ARTIKEL pendek ini dilatari oleh keingintahuan atas pertanyaan yang sekian lama mengganggu penulis: Bagaimana kronologi peristiwa yang terjadi pada akhir September dan awal Oktober, ketika NU (Nahdlatul Ulama) mengeluarkan pernyataan resmi yang menuntut pembubaran PKI dan organ-organnya dan menyerukan keterlibatan umat Islam untuk mendukung ABRI dalam aksi penumpasan PKI?
5 Oktober 1965, Pengurus Besar NU, Jakarta, mengeluarkan “Resolusi Mengutuk Gestapu”, suatu surat pernyataan yang berisi sikap resmi NU menanggapi G30S (Gerakan 30 September) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Surat tersebut selengkapnya berbunyi (ejaan diubah, sebagaimana dikutip dari Benturan NU-PKI 1948-1965; selanjutnya disebut Buku Putih NU-PKI):
RESOLUSI MENGUTUK GESTAPU
Pernyataan PB Nahdlatul Ulama beserta segenap organisasi massanya;
MENGINGAT:
Pernyataan PB Nahdlatul Ulama beserta beberapa Ormas-nya yang dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 dan bertalian dengan peristiwa yang digerakkan oleh apa yang dinamakan “Gerakan 30 September”.
Bukti-bukti yang berada di tangan yang berwajib bahwa golongan kontra revolusioner “Gerakan 30 September” telah mempersenjatai Pemuda Rakyat dan anggota-anggota serikat buruh Pekerja Umum/SOBSI.
Pernyataan yang telah dikeluarkan oleh berwajib bahwa Pemuda Rakyat dan Gerwani secara khusus telah didatangkan dari jauh untuk dilantik di Lubang Buaya Jakarta, di mana kemudian telah dikubur dalam sumur tua jenazah dari 6 Jenderal dan seorang perwira pertama TNI yang telah menjadi korban kebuasan G30S.
Kenyataan bahwa Harian Rakyat organ resmi PKI bukan saja menyiarkan secara besar-besaran aksi-aksi dari gerakan kontra revolusi itu, bahkan juga editorialnya, karikaturnya, serta rubrik-rubrik khusus lainnya menyatakan dukungan yang penuh terhadap gerakan yang mencoba merebut hak prerogatif Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang telah mendapat dukungan sepenuhnya dari semua kekuatan revolusioner dalam negeri di dalam menghadapi partai/ormas yang kontra revolusioner.
MENIMBANG:
Bahwa setiap gerakan kontra revolusioner harus secepatnya dikikis habis sampai ke akar-akarnya demi teramankannya jalannya revolusi, demi terlaksananya 5 azimat revolusi serta terpenuhinya Amanat Penderitaan Rakyat.
MEMUTUSKAN:
Memutuskan kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya membubarkan Partai Komunis Indonesia, Pemuda Rakyat, Gerwani, Serikat Buruh Pekerja Umum/SOBSI serta Ormas lainnya yang ikut serta mendalangi dan bekerjasama dengan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”.
Memohon kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi agar mencabut izin terbit untuk selama-lamanya semua surat kabar/media publikasi lainnya yang langsung atau tidak langsung telah membantu apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”.
Menyerukan segenap umat Islam dan segenap kekuatan revolusioner lainnya untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada ABRI di dalam usahanya untuk melaksanakan perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi menyelesaikan/menertibkan kembali segala akibat yang ditimbulkan oleh “Gerakan 30 September”.
Jakarta, 5 Oktober 1965
PB Partai Nahdlatul Ulama
PP Muslimat Nahdlatul Ulama
PP Sarbumusi
PP Fatayat
PP Lesbumi
PP GP Ansor
PP PMII
PP Pertanu
PP Serikat Nelayan Muslimin Indonesia
Surat ini sudah banyak dilupakan, dan bahkan mungkin tidak banyak diketahui, oleh generasi NU hari ini, termasuk penulis sebagai generasi muda NU, dan mereka yang banyak bekerja untuk rekonsiliasi-rekonsiliasi di akar rumput; beruntung bahwa Buku Putih NU-PKI kembali membukanya. Padahal, jika ingin mengetahui lebih persis bagaimana NU berperan dalam kekerasan 1965, kita mesti mau tak mau mempelajari dokumen mahapenting ini, sejarahnya, serta konteks historis di mana ia muncul dan hubungannya dengan aksi-aksi warga Nahdliyyin di daerah.
