonomian Sebelum Pajak
Mengapa terdapat selisih subsidi BBM yang begitu besar antara subsidi dalam APBN dengan Formula perhitungan Pepres 71/2005? Kemungkinan selisih subsidi tersebut berasal dari besaran subsidi yang berada dalam APBN yang tidak mencerminkan biaya sesungguhnya. Subsidi Minyak Tanah per liter dalam APBN adalah:
Jika subsidi perliter sebagaimana simulasi perhitungan formulasi Pepres sebesar Rp 5.717/liter, sedangkan subsidi menurut perhitungan APBN sebesar Rp 7.176/ltr, maka terdapat selisih/kelebihan sebesar Rp 1.459/liter ( Rp 7.176 – Rp 5.717).
Demikian, harga keekonomian Minyak Tanah menurut formula pepres (sebelum pajak) adalah Rp 7.967/ltr,- ( Rp 2.250/ltr + Rp 5.717).
Sementara harga keekonomian minyak Tanah (sebelum pajak) menurut APBN adalah Rp 9.426/ltr (Rp 2.250/ltr + Rp 7.176)
IV.2.3.2. Harga Keekonomian Setelah Pajak
Pemerintah mendapat penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar Rp 225 dari tiap liter BBM Minyak Tanah yang dijual kepada masyarakat atau sekitar Rp 191.250.000.000,- (Rp 191,25 milyar). Dan mengingat pajak adalah uang yang dibayarkan warga negara/masyarakat yang kemudian dicatatkan sebagai penerimaan Negara, dengan kata lain, negara mendapatkan pemasukan dari pajak, namun sekaligus mengeluarkan dana yang besarnya sama dengan jumlah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, maka komponen pajak tidak perlu dikeluarkan dalam komponen perhitungan harga eceran.
Dengan demikian harga eceran yang digunakan dalam perhitungan adalah harga eceran setelah pajak (Rp 2.500/ltr), sehingga subsidi rill yang ditanggung negara adalah Rp 5.467/ltr,- yang berasal dari subsidi yang ditanggung negara sebelum pajak Rp 5.717/ltr dikurangi dengan penerimaan negara dari pajak yang dibayar oleh masyarakat dari tiap liter BBM yang dibeli, sebesar Rp 250/ltr,-
Atau dari pengurangan harga patokan dikurang harga eceran setelah, yaitu Rp 7.967 – Rp 2.500 = Rp 5467/ltr,- demikian besar total subsidi Minyak Tanah untuk tahun 2015 adalah Rp 42.425.920.000.000
Bila alokasi dana BBM untuk Minyak Tanah tahun 2015 yang dipatok dalam APBN sebesar Rp 6,1 triliun, sedangkan subsidi sesungguhnya berdasarkan harga ekonomian setelah pajak adalah Rp 4,64 triliun, maka selisih lebih dana subsidi BBM di dalam APBN 2015 adalah Rp 6,1 triliun – Rp 4,64 triliun = Rp 1,46 triliun[3].
Jika subsidi perliter Minyak tanah sebagaimana simulasi perhitungan APBN sebesar Rp 7.176/liter, sedangkan subsidi menurut perhitungan formulasi diatas sebesar Rp 5.467/ltr, maka terdapat selisih/kelebihan sebesar Rp 1.709/liter ( Rp 7.176 – Rp 5.467)
Dengan demikian, harga keekonomian Minyak Tanah menurut formula pepres (setelah pajak) adalah Rp 7.967/ltr,- ( Rp 2.500/ltr + Rp 5.467).
Sementara itu harga keekonomian BBM Solar didalam APBN (setelah pajak) yaitu sebesar Rp 9.676/ltr,- (Rp 2.500 + Rp 7.176)
IV.2.3.3 Skenario Kenaikan
Pemerintah berencana menaikan harga BBM eceran subsidi, namun sejauh ini belum diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan BBM, namun dari berbagai berita yang muncul di media dan pernyatan pejabat terkait, ada dua angka yang sering disebut yaitu Rp 2.000/ltr dan Rp 3.000/ltr.
Mengingat pada simulasi perhitungan diatas menggunakan pendekatan harga eceran dan harga keekonoian sebelum dan setelah pajak, maka pada bagian skenario kenaikan ini juga menggunakan pendeketan tersebut.
