PERKENANKAN tulisan ini memulai dengan satu ihwal yang boleh jadi terkesan menghabiskan waktu bila dihaturkan kepada audiens pemerhati isu kesejahteraan sosial. Semua di tempat ini kenal Muhammad Yunus, saya cukup yakin. Semua tahu Grameen Bank. Pada tahun 2006, Nobel Perdamaian disematkan kepada Yunus. “Untuk usaha mereka menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah,” situs penghargaan Nobel menjelaskan. Grameen Bank, dirintis oleh Yunus pada tahun 1983, dalam narasi yang merebak luas merupakan sistem perbankan inovatif yang membuktikan bahwa kawula paling melarat sekalipun mampu memperbaiki kehidupannya. Persoalannya semata apakah mereka memperoleh kesempatan atau tidak. Yunus, berangkat dari kepeduliannya, memberanikan diri mengulurkan fakir miskin kesempatan yang seharusnya mereka miliki ini. Lewat dua dekade kiprahnya, Grameen Bank membuktikan satu fakta yang menginspirasi lembaga keuangan di mana-mana membuka akses pinjaman kepada para kawula termiskin. Sembilan puluh lima persen, fakta yang terus-menerus diulang manakala seseorang berbicara ihwal Grameen Bank, mengembalikan pinjaman yang dikucurkan bank rintisan Yunus. Angka yang bukan hanya lebih tinggi tapi jauh lebih tinggi dari angka pengembalian rata-rata.
Grameen Bank, dalam narasi yang tersampaikan kepada kita semua, memberdayakan kawula miskin lebih efektif dari strategi pemberdayaan yang sudah-sudah. Mereka tak perlu diberdayakan. Dengan sentuhan secukupnya, mereka dapat memberdayakan dirinya sendiri. “[Bisnis sosial] membuka ruang baru tanpa menutup sisi yang lain,” imbuh Yunus menjelaskan konsep yang dijalankannya di mana keuntungan tak harus berjalan berseberangan dengan kebutuhan sosial. Keduanya dapat saling mendorong, memperkuat. Praktik bisnis tak harus mengorbankan salah satu di antara kesinambungan dan pengabdian kepada masyarakat. Gerakan Yunus sendiri, yang menunjukkan peluang keduanya beriringan, tulis majalah Fortune, “tak pelak revolusioner.” Lanjut majalah ini, “[g]agasan Yunus menggugah begitu banyak anak muda untuk mengabdikan dirinya untuk misi sosial di seluruh penjuru dunia.”
Namun di balik gegap gempita Grameen Bank, satu hal yang seharusnya mengganggu kita manakala memperbincangkannya malah tak pernah benar-benar mengganggu kebanyakan kita. Bagaimana dengan praktik perbankan ini di lapangan? Satu ciri yang boleh dikatakan konsisten berlaku, di mana narasi keberhasilan Yunus merebak, adalah cerita-cerita kesuksesannya selalu mengambang. Dengan mengambang, saya memaksudkan, kisah inspiratifnya tak pernah diikuti oleh evaluasi implementasinya. Telusur Aminur Rahman (1999), jauh sebelum Grameen Bank memperoleh ketenaran global yang diraihnya saat ini, memperlihatkan di satu sisi klaim kesuksesan bank ini memang tak keliru. Tingkat pengembalian memang tinggi. Persoalannya, satu sisi fakta Grameen Bank ini—fakta yang segera memobilisasi lembaga-lembaga keuangan untuk melebarkan sasarannya kepada kelompok ekonomi lemah sekaligus diapropriasi menjadi narasi bisnis sosial yang menggugah—menyebar jauh lebih cepat dari kebenaran lain yang seharusnya turut tersebar bersamanya.