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spekulatif sudah layaknya dimunculkan, tentu dengan tanpa mengedepankan prasangka, melainkan dengan bukti-bukti sejarah yang teruji, seperti: ‘Apakah pembasmian kader-kader PKI dan tertuduh PKI di daerah-daerah yang dilakukan oleh warga Nahdliyyin memiliki basis legitimasi tekstualnya dari pernyataan resmi PBNU tersebut?’ ‘Apakah surat resmi PBNU itu sampai dibaca oleh seluruh warga Nahdliyyin yang terlibat dalam aksi pembasmian, ataukah beredar sebatas di kalangan para pengurus NU pusat dan diteruskan dalam komando lisan ke daerah-daerah?’
Demikian juga, pertanyaan-pertanyaan spekulatif yang berhubungan dengan peran personal, seperti: ‘Apakah surat pernyataan tersebut telah dibuat atas persetujuan seluruh pengurus inti NU, dari Mustasyar hingga Tanfidziyah?’ ‘Bagaimana, misalnya, posisi Mbah Wahab (Kiai Wahab Chasbullah) dalam perumusan sikap NU terhadap G30 S dan PKI, mengingat Mbah Wahab, bersama KH Idham Chalid, termasuk di antara kiai-kiai NU yang dikenal berusaha mengambil langkah “akomodatif” terhadap PKI dan selalu menghindari cara-cara kekerasan?’ Buku Putih hanya menyebut sejumlah nama pengurus PBNU yang menandatangani surat pernyataan itu, tanpa menyebutkan seluruhnya. Di antara nama-nama yang disebut meneken surat itu adalah: KH Masjkur (Rois Syuriyah), KH M. Dachlan (Ketua I PBNU), KH Achmad Sjaichu (Ketua II PBNU), dengan keterangan KH Yusuf Hasyim sebagai pembawa draft surat.
Namun, pertanyaan spekulatif paling sulit dan musykil untuk dijawab, tetapi yang justru menjadi pokok persoalan, ashlul mas’alah (raison d’être) dari keputusan mendukung dan menyerukan pengambilan langkah tegas dan non-kompromistis terhadap PKI, yang segera berubah menjadi fenomena kekerasan yang tak terperi di berbagai tempat, adalah: ‘Apakah para tokoh NU dan warga Nahdliyyin sendiri telah benar-benar mengetahui dan yakin bahwa pelaku G30S adalah PKI secara institusional, dan bukan segelintir elite PKI yang melakukan “petualangan politik”, sehingga PKI dan massa-massanya dipandang berhak mendapat reaksi yang sedemikian keras, ataukah reaksi tersebut sekadar penyimpulan-penyimpulan intuitif, di tengah remang dan kaburnya peristiwa G30S, yang ditarik dari sumber-sumber informasi yang dari awal meragukan atau distortif?’ Atau dalam ungkapan ilmu ushul fiqh, ‘apakah keputusan NU tersebut telah didasarkan pada bukti-bukti yang qath’i (meyakinkan, tidak tergoyahkan, jelas dan kasatmata) atau pada bukti-bukti yang zhanni (bersifat dugaan, walaupun dengan indikasi-indikasi tertentu), atau sekadar didasarkan pada bukti-bukti yang wahmi (dugaan yang sangat meragukan, waham yang delusional, yang bersumber dari ketakutan-ketakutan akibat ketegangan situasi sosial-politik saat itu)?’