IV.2.3.3.1. Skenario Kenaikan Dengan Harga Eceran Premium Sebelum Pajak
IV.2.3.3.1.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 4.250/ltr (Rp 2.000 + Rp 2.250), Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 7.967 – Rp 4.250 = Rp 3.717/ltr,- atau sebesar Rp 3.159.450.000.000 (Rp 3,15 triliun),
Demikian akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 1,7 triliun (Rp 4,85 triliun – Rp 3,15 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 1.25 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 2.95 triliun (Rp 1.7 triliun + Rp 1.25 triliun), yang terdiri dari Rp 1,25 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 1,7 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
IV.2.3.3..1.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan mengubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 5.250/liter (Rp 2.250 + Rp 3.000) Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 7.967 – Rp 5.250 = Rp 2.717/ltr,- atau sebesar Rp 2.309.450.000.000 (Rp 2,30 triliun),
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 1,25 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 3.55 triliun (Rp 2,30 triliun + Rp 1,25 triliun). Yang terdiri dari Rp 1,25 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 2,30 triliun merupakan dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan BBm solar sebesar Rp 3.000/liter.
IV.2.3.3.2. Skenario Kenaikan Dengan Harga Eceran Premium Setelah Pajak
IV.2.3.3.2.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 4.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 2.500), Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 7.967 – Rp 4.500 = Rp 3.467/ltr,- atau sebesar Rp 2.946.950.000.000 (Rp 2,94 triliun),
Demikian akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 1,52 triliun (Rp 4,64 triliun – Rp 2,94 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 1,46 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 2,98 triliun (Rp 1,52 triliun + Rp 1,46 triliun), yang terdiri dari Rp 1,46 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 1,52 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
IV.2.3.3.2.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan merubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 5.500/liter (Rp 2.500 + Rp 3.000). Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 7.967 – Rp 5.500 = Rp 2.467/ltr,- atau sebesar Rp 2.096.950.000.000 (Rp 2,09 triliun),
Demikian akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 2,37 triliun (Rp 4,64 triliun – Rp 2,09 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 3.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 1,46 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 3,83 triliun (Rp 2,37 triliun + Rp 1,46 triliun), yang terdiri dari Rp 1,46 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 2,37 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 3.000/ltr.
IV.3. Selisih Subsidi
IV.3.1. Selisih Subsidi Berdasarkan Harga Eceran Sebelum Pajak
Jika total alokasi kuota BBM bersubsidi untuk tahun 2015 sebanyak 46,09 juta kilo liter yang terdiri dari Bensin Premium 29,48 juta kilo liter, Minyak Solar sebanyak 15,76 juta kilo liter, dan Minyak Tanah sebesar 850 ribu kilo liter, sementara berdasarkan harga harga jual eceran dari masing-masing jenis BBM sebelum pajak dalam adalah
- Bensin Premium = Rp 80,33 triliun
- Minyak Solar = Rp 55,42 triliun
- Minyak Tanah = Rp 4,85 triliun
- Total = Rp 140,6 triliun
Jika subsidi sessungguhnya adalah Rp 140,6 triliun, sedangan alokasi dana subsidi untuk BBM dalam APBN 2015 sebesar Rp 194,6 triliun, maka terdapat selisih lebih besar Rp 54 triliun. Namun bila ditambahkan dengan penerimaan Negara dari pajak yang dibayarkan masyarakat saat membeli BBM, sebesar Rp 41,95 trilin,- maka penerimaan Negara sesungguhnya dari hasil penghematan plus penerimaan pajak yaitu sebesar Rp 95,95 triliun,-
Ini menunjukan bahwa tanpa perlu menaikan harga jual BBM, pemerintah sudah dapat melakukan penghematan dalam jumlah yang sangat besar. Bila di jumlahkan dengan penghematan pada pos-pos pengeluaran lain, tidak menutup kemungkinan paling tidak setengah dari program-program yang di janjikan presiden Jokowi pada masa kampanyenya untuk tahun pertama pemerintahannya, dapat di wujudkan.
