“Satu-satunya kenikmatan sejati di dunia ini adalah untuk menyaksikan segala sesuatu ‘berbalik’ menjadi bencana, untuk akhirnya keluar dari determinasi dan indeterminasi, dari peluang dan keniscayaan, dan memasuki kenyataan tentang keterkaitan yang memusingkan dimana, suka atau tidak suka, segala sesuatu sampai pada akhirnya tanpa melalui cara-caranya, dimana kejadian-kejadian menghasilkan efek tanpa melalui penyebabnya.”[1]
“Apa yang menarik bagi saya sebenarnya adalah suatu hal semacam strategi fatal … yang membongkar tatanan indah ketak-terbalikkan (irreversibility), yaitu tentang finalitas segala sesuatunya. Saya kira apa yang mengganggu orang adalah ide mengenai reversibilitas saat ia terberi sebagai sesuatu semacam hukum. Saya tidak menganggapnya sebagai suatu hukum. Saya menerimanya sebagai aturan permainan.”[2]
— Jean Baudrillard
DARI sekian banyak konsep yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, satu yang kurang begitu mendapat sorotan adalah konsep reversibilitas (reversibility),[3] yaitu yang saya artikan sebagai suatu potensialitas inheren untuk berputar-balik, menyimpang, berdeviasi dari arah, bentuk, model dan intensi yang digariskan sedari mula. Seperti yang akan saya perjelas pada bagian-bagian berikutnya, reversibilitas ini adalah fitur ontologis dari realitas dalam pemahaman Baudrillard. Jika hiper-realitas Baudrillardian cenderung menekankan suatu konsepsi realitas yang terdiri dari silang sengkarut banalitas simulakra, maka, demi kepentingan pembeda, saya akan menyebut Baudrealitas sebagai hiperealitas yang menekankan potensi reversibilitas dari realitas. Realitas, dengan demikian memiliki dua wajah: hiper-realitas dan Baudrealitas.
Artikel ini mencoba menarik apresiasi terhadap teori dan filosofi Jean Baudrillard keluar dari kubangan nihilisme naïf yang merebak di kalangan penstudi dan pembaca Baudrillard, terutama di Indonesia.[4] Repetisi melelahkan akan konsep-konsep seperti simulakra, simulasi dan hiper-realitas nampaknya telah mendiskreditkan konsep Baudrillard yang lain – yaitu reversibilitas, misalnya – yang menurut penulis memiliki potensi perlawanan terhadap ketiga konsep sebelumnya. Artikel ini mencoba mengangkat konsep reversibilitas, dan bagaimana ia berimplikasi bagi pemahaman kita baik tentang semesta realitas maupun filsafat Baudrillard sendiri. Kesemuanya ini demi menyudahi dan melawan euforia selebrasi pseudo-liberal posmodernisme, atau yang disebut Baudrillard sebagai orgy[5]. Ya, posmodernitas adalah sebuah orgy.
Pilihan saya untuk menyoroti konsep reversibilitas ini bukan sekedar pilihan suka atau tidak suka, melainkan ia berdasarkan dari beberapa urgensi dan memiliki beberapa implikasi, baik filosofis maupun praksis (setidaknya yang saya kampanyekan, yaitu perlawanan sistemik terhadap totalitas tatanan kapitalisme-neoliberal hari ini). Pertama, konsep ini merupakan salah satu cara untuk membawa karya-karya Baudrillard dari jurang nihilisme naïf, [6] yang notabene juga kerap dijumpai di pikiran para cerdik pandai Indonesia. Cara ini, harus diakui, bukanlah suatu cara à la Baudrillard untuk melampaui nihilisme. Baudrillard sendiri lebih memilih membawa nihilisme ini sampai pada limitnya, eksesnya, sehingga ia akan menghancurkan dirinya sendiri dari dalam (implosi).[7] Namun demikian, sayangnya (sejauh yang saya amati), Baudrillard tidak menunjukkan caranya (selain seruan untuk terus mengkonsumsi, seperti di Consumer Society). Akibatnya, proposal ini hanya menjadi retorika politik asesorial, jika bukan kepercayaan mesianik yang naïf.