Kesulitan dan kemusykilan tersebut berpulang pada dinamika yang tidak serupa, diskontinu, dan sporadis antara situasi sosial-politik di pusat dan di daerah; misalnya, pada 3 Oktober 1965, tepat dua hari sebelum diumumkannya Resolusi PBNU tersebut, di Demak Jawa Tengah, Pemuda Ansor dan Banser dilaporkan melakukan ‘operasi pembasmian’ terhadap tokoh-tokoh PKI setempat, setelah menemukan sebuah dokumen berisi daftar beberapa ulama atau kiai di seluruh Demak yang ‘hendak diculik dan dibunuh oleh PKI’ (Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, 1985, hlm. 244-245). Ini berarti bahwa tindak kekerasan tersebut berlangsung mendahului keputusan resmi PBNU sendiri, dan dilakukan atas inisiatif para tokoh NU lokal yang motivasinya tidak berhubungan langsung dengan keputusan resmi di tingkat pusat. Hal ini, di sisi lain, juga dibentuk oleh ketegangan di tingkat lokal yang menghadapkan massa NU dan massa PKI sendiri, yang kemudian tidak diketahui lagi posisinya dalam kronologi peristiwa sepanjang bulan-bulan Oktober dan sesudahnya, apakah mendahului keputusan PBNU atau menindaklanjutinya, apakah bereaksi atas keputusan PBNU atau bereaksi terhadap apa yang terjadi di depan mata semata? Seperti dilaporkan oleh Chairul Anam, disebutkan bahwa di Banyuwangi Jawa Timur, misalnya, kader PKI mengepung dan membunuh beberapa tokoh NU dan Ansor, yang direaksi oleh Ansor dengan “pertempuran berdarah yang membawa korban 40 anggota pemuda Ansor gugur”, tanpa menyebutkan jumlah kader PKI yang terbunuh. Ketegangan-ketegangan di tingkat lokal semacam ini tampaknya merefleksikan otonomi relatif dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah dalam hubungannya dengan peristiwa di pusat, dan hal ini tidak hanya menimpa NU, tetapi juga menimpa PKI sendiri, yang sama-sama tidak mampu mengontrol secara kelembagaan perilaku perseorangan anggotanya karena faktor-faktor komunikasi yang distortif dan simpangsiur (atau sengaja disimpangsiurkan?) saat itu.
Namun demikian, hal tersebut tetap tidak menghilangkan arti penting secara politis surat resmi PBNU di atas dalam kaitannya dengan konfigurasi berbagai peristiwa menyusul G30S di basis masyarakat Nahdliyyin, dan konfigurasi politik di tingkat elite NU sendiri secara internal yang sering kali tidak dapat diakses langsung oleh warga NU di daerah, kecuali melalui instruksi-instruksi atau penuturan lisan para ulama dan tokoh NU setempat, satu hal yang membuat sejarah mengenai peran NU dalam kekerasan 1965 dan sesudahnya sangat sulit untuk dipahami oleh warga Nahdliyyin yang dipandang ‘awam’, kecuali melalui fragmen-fragmen ingatan yang berserak dan kesan-kesan umum yang kabur.
Signifikansi surat pernyataan PBNU tersebut terletak persisnya dalam dua dampak politis yang dimunculkannya, yang secara institusional menyeret NU ke dalam pusaran kekerasan 1965, yaitu:
Pertama, secara internal, surat itu menjadi basis legitimasi warga NU dalam melakukan pembasmian terhadap kader-kader PKI di daerah, terlepas dari apakah mereka dapat mengaksesnya secara langsung atau mendapat pesan ‘substansial’-nya melalui interpretasi para tokoh NU yang memberikan instruksi atau komando, atau yang mengorganisir suatu strategi bagi operasi tertentu di lapangan.
Kedua, secara eksternal, surat itu telah menyediakan suatu landasan tertulis bagi konsolidasi dan mobilisasi di lingkungan berbagai ormas Islam lainnya untuk mengambil langkah non-kompromistis terhadap PKI dan massanya. Di antara berbagai kekuatan umat Islam saat itu, NU de facto merupakan satu-satunya ormas Islam yang eksis dalam kepartaian maupun secara politis-kultural dengan jumlah massa terbanyak. Peran terkemuka NU dibanding ormas-ormas Islam lainnya saat itu memberikan suatu legitimasi sosial-politis sendiri, sehingga setiap langkah NU akan dibaca dan diinterpretasikan sebagai suatu langkah penting yang perlu diambil oleh umat Islam di Indonesia.