IV.3.2. Selisih Subsidi Berdasarkan Harga Eceran Setelah Pajak
Jika total alokasi kuota BBM bersubsidi untuk tahun 2015 sebanyak 46,09 juta kilo liter yang terdiri dari Bensin Premium 29,48 juta kilo liter, Minyak Solar sebanyak 15,76 juta kilo liter, dan Minyak Tanah sebesar 850 ribu kilo liter, sementara berdasarkan harga harga jual eceran dari masing-masing jenis BBM setelah pajak dalam adalah
- Bensin Premium = Rp 51,59 triliun
- Minyak Solar = Rp 42,42 triliun
- Minyak Tanah = Rp 4,64 triliun
Total = Rp 98,65 triliun
Jika subsidi sesungguhnya yang ditangung oleh APBN berdasarkan perhitungan diatas adalah Rp 98,65 triliun, sedangkan alokasi dana subsidi untuk BBM dalam APBN 2015 sebesar Rp 194,6 triliun, maka terdapat selisih lebih besar Rp 95,95 triliun. Angka ini menunjukan bahwa tanpa perlu menaikan harga jual BBM, pemerintah sudah dapat melakukan penghematan dalam jumlah yang sangat besar. Bila di jumlahkan dengan penghematan pada pos-pos pengeluaran lain, tidak menutup kemungkinan paling tidak setengah dari program-program yang di janjikan presiden Jokowi pada masa kampanyenya untuk tahun pertama pemerintahannya, dapat di wujudkan.
Formula ESDM (Uplift Cost—Biaya Produksi)
Selain menggunakan pendekatan maket price (harga pasar), sebagaimana yang diatur dalam Pepres 71 Tahun 2005, pemerintah acapkali juga menggunakan pendekatan uplift cost (biaya produksi) dalam menghitung besaran harga keekonomian BBM, maupun besaran subsidi yang di tanggung oleh APBN.
Pada bagian ini simulasi perhitungan ini akan menggunakan pendekatan Uplift Cost untuk menghitung berapa besar harga keekonomian dan subsidi dari masing-masing jenis BBM bersubsidi yaitu Bensin premium, Minyak Solar dan Minyak Tanah.
V.1. Bensin Premium
Menteri keuangan, Bambang Brojonegoro, mempekirakan dengan harga minyak dunia USD 80/bbl, saat ini harga keekonomian BBM diatas sedikit Rp 9.000/ltr[4]. Jika menggunakan formula seperti yang diterapkan kementerian ESDM, pekiraan angka keekonomian BBM versi Menteri keuangan akan terkonfirmasi[5]. Dengan perbedaan penggunaan harga dasar minyak, maka formula perhitungan harga keekonomian BBM adalah[6]:
Keterangan:
Nilai tukar USD : Rp 12.000
LRT : Lifting, Refinery, Transportasi/Distribusi
Biaya LRT : USD 24,1/bbl (LR= USD 12.8/bbl, T= USD 11,3/bbl) atau setara
Rp 1819/ltr
Harga minyak dunia : USD 80/bbl atau ekuivalen Rp 6.037/liter (USD 80/159 x 12.000)
1 barel : 159 liter
Pajak : 15% x (Harga dasar + LRT) ekuivalen dengan Rp 1.178/ltr
Demikian, maka harga keekonomian BBM dalam negeri yaitu:
Jika subsidi adalah silisih antara harga keekonomian dengan harga eceran[7], maka besaran biaya subsidi per liter adalah
Bila subsidi per liter sebesar Rp 2.534/ltr, maka total dana subsidi untuk kuota sebanyak 29,48 juta kilo liter sebagaimana ditetapkan dalam APBN 2015, adalah Rp 74.702.320.000.000,- (Rp 2.534 x 29,48 juta kilo liter), sedangkan alokasi dana subsidi BBM 2015 yaitu sebesar Rp 108, 3 triliun, demikian terdapat selisih sekitar Rp 33,6 triliun[8] (Rp 108,3 triliun – Rp 74,70 triliun).
