Pendahuluan
Setiapkali rencana kenaikan BBM muncul, maka alasan pemerintah selalu menyangkut beban subsidi yang sangat besar, sehingga sudah saatnya subsidi dibatasi dan selanjutnya dialihkan ke sektor lain. Untuk itu harga BBM harus dinaikan agar beban anggaran negara dapat berkurang.
Namun dewasa ini, subsidi seringkali dianggap menjadi beban Negara. Sejatinya subsidi adalah salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga pemerataan terhadap akses ekonomi dan pembangunan. Subsidi, karenanya, berfungsi sebagai alat koreksi terhadap ketidaksempurnaan pasar atau market imperfections. Karena itu subsidi dapat menjadi stimulus produksi, sekaligus juga menjamin terwujudnya proses konsumsi.[1]
Di Indonesia kebijakan subsidi sudah merupakan bagian utama dari kebijakan fiskal. Setiap tahun pemerintah mengalokasikan anggaran negara untuk program-program subsidi, yang dibagi menjadi subsidi energi dan subsidi non energi:
- Subsidi Energi:
- Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM);
- Subsidi Bahan Bakar Nabati (BBN);
- LPG tabung 3 kg;
- dan LGV, serta
- Subsidi Listrik.
- SubsidiNon-Energi:
- Subsidi Pertanian ( Subsidi Pangan, Subsidi Benih, dan Subsidi Pupuk )
- Subsidi Bunga Kredit Program;
- Public Service Obligation (PSO);
- Subsidi Pajak/DTP;
- Subsidi lainnya.
- Subsidi BBM
Subsidi BBM termasuk ke dalam belanja subsidi energi. Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak[2] (BBM), bahan bakar nabati (BBN), liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram, dan liquefied gas for vehicle (LGV), serta tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat. Subsidi adalah selisih antara harga BBM yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden (harga eceran) dengan harga patokan BBM atau harga keekonomian.
Besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, terutama harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kenaikan harga minyak dunia dan merosotnya nilai tukar Rupiah akan mendorong meningkatnya harga keekonomian BBM yang tentu berimbas terhadap besarnya subsidi yang harus ditanggung. Kenaikan harga jual BBM bersubsidi akan berdampak luas terhadap masyarakat.
Sejak era Orde Baru, Indonesia telah melakukan penyesuaian harga BBM dan besaran subsidi yang harus ditanggung seiring dengan perkembangan minyak dunia dan nilai tukar rupiah. Dalam 34 tahun terakhir (1980-2013), pemerintah telah melakukan sekitar 16 (enam belas) kali perubahan harga BBM bersubsidi (bensin premium, minyak tanah, dan minyak solar). Dari 16 kali perubahan tersebut, terjadi 12 (dua belas) kali berupa penaikan harga dan 4 (empat) kali penurunan harga (lihat table dibawah)
Jika pemerintahan Jokowi-JK merealisasikan rencanannya menaikan harga BBM dalam waktu dekat ini, maka ini merupakan kenaikan yang 13 kali dalam 34 tahun terakhir.
- Rencana Kenaikan
Sebagaimana kenaikan-kenaikan sebelumnya, rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintahan Jokowi-JK belakangan ini dilatarbelakangi soal beban subsidi yang sudah terlalu besar dan dianggap sangat memberatkan. Mulanya, alasan kenaikan yakni stok BBM bersubsidi yang menghadang pemerintah yang belum lama terbentuk. Stok dikabarkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun 2014 atau kurang dua bulan (November dan Desember). Namun, alasan ini segera terbantahkan menyusul konsumsi BBM hingga Oktober yang mencapai 38.4 juta kilo liter[3] atau masih tersisas sebesar 7.6 juta kilo liter dari alokasi kuota sebesar 46 juta kilo liter. Dengan demikian sampai akhir 2014, stok BBM bersubsidi dalam negeri diproyeksi akan aman.