Tidak ada salahnya dengan ini, hanya saja, kita tidak akan pernah tahu, apalagi mampu mengevaluasi, sejauh mana proposal ini berhasil. Interpretasi ini akhirnya hanya akan meninggalkan kita terkatung-katung di samudera hiperealitas, dalam toleransi fatalis terhadap pluralisme realitas, dan berpesta-pora sampai mati dalam posmodernitas sembari menunggu sang ratu adil datang membawakan kebenaran mulianya. Politik, jika ada, akhirnya tak lebih dari sekedar sebuah bingkisan etik/fatsoen yang banal dan obesitas alibi etika dan moral yang tak berdasar. Singkatnya, politik sama dengan NOL besar dalam hiperealitas posmodern berikut filosofi yang mempropagandakannya—posmodernisme.
Kedua, konsep reversibilitas mampu menunjukkan jalan untuk memanjat jurang nihilisme ini, tepat dengan cara yang sama seperti ia menjebak kita semua dalam jurang tersebut. Sumbangsih penting Baudrillard adalah menunjukkan bahwa pada nihilisme, selalu terdapat momen reversibilitas. Segala sesuatunya, pasca nihilisme (yaitu pasca pengosongan esensi; pasca simulasi ke dalam tatanan simulakra) memiliki potensi untuk dibolak-balik arahnya, logikanya, “isi”-nya, orientasinya, dst. Konsekuensi nihilisme—yaitu matinya esensi, orisinalitas, dan otentisitas—tidak lantas berujung pada apatisme dan sinisme apolitis—sebagaimana yang banyak diderita Baudrillardian posmodern (baca: para nihilis pasif). Reversibilitas merupakan potensi politik peninggalan Baudrillard untuk membongkar sistem yang telah dideskripsikannya dengan baik: hiper-realitas.
Tujuan utama tulisan singkat ini, sebagaimana yang mungkin sudah bisa dideteksi, adalah suatu eksperimentasi teoretiko-politis untuk memahami, demi kemudian mendeteksi celah (yi. reversibilitas) dari tatanan simulakra. Untuk sampai kepada tujuan ini, tulisan ini akan pertama-tama membahas perkembangan konsep reversibilitas dalam pemikiran Baudrillard sendiri, lalu mencoba memberikan rumusan yang padu. Berikutnya konsep ini dipakai untuk menggeser cara pandang umum mengenai hiper-realitas (a la posmodern), yang menurut penulis, kontra-produktif bagi seluruh perjuangan politik melawan tatanan simulakra itu sendiri. Sampai sini setidaknya motivasi utama artikel ini jelas: yaitu merebut warisan Baudrillard dari cengkeraman pesimisme nihilisme naïf à la posmodernisme untuk kemudian menggunakannya balik untuk menghantam posmodernitas itu sendiri, berikut nabi-nabi posmodern yang menopangnya, termasuk, jika perlu, para Baudrillardian sendiri. Forget Baudrillard? No! Forget (postmodern) Baudrillards![8]
Menyudahi Transendensi dan Orgy Posmodernisme
Secara kronologi intelektual, Baudrillard pertama kali mengembangkan konsep reversibilitas ini pada tiga bukunya Symbolic Exchange and Death (1976), Forget Foucault (1977) dan Seduction (1979). Latar belakang pengembangan konsep ini tentu saja adalah pelajaran yang ia petik saat bergulat dengan kontradiksi yang ia temukan dalam pemikiran Marx, dan dalam aplikasi pemikiran Marx tersebut ke realitas sosial saat itu. Pelajaran tersebut tak lain adalah matinya transendensi. Dalam pemikiran Marx, Baudrillard menunjukkan titik buta dari seluruh sistem pemikiran tersebut mengenai kapital, yaitu pada konsep ‘produksi’ yang berfungsi seoah-olah sebagai metafisika transenden. Produksi, sebagai konsep, tidak pernah dipertanyakan Marx; seolah-olah ia adalah konsep absolut-universal yang berlaku di sepanjang sejarah. Padahal, sebagaimana Baudrillard buktikan di zamannya sendiri (tepatnya, kapitalisme pasca-Fordis dan/atau kapitalisme pasca-Industri), konsep tersebut telah berubah.[9]