V.1.2. Skenario Kenaikan
Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan harga BBM. Namun dari berbagai penyataan yang muncul kemungkinan kenaikan harga BBM berkisar anatara Rp 2.000 – Rp 3.000 per liter
V.1.2.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM sebesar Rp 2.000, maka harga jual eceran BBM bersubsidi menjadi Rp 8.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 6.500), dengan demikian maka subsidi yang masih ditanggung didalam anggaran negara yakni sebesar Rp 534/ltr (Rp 9.034 – Rp 8.500) atau sebesar Rp 15.742.320.000.000 ( Rp 534 x 29,48 juta kilo liter).
Demikian, akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 58.96 triliun (Rp 74,70 triliun – Rp 15,74 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 33,6 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 92,56 triliun (Rp 58,96 triliun + Rp 27,97 triliun), yang terdiri dari Rp 33,6 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 58,96 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
V.1.2.2.Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga minyak sebesar Rp 3.000/liter, sehingga harga jual BBM eceran menjadi Rp 9.500/liter, maka subsidi akan hilang sama sekali (Rp 9.034 – Rp 9.500), sebaliknya pertamina/pemerintah akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 466/liter atau sekitar Rp 13.737.680.000.000 (Rp 13,73 triliun)
V.2. Minyak Solar
Jika rumus mencari harga keekonomian BBM bersubsidi adalah;
Nilai tukar USD : Rp 12.000
LRT : Lifting, Refinery, Transportasi/Distribusi
Biaya LRT : USD 24,1/bbl (LR= USD 12.8/bbl, T= USD 11,3/bbl) atau setara
Rp 1819/ltr
Harga minyak dunia : USD 80/bbl atau ekuivalen Rp 6.037/liter (USD 80/159 x 12.000)
1 barel : 159 liter
Pajak : 15% x (Harga dasar + LRT) ekuivalen dengan Rp 1.178/ltr
Demikian, maka harga keekonomian BBM dalam negeri yaitu:
Jika subsidi adalah silisih antara harga keekonomian dengan harga eceran[9], maka besaran biaya subsidi per liter untuk BBM jenis Solar adalah
Bila subsidi per liter sebesar Rp 3.534/ltr, maka total dana subsidi untuk kuota sebanyak 15,76 juta kilo liter sebagaimana ditetapkan dalam APBN 2015 sebesar Rp 55.695.840.000.000,- (Rp 3.534 x 29,48 juta kilo liter), sedangkan alokasi dana subsidi BBM 2015 yaitu sebesar Rp 80,2 triliun, demikian terdapat selisih sekitar Rp 24,51 triliun[10] (Rp 80,2 triliun – Rp 55,69 triliun).
V.2.1. Skenario Kenaikan
Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan harga BBM. Namun dari berbagai penyataan yang muncul kemungkinan kenaikan harga BBM berkisar anatara Rp 2.000 – Rp 3.000 per liter
V.2.1.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM sebesar Rp 2.000, maka harga jual eceran BBM Solar bersubsidi menjadi Rp 7.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 5.500), dengan demikian maka subsidi yang masih ditanggung didalam anggaran negara yakni sebesar Rp 1.534/ltr (Rp 9.034 – Rp 7.500) atau sebesar Rp 24.175.840.000.000 ( Rp 1.534 x 29,48 juta kilo liter).
Demikian, akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 31,52 triliun (Rp 55,69 triliun – Rp 24,17 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 24,51 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 56,03 triliun (Rp 31,52 triliun + Rp 24,51 triliun), yang terdiri dari Rp 24,51 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 31,52 triliun dana yang berhasil dihemat setelah terjadi kenaikan harga BBM Solar Rp 2.000/ltr.
V.2.1.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga minyak sebesar Rp 3.000/liter, sehingga harga jual eceran BBM Solar menjadi Rp 8.500/liter (Rp 3.000 + Rp 5.500), dengan demikian maka subsidi yang masih ditanggung didalam anggaran negara yakni sebesar Rp 534/ltr (Rp 9.034 – Rp 8.500) atau sebesar Rp 8.415.840.000.000 ( Rp 534 x 29,48 juta kilo liter).
Demikian, akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 47,28 triliun (Rp 55,69 triliun – Rp 8,41 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan harga BBM Solar sebesar Rp 3.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 24,51 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 71,79 triliun (Rp 47,28 triliun + Rp 24,51 triliun), yang terdiri dari Rp 24,51 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 47,28 triliun dana yang berhasil dihemat setelah terjadi kenaikan harga BBM Solar Rp 3.000/ltr.
