FILOSOFI paling mendasar di balik pembentukan sebuah ‘Kabinet Kerja’ bahwa situasi dan kondiri negara sedang dalam keadaan DARURAT. Karena itu, menteri-menteri yang dipilih adalah yang kriterianya profesional: bisa bekerja (memimpin, merencanakan, mengeksekusi, mengevaluasi, dst).
Karena Jokowi-JK sudah mendeklarasikan bahwa kabinetnya adalah kabinet kerja, kerja, dan kerja, maka pertanyaannya: apakah memang situasinya sudah darurat? Ahli politik Indonesia asal Australia, Prof. Marcus Meitzner, dalam sebuah diskusi di Universitas Columbia, AS, baru-baru ini mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi-JK memang menerima warisan pemerintahan SBY yang buruk. Tidak banyak ruang gerak yang tersedia bagi pemerintahan baru ini untuk bekerja dengan santai, tanpa fokus, dan mengumbar keluh-kesah.
Sebut saja warisan SBY tersebut: jurang kaya-miskin yang mencapai rekor tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia, kesenjangan regional yang lebar, angka kemiskinan yang sangat tinggi, neraca transaksi berjalan yang defisit, utang luar negeri yang sangat besar, kerusakan lingkungan yang meluas, birokrasi yang sangat tidak efisien dalam pelayanan publik, korupsi yang merajalela di seluruh lapisan struktur pemerintahan, konflik-konlik bernuansa SARA yang marak di mana-mana, kekerasan politik-militer terhadap warga Papua Barat, hingga penindasan terhadap perempuan dan LGBTQ sebagai akibat dari penerapan UU syariah di berbagai daerah.
Semua warisan buruk SBY ini sangat-sangat mendasar bagi kelangsungan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Bagi rakyat segala kecil (buruh, petani, nelayan, kaum miskin, komunitas masyarakat, kalangan minoritas agama, dan orientasi seksual), penggunaan kotakata darurat bukan sebuah istilah yang bombastis. Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin kehidupan mereka akan semakin bertambah buruk. Dengan organisasinya yang lemah, begitu terpecah-pecah, maka akan sangat mudah bagi para elite oligarkis untuk memanfaatkan dan menggerakkan kaum segala kecil untuk kepentingan mereka.
Lalu apa makna dari kerja, kerja, dan kerja itu? Dalam memandang sebuah masalah, kita mesti jelas memetakan apakah persoalan itu muncul akibat kesalahan kebijakan atau karena kesalahan orientasi (ideologi) dari pembangunan yang dipilih. Jika kesalahanya ada pada kebijakan, maka kebijakan itu yang harus diperbaiki. Tetapi jika kesalahannya karena orientasi pembangunannya, maka orientasi itulah yang mesti diubah.
Mari kita ambil contoh masalah yang akhir-akhir ini menuntut penyelesaian segera dari pemerintahan ini, subsidi BBM. Kalangan borjuasi dan intelektual serta media-media yang ada di bawah kendali mereka gencar mendesak agar subsidi BBM harus segera dicabut dengan setumpuk alasan: ‘subsidi BBM sudah menjadi beban yang sangat buruk bagi APBN. Subsidi yang mencapai hampir Rp 1 triliun per hari itu sudah seperti kanker ganas yang pelan tapi pasti mematikan si pasien, dsb, dsb.’
Pertanyaannya apakah defisit anggaran negara ini adalah semata masalah kebijakan, yaitu alokasi anggaran yang salah dan tidak efisien? Kalau itu soalnya maka solusinya adalah memperbaiki sistem perencanaan serta pengawasan alokasi anggaran; restrukturisasi kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam birokrasi pemerintahan; penguatan lembaga-lembaga pemantau keuangan negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dalam konteks ini maka benar yang dikatakan Arif Budimanta, salah satu tim ekonomi Jokowi-JK, bahwa ‘diskusi-diskusi ke depan seharusnya fokus pada pertanyaan “apakah program-program ini bisa dijalankan atau tidak. Dan kalau tidak kenapa dan apa masalahnya.”’
Tapi bagaimana jika persoalan defisit neraca transaksi berjalan ini tidak semata-mata disebabkan oleh adanya beban subsidi BBM? Banyak data yang mengungkapkan bahwa defisit terjadi karena karena impor yang lebih besar ketimbang ekspor. Impor yang tinggi tersebut disebabkan paling tidak oleh tiga hal: pertama, lemahnya struktur industri nasional akibat tidak berkembangnya industri hulu dan tengah sehingga kebutuhan investasi dalam negeri masih dipenuhi oleh barang-barang asing; kedua, masih tingginya impor migas karena kebijakan sektor energi yang lemah; dan ketiga oleh menurunnya penerimaan pemerintah baik dari sektor pajak maupun yang non-pajak.
Jika kita cermati orientasi pembangunan, sejak Orde Baru hingga sebelum Jokowi-JK dilantik, maka dasarnya tidak berubah: orientasi pembangunan yang kapitalistik. Pada masa Orba, kapitalismenya dibimbing oleh negara (state-capitalism), sementara pasca Orba, kapitalismenya adalah bersifat neoliberal (neoliberal-capitalism). Itu sebabnya, alasan pencabutan subsidi BBM ini dari sejak akhir masa pemerintahan Soeharto hingga berbagai pemerintahan sesudahnya senantiasa sama: telah membebani anggaran Negara. Dan karena alasannya itu-itu saja maka masalahnya tidak pernah selesai-selesai. Masalahnya ada pada orientasi pembangunannya, tapi penyelesaiannya ada di tingkat kebijakannya. Ndak nyambung.
Maka di sini, slogan kerja, kerja, kerja dari kabinet ini sejatinya dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan Kebijakannya atau Orientasi Pembangunannya? Dari susunan menteri yang ada, kabinet ini tampaknya mengejar terobosan pada sisi kebijakan, bukan terobosan pada orientasi pembangunannya.***