Alasan kedua, karena APBN 2015 yang menambah dana alokasi BBM bersubsidi sebesar 31 triliun, dari sebelumnya 245 triliun (2014) menjadi Rp 276 triliun (2015), untuk kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 triliun. Peningkatan dana subsidi tersebut dikhawatirkan akan membuat APBN jebol, serta ruang fiskal bagi pemerintahan Jokowi menjadi sempit. Jika ini terjadi akan membuat pemerintahan baru ini tidak dapat bermanuver dalam rangka menjalankan program-program yang dijanjikannya pada masa kampanye. Karena itu, guna membuka ruang fiskal menjadi lebih lebar, pemerintah berencana menaikkan harga jual BBM eceran antara Rp 2.000/liter hingga Rp 3.000/liter.
Sebelum kita menghitung berapa sesungguhnya harga keekonomian BBM dan berapa pula besar biaya subsidi yang ditanggung pemerintah, baiknya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa BBM dalam negeri berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu dari produksi minyak dalam negeri dan dari impor. Menurut Direktur Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Naryanto Wagimin, seperti dikutip Tempo (8/1/2014), untuk memenuhi kouta BBM subsidi tahun 2014,[4] separuhnya dipenuhi melalui impor.[5] Sisanya sebesar 23 juta/kl dipenuhi dari produksi minyak dalam negeri. Pasokan minyak dari dalam negeri ini sudah termasuk 25 persen kewajiban DMO (Domestik Market Obligation) dari bagian KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.22/2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas). Secara sederhana alur BBM di Indonesia tergambar dalam diagram dibawah.
Namun perlu diketahui dari 23 juta/kl impor minyak tersebut, tidak sepenuhnya merupakan minyak olahan (bensin, solar, minyak tanah), sebagaian lagi adalah minyak mentah yang harus diolah lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang periode Januari-Agustus 2014 impor minyak mentah sebesar 11.094 ribu/kl, sementara impor minyak olahan sebesar 18.093 ribu/kl.
Sementara itu, untuk tahun 2015, sebagaimana diusulkan dalam RAPBN 2015, alokasi belanja subsidi BBM sebesar Rp 276 triliun. Dari angka itu, subsidi untuk premium sebesar Rp 108,3 triliun, solar Rp 80,2 triliun dan minyak tanah Rp 6,1 triliun. Demikian maka total subsidi untuk BBM jenis tertentu (premium, solar dan minyak tanah) adalah Rp 194,6 triliun. Sementara untuk kuota/volume BBM bersubsidi pada APBN 2015 tidak mengalami perubahan dari APBN 2014, yaitu 46 juta kilo liter, terdiri dari Bensin Premium 29,48 juta kilo liter, Minyak Solar 15,76 juta kilo liter dan Minyak Tanah 850 ribu kilo liter. [6]
Merujuk pada data-data di atas, paper ini berusaha melakukan simulasi perhitungan harga keekonomian BBM tertentu dan subsidi rill, yang semestinya ditanggung oleh anggaran negara (APBN). Selama ini, ada kecenderungan besaran harga keekonomian relatif tertutup kepada publik. Setidaknya itu yang diungkapkan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy. Noorsy mengakui bahwa ia tidak pernah mendapatkan angka pasti berapa ongkos propduksi BBM sesungguhnya, sebaliknya dia justru selalu memperoleh angka yang berbeda-beda.[7]
Karena ketidakseragamaan penggunaan metode dan formula, maka simulasi ini menerapkan kedua-dua pendekatan dan formula yang biasa digunakan pemerintah, yaitu metode perhitungan berdasarkan harga pasar (market price) dan metode berdasarkan biaya produksi (uplift cost).
Pendekatan uplift cost diterapkan oleh Kementerian ESDM pada tahun2012 lalu dalam menghitung harga keekonomian, karena itu beberapa orang menyebutnya formula ESDM.[8] Sementara metode perhitungan berdasarkan harga pasar (market price), sesungguhnya merupakan metode resmi yang diatur dalam peraturan presiden No.71 tahun 2005 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu. Dan ditegaskan kembali dalam Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.02/2012 Tentang tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran dan pertanggung jawabab subsidi jenis bahan bakar tertentu.