V.3. Minyak Tanah
Jika rumus mencari harga keekonomian BBM bersubsidi adalah;
Keterangan:
Nilai tukar USD : Rp 12.000
LRT : Lifting, Refinery, Transportasi/Distribusi
Biaya LRT : USD 24,1/bbl (LR= USD 12.8/bbl, T= USD 11,3/bbl) atau setara
Rp 1819/ltr
Harga minyak dunia : USD 80/bbl atau ekuivalen Rp 6.037/liter (USD 80/159 x 12.000)
1 barel : 159 liter
Pajak : 15% x (Harga dasar + LRT) ekuivalen dengan Rp 1.178/ltr
Demikian, maka harga keekonomian BBM dalam negeri yaitu:
Jika subsidi adalah silisih antara harga keekonomian dengan harga eceran[11], maka besaran biaya subsidi per liter untuk BBM jenis Minyak Tanah adalah
Bila subsidi per liter sebesar Rp 6.534/ltr, maka total dana subsidi untuk kuota sebanyak 850 ribu kilo liter sebagaimana ditetapkan dalam APBN 2015 sebesar Rp 5.553.900.000.000,- (Rp 6.534 x 850 ribu kilo liter), sedangkan alokasi dana subsidi BBM 2015 yaitu sebesar Rp 6,1 triliun, demikian terdapat selisih sekitar Rp 546.100.000.000[12] (Rp 6,1 triliun – Rp 5,55 triliun).
V.3.1. Skenario Kenaikan
Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan harga BBM. Namun dari berbagai penyataan yang muncul kemungkinan kenaikan harga BBM berkisar anatara Rp 2.000 – Rp 3.000 per liter
V.3.1.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000, maka harga jual eceran BBM Solar bersubsidi menjadi Rp 4.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 2.500), dengan demikian subsidi yang masih ditanggung didalam anggaran negara yakni sebesar Rp 4.534/ltr (Rp 9.034 – Rp 4.500) atau sebesar Rp 3.853.900.000.000 ( Rp 4.534 x 850 ribu kilo liter).
Demikian, akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 1,7 triliun (Rp 5,55 triliun – Rp 3,85 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 546 milyar sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sekitar Rp 2,24 triliun (Rp 1,7 triliun + Rp 546 milyar), yang terdiri dari Rp 546 milyar yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 1,7 triliun dana yang berhasil dihemat setelah terjadi kenaikan harga BBM Minyak Tanah sebesar Rp 2.000/ltr.
V.3.1.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikkan harga minyak sebesar Rp 3.000/liter, sehingga harga jual eceran BBM Solar menjadi Rp 5.500/liter (Rp 3.000 + Rp 2.500), dengan demikian maka subsidi yang masih ditanggung didalam anggaran negara yakni sebesar Rp 3.534/ltr (Rp 9.034 – Rp 5.500) atau sebesar Rp 3.003.900.000.000 ( Rp 3.534 x 850 ribu kilo liter).
Demikian, akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah yaitu Rp 2,55 triliun (Rp 5,55 triliun – Rp 3,00 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan harga BBM Solar sebesar Rp 3.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar Rp 1,7 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 4,25 triliun (Rp 2,55 triliun + Rp 1,7 triliun), yang terdiri dari Rp 1,7 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 2,55 triliun dana yang berhasil dihemat setelah terjadi kenaikan harga BBM Solar Rp 3.000/ltr.