Peran sangat signifikan NU dalam percaturan ormas-ormas Islam itu telah tampak sejak beberapa tahun sebelumnya dengan tidak adanya lagi Masyumi, lalu dengan prakarsa NU untuk mengadakan KIAA (Konferensi Islam Asia-Afrika) di Bandung pada Maret 1965, yang melahirkan suatu statemen yang dibuat oleh NU bersama-sama Muhammadiyah, Al-Wasliyah, Gasbiindo, serta Partai Syarekat Islam Indonesia mengenai “persatuan Islam yang bulat”, di mana “setiap perongrongan terhadap segolongan atau sebagian umat Islam, dianggap sebagai perongrongan terhadap umat Islam secara keseluruhan” (Chairul Anam, op.cit., hlm. 241). Peran NU dalam persinggungan antara poros Islam dan poros komunis dalam skema ‘Nasakom’ Bung Karno saat itu cenderung bersifat ganda, karena NU di satu sisi memiliki peran positif untuk meredam gejolak kelompok-kelompok Islam (misalnya dari eks-Masyumi) untuk melancarkan aksi-aksi terhadap PKI, dan di sisi lain, NU memiliki peran positif untuk menyambungkan aspirasi kelompok-kelompok Islam kepada Bung Karno melalui langkah-langkah diplomatis yang dilakukan oleh para sesepuh NU semisal KH Wahab Chasbullah dan KH Idham Chalid. Ketika NU pada akhirnya mengeluarkan surat pernyataan sikapnya di atas, maka tidak tertahan lagi konfrontasi antara kelompok-kelompok Islam dan PKI; ormas-ormas tersebut, diakui atau tidak diakui, resmi berdiri di belakang NU untuk terlibat dalam aksi terhadap PKI. Demikian sentralnya peran NU, maka bisa dipahami, dan konsekuen dengan kenyataan di atas, apabila NU juga pihak pertama di antara berbagai ormas Islam yang membuka sejarah keterlibatannya dalam Peristiwa 1965 dan merintis usaha-usaha rekonsiliasi (islah) dengan para korban 1965 beberapa dasawarsa kemudian, mengingat peran NU yang sedemikian sentral dalam penyikapan terhadap PKI sepanjang dekade 1960-an.
Subhan ZE, foto diambil dari https://nobodycorpfound.files.wordpress.com
Juli/Agustus 1965 – 5 Oktober 1965
Latar belakang dari surat pernyataan NU di atas dapat ditelusuri hingga pada sekitar bulan Juli dan Agustus 1965, ketika Subchan ZE (Ketua IV PBNU) mengadakan kontak dengan berbagai kekuatan pemuda dari HMI, PMII, Pemuda Ansor, Muhammadiyah, serta pemuda Katolik (PMKRI), menanggapi kabar mengenai adanya latihan-latihan rahasia yang dilakukan oleh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan PR (Pemuda Rakyat) di Lubang Buaya. Untuk mengimbangi latihan kemiliteran yang dilakukan oleh dua organisasi yang berafiliasi kepada PKI tersebut, maka Subchan ZE disebut berencana mengadakan latihan serupa bagi para pemuda yang dikoordinasinya dengan melibatkan TNI Angkatan Darat. Latihan tersebut terlaksana untuk pertama kalinya pada Jumat dini hari tanggal 1 Oktober 1965, hanya beberapa saat setelah terjadi Gerakan 30 September (Chairul Anam, op.cit., hlm. 241).
Dari sini timbul beberapa pertanyaan. Jika pada malam hari itu para pemuda Islam dan Kristen rekrutan Subchan ZE – didukung oleh TNI-AD – berkumpul untuk mengadakan latihan militer, mengapa momen yang dipilih adalah malam 30 September, atau tepatnya, dini hari 1 Oktober 1965? Apakah kedua peristiwa yang nyaris bersamaan tersebut, latihan militer para pemuda dan Gerakan 30 September, murni bersifat kebetulan atau telah terencana sebelumnya (dengan asumsi bahwa Subchan ZE dan TNI-AD telah mencium gelagat terjadinya suatu gerakan tertentu pada malam 30 September)? Sejauh mana hubungan dan kontak-kontak antara Subchan ZE dan TNI-AD sepanjang bulan-bulan Juli hingga akhir September 1965? Apakah hubungan dan kontak tersebut atas seizin dan sepengetahuan para pimpinan PBNU yang lain, ataukah atas inisiatif pribadi Subchan ZE?
