KETIKA mendengar pidato presiden Joko Widodo di depan kelompok bisnis di pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Beijing, Cina beberapa hari lalu, sontak muncul pro-kontra di dalam negeri. Mulai dari yang remeh temeh dan tidak esensial, seperti cara pengucapan bahasa Inggris Jokowi, hingga yang berkaitan dengan isi pidato tersebut.
Para politisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan sebagian intelektual, menuding bahwa Jokowi telah menjual kekayaan alam Indonesia ke pihak asing secara telanjang. Dengan bahasa yang tidak sensitif gender, Mahfudz Siddig, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan bahwa ‘Jokowi ibarat gadis yang sedang menelanjangi diri’. Di pihak lain, para pendukung Jokowi, baik dari partai politik, kalangan intelektual, dan relawan berusaha membela tindakan Jokowi tersebut sebagai sesuatu yang baik, konkret, dan membanggakan. ‘Jokowi sudah berhasil menarik investor dunia, walau hanya dalam waktu yang singkat’, demikian pembelaan pengamat politik Boni Hargens, yang dikenal sebagai pendukung setia Jokowi.
Apa yang menarik dari pro-kontra ini adalah sasaran dan isinya yang bersifat personal. Bagi KMP, apapun yang dilakukan Jokowi pasti ada salahnya, baik itu kesalahan besar maupun kecil. Jokowi pasti salah, dan karena itu harus dikritik, dan dengan demikian kritik dilakukan dengan tujuan untuk mendelegitimasi kekuasaan Jokowi. Makin banyak dan besar kesalahan Jokowi, makin keras kritik dilancarkan, dan makin cepat Jokowi diturunkan dari kursi kepresidenan. Apalagi, pada setiap kesempatan dimana Prabowo Subianto, salah satu patron dari KMP hadir di tengah-tengah mereka, para politisi KMP selalu berteriak ‘Hidup presiden Prabowo.’ Biar bodoh asal bersemangat.
Di pihak lain, para pendukung Jokowi hampir-hampir sulit melakukan kritik atau bahkan bersikap kritis terhadap Jokowi. Jokowi adalah harapan untuk masa depan republik yang lebih baik. Apalagi dengan keberadaan KMP yang begitu agresif, maka mengritik Jokowi ibarat memberi tambahan gizi pada penguatan otot-otot KMP. Kalau toh ada kritik terhadap Jokowi, maka kritik lebih diarahkan kepada para pembantu Jokowi, mulai dari wakil presiden Jusuf Kalla hingga para menterinya. Misalnya, kritik terhadap Jusuf Kalla yang ingin secepatnya menghapus subsidi BBM sebelum ayam berkokok di pagi hari, atau kritik terhadap Sudirman Said yang seperti siput dalam menangani keberadaan mafia migas.
Lalu, dimana posisi kita di tengah-tengah kecenderungan kritik dan anti-kritik ini? Pada editorial sebelumnya, kami telah mengatakan bahwa setelah Jokowi dilantik sebagai presiden, maka dukungan kita harus berubah dari dukungan personal (ketika masih dalam proses pemilihan presiden) menjadi dukungan atas program. Ini berarti, kalau ada kritik kita terhadap Jokowi, maka itu haruslah merupakan kritik terhadap program-program kerjanya, bukan kritik terhadap pribadi seorang Jokowi yang menjabat sebagai presiden. Baik buruknya program kerja sangat menentukan kinerja subjektivitas seorang presiden, namun baik buruknya perilaku subjektif seorang presiden belum tentu tercemin pada program-programnya secara objektif.
Kritik atas program mensyaratkan sikap ilmiah yang jujur dan disiplin. Ketika Jokowi dengan terbuka mengundang para investor untuk datang menanamkan investasinya di beberapa sektor ekonomi, maka kita mesti menempatkan undangan itu sebagai bagian dari program, kebijakan, dan ideologi (baca: orientasi pembangunan) dari pemerintahan Jokowi-JK. Kritik dengan demikian mesti ditujukan pertama-tama pada pembedahan secara ilmiah tentang ‘apa sebenarnya orientasi pembangunan dari pemerintahan ini?’ Apakah benar bahwa pemerintahan Jokowi-JK menganut asas Trisakti Bung Karno, sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan di masa kampanye lalu? Jika ya, apa memang seperti itu kebijakan dan implementasi dari ideologi Trisakti? Apakah para menteri itu memang cocok untuk mengemban amanat perjuangan Trisakti? Atau sebenarnya ideologi Trisakti itu hanya bumbu penyedap untuk memperoleh dukungan konstituen di masa kampanye Pilpres?
Dengan melakukan kritik atas program, maka bukan saja kita menghindari individualisasi atau personalisasi kekuasaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh kedua kelompok di atas, tetapi juga memberikan pembelajaran kepada kita semua tentang pentingnya sikap ilmiah dalam setiap aspek tindakan politik kita. Sikap ilmiah ini memang tidak mudah dan belum tentu efektif dalam kerangka politik praktis. Maksudnya, jika politik adalah kekuasaan, maka cara termudah dan efektif untuk memobilisasi dan merebut kekuasaan adalah dengan melontarkan sentimen-sentimen paling purba dalam diri manusia: ras, etnis, dan agama dan (komunis untuk kasus Indonesia). Teriakan ‘Tolak Ahok sebagai gubernur DKI karena ia kafir dan Cina’, jelas lebih mudah diterima dan dicerna ketimbang seruan ‘Tolak Ahok karena program-program pembangunannya sarat kebijakan neoliberal.’
Kritik atas program membutuhkan ketelatenan dan kedisiplinan dalam berpikir dan bertindak. Kritik atas program akan membantu kita untuk menentukan dimana posisi kita dalam proses perjuangan melawan kapitalisme ini. Kritik atas program membantu kita untuk tidak terjepit di antara dua karang penentang dan pendukung personal Jokowi. Kritik atas program akan membawa kita terus bergerak maju membangun gerakan progresif di Indonesia.***