V.4 Selisih Subsidi
Jika total alokasi kuota BBM bersubsidi untuk tahun 2015 sebanyak 46,09 juta kilo liter yang terdiri dari Bensin Premium 29,48 juta kilo liter, Minyak Solar sebanyak 15,76 juta kilo liter, dan Minyak Tanah sebesar 850 ribu kilo liter, sementara berdasarkan harga harga jual eceran dari masing-masing jenis BBM setelah pajak dalam adalah
- Bensin Premium = Rp 74,70 triliun
- Minyak Solar = Rp 55,69 triliun
- Minyak Tanah = Rp 5,55 triliun
Total = Rp 135,94 triliun
Jika subsidi berdasarkan perhitungan dengan formula diatas yaitu sebesar Rp 135,94 triliun, sedangkan alokasi dana subsidi untuk BBM dalam APBN 2015 sebesar Rp 194,6 triliun, maka terdapat selisih lebih besar Rp 58,66 triliun (Rp 194,6 triliun – Rp 135,94 triliun). Angka ini menunjukan bahwa tanpa perlu menaikkan harga jual BBM, pemerintah sudah dapat melakukan penghematan dalam jumlah yang sangat besar. Bila di jumlahkan dengan penghematan pada pos-pos pengeluaran lain, tidak menutup kemungkinan paling tidak setengah dari program-program yang di janjikan presiden Jokowi pada masa kampanyenya untuk tahun pertama pemerintahannya, dapat di wujudkan.
Kesimpulan dan Rekomendasai
Pada simulasi menghitung subsidi dan harga keekonomian BBM ini, menggunakan dua formula yang berbeda yaitu yang ditetapkan dalam Pepres 71/2005 dan formula yang diguna olehKementerian ESDM.
Pada penerapan kedua formula/rumus yang digunakan pemerintah tersebut, tampak bahwa subsidi yang ditanggung tidak sebesar seperti sebesar yang tercantum dalam APBN 2015, Sebaliknya justeru tedapat selisih lebih yang cukup signifikan. Berdasarkan pendekatan market price sebelum pajak silisih lebih mencapai Rp 54 triliun, sedangkan simulasi dengan menggunakan harga eceran setelah pajak selisih lebih mencapai Rp 95,95 triliun. Sementara simulasi perhitungan dengan menggunakan pendekatan uplift cost,selisih lebih mencapai Rp 58,66 triliun.
Angka selisih lebih tersebut, bukan sebuah angka kecil, bila angka tersebut ditambahkan dengan penghematan yang dilakukan pada pos-pos pengeluaran lain, misalnya biaya perjalanan dinas, biaya rapat-rapat kementerian dan lembaga, dan pos pengeluaran lain-lain lainnya. Jumlah tersebut kemungkinan cukup untuk membiayai sebagian program-program pemerintahan Jokowi-JK yang dijanjikan semasa kampanye dahulu.
Bila alasan kenaikan adalah karena ruang fiscal yang sempit, maka sesungguhnya alasan tersebut tidak cukup punya landasan yang kuat, sebab tanpa perlu melakukan penaikan harga ruang tersebut sesungguhnya masihterbuka lebar, sehingga tanpa perlu mengurangi subsidi pemerintah sesungguhnya dapat melakukan penghematan. Dalam kaitan itu, perlu kiranya pemerintah mengkaji ulang rencananya menaikkan harga BBM.
Dalam kaitan ini, ketimbang menaikkan harga BBM, sebaiknya pemerintah memperbaiki tata kelola sektor minyak dari hulu hingga hilir. Pada sektor hilir, upaya tersebut dilakukan dengan merevisi perangkat hukum dan aturan yang ada, diantaranya mengajukan RUU Migas baru ke dalam prolegnas 2015, serta merevisi formula penghitungan subsidi dan harga keekonomian BBM.
Formula yang berlaku sekarang tidak sejalan dengan semangat UU No.22 tahun 2001 tantang Migas, putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi nomor 002/PUU-I/2003) yang menyatakan: “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia”
Makna dari putusan tersebut adalah penentuan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi kepada mekanisme pasar dianggap dapat mengancam hak rakyat atas harga yang terjangkau (affordable price) untuk komoditi atau cabang produksi penting, yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Selain itu, penggunaan harga minyak dunia sebagai harga patokan pada kedua formula di atas, membuat harga keekonomian BBM di dalam negeri menjadi fluktuatif dan tidak stabil, sehingga pada akhirnya akan membuat pemerintah harus terus-terusan melakukan penyesuaian anggaran BBM, karena akan berpengaruh langsung dengan besaran alokasi dana subsidi BBM dalam APBN. Bahkan tidak menutup kemungkinan, disaat harga minyak tiba-tiba melonjak tinggi di atas harga patokan yang ditetapkan dalam APBN, akan terjadi defisit anggaran berjalan yang sulit dikendalikan.