Sebagaimana ditunjukkan Baudrillard, yang terutama akan semakin jelas pada tahun-tahun berikutnya, produksi dalam kapitalisme kontemporer, adalah selalu produksi akan tanda yang tidak memiliki acuan apapun. Produksi di kapitalisme kontemporer, adalah simulasi tanda-tanda. Sehingga tepatlah judul buku Baudrillard berikutnya: The Political Economy of Sign. Namun demikian, produksi/simulasi tanda ini tidak selalu harus diartikan sesempit produksi iklan, pencitraan dan produk-produk berbasis citra. Bahkan, yang ingin penulis tekankan, produksi/simulasi tanda yang dimaksud Baudrillard harus dipahami lebih dari ini; ia juga berpengaruh pada ekonomi kapitalis yang tradisional juga. Mengapa demikian?” Penjelasan dalam kata-kata Baudrillard sendiri, sbb.:
“Dengan mengangkat produksi ke abstraksi total (yi. produksi demi produksi itu sendiri), ke kekuatan kode, yang bahkan tidak lagi beresiko menjadi dipertanyakan oleh suatu acuan yang ditiadakan, sistem ini berhasil menetralisir tidak hanya konsumsi, melainkan juga produksi itu sendiri sebagai suatu medan kontradiksi. Daya-daya produksi sebagai suatu acuan (substansi ‘obyektif’ dari proses produksi) dan dengan demikian juga sebagai suatu acuan revolusioner (motor dari kontradiksi modus produksi) kehilangan dampak spesifiknya, dan dialektika tidak lagi beroperasi di antara daya-daya produksi dan relasi-relasi produksi, persis karena ‘dialektika’ tidak lagi beroperasi di antara substansi tanda-tanda dan tanda-tanda itu sendiri.”
[Through the elevation of production to a total abstraction (production for its own sake), to the power of a code, which no longer even risks being called into question by an abolished referent, the system succeeds in neutralizing not only consumption, but production itself as a field of contradictions. Productive forces as a referent (‘objective’ substance of the production process) and thus also as a revolutionary referent (motor of the contradictions of the mode of production) lose their specific impact, and the dialectic no longer operates between productive forces and relations of production, just as the ‘dialectic’ no longer operates between the substance of signs and the signs themselves.][10]
Pandangan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Baudrillard sudah mengantisipasi dominasi kapitalisme finansial yang akan terjadi justru dua dekade berikutnya. Kapitalisme finansial mencoba mengabstraksikan suatu produk/komoditas ke dalam bit-bit/angka—angka yang nantinya disebut ‘indeks harga’. Indeks harga ini dipertukarkan sedemikian rupa dalam bursa saham. Akhirnya, bursa saham ini menjadi ujung tombak akumulasi kapital bagi perusahaan (bahkan ia menjadi mimpi bagi perusahaan-perusahaan yang belum go public). Lini produksi akhirnya diperketat bukan demi meningkatkan kualitas komoditas per se, melainkan demi meningkatkan performa (ya, performa—yaitu pagelaran rangkaian tanda!) di mata pemegang saham dan calon investor. Sampai di sini perlu ditandaskan bahwa dominasi kapitalisme finansial dan pasca-industri tidak serta-merta menafikan kerja-kerja manufaktur tradisional. Namun kerja-kerja manufaktur tradisional ini harus diletakkan dalam konteks dominasi kapitalisme finansial/pasca-industri ini. Karena, sebagaimana ditekankan Baudrillard, “[p]roduksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya.”
“Secara ekonomis, proses ini memuncak pada otonomi internasional semu kapital finansial, pada permainan kapital mengambang yang tak terkendalikan. Saat mata uang dicerabut dari pertana-pertanda produksi, dan bahkan dari acuan standar dolar, ekwivalensi universal* (general equivalence) menjadi tempat strategi dari manipulasi. Produksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya. Puncak kejayaan sistemik ini berkaitan erat dengan kemenangan kode.”
[Economically, this process culminates in the virtual international autonomy of finance capital, in the uncontrollable play of floating capital. Once currencies are extracted from all productive cautions, and even from reference to the gold standard, general equivalence becomes the strategic place of the manipulation. Real production is everywhere subordinated to it. This apogee of the system corresponds to the triumph of the code.][11]
Pembahasan ini bisa berlanjut bahkan sampai menjelaskan kolapsnya perekonomian dunia (1995 di Mexico, 1998 di Asia, 2002 di Argentina, 2008 Subprime Mortgage di AS, 2010 Eurozone, 2011 Yunani), yang lagi-lagi sudah diramalkan oleh Baudrillard sendiri. Namun bukan ini yang menjadi tujuan utama tulisan ini. Yang ingin ditunjukkan melalui fenomena finansialisasi dan krisis kapitalisme ini adalah bahwa matinya transendensi ekonomi, yaitu produksi, berimplikasi pada ke-“serba mungkin”-an produksi itu sendiri, bahkan kemungkinan akan bunuh dirinya (suicide) sistem produksi itu sendiri (baca: krisis kapitalisme). Kondisi serba mungkin yang tidak menentu inilah yang disebutnya sebagai kondisi reversibilitas.
Sekiranya jelas bahwa kondisi reversibilitas ini menjadi nampak saat transendensi berakhir, atau lebih tepatnya, diakhiri. Selama landasan dan fundamen segala sesuatu (ekonomi: produksi; agama: tuhan; politik: kebaikan; kuasa: kekerasan, hukum: keadilan dst.) masih diasumsikan ada, yang padahal tidak pernah ada, maka segala sesuatu akan tampak irreversible. Inilah arti penting reversibilitas Baudrillardian; ia mampu menunjukkan celah dari kebuntuan katastrofik hiper-realitas lautan simulakra. Memahami realitas secara Baudrealitas dengan demikian pertama-tama akan menghalau seluruh konsepsi orisinalitas, keaslian, otentisitas, ke-nyata-an, kebenaran, dst., atau dengan kata lain “membunuh” realitas itu sendiri, mengosongkannya dari esensinya. Berikutnya, mengangkat dan menampakkan dimensi reversibilitas dari realitas tersebut, sedemikian rupa sehingga realitas tadi tampak tidak lebih sebagai ilusi. Namun sekali lagi, mencoba menyelamatkan ilusi dari kepasifan fatalis para posmodern, ilusi di sini tidak seharusnya dilihat sebagai titik akhir; melainkan ia adalah titik awal dari mana politik dimulai, dari mana sejarah perlawanan mulai dicatat. Mengapa demikian? Karena “[s]ejarah tidak akan berakhir—karena sisa-sisanya, seluruh residunya – Gereja, komunisme, kelompok etnis, konflik, dan idiologi— dapat didaur-ulang terus-menerus secara tak terbatas.” [[h]istory will not come to an end – since the leftovers, all the leftovers – the Church, communism, ethnic groups, conflicts, ideologies – are indefinitely recyclable].[12]
Penekanan tentang poin ini dirasa penting semenjak kecenderungan penerimaan terhadap pemikiran Baudrillard ini (dan pemikiran yang disebut “posmodern” secara umum) selalu berujung pada sikap apolitis/apatis[13] yang berujung pada aspirasi liberal akan perayaan banalitas, pluralitas dan multi-kulturalisme.[14] Pula sikap ini akan menarik orang pada ruang-ruang privat kehidupan, pada spiritualitas (baik baru maupun lama), pada etika-diri dan moralitas, pada romantisisme masa lalu, dst., yang justru hanya mengulang apa yang ingin dilawan Baudrillard (dan posmodernisme itu sendiri). Lainnya, orang akan berkubang pada pragmatisme (dalam arti sempit) kehidupan dengan merayakan hedonisme dan workaholism, seraya menghindari kompleksitas kehidupan dengan kembali menarik diri ke ruang-ruang privat yang juga telah disediakan sebelumnya (agama, kesenian murni, yoga, bisnis, sekte-motivasi, video game, dst.). Singkatnya, afirmasi pasif dari nihilisme hanya akan berujung pada fundamentalisme: kesenangan, keyakinan, identitas, dan pasar. Posmodernisme dan fundamentalisme adalah satu koin yang sama dengan dua wajah berbeda.
Momen posmodern—dalam artian runtuhnya tiang-tiang metafisik penyanggah segala sesuatu, diartikan Baudrillard sebagai suatu kematian (death). Namun demikian, perayaan Baudrillard akan kematian ini tidak seperti euforia fundamentalis yang barusan dipaparkan. Malahan Baudrillard menyebut euforia ini sebagai orgy—suatu metafora yang digunakannya untuk menunjukkan kondisi “apa saja boleh.” Orgy adalah konsekuensi dari matinya transendensi yang bermuara pada apatisme dan apolitisme. Baudrillard kemudian bertanya,
“Jika saya harus mengarakterisasikan kondisi yang baru ini, saya akan menyebutnya ‘setelah orgy’. Orgy bisa dilihat sebagai suatu keseluruhan pergerakan modernitas, dengan ragam rupa liberasinya – liberasi politik, liberasi seksual, [dst.] Jika anda mengehndaki pendapat saya, hari ini segala sesuatunya terliberasi. Permainan sudah berakhir, dan kita bersama-sama dihadapkan pada pertanyaan penting: ‘apa yang kamu lakukan setelah orgy?’”
[If I had to characterize this new state of affairs, I would call it ‘after the orgy’. The orgy is in a way the whole explosive movement of modernity, with its various kinds of liberation – political liberation, sexual liberation, [etc.] If you want my opinion, today everything is liberated. The game is over, and we collectively confront the crucial question: ‘What are you doing after the orgy?’][15]
Jelas, jika pertanyaan “apa yang kamu lakukan setelah orgy?” diajukan ke Baudrillard, maka ia akan menjawab: reversibilitas.
“Mulai saat ini kita akan hidup dalam sebuah dunia tanpa yang orisinil, seperti yang pernah terjadi pada obyek dan citra sebelum kesenian ada. Dan dalam ketiadaan orisinalitas kita dapat menemukan kembali beberapa dari bentuk-bentuk ritual ini, namun yang pasti itu semua tidak akan sama dengan yang pernah ada sebelum zaman estetika. Bentuk dan citra kita adalah melampaui estetika, sama seperti media kita yang melampaui benar dan salah, dan nilai-nilai kita yang melampaui baik dan jahat. Namun selalu ada satu titik melampaui penghujung yang memudar ini. Selalu ada suatu masa setelah orgy. Suatu rahasia reversibilitas mengeram dalam segala sesuatu, bahkan saat ia tampak tak terbalikkan. Reversibilitas itu indah.”
[From now on we will live in a world without originals, as it was for objects and images before art existed. And in the absence of originality we may recover some of these ritual forms, but certainly they will not be the same as those existing before the age of aesthetics. Our forms and images are beyond aesthetics, just as our media are beyond the true and the false, and our values are beyond good and evil. But there is always a point beyond the vanishing point. There is always a time after the orgy. A secret reversibility lies in all things, even when they seem to be irreversible. Reversibility is beautiful.][16]
Reversibilitas, Seduksi, Miskonstruksi
Mereka yang sudah memahami kondisi kontemporer sebagai suatu “kematian,” dan ingin beranjak pada kondisi ini akan segera dihadapkan Baudrillard pada konsep reversibilitas. Memahami reversibilitas, mirip seperti dekonstruksi Derridean, harus melihatnya sebagai “telah selalu bekerja” (always already at work). Jadi, reversibilitas bukanlah suatu usaha dari luar untuk mengutak-atik suatu konsep/obyek lalu memutar-balikkannya. Reversibilitas telah selalu ada pada segala sesuatu, bahkan saat sesuatu tersebut tampak kokoh, mantap dan padu. Sekali lagi, untuk menyadari dimensi reversibilitas ini, syarat utama yang harus dipenuhi adalah dengan membuang jauh-jaug pandangan bahwa konsep/obyek yang akan direversi tersebut memiliki esensi dan substansi yang fix, asali, yang “dari sananya.” Saat konsep/obyek tersebut telah dikosongkan, maka yang tersisa adalah suatu ‘kontingensi absolut’, suatu potensi reversibilitas yang tak terbatas. Jadi, seluruh kulit dan kerangka (forma) dari konsep/obyek tersebut, minus substansi/esensi/maknanya, tersisa bagi kita untuk dimainkan sesuka hati, diisi dengan esensi/substansi apapun, diarahkan kemanapun.
Menarik untuk sejenak membahas kritik Baudrillard terhadap Foucault, baik esensi kritiknya maupun forma kritiknya. Secara esensi, kritik Baudrillard berusaha menunjukkan bahwa pandangan Foucault mengenai kekuasaan yang tersebar, mikro dan relasional sebenarnya hanya dimungkinkan saat ia (tanpa disadari), dan kita semua, menerima kenyataan bahwa kekuasaan telah mati. Kekuasaan tradisional, yang berbasikan sumber-sumber baik ilahi maupun modern (hukum, rakyat, ide perdamaian universal), telah berakhir.[17]
“[Bagaimana] jika Foucault berbicara dengan sangat baik mengenai kuasa—dan jangan sampai kita melupakannya, yaitu yang dalam artiannya yang obyektif riil mencakup bermacam-macam pembelokkan namun tidak mempertanyakan sudut pandang seseorang tentangnya, dan mengenai kuasa yang tercacah-cacah namun yang prinsip realitasnya tidak dipertanyakan—hanya karena kuasa itu sendiri telah mati?”
[[What] if Foucault spoke so well of power to us—and let us not forget it, in real objective terms which cover manifold diffractions but nonetheless do not question the objective point of view one has about them, and of power which is pulverized but whose reality principle is nonetheless not questioned—only because power is dead?][18]
Dari segi forma, maka kerja kritik Baudrillard tersebut juga menunjukkan reversibilitas at work. Baudrillard mengosongkan intensi Foucault, yaitu untuk memahami mekanisme kuasa (atau yang disebutnya sendiri, “the ‘how’ of power”[19]) dari keseluruhan proyek intelektual Foucault (terutama, yang dibahas buku itu, Discipline and Punish dan History of Sexualtiy, vol 1), untuk kemudian menggantikannya dengan intensinya sendiri, yaitu menunjukkan bahwa “kuasa telah mati.” Ia menggunakan seluruh bangunan teoritik Foucault untuk menunjukkan akhir lain yang tidak dilihat Foucault, yang menanti di penghujung masyarakat disipliner Foucault: yaitu simulasi kekuasaan yang notabene menjadi ketertarikan Baudrillard sendiri.
