MENCOBA membandingkan tanam paksa dengan kenaikan BBM memang terdengar agak aneh. Namun ada hal yang cukup penting yang melatarbelakangi keduanya, yaitu dalih untuk membuat rakyat tidak lagi malas.
Baru-baru ini menteri ESDM Sudirman Said, mengatakan bahwa harga bahan bakar minyak yang murah menyebabkan masyarakat malas dan enggan keluar dari zona nyaman. “Presiden Jokowi akan melakukan pekerjaan sulit karena membuat masyarakat keluar dari zona nyaman” (Tempo, 02/11/14). Dengan dinaikannya BBM, maka akan membuat rakyat lebih bekerja keras serta keluar dari kemalasannya, begitu logika yang ia pakai sebagai bagian pembenaran kenaikan harga BBM ini.
Nah, logika yang sama juga dipakai oleh Van Den Bosch, ketika dia ditugaskan ke Hindia Belanda sebagai Gubernur Jendral pada 1830, yaitu dengan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang dijalankannya. Bagi Van Den Bosch, kapitalisme menyimpan kontradiksi internal, salah satunya adalah kurangnya kebiasaan kerja keras manusia yang tak dapat diselesaikan dengan mekanisme kekuatan pasar. Kenyataan itulah yang dilihat Van Den Bosch pada masyarakat miskin di Hindia Belanda (Li, 2012).
Kaum miskin di pedesaan pada waktu itu terjerat dalam cengkeraman para tuan tanah dan pemilik modal. Hasil nilai lebih dari kerja mereka diambil oleh para tuan tanah dan pemilik modal ini. Ketiadaan akses terhadap alat-alat produksi membuat rakyat miskin ini menjadi manusia yang tidak merdeka, serta semakin sengsara oleh kebijakan pajak uang sewa terhadap tanah yang dilakukan oleh para bangsawan lokal serta pemerintah kolonial Inggris yang dipimpin oleh Raffles.
Ketidakmampuan rakyat miskin untuk keluar dari jerat kemiskinan itu, menurut Van Den Bosch, disebabkan oleh faktor kemalasan. Alih-alih mengganti kapitalisme yang telah memciptakan ketimpangan dan kemiskinan, Van Den Bosch malahan menerapkan kebijakan tanam paksa untuk membuat masyarakat pribumi menjadi lebih produktif dan tidak terlalu menjadi ancaman bagi pemerintah. Serta, tentu saja, untuk meningkatkan pendapatan pemerintah kolonial Belanda yang tengah mengalami krisis pada waktu itu.
Hasil dari kebijakan tanam paksa yang berdalih untuk membuat rakyat tidak malas serta agar mampu keluar dari jerat kemiskinannya, adalah menjadikan rakyat semakin sengsara sebagai akibat pemerasan yang luar biasa. Jumlah penduduk di salah satu kabupaten di Jawa menyusut dari 336.000 menjadi 120.000; di tempat lain merosot dari 89.000 menjadi 9.000 pada tahun 1843-1848 sebagai akibat kesengsaraan dan kelaparan yang disebabkan oleh kebijakan ini (Li, 2012: 70).
Melalui kebijakan tanam paksa ini, rakyat memang tidak lagi malas, bahkan sangat rajin bekerja dalam kacamata pemerintah kolonial Belanda. Mereka dipaksa untuk kerja, kerja dan kerja yang kemudian hasilnya dinikmati oleh pemerintah kolonial, tapi hidup mereka sendiri tetap berkubang dalam kemiskinan serta makin terperosok dalam kesengsaraan.
Hampir 170 tahun setelah kebijakan tanam paksa ini, pemerintahan Jokowi-JK yang baru saja terpilih pada tahun 2014 ini, melalui Menteri ESDM-nya, kembali menggunakan dalih kemalasan rakyat. Namun tidak untuk kembali menerapkan kebijakan tanam paksa, melainkan sebagai pembenaran bagi kebijakan untuk menaikkan harga BBM. Dengan menaikkan harga BBM, pemerintahan ini bermaksud membuat rakyat kembali bekerja keras agar terbebas dari kemiskinannya. Dengan kata lain, bukan tugas pemerintah untuk membuat rakyat sejahtera.
Slogan ‘Kerja, Kerja & Kerja’ yang digembar-gemborkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, memang selaras dengan dalih kemalasan rakyat sebagaimana yang diungkapkan Sudirman Said. Dengan logika yang dipakai, maka harga-harga kebutuhan pokok, barang serta BBM yang murah dianggap telah membuat rakyat menjadi semakin malas. Kebijakan menaikan BBM yang pasti akan turut menaikan harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang di pasaran, menurut Menteri ESDM, akan membuat rakyat semakin produktif karena keluar dari kemalasan. Untuk meredam amarah rakyat, maka kebijakan ‘kartu sakti’ digunakan sebagai obat penenang agar rakyat-rakyat miskin dipinggiran kota dan pedesaan tidak berontak.
Akibat dari kenaikan BBM ini pasti akan menambah beban serta kesulitan hidup dari rakyat, sehingga mereka harus bekerja lebih keras lagi dari biasanya agar tidak semakin sengsara. Namun hasil kerja, kerja dan kerja yang dilakukannya tetap tidak akan mampu mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan, ketika masalah struktural dari kemiskinan ini dibiarkan dan tidak diatasi. Hasil kerja, kerja dan kerja dari rakyat pada akhirnya tetap dinikmati oleh para kapitalis yang difasilitasi oleh negara, sedangkan mereka hanya memperoleh secuil saja.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Van Den Bosch, alih-alih mengganti kapitalisme yang telah menciptakan kemiskinan dan ketimpangan, pemerintahan Jokowi-JK malahan cenderung tetap mengarahkan kapal negara ini menuju kebijakan neo-liberalisme. Tugas serta kewajiban dari pemerintah, yaitu untuk dapat menciptakan kesejahtraan bagi seluruh rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth) sebagaimana yang terjadi sejak jaman kolonial sampai sekarang cenderung bertolak belakang, karena justru negaralah yang menjadi alat untuk merebut ruang-ruang hidup rakyat serta semakin menyengsarakan mayoritas rakyat dan hanya memfasilitasi minoritas dari mereka.
Jika pemerintah menggunakan dalih kemalasan untuk semakin memeras rakyat demi meningkatkan pendapatan negara, serta semakin melebarkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya, maka hanya ada satu kata: LAWAN!!!***
Penulis adalah Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Gadjah Mada (UGM).