Dengan demikian, tugas pertama pemerintah yang belum lama terbentuk ini, bukanlah menaikkan harga BBM, tetapi memperbaiki sistem yang ada agar lebih berpihak kepada rakyat. ***
Penulis adalah peneliti Martapura Institute
Kepustakaan:
Abdullah, maryati dan D.C, Ambarsari, memahami aliran pendapatan unjtuk transparansi Migas, Pusat Telaah dan Informasi Regional, Desember, 2010
Berita Resmi Statistik, No. 71/10/Th. XVII, 1 Oktober 2014, Perkembangan Ekspor dan Impor Agustus 2014
Gie, kwik kian, mencari harga BBM yang pantas untuk rakyat Indonesia, 24 September 2014, diakses dari http://kwikkiangie.com/v1/2014/09/seminar-sehari-tanggal-24-september-2014-di-kwik-kian-gie-school-of-business/
Kartika, Shanti Dwi, Judicial review UU APBN-P 2012, Jurnal Info Singkat, Vol IV, No,07/I/P3DI/April/2012
Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral No. 2187 K/12/MEM/2014 tentang harga patokan jenis bahan bakar minyak tertentu untuk PT Pertamina (Persero) tahun anggaran 2014
————-—– No 23 tahun 2012 Tentang tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia.
——————- 3616 K/12/MEM/2014 Tentang penetapan harga minyak mentah Indonesia bulan Agustus 2014
Nota Keuangan dan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara, Tahun Anggaran 2015
Pepres No.71 tahun 2005 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidnag usaha hulu miyak dan gas bumi
Prakarsa, Subsidi dalam penguatan kebijakan fiskal pro kemiskinan, Policy Brief. 14 juni 2013
Pusat data dan informasi energi dan sumber daya mineral, kemneterian energi dan sumber daya mineral, Key Indicator of Indonesia Energy and mineral resourcesm 2011
Global Subsidies Initiative, Briefing Papers, Subsidi energi Indonesia, juni 2014
Global Subsidies Initiative—International Institute for Sustainable Development—Institute for Essential Services Reform, Panduan masyarakat tentang Subsidi Energi di Indonesia, 2012, diakses dari http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/indonesia_czguide_bahasa_update_2012.pdf
———
[1] Karena minyak tanah tidak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, maka jenis pajak yang dikenakan hanya PPn sebesar 10%
[2] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM
[3] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM
[4] http://www.bareksa.com/id/text/2014/11/03/menkeu-harga-bbm-bersubsidi-akan-naik-ke-level-sedikit-di-bawah-harga-ekonomis/8187/news
[5] http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5593-penjelasan-perhitungan-subsidi-bbm-1.html Namun, sayang Bambang Brojenegoro tidak menyebtut jenis BBM mana yang dimaksud, apakah premium, solar atau minyak tanah. Pada briefing Papers ini, saya menduga yang dimaksud Menkeu adalah premium.
[6] Pada perhitungan BBM yang berasal dari dalam negeri ESDM menggunakan harga dasar minyak yaitu ICP sebesar USD 105/bbl, sementara pada perhitungan ini kita menggunakan harga dasar yaitu harga minyak dunia saat ini USD 80/bbl, yang diasumsikan BBM berasal dari minyak impor
[7] Pada model perhitungan ini harga eceran tetap menggunakan harga eceran sebesar yang dibayarkan konsumen/masyarakat tanpa dikurangi pajak, karena pada model ini komponen pajak telah dimasuk dalam perhitungan harga keekonomian
[8] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM
[9] Pada model perhitungan ini harga eceran tetap menggunakan harga eceran sebesar yang dibayarkan konsumen/masyarakat tanpa dikurangi pajak, karena pada model ini komponen pajak telah dimasuk dalam perhitungan harga keekonomian
[10] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM
[11] Pada model perhitungan ini harga eceran tetap menggunakan harga eceran sebesar yang dibayarkan konsumen/masyarakat tanpa dikurangi pajak, karena pada model ini komponen pajak telah dimasuk dalam perhitungan harga keekonomian
[12] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM