IV.1. Bensin Premium
Demikian rumusan dalam penghitungan subsidi BBM bersubidi sebagaimana diatur dalam Pepres 71/2005:
Sebelum menghitung besarnya subsidi, perlu diketahui terlebih dahulu besaran harga patokan. Untuk mencari harga patokan digunakan rumus:
IV.1.1. Harga Keekonomian Sebelum Pajak
Harga eceran – 15% pajak atau 6.500 – 15% = Rp 5.525/ltr
Pajak = Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) 5%.
Maka biaya subsidi BBM per liter adalah (harga patokan – harga eceran ) atau ( Rp 8.250 – Rp 5.525 = Rp 2.725/ltr
Demikian Total Dana Subsidi Sesungguhnya Yang Ditanggung Dalam APBN adalah:
Bila alokasi dana BBM untuk premium tahun 2015 yang dipatok dalam APBN sebesar Rp 108,3 triliun, sedangkan subsidi sesungguhnya berdasarkan harga keekonomian adalah Rp 80,33 triliun, maka terdapat selisih lebih dana subsidi BBM di dalam APBN 2015, yakni Rp 108,3 triliun – Rp 80,33 triliun = Rp 27,97 triliun.[14] Jumlah ini belum ditambah dengan penerimaan negara dari pajak sebesar 15 persen atau sekitar Rp 28.743.000.000.000,- , dengan demikian dana yang diterima dari hasil penghematan plus pendapatan pajak yaitu sebesar Rp 56,71 triliun,-
Mengapa terdapat selisih subsidi BBM yang begitu besar antara subsidi dalam APBN dengan Formula perhitungan Pepres 71/2005? Kemungkinan selisih subsidi tersebut berasal dari besaran subsidi yang berada dalam APBN yang tidak mencerminkan biaya sesungguhnya. Subsidi per liter premium dalam APBN adalah:
Jika subsidi perliter sebagaimana simulasi perhitungan APBN sebesar Rp 3.673/liter, sedangkan subsidi menurut perhitungan formulasi di atas sebesar Rp 2.725, maka terdapat selisih/kelebihan sebesar Rp 948/liter (Rp 3.673 – Rp 2.725).
Demikian, harga keekonomian premium menurut formula pepres (sebelum pajak) adalah Rp 8.250/ltr,- (Rp 5.525/ltr + Rp 2.725). Sementara harga keekonomian premium (sebelum pajak) menurut APBN adalah Rp 9.198/ltr,- (Rp 5.525/ltr + Rp 3.673)
IV.1.2. Harga Keekonomian Setelah Pajak
Pemerintah mendapat penerimaan dari pajak sebesar Rp 975 dari tiap liter BBM yang dijual kepada masyarakat atau sekitar Rp 28.743.000.000.000,- yang berasal dari 10 persen PPn atau sekitar Rp 650 dari tiap penjualan per liternya atau sekitar Rp 19.162.000.000.000,- (Rp 19,16 triliun) dan PBBKB sebesar 5 persen atau sekitar Rp 325 per liter atau sekitar Rp 9.581.000.000.000,- . (Rp 9,58 triliun)
Mengingat pajak adalah uang yang dibayarkan warga negara/masyarakat yang kemudian dicatatkan sebagai penerimaan negara, dengan demikian negara mendapat pemasukan dari pajak, namun sekaligus mengeluarkan dana yang besaranya sama dengan jumlah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, maka komponen pajak tidak perlu dikeluarkan dalam komponen perhitungan harga eceran.
Dengan demikian harga eceran yang digunakan dalam perhitungan adalah harga eceran setelah pajak (Rp 6.500/ltr), sehingga subsidi rill yang ditanggung negara adalah Rp 1.750/liter, yang berasal dari subsidi yang ditanggung negara sebelum pajak Rp 2.725/ltr dikurangi dengan penerimaan negara dari pajak yang dibayar oleh masyarakat dari tiap liter BBM yang dibeli, sebesar Rp 975/ltr,- atau dari pengurangan harga patokan dikurang harga eceran setelah, yaitu Rp 8.250 – Rp 6.500 = Rp 1.750/ltr,- demikian besar total subsidi premium untk tahun 2015 adalah Rp 51.590.000.000.000
Bila alokasi dana BBM untuk premium tahun 2015 yang dipatokan dalam APBN sebesar Rp 108,3 triliun, sedangkan subsidi sesungguhnya berdasarkan harga keekonomian adalah Rp 51,6 triliun, maka selisih lebih dana subsidi BBM di dalam APBN 2015 adalah Rp 108,3 triliun – Rp 51,6 triliun = Rp 56,71 triliun.[15]
Jika subsidi perliter sebagaimana simulasi perhitungan APBN sebesar Rp 3.673/liter, sedangkan subsidi menurut perhitungan formulasi di atas sebesar Rp 1.750/ltr, maka terdapat selisih/kelebihan sebesar Rp 1.923/liter ( Rp 3.673 – Rp 1.750)
Dengan demikian, harga keekonomian premium menurut formula pepres (setelah pajak) adalah Rp 8.250/ltr,- ( Rp 6.5000/ltr + Rp 1.750). Sementara itu harga keekonomian BBM premium dalam APBN (setelah pajak) yaitu sebesar Rp 10.173/ltr (Rp 6.500 + Rp 3.673).
IV.2. Skenario Kenaikan
Pemerintah berencana menaikkan harga BBM eceran subsidi, namun sejauh ini belum diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan BBM itu. Dari berbagai berita yang muncul di media dan pernyatan pejabat terkait, ada dua angka yang sering disebut yaitu Rp 2.000/ltr dan Rp 3.000/ltr.
Mengingat pada simulasi perhitungan di atas menggunakan pendekatan harga eceran dan harga keekonomian sebelum dan setelah pajak, maka bagian skenario kenaikan ini juga menggunakan pendekatan tersebut.
IV.2.1. Skenario Kenaikan Dengan Harga Eceran Premium Sebelum Pajak
IV.2.1.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 7.525/ltr (Rp 2.000 + Rp 5.525), Demikian maka subsidi yang masih akan ditanggung oleh APBN adalah Rp 8.250 – Rp 7.525 = Rp 725/ltr,- atau sebesar Rp 21.373.000.000.000 (Rp 21,37 triliun),
Demikian akan terjadi penghematan dari besarnya subsidi rill yang semestinya ditangung pemerintah, yaitu Rp 58.96 triliun (Rp 80,33 triliun – Rp 21,37 triliun) atau dari pengurangan antara total subsidi rill yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi yang masih ditanggung setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 27,97 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya di atas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 86,93 triliun (Rp 58,96 triliun + Rp 27,97 triliun), yang terdiri dari Rp 27,97 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 58,96 triliun dana yang berhasil dihemat setelah kenaikan Rp 2.000/ltr.
IV.2.1.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan mengubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 8.525/liter (Rp 5.525 + Rp 3.000). demikian, subsidi akan hilang sama sekali dan pertamina akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 275/ltr (Rp 8.250 – Rp 8.525) atau sebesar Rp 8.107.000.000.000 (Rp 8.1 triliun),
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 27,97 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 36.07 triliun (Rp 8.1 trilun + Rp 27,97 triliun). Yang terdiri dari Rp 27,97 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 8,1 triliun merupakan keuntungan yang diperoleh oleh Pertaminan dari penjualan BBM premium.
IV.2.2. Skenario Kenaikan Dengan Harga Eceran Premium Setelah Pajak
IV.2.2.1. Skenario Rp 2.000
Bila pemerintah menaikkan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 8.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 6.500). Demikian maka subsidi yang hilang sama sekali (dicabut), sementara Pertamina akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 250/ltr (Rp 8.250 – Rp 8.500) atau sebesar Rp 7.370.000.000.000 (Rp 7,37 triliun).
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 27,97 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya di atas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 35.27 triliun (Rp 7.37 trilun + Rp 27,97 triliun). Yang terdiri dari Rp 27,97 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 7,37 triliun merupakan keuntungan yang diperoleh oleh Pertaminan dari penjualan BBM premium.
IV.2.2.2. Skenario Rp 3.000
Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan mengubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 9.500/liter (Rp 6.500 + Rp 3.000). Jika skenario ini dilakukan maka subsidi akan hilang sama sekali dan pertamina akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.250/ltr (Rp 8.250 – Rp 9.500) atau sebesar Rp 36.850.000.000.000 (Rp 36.85 triliun).
Jika ditambahkan dengan penghematan yang berhasil dilakukan dalam APBN sebesar 27,97 triliun sebagaimana diutarakan sebelumnya diatas, maka total dana yang bisa diselamatkan yakni sebesar Rp 64.82 triliun (Rp 36.85 trilun + Rp 27,97 triliun). Yang terdiri dari Rp 27,97 triliun yang dihemat dari APBN sebelum kenaikan, dan Rp 36,85 triliun merupakan keuntungan yang diperoleh oleh Pertaminan dari penjualan BBM premium.
IV.2. Minyak Solar
Rumusan dalam penghitungan subsidi BBM bersubidi sebagaimana diatur dalam Pepres 71/2005 adalah:
Sebelum menghitung besarnya subsidi, perlu diketahui terlebih dahulu besaran harga patokan. Untuk mencari harga patokan digunakan rumus:
Total Dana Subsidi Sesungguhnya Yang Ditanggung Dalam APBN adalah:
Bila alokasi dana BBM untuk premium tahun 2015 yang dipatokan dalam APBN sebesar Rp 80,2 triliun, sedangkan subsidi sesungguhnya berdasarkan harga keekonomian adalah Rp 55,42 triliun, maka terdapat selisih lebih dana subsidi BBM di dalam APBN 2015 adalah Rp Rp 24,78 triliun[16] (Rp 80,2 triliun – Rp 55,42 triliun), sementara penerimaan Negara dari pajak sebesar 15 persen yang dibayarkan oleh masyarakat setiap membeli Solar yaitu sebesar Rp 825/ltr atau sekitar Rp 13.002.000.000.000,- Jadi penerimaan Negara sesungguhnya dari penghematan plus penerimaan pajak adalah Rp 37,78 triliun,-
IV.2.1. Harga Keekonomian Sebelum Pajak
Mengapa terdapat selisih subsidi BBM yang begitu besar antara subsidi dalam APBN dengan Formula perhitungan Pepres 71/2005? Kemungkinan selisih subsidi tersebut berasal dari besaran subsidi yang berada dalam APBN yang tidak mencerminkan biaya sesungguhnya. Subsidi Solar per liter dalam APBN adalah:
Jika subsidi perliter sebagaimana simulasi perhitungan formulasi Pepres sebesar Rp 3.517/liter, sedangkan subsidi menurut perhitungan APBN sebesar Rp 5.088/ltr, maka terdapat selisih/kelebihan sebesar Rp 1.571/liter ( Rp 5.088 – Rp 3.517).
Demikian, harga keekonomian Solar menurut formula pepres (sebelum pajak) adalah Rp 8.192/ltr,- ( Rp 4.675/ltr + Rp 3.517). Sementara harga keekonomian Solar (sebelum pajak) menurut APBN adalah Rp 9.763/ltr (Rp 4.675/ltr + Rp 5.088)
IV.2.2. Harga Keekonomian Setelah Pajak
Pemerintah mendapat penerimaan dari pajak sebesar Rp 825 dari tiap liter BBM Solar yang dijual kepada masyarakat atau sekitar Rp 13.002.000.000.000,- (Rp 13,00 triliun) yang terdiri dari 10% PPn atau sekitar Rp 550 dari tiap penjualan per liternya atau sekitar pajak Rp 8.668.000.000.000,- (Rp 8,66 triliun) dan PBBKB sebesar 5 persen atau sekitar Rp 275 per liter atau sekitar Rp 4.334.000.000.000,- (Rp 4,33 triliun)
Mengingat pajak adalah uang yang dibayarkan warga negara/masyarakat yang kemudian dicatatkan sebagai penerimaan Negara, dengan kata lain, negara mendapatkan pemasukan dari pajak, namun sekaligus mengeluarkan dana yang besarnya sama dengan jumlah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, maka komponen pajak tidak perlu dikeluarkan dalam komponen perhitungan harga eceran.
Dengan demikian, harga eceran yang digunakan dalam perhitungan adalah harga eceran setelah pajak (Rp 5.500/ltr), sehingga subsidi rill yang ditanggung negara adalah Rp 2.692/ltr,- Angka ini berasal dari subsidi yang ditanggung negara sebelum pajak Rp 3.517/ltr dikurangi dengan penerimaan negara dari pajak yang dibayar oleh masyarakat dari tiap liter BBM yang dibeli, sebesar Rp 825/ltr,- atau dari pengurangan harga patokan dikurangi harga eceran setelah, yaitu Rp 8.192 – Rp 5.500 = Rp 2.692/ltr,- Dengan demikian besar total subsidi Solar untuk tahun 2015 adalah Rp 42.425.920.000.000
Penulis adalah peneliti Martapura Institute
———–
[14] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM
[15] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM
[16] Selisih lebih ini sesungguhnya adalah uang yang dapat dihemat oleh pemerintah tanpa perlu menaikan harga BBM