- Simulasi Market Price
Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Pepres) No.1 Tahun 2005, pasal 1 ayat 4 bahwa subsidi jenis BBM tertentu[9] per liter adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu setelah dikurangi pajak-pajak, dengan harga patokan per liter jenis BBM tertentu.[10] Sementara pada ayat 6 dinyatakan harga patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan, berdasarkan MOPS (mid Oil Platt’s Singapore)[11] rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin
Pepres ini ditegaskan kembali dalam Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.02/2012 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Subsidi harga dihitung berdasarkan perkalian antara subsidi harga per liter dengan volume Jenis BBM Tertentu yang diserahkan kepada Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu pada titik serah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Sementara ayat 3 menyatakan “Subsidi harga sebagaimana di maksud pada ayat (2) dihitung dengan formula sebagai berikut:
SH = SHL x V
SHL = [(HJE BBM – PPN – PBBKB) – HP BBM]
HP BBM = Harga MOPS + Alpha (a)
Alpha Premium = 3.32% MOPS = Rp 484/ltr
Alpha Minyak Solar = 2.17 MOPS + Rp 512/ltr.
Alpha Minyak Tanah = 2.49% MOPS + Rp 263/ltr
Keterangan:
SH =Subsidi harga
SHL =Subsidi harga per liter
V =Volume Jenis BBM Tertentu (liter)
HJE BBM =Harga Jual Eceran BBM (Rp/liter)
PPN =Pajak Pertambahan Nilai (Rp/liter)
PBBKB =Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (Rp/liter)
HP BBM =Harga Patokan BBM (Rp/liter)
MOPS = Mid Oil Platt’s Singapore (harga di bursa minyak Singapura)
Alpha = Biaya distribusi + margin, ditetapkan melalui Permen ESDM
No 2187/2014
Untuk harga MOPS tahun 2015, harga MOPS[12] tetap mengalami perubahan metode dari harga rata-rata menjadi harga terendah satu tahun terakhir. Namun menurut Satya W Yudha, anggota Banggar dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) seperti dikutip Sinar Harapan[13] (23/9/2014), kemungkinan harga minyak dunia diprediksi tidak akan berubah banyak, sehingga secara subtansi harga MOPS tidak akan jauh berbeda dengan harga MOPS yang dipatok pada APBN 2014 yaitu sebesar USD 99,6/bbl.
Penulis adalah peneliti Martapura Institute
————–
[1] Martinez, C., Javier. 2006. dikutip dari Prakarsa, Subsidi dalam penguatan kebijakan fiskal pro kemiskinan, policy Brief. 14 juni 2013
[2] Pada saat ini, subsidi BBM hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu (minyak tanah/kerosene, minyak solar/gas oil, dan premium).
[3] http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2149390/oktober-2014-konsumsi-bbm-bersubsidi-384-juta-kl#.VFt97TSsXfI
[4]APBN-P 2014 menurunkan kuota BBM bersubsidi menjadi 46 juta/kl dari sebelumnya 48 juta/kl pada APBN 2014
[5] http://www.tempo.co/read/news/2014/01/08/090543168/Pemerintah-Masih-Impor-Minyak-24-Juta-Kiloliter
[6] http://katadata.co.id/berita/2014/09/23/subsidi-bbm-2015-disepakati-rp-276-triliun
[7] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/09/130741626/Biaya.Produksi.Tak.Pernah.Transparan.Kenapa.Premium.Harus.Naik.
[8] http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5593-penjelasan-perhitungan-subsidi-bbm-1.html
[9] Jenis BBM dimaksud terdiri dari Premium, Solar dan Minyak Tanah
[10] Pada perhitungan ini harga patokan sama dengan harga keekonomian
[11] Harga pada bursa minyak Singapura
[12] MOPS sudah termasuk biaya distribusi yang terkait dengan MOPS, biaya angkut (bahan bakar) tanker, truk, dan losses
[13] http://sinarharapan.co/news/read/140923075/apbn-2015-subsidi-bbm-dan-elpiji-rp-276-triliun-span-span-