Yang menarik dilihat adalah bahwa bersamaan dengan latihan (para)militer para pemuda rekrutan Subchan ZE tersebut, pada pagi-pagi hari 1 Oktober 1965, di tempat lain di Jakarta berlangsung rapat pleno pimpinan pucuk GP Ansor. Hal ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa rapat pleno itu berlangsung pada pagi-pagi hari (beberapa saat setelah dini hari 1 Oktober 1965), dan nyaris bersusulan dengan kegiatan militer para pemuda Subchan ZE? Apakah rapat pleno tersebut khusus membicarakan perkembangan yang terjadi pada malam 30 September? Bagaimana para pimpinan Ansor mengetahui dengan cepat bahwa telah terjadi suatu gerakan pada 30 September? Dari mana mereka mengetahui fakta itu, sementara Radio Republik Indonesia (RRI) baru menyiarkan adanya gerakan 30 September melalui siaran Letkol Untung pada pagi hari 1 Oktober – mungkin nyaris bersamaan dengan rapat pleno Ansor? Adakah kontak antara Subchan ZE dan para pimpinan Ansor?
Terlepas dari keganjilan rapat pleno tersebut, yang tampaknya terlalu cepat merespons keadaan, siaran Untung di pagi 1 Oktober 1965 tersebut telah mencuri perhatian para tokoh NU, minimal dari kalangan pimpinan Ansor sendiri. Pada pukul 12.30 WIB, 1 Oktober 1965, Untung kembali melakukan siaran di RRI yang mempertegas pesannya yang telah disampaikan pada pagi hari. Berdasarkan kedua siaran itu, tampaknya para pimpinan Ansor bergerak merumuskan sikapnya. Di tempat lain, disebutkan bahwa para pimpinan tertinggi PBNU seperti KH Wahab Chasbullah (Rais Aam) dan KH Bisri Syansuri (Wakil Rais) serta beberapa yang lain berkumpul di rumah Ny. Sholihah Wahid Hasyim (Jl. Amir Hamzah), memantau situasi yang terjadi. Pertemuan tersebut menghasilkan dua butir keputusan yang menjadi ketetapan awal PBNU menanggapi G30S: “Pertama, mencela dengan keras tindakan perebutan kekuasaan oleh apa yang menamakan dirinya ‘Gerakan 30 September’; Kedua, menolak dan menentang pembentukan ‘Dewan Revolusi’”.
Dua pertemuan, di dua tempat yang berbeda, tetapi di saat yang bersamaan di siang 1 Oktober 1965: pertemuan pimpinan Ansor dan pimpinan PBNU. Meski demikian, kedua pertemuan itu menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Meski keduanya sama-sama berangkat dari respons atas kejadian malam sebelumnya, dan merujuk pada siaran Untung sebagai sumber satu-satunya bagi sikap yang diambil, keputusan kedua pertemuan tersebut berbeda. Para pimpinan Ansor, dalam kesimpulannya yang dikutip oleh Buku Putih, menyebut dengan tegas bahwa G30S didalangi dan dilakukan oleh PKI. Sementara, para pimpinan PBNU hanya mengutuk tindakan kup, tanpa menyebut secara eksplisit bahwa auctor intellectualis dari G30S adalah PKI. Terlihat kehati-hatian pimpinan PBNU, dibandingkan dengan sikap menggebu pimpinan Ansor.
Dengan demikian pertanyaannya, dari mana kemudian PBNU tiba pada kesimpulan bahwa dalang dan pelaku G30S adalah PKI? Buku Putih NU-PKI menyebutkan bahwa sejak siaran udara Untung yang kedua di RRI, para pimpinan PBNU telah mengikuti dengan seksama perkembangan situasi G30S. Tetapi, berbeda dengan pimpinan Ansor, pimpinan PBNU belum secara eksplisit menunjuk hidung pada PKI, walaupun secara intuitif, menurut Buku Putih, telah merasakan bahwa gerakan tersebut dilakukan oleh PKI. Chairul Anam dalam bukunya menulis dengan nada yang kurang lebih serupa, “Peristiwa Gestapu PKI ini bagaikan membenarkan asumsi NU tentang rencana pemberontakan PKI”. Kata “ASUMSI” ini penting digarisbawahi karena mengindikasikan bahwa pimpinan PBNU telah memiliki praduga tentang rencana kup oleh PKI, tetapi praduga itu ternyata baru terbukti saat itu. Indikasi-indikasi asumsional, intuitif, dan bersifat dugaan ini yang terus-menerus diulang, bahkan bukan cuma untuk menggambarkan dinamika di pusat, tetapi juga di daerah. Buku Putih menulis, “Walaupun tanpa komunikasi satu sama lain, tetapi melihat situasi pemanasan sebelumnya, maka mereka sepakat bahwa PKI-lah yang melakukan kudeta itu”. Buku Putih lebih lanjut menceritakan dinamika yang terjadi di Trenggalek, ratusan kilometer dari Jakarta, bahwa dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Sofyan (Ketua PCNU Trenggalek), “ditegaskan bahwa pelaku penculikan para jenderal adalah PKI”. Dari mana kesimpulan-kesimpulan ini lahir, dan kemudian memberi kesan bahwa kesimpulan ini otomatis benar untuk menjadi suatu landasan pengambilan sikap?