Tingkat pengembalian tinggi pinjaman Grameen Bank bukannya tanpa ekses. Grameen Bank menerapkan mekanisme tanggung renteng. Tunggakan peminjam, artinya, tak ditanggung oleh sang peminjam sendiri melainkan kelompok beranggotakan lima orang yang ditunjuk untuk menanggungnya secara kolektif. Bank, konsekuensinya dalam praktik Grameen Bank, sanggup mengikat kelompok penghasilan rendah tanpa mensyaratkan mereka mempunyai aset yang dapat menjadi penjamin. Relasi sosial mereka sendirilah yang (dikonversi) menjadi penjamin. Namun konsekuensinya untuk peminjam, ia mendapat tekanan yang besar dari kelompoknya. Hal yang lumrah terjadi selanjutnya adalah peminjam membayar dengan hutang baru ke lintah darat yang meminta bunga tinggi. Fakta yang sepadan dijumpai Lamia Karim (2011) dalam penelitiannya beberapa tahun kemudian. ‘[L]embaga-lembaga keuangan memanfaatkan rasa malu wanita-wanita di pedesaan sebagai teknologi penertibannya untuk menagih hutang. Norma kehormatan dan rasa malu para wanita yang menuntun perilaku mereka di pedesaan diinstrumentalisasi lembaga-lembaga ini untuk memberlangsungkan kesejahteraan kapitalis mereka’ (Karim 2011:198). Yang terjadi, suami yang takut kehilangan muka bila sang istri gagal bayar hutang menunggak hutang ke pihak lain dan tak jarang kepada lintah darat. Beberapa tahun belakangan, Karim mencatat, lembaga-lembaga keuangan juga mengadu ke pengadilan, polisi, maupun para kades untuk menagih hutang.
Grameen Bank juga dapat berkesinambungan tidak tanpa alasan. Ia memasang bunga yang tak bisa dibilang rendah. Besaran bunga dalam skema pinjamannya tak kurang dari dua puluh persen, yang harus dibayarkan dalam tempo 52 minggu. Yang lazim terjadi, namun cukup langka terungkap, hutang yang menumpuk menyebabkan rumah tangga mengalami tekanan. Wanita, yang ditekankan Grameen Bank sebagai subjek sasarannya, dalam berbagai kasus justru menjadi sasaran kekerasan rumah tangga. Wanita, yang dibangga-banggakan menjadi subjek emansipasi program ini, dalam praktik yang meluas di desa-desa Bangladesh, tetap tak punya kekuasaan mengambil keputusan digunakan untuk apa pinjaman mereka sendiri; pinjaman ke bank dilakukan atas nama mereka tetapi keputusan membelanjakannya tetap berada di tangan sang suami. Ekses Grameen Bank dan praktik-praktik pinjaman mikro selanjutnya adalah perombakan pola hubungan lama. Pertama, yang sudah disinggung sebelumnya, hubungan antarkeluarga di antara mereka yang kesulitan mengembalikan goncang bahkan mendorong berlangsungnya KDRT. Namun selain itu, terinspirasi praktik yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan, para wanita membuka praktik peminjaman uang mereka sendiri. Akibatnya, mereka menjadi enggan untuk meninjamkan uang kepada para kerabat karena dianggap tidak akan sanggup mengembalikannya. Relasi-relasi setempat, artinya, bukan hanya dialihkan menjadi teknologi penertiban melainkan juga mengalami ekonomisasi mengikuti intervensi yang dilakukan.
Fakta-fakta barusan, kendati demikian, tak pernah menjadi apa pun selain catatan pinggir para antropolog untuk praktik Grameen Bank dan lembaga-lembaga keuangan mikro di tempat kelahiran bank yang didaku untuk kaum papa tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, memang, kritik-kritik terhadap praktik Grameen Bank marak dikemukakan oleh sejumlah peneliti. Bateman, dari telusur ekonomi, menyampaikan kredit mikro tak lain dari perangkap kemiskinan dan kebijakan antipembangunan (Bateman 2010:5). Metodologi evaluasi yang menunjukkan keefektifan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan kini dipertanyakan (Roodman dan Morduch 2009). Kisah-kisah sukses kredit mikro merupakan segelintir kasus yang dipilih secara sengaja dan bukan representasi yang kredibel untuk penerapannya secara meluas (Banerjee dan Duflo 2011). Tetapi apakah kesan pertama yang kita dengar tentang sosok Yunus bila kita jauh dari persentuhan dengan ranah yang punya kepentingan memeriksa serta menggugat kinerja perbankannya? Tetap, perintis bank kaum papa. Sang pemimpi yang mendambakan dunia tanpa kemelaratan. Temuan-temuan riset tidak, atau sekurangnya belum, mematahkan laju citra Yunus serta lembaga keuangan mikro yang telah menjadi identik dengan sosoknya. Nicholas Kristof, kolumnis New York Times menulis: ‘Kredit mikro tak diragukan merupakan inovasi yang paling gamblang dalam kebijakan pengentasan kemiskinan setengah abad terakhir ini.’ Apa kata insan awam? Seorang penonton penampilan Yunus di acara “Daily Show” berkomentar, ‘Inilah sosok yang selalu kita nantikan. Mereka cukup berbudi untuk menolong sesamanya yang membutuhkan. Kita teramat membutuhkan sosok-sosok semacam. Saya berharap dapat memiliki sosok semacam di seluruh dunia pasalnya, mereka ringan tangan dan siap membantu kaum papa.’