Selain menggarisbawahi dimensi-dimensi asumsional dan intuitif di atas, patut digarisbawahi bahwa satu-satunya bukti yang dijadikan referensi oleh para tokoh NU adalah perkembangan informasi yang sejak beberapa saat kemudian setelah siaran Untung terakhir, didominasi oleh berita dari Angkatan Darat. Hal ini ditegaskan oleh Chairul Anam yang menyebut bahwa “NU lebih menemukan kebenaran perhitungan politiknya” setelah mendengar bahwa “Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto dan RPKAD berhasil kembali menguasai stasion RRI” serta “berhasil menggiring para pelaku Gestapu PKI ke Lubang Buaya”. Dan Buku Putih melanjutkan: “Dengan adanya pengumuman RRI dari Mayor Jenderal Suharto ini, maka PP GP-Ansor semakin yakin akan kebenaran pengamatannya mengenai peristiwa yang terjadi pada hari itu, dan berketetapan hati untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya untuk mengikutsertakan Gerakan Pemuda Ansor dalam penumpasan Gestapu lebih lanjut”.
Fakta bahwa para tokoh NU mengandalkan informasi yang datang eksklusif dari Angkatan Darat, dan mempercayai tanpa curiga sumber berita tersebut, sudah membawa suatu problem tersendiri. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah para tokoh NU tidak menyadari atau melupakan fakta yang telah diketahui bersama sebelumnya mengenai persaingan dingin antara Angkatan Darat dan PKI? Apakah ini suatu manuver NU yang telah diperhitungkan dengan matang, ataukah suatu kealpaan yang tidak disengaja akibat ketegangan dan ketidakpastian situasi politik di Jakarta detik-detik itu? Mengapa NU terlalu berbaik sangka (husnudzon) pada sumber berita dari Angkatan Darat, tanpa mencoba mengecek ulang ke pihak-pihak lain, misalnya Bung Karno sendiri, atau menunggu sampai Bung Karno angkat bicara mengenai G30S? Mengapa untuk keputusan-keputusan sepenting ini – menarik kesimpulan bahwa pelaku G30S adalah PKI, menyerukan pembubaran dan penumpasan, dst. – para pimpinan NU saat itu hanya mengandalkan radio sebagai sumber referensinya? Untuk sementara, kita dapat mengatakan bahwa para tokoh NU saat itu praktis menjadi korban dari mobilisasi media oleh Angkatan Darat, yang setidaknya sejak 2 Oktober telah memegang kendali media-media utama yang menjadi referensi sebagian besar audiens Indonesia. Yang terlihat ganjil adalah bahwa para pimpinan NU sepertinya tak punya pilihan lain selain menyimak dan duduk pasif di hadapan media-media tersebut, tanpa mencoba menerobos barikade informasi yang telah dikuasai oleh Angkatan Darat, sementara di sisi lain, mereka dikenal memiliki jalur-jalur komunikasi khusus yang mampu menghubungkan mereka, setidaknya, dengan Bung Karno, yang pada hari-hari itu dibungkam dan dihilangkan dari peredaran. Puncak dari drama itu adalah peristiwa diangkatnya jenazah para jenderal di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965, dan dramaturgi ketercekaman NU di hadapan rentetan peristiwa yang telah dikawal dengan rapi oleh Angkatan Darat itu akhirnya pecah dengan selembar surat keputusan pada 5 Oktober tersebut.
Surat keputusan itu, sekali lagi, tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan titik akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya dan penyikapan atasnya. Dari paparan Buku Putih, kelihatan siapa yang paling menggebu menanggapi peristiwa-peristiwa tersebut, tak lain adalah Ansor beserta segenap tokoh pemudanya. Melihat pengangkatan jenazah para jenderal, Ansor kembali mengadakan rapat yang entah kesekian kalinya, “di berbagai tempat dan selalu berpindah-pindah itu” – kita menangkap kesan rapat-rapat rahasia yang sifatnya sangat tertutup – yang kemudian menghasilkan keputusan lebih tegas lagi yang menuntut pembubaran PKI dengan “pertimbangan bahwa kalau saat ini yang menjadi sasaran pembunuhan adalah para jenderal, maka dalam waktu dekat, sebagaimana perilaku PKI selama ini, PKI pasti akan lebih kejam lagi menganiaya dan membunuh para ulama atau para kiai”, dan karena “PKI telah terbukti melakukan tindakan makar maka Ansor sebagai pembela agama dan penjaga negara harus melakukan serangan dengan segera”. Pertimbangan, dugaan, atau waham-kah? Kali ini, daripada dugaan yang bersifat zhanni (dengan indikasi-indikasi yang cukup kuat), apa yang disebut “pertimbangan” oleh Buku Putih itu cenderung lebih dekat kepada waham atau delusi dari Ansor sendiri. Dari mana pimpinan Ansor saat itu menyimpulkan bahwa PKI akan menganiaya kiai-kiai? Apa indikasinya? Apakah NU jelas-jelas menjadi sasaran serangan fisik, setidaknya di Jakarta, sementara di sisi lain posisi politik kiai-kiai NU masih kuat di samping Bung Karno? Tidak ada keterangan kecuali kesan-kesan yang lebih didorong oleh ketakutan-ketakutan.
Dalam waktu singkat, para pimpinan Ansor (tidak jelas siapa nama tokohnya) berhasil menyusun draft surat pernyataan yang kemudian dibawa, melalui perantara KH Yusuf Hasyim, kepada para pimpinan PBNU sebagaimana disebutkan di atas. Ada kejadian menarik. Ketika draft surat itu selesai dibuat, Ansor kehilangan jejak para pimpinan PBNU yang pada 4 Oktober 1965 itu tidak diketahui berada di mana. Ansor baru bertemu dengan pimpinan PBNU keesokan harinya pada 5 Oktober 1965 pada upacara pemakaman para jenderal korban G30S di Kalibata. Bersama-sama pimpinan PMII, pimpinan Ansor menyerahkan draft yang telah jadi untuk langsung ditandatangani pada saat itu juga, tanpa modifikasi atau koreksi, dan berikutnya secara bergilir ditandatangani juga oleh pucuk pimpinan ormas-ormas di bawah PBNU lainnya. Bagaimana pimpinan PBNU (meski sepertinya tidak seluruhnya) dapat hadir di upacara pemakaman jenderal di Kalibata? Siapa yang mengontak dan mengundang mereka? Angkatan Darat-kah? Apakah kehadiran pimpinan PBNU di Kalibata juga disertai dengan kehadiran Mbah Wahab selaku Rais Am? Belum begitu jelas.
Yang jelas adalah bahwa surat pernyataan itu memberikan suatu argumen baru, suatu argumen teologi politik, bahwa PKI adalah bughat (pemberontak) yang sedang membuat makar kepada Republik Indonesia, dan karenanya harus diperangi. Tidak lama kemudian, PBNU mengeluarkan instruksi yang menyerukan kepada seluruh warga NU untuk melakukan shalat ghaib bagi para jenderal yang dikebumikan.