Seseorang boleh menyangsikan kalau skema Grameen Bank benar-benar dibutuhkan oleh subjek penerimanya. Namun, yang boleh dipastikan, Yunus dan skema pemberdayaannya merupakan satu imajinasi yang dibutuhkan saat ini. Kata siapa? Kata penghargaan-penghargaan prestisius yang disematkan kepada Yunus—jumlahnya terlampau banyak untuk disinggung di sini dan ia bahkan memiliki hari Muhammad Yunus, harinya sendiri, di Houston, Texas. Skema Grameen Bank, setidaknya dalam pikiran bersahaja sebagian pencerapnya, mengulurkan sebuah panacea untuk kontradiksi menyakitkan yang harus diterima sebagai kondisi umum hari ini—ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi bergulir pesat dan menjadi norma bagi negara-negara. Kekayaan kian menumpuk dan berlimpah-limpah. Tapi, orang-orang dipaksa menerima, sebagian kelompok tak mungkin menikmatinya. Tanpa akses dan sumber daya yang tak pernah mereka miliki, sebagian insan ini seakan ditakdirkan hidup, besar, dan meninggal dalam kemelaratan. Kita bisa menyisihkan sebagian pendapatan untuk mereka. Dan, pertanyaan klasik dan klise yang lekas mengemuka adalah, akan seberapa efektif? Untuk seberapa lama pemberian ini akan berguna bagi mereka? Bagaimana bila pemberian ini justru menimbulkan ketergantungan? Kegusaran ini menyiapkan panggung untuk kemunculan sosok wirausahawan sosial, yang punya kepekaan terhadap sesama namun cukup brilian untuk meretas cara yang realistis agar sejalan dengan realitas tatanan kontemporer. Muhammad Yunus, tokoh kita, menjadi nama yang mengisi ceruk ini.
Apa yang terjadi di lapangan, terjadi di lapangan. Pinjaman mikro menjadi perangkap kemiskinan baru. Di berbagai tempat, praktik-praktik kredit mikro semacam mengalami krisis terima kasih kepada kebijakan menambah nasabah yang terlampau agresif. Gagal bayar berlangsung di beberapa negara. Penyebabnya, Guerin dkk mengamati, punya kemiripan satu sama lain. Lembaga-lembaga kredit mikro memberikan hutang kepada warga yang sudah terikat pinjaman dengan lembaga kredit mikro lainnya (Guerin dkk. 2014:5). Dengan tingginya tingkat gagal bayar yang tercatat di Bangladesh, kita bisa menerka hal ini pun tak terkecuali melanda para nasabah Grameen Bank. Hanya saja, Grameen cukup cerdas tak pernah merilis laporan keuangan lengkapnya (Johnson 2014:83). Tetapi, kenyataannya, sekelumit kenyataan tersebut tak penting. Apa yang penting menyangga keberlangsungan Grameen Bank hingga saat ini ia menjadi patokan pemberdayaan di belahan-belahan dunia adalah apa yang terjadi di pikiran kita sendiri yang membutuhkan bantalan dari pemandangan pedih ketidakadilan yang mudah kita jumpai di mana-mana. Pikiran kita tak memerlukan detail empiris yang rumit bagaimana mekanisme yang digagas Yunus mungkin untuk diterapkan. Dengan dahaganya akan sebuah opsi untuk menuntaskan paradoks pembangunan, pikiran ini hanya butuh skema Yunus terkesan masuk akal dalam logika yang paling sederhana sebelum menerimanya. Resep yang berulang-ulang diumbar Yunus adalah kerja sosial perlu diperlakukan sebagai bisnis agar realistis untuk dilangsungkan secara berkesinambungan dan, rupanya, bagi banyak orang, formula nan generik ini masuk akal untuk mengentaskan persoalan paling akut yang menjangkiti kemanusiaan.
Selanjutnya? Pikiran para subjek situasi neoliberal pun dengan sendirinya menyusun narasi-narasi yang lazim kita jumpai saat ini. Berkat skema cemerlang Yunus, kelompok termiskin yang kehilangan hak-haknya untuk hidup sejahtera kini dengan kekuatannya sendiri dapat memperoleh kembali kesejahteraan itu. Yunus—yang lucunya berdasarkan cerita versinya sendiri dan bukan studi evaluasi dari pihak ketiga—dibayangkan berhasil meretas sebuah jalan keluar untuk paradoks keadilan yang menghantui para subjek pembangunan. Ia memberikan jalan kepada mereka yang sebelumnya tak memiliki jalan dan, pada saat yang sama, membuktikan bahwa kapitalisme atau tatanan di mana kita menjalankan hidup sekarang dapat disempurnakan untuk menyediakan kesempatan, kebebasan bagi setiap insan menentukan keberhasilan hidupnya. Yunus mengirimkan pesan bahwa tatanan di mana kita hidup sekarang bukan tempat yang terlalu buruk! Paling kurang, ia tak sama dengan di era kerajaan di mana kita tak punya kuasa untuk nasib kita sendiri. Ia dapat diterima.
Apa yang terjadi? Yang terjadi, perkenankan saya menegaskannya, satu entitas yakni program sosial rintisan Yunus bermutasi menjadi dua entitas yang berdiri sendiri-sendiri. Di satu sisi, pada saat dihadapkan dengan kompleksitas variabel-variabel lapangan di mana ia diterapkan, ia menjadi kerja yang menyimpang sama sekali dari ekspektasi idealnya. Ia mengubah bentuk-bentuk hubungan lama untuk kepentingannya menyehatkan perputaran uangnya. Ia mendorong investasi di ranah kredit mikro dan tak dapat dikatakan bersih dari tanggung jawab atas maraknya nasabah terlilit hutang belakangan. Ia, memang, membantu beberapa wanita yang cukup lihai memperoleh penghidupan yang lebih memadai namun tak pernah benar-benar merombak tatanan masyarakat Bangladesh yang patriarkis sebagaimana yang ramai dikampanyekannya. Di sisi lain, pada saat dihadapkan dengan audiens di luar nasabahnya—di luar kalangan ekonomi rentan lebih spesifiknya—praktik Grameen Bank mengalami romantisasi yang memutus kesinambungannya dengan penerapan lapangannya. Berkat urgensi sensual meredakan kecamuk dari mencerap ketimpangan pada situasi kehidupan kontemporer, sebelum seseorang memikirkan bagaimana realisasi konkretnya, Grameen Bank terlebih dahulu dibayangkan sebagai titik terang problem ketidakadilan ekonomi di dunia yang serba memikirkan keuntungan. Gambaran Jacques Attali dalam Christian Science Monitor meringkas dengan efektif imaji ihwal Grameen Bank tersebut, ‘Grameen Bank tak tertandingi di antara bank-bank pada umumnya. Para pekerjanya luar biasa tergerak untuk membantu kaum papa, semua menghabiskan nyaris setahun hidup di antara warga yang hendak mereka layani.’ Sebuah gambaran yang eksotis? Ya. Dan untuk memperjelas apa yang saya maksud dengan idiom eksotis: ia berfungsi memenuhi bayangan kita akan alteritas radikal yang saat ini absen di antara kita.
Rekan dari Lamia Karim, seorang guru besar, pada satu waktu, pernah menumpang taksi dan dititipi pesan untuk Yunus. Mengetahui sang guru besar mengenal secara pribadi Yunus, sang supir menitipkan pesan agar Yunus tak terlibat dalam politik. Yunus adalah pemimpin yang membanggakan bagi orang-orang Bangladesh, dan terlibat di dunia politik yang punya stereotip kotor ditakutkan sang supir akan menghilangkan rasa hormat orang-orang kepadanya. Di antara orang-orang yang seharusnya dapat mencerap sendiri Grameen Bank berpraktik, yang tercerap pun rupanya bukan citra aktualnya—atau, untuk menyederhanakan, sebagaimana ia diterapkan di lapangan. Yang tercerap adalah citra sensualnya atau ia sebagaimana ia dihadirkan oleh proyeksi batin diri untuk mendapati apa yang diidamkannya. Grameen Danone, kendati kenyataannya menjual yogurt yang harganya di atas jangkauan kalangan ekonomi lemah, berkat disinggung Yunus dalam bukunya, kini menikmati citra sebagai inisiatif bisnis untuk menyediakan makanan bergizi bagi kaum papa. Sebut inisiatif sosial apa yang dibawakan Yunus dan besar peluang kita akan mendapati praktik yang dibayangkan berbeda dengan praktik yang diterapkan.