Surat pernyataan itu merupakan titik akumulasi, tapi sekaligus titik awal bagi lembaran baru, lembaran berdarah yang menarik NU dan warga Nahdliyyin dalam pusaran kekerasan di bulan-bulan berikutnya. Disebutkan, pernyataan itu kemudian disiarkan di berbagai media, dalam maupun luar negeri, dan mendengar keputusan NU yang “berani dan berisiko” itu, segera ormas-ormas Islam lainnya mendapat sinyal tentang, dalam kata-kata Buku Putih, “jihad secara terbuka” terhadap PKI. Implikasi luas dan mendalam dari selembar surat itu secara internal terus diperkuat dengan konsolidasi-konsolidasi yang dilakukan, lagi-lagi oleh Ansor, kali ini di bawah koordinasi Subchan ZE. Pada tanggal 5 Oktober 1965 itu juga Subchan ZE bersama pemuda binaannya membentuk “Komando Aksi Pengganyangan Gestapu” (KAP GESTAPU). Bagaimana sikap sesepuh PBNU menghadapi gejolak ini, selain mengetahui dan merestui? Sejarah resmi di internal NU sendiri tidak memberi ruang cukup besar bagi peran yang dimainkan oleh para pimpinan PBNU dalam, misalnya, mengontrol hasrat menggebu-gebu dari para pemuda NU untuk mengganyang PKI. Sementara kita tahu bahwa di NU terdapat kalangan seperti KH Wahab Chasbullah dan KH Idham Chalid yang dikenal dekat dengan Soekarno, diplomatis terhadap PKI, dan sangat berhati-hati dalam melancarkan langkah-langkah politik – suara-suara kalangan tua tersebut sepertinya kalah dan tenggelam oleh peran yang diberikan sejarah resmi NU kepada para pemuda, dalam hal ini Ansor, yang dipuja-puji sebagai garda depan aksi penumpasan PKI.
Bisa dibilang, bahwa surat keputusan PBNU tersebut sangat didominasi, dalam prosesnya, oleh para pimpinan Ansor. Apakah di sini terjadi hubungan yang demokratis atau tidak, kita tidak tahu. Mengingat pimpinan PBNU lebih tinggi posisinya dari pimpinan Ansor, dan merupakan para kiai sesepuh yang justru menjadi panutan bagi Ansor sendiri, suatu hal yang ganjil melihat bahwa Ansor-lah yang meminta para pimpinan PBNU untuk meneken tanda tangan terhadap surat itu. Bukankah PBNU memiliki Sekretaris (Katib)-nya? Mengapa pimpinan PBNU yang notabene kiai-kiai sepuh dan konseptor dari garis perjuangan NU sendiri, tidak menyusun sendiri draft tersebut? Apakah pimpinan PBNU saat itu dalam posisi terdesak atau didesak untuk tanda tangan, ataukah dalam posisi yang cukup bebas? Keganjilan koordinasi struktural itu mengingatkan pada bagaimana Soeharto dan para perwira pendukungnya mendesak (baca: mengintimidasi?) Bung Karno untuk menandatangani Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), bagaimana bawahan mendesak atasannya untuk menyetujui suatu hal yang dibuat oleh si bawahan sendiri. Siapa yang menggerakkan Ansor itu berbuat sedemikian cepat? Adakah itu terkait dengan kedekatan antara Subchan ZE dan Angkatan Darat?
Andai pertanyaan-pertanyaan itu dapat terjawab, maka mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa surat keputusan PBNU tertanggal 5 Oktober 1965 itu merupakan manifestasi dari kemenangan sayap anti-Soekarno dan anti-PKI yang terdiri dari kaum muda NU dan sebagian dari veteran pejuang NU, terhadap sayap moderat NU yang diwakili, antara lain, oleh Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Idham Chalid (Bdk. Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Bab V, catatan kaki no. 12). Garis moderat NU ini, yang cenderung mengedepankan langkah-langkah diplomatis, intelektual, dan ideologis dalam menghadapi PKI, daripada cara-cara kekerasan dan konfrontasi fisik, beberapa dasawarsa kemudian diikuti oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), yang mencoba meretas kebekuan hubungan dengan para eks-PKI dan korban 1965 dengan tindakan rekonsiliasinya. Dari sini menjadi penting bila kaum muda NU hari ini kembali melakukan pembacaan kritis terhadap peran-peran tokohnya di masa lalu, seperti Subchan ZE dan para pimpinan Ansor, sepanjang tahun 1965-1966, untuk melihat bagaimana sepak terjang mereka membawa NU masuk ke dalam blunder sejarah, yang membawa NU tercatat dalam salah satu episode berdarah dalam sejarah bangsa Indonesia.***
Penulis adalah warga NU.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Islam Bergerak. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.