Muhamad Yunus berbincang dengan nasabahnya. Foto dari www.grameenfoundation.org
Apakah Grameen Bank dengan demikian tak berhasil? Apakah ia, untuk mengutip idiom populer dunia politik, sekadar pencitraan? Segelintir pengamat tak ragu menandaskan demikian. Namun dengan memisahkan efek sensual dan efek aktual praktik Grameen Bank, apa yang ingin dilakukan tulisan ini bukanlah mendikotomikan praktik pemberdayaan yang gagal dan yang berhasil dengan asumsi yang sensual sekadar pencitraan dan yang aktual adalah yang benar-benar diterapkan di lapangan. Pemikiran yang menjadi pandu tulisan ini adalah pemikiran yang sama yang diajukan Ferguson (1994) dalam penelitiannya perihal pembangunan di Lesotho; alih-alih menelisik apakah praktik pembangunan berhasil atau gagal, akan jauh lebih berfaedah bila kita menelusuri apa yang terjadi dan mengambil tempat berkait kebijakan bersangkutan. Dengan demikian, kita tak akan tiba pada kesimpulan normatif yang sekadar mendakwa sebuah praktik berhasil atau gagal, melainkan memperoleh pemahaman tentang mengapa ia terus berjalan meski orang-orang mengatakan ia gagal. Proyek pembangunan Thaba-Tseka bantuan pemerintah Kanada yang diteliti Ferguson, memang gagal bila dievaluasi efektivitasnya dalam pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan normatif mengapa proyek ini digulirkan. Tetapi ia menunaikan kepentingan pemerintah Lesotho untuk memiliki bangunan-bangunan yang bisa ditempati aparatur negara di wilayah pedesaan yang sebelumnya tak terjangkau birokrasi. Duduk perkara proyek ini bukanlah keberhasilan berdasarkan takaran awalnya namun, hemat kata, siapa yang secara faktual diuntungkan dalam prosesnya.
Mengapa saya memilah dampak praktik Grameen Bank ke dua dimensi yang berbeda? Karena setidaknya ada dua jejaring kepentingan utama yang berbeda satu sama lain yang diuntungkan sebagai dampak dari skema yang digagas oleh Yunus ini dan kepuasan keduanya punya andil vital menjamin keberlangsungannya. Sebuah praktik, saya mengambil asumsi di sini, tak pernah hadir mulus tanpa proses friksi dengan agensi-agensi yang membentuk ranah di mana ia dilangsungkan. Untuk bisa terselenggara, ia mutlak harus diterjemahkan oleh agensi yang lebih rampung posisinya yang dilintasinya. Satu tindakan, sebagai konsekuensinya, akan bercabang merampungkan efek yang berbeda-beda pada himpunan penerima yang berbeda-beda. Dan bila harus berbicara asumsi metafisis, bagi saya, satu tindakan tak pernah bisa dipisahkan secara jelas dengan efeknya. Bagi seseorang seperti Ferguson, yang ingin meneliti program pembangunan sebagaimana ia bergulir, alih-alih sebagaimana ia diekspektasikan merespons harapan-harapan normatif, satu tindakan harus dilihat selaku praktik yang menjadi nyata berkat bertanggapan dengan kebutuhan partikular para pencerapnya; ia mungkin berlangsung dan berkesinambungan lantaran memiliki faedah bagi kepentingan-kepentingan yang konkret bekerja di mana dia digulirkan. Program pembangunan Lesotho berjalan bukannya karena kepentingan mengentaskan kemiskinan yang sumir menunaikan kepentingan siapa melainkan karena menunaikan kepentingan para birokrat, yang kehadirannya konkret dan mengambil andil dalam penyelenggaraannya. Tindakan bergulir bukan berkat tindakan itu sendiri melainkan berkat dieksploitasi; berkat, bila saya mempergunakan istilah Michel Serres (1982), dirubungi oleh para parasit yang mengisapnya untuk menjadi besar sendiri-sendiri.
Hal yang sama terjadi dalam praktik Grameen Bank sebagaimana ia diterapkan pada lokalitas yang telah kita singgung di atas. Kepentingan variabel-variabel lokal, secara khusus kebutuhan finansial bank ini di lapangan untuk secara aktual bertahan, akhirnya mendorongnya bermutasi menjadi praktik-praktik yang justru kita jumpai sekarang ini. Demikian juga warga setempat, yang terdorong meminjam berkat kehadiran lembaga-lembaga keuangan mikro sebagai alternatif peminjaman yang lebih ringan ketimbang lintah darat, menjadi agensi yang memantapkan pola praktik bank ini yang sekarang menjadi mantap. Namun bila dalam telaah Ferguson kepentingan yang ambil andil mengeksploitasi dan memantapkan proses pembangunan adalah kepentingan politik, saya ingin memperluas apa yang tergolong sebagai sebuah kepentingan: kebutuhan sensual juga sebuah kepentingan. Masing-masing kita, audiens awam yang menyaksikan Grameen Bank dari satu kejauhan tertentu, punya kepentingan meredakan ketegangan batin yang mengganggu akibat pemandangan kehidupan yang tidak adil, tidak selayaknya bagi kaum papa. Kita punya dahaga untuk lekas-lekas mendapati kejelasan satu titik terang bagi kelompok yang tak beruntung ini dan, pada saat yang tepat, sosok Yunus muncul. Grameen Bank hadir dengan skema yang cukup masuk akal untuk meretas kesempatan mengakhiri musuh yang menghantui perasaan kita untuk waktu yang lama bernama kemiskinan. Urgensi sensual ini pun mewujudkan wajah kedua praktik Grameen Bank yang menggugah, murni, tak bercacat cela dan amat berseberangan dengan wajah pertamanya yang terbentuk akibat tuntutan bertahan di antara rimba yang boleh jadi tak pernah dibayangkan akan seliar sebagaimana dihadapinya.
Namun gambaran situasi yang pada dasarnya ironis ini tak ingin mendakwa Grameen Bank sebagai program gagal, melainkan mengajukan, boleh jadi, ironi merupakan kondisi umum berbagai upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Bahkan, boleh jadi, ironi ini sendirilah yang memungkinkan keberlangsungan program-program sosial. Sebagai satu diskursus, peningkatan kesejahteraan sosial lazim dimotivasi secara—sebenarnya—egoistis oleh kebutuhan sensual menyingkirkan penanda memedihkan kemiskinan, seolah ia objek konkret yang bisa disingkirkan. Dalam penerapan kebijakannya, persoalannya, program akan segera menghadapi variabel-variabel tak terduga yang memaksanya tak mengindahkan citra-citra ideal yang awal dibayangkannya. Masing-masing agensi, untuk kembali mempergunakan terma Serres (1982), merupakan monad tuli yang mendengarkan monad bisu berbicara. Masing-masing adalah tembok tertutup yang tak akan pernah digerakkan oleh aspirasi tembok tertutup lainnya, melainkan oleh terjemahan masing-masing monad terhadap tindakan monad lain. Kita tak pernah benar-benar ambil peduli dengan bagaimana sebuah program dilaksanakan. Kita memedulikan perasaan kita sendiri yang tercabik-cabik dan untuk kepentingan inilah kita mendukung program sosial, memberikannya alasan untuk terus memperoleh pendanaan baik dari negara, donor, maupun para penderma murah hati. Para pelaksana program, di sisi lain, tak memedulikan perasaan kita. Kepentingan mereka sederhana, yakni bagaimana pekerjaannya terlaksana, berjalan, bertahan.
Siapa yang lantas dapat disalahkan untuk kondisi ini? Tulisan ini menyarankan, tidak ada. Kecuali mungkin satu hal: angan-angan kita tentang ‘yang sosial’ dalam apa yang kita sebut program kesejahteraan sosial. Program-program sosial acap berjalan dimobilisasi oleh berbagai hal, kecuali satu hal yang malah didaku-daku sebagai alasan mendasarnya, kesadaran sosial. Saya curiga, motor dari kegiatan sosial justru adalah sebaliknya—kesadaran asosial. Apakah program yogurt kerja sama Grameen Bank dan Danone bermanfaat untuk mereka yang dirancang selaku penerimanya? Hal ini bisa diperdebatkan. Namun yang tak usah diperdebatkan, ia bermanfaat untuk citra korporat itu sendiri. Berkat program ini, Danone dapat bercerita pihaknya telah berpartisipasi mengulurkan bantuan berarti yang memungkinkan kawula termiskin memperoleh hak atas gizi yang sebelumnya seakan menjadi milik eksklusif kalangan berpenghasilan. Foto-foto wanita dan anak-anak papa menikmati dengan riang dan lugu yogurt Grameen Danone menghiasi setiap kampanye maupun ulasan produk ini. Dan mengapa citra korporat Danone memperoleh manfaat? Karena, tanpa perlu alasan lebih jauh, kita, yang dibidik menjadi konsumen merek ini, luluh dengan kerja apa pun yang berusaha memulihkan hak sesama manusia yang bukan karena apa-apa selain nasib buruk tak memperoleh kehidupan yang setara. Program sosial membantu kita membayangkan bahwa tatanan di mana semua manusia duduk sama rata, sama rasa adalah mungkin. Namun, apa kontribusi dari kepuasan afektif ini terhadap pelaksanaan program ini di lapangan manakala pelaksana dihadapkan dengan kewajiban mengembalikan uang yang ditanamkan investor dan kelompok sasarannya yang tak sanggup membelinya? Apa peran citra sensual ini ketika Grameen Bank harus menagih kaum papa yang usahanya gagal agar kinerja keuangannya tetap sehat?
Kendati demikian, tetaplah sebuah fakta bahwa agensi sensual ini punya andil tak tergantikan dalam memastikan keberlangsungan program sosial. Selama para politisi masih menikmati perasaan heroik meloloskan kebijakan-kebijakan membantu masyarakat kecil, selama perusahaan-perusahaan menuai citra positif dengan berkontribusi bagi kehidupan kaum tak mampu, selama para taipan menjadi pahlawan dengan menyisihkan hartanya untuk mereka yang tak seberuntung dirinya, program-program sosial baru akan terus bergulir. Hanya saja, perlu ditekankan, apa yang saya istilahkan sebagai agensi pelaksana dan agensi sensual akan selalu bekerja dengan logikanya masing-masing, di ceruknya masing-masing. Para pelaksana program dengan pikiran untuk mencapai target-targetnya. Dan yang lain-lainnya, sebagai penonton, dengan hasrat mereguk citra dientaskannya kemiskinan. Keduanya mungkin untuk beririsan tetapi hanya sepanjang setiap agensi dapat mengeksploitasi keterlibatan yang lain dan berjalan dengan kacamata kudanya masing-masing. Kesejahteraan sosial, semoga tulisan ini dengan memadai menyampaikan, adalah urusan dari agensi-agensi yang asosial.***
Penulis adalah Pustakawan Penerbit Kepik
Kepustakaan:
Bateman, Milford. 2010. Why Doesn’t Microfinance Work? London: Zed Books.
Eduardo, David dkk. 2013. “Microcredit: A Model for Activating Poverty Zone in Mexico”. dalam Financial Cooperatives and Local Development disunting oleh Silvio Goglio dan Yiorgos Alexopoulos. Oxon: Routledge. Hal 227-232.
Ferguson, James. 1990. The Anti-Politics Machine: ‘Development,’ Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho. Cambridge: Cambridge University Press.
Guerin, Isabelle, Solene Morvant Roux, dan Magdalena Villareal. 2014. “Introduction” dalam Microfinance, Debt and Over-Indebtedness: Juggling with Money disunting oleh Isabelle Guerin, Solene Morvant Roux, dan Magdalena Villareal. Oxon: Routledge. Hal 1-23.
Johnson, Susan. 2014. “Debt, Over-Indebtedness amd Wellbeing: An Exploration” dalam Microfinance, Debt and Over-Indebtedness: Juggling with Money disunting oleh Isabelle Guerin, Solene Morvant Roux, dan Magdalena Villareal. Oxon: Routledge. Hal 64-85.
Karim, Lamia. 2011. Microfinance and Its Discontents: Women in Debt in Bangladesh. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Rahman, Aminur. 1999. Women and Microcredit in Rural Bangladesh. Colorado: Perseus Books.
Roodman, David dan Jonathan Morduch. 2009. The Impact of Microcredit on the Poor in Bangladesh: Revisiting the Evidence. Washington DC: Center for Global Development.
Serres, Michel. 1982. The Parasite. Baltimore: The John Hopkins University Press.
Sinclair, Hugh. 2012. Confessions of a Microfinance Heretics: How Microlending Lost Its Way and Betrayed the Poor. San Fransisco: Berett-Koehler Publishers.
Yunus, Muhammad. 2010. Building Social Business: The New Kind of Capitalism that Serves Humanity’s Most Pressing Needs. New York: Public Affairs.