Baudrillard sendiri telah menunjukkan bagaimana caranya eksploitasi reversibilitas itu dilakukan. Namun setidaknya ada beberapa yang bisa penulis rangkumkan: pertama-tama adalah dengan memahami keseluruhan struktur sistemik dan logika internal beroperasinya obyek/konsep yang akan direversi. Memahami logika internal yang dimaksud adalah memahaminya dalam obyektivitas dan faktisitas singularnya; singkatnya, memahaminya in its own term. Di sini sekiranya perlu upaya suatu rehabilitasi konsep ‘obyektivitas’ dari Positivisme yang semata-mata mengartikannya sebagai keberjarakan subyek terhadap obyek yang diamatinya, yang notabene mustahil sebagaimana ditunjukkan Mazhab Kritis Frankfurt. Obyektivitas harus dipahami sebagai suatu kondisi dimana suatu obyek memiliki logika internalnya sendiri yang secara relatif otonom terhadap manusia. Unsur-unsur manusiawi seperti kekuasaan, hasrat, moral, etika, bahasa, dst., dengan demikian harus diusir keluar dari analisis obyektif. Memahami suatu artifak budaya misalnya, tidak bisa selamanya diletakkan pada kehendak bebas sang penciptanya atau relasi kepentingan/kuasa yang melatar-belakanginya (sisi manusia), melainkan harus melihat dari sisi materialitas spesifik artifak tersebut. [20] Begitu pula dalam memahami kapitalisme, tidak bisa selamanya meletakkannya dalam koridor “demi kesejahteraan bersama,” “demi kepentingan nasional,” “kepentingan komprador,” “intervensi asing,”“zionis!” dst.; kapitalisme memiliki logikanya sendiri diluar ini semua: yaitu perpetuasi akumulasi dirinya sendiri!
Kedua, mengarahkan logika tersebut ke arah sesuai yang dikehendaki. Setelah obyektivitas sistem didapatkan, barulah politik masuk. Namun kali ini, ia tidak masuk dan mengintervensinya secara membabi-buta; sebaliknya, ia diam-diam, secara klandestin, menyabotase sistem tersebut ke arah yang diinginkan. Persis seperti yang dikatakan Baudrillard, yaitu bahwa kita harus
“sampai pada suatu pandangan tentang sistem yang menyusuri logika internal sampai akhir, tanpa menambah suatu apapun, namun yang, dalam waktu bersamaan, membalikkan sistem secara total, mengungkapkan nir-maknawinya yang tersembunyi, sang Tiada yang menghantuinya, ketidak-hadiran dalam jantung sistem, bayang-bayang yang mengiringinya.”
[arrive at an account of the system which follows out its internal logic to its end, without adding anything, yet which, at the same time, totally inverts that system, revealing its hidden non-meaning, the Nothing which haunts it, that absence at the heart of the system, that shadow running alongside it.][21]
Sebenarnya, inilah yang juga dimaksudkan Baudrillard melalui konsep seduksi-nya (seduction). Seduksi, merupakan suatu tindakan untuk menyasarkan sesuatu, to lead something astray. Seduksi adalah apa yang dilakukan saat seseorang mereversi sesuatu, saat ia “merayu” sesuatu untuk berbelok dan keluar dari jalur yang ditentukanya. Seduksi adalah lawan dari produksi. Apabila produksi adalah menghasilkan atau mengkonstruksi sesuatu; maka seduksi adalah menghasilkan sesuatu yang baru dalam balutan yang lama.[22] Seduksi dengan demikian dapat dipahami sebagai suatu misproduksi dan/atau miskonstruksi. Seperti yang ditekankan di atas, segala sesuatu bisa didaur-ulang, direorientasi, diputar-balikkan sesuka-hati sehingga kata mis- dalam misproduksi dan miskonstruksi berarti suatu kreasi ulang yang baru yang diluar motif dan intensi awal pengkreasian sesuatu tersebut.
“Karena kita memberi makna, mengikuti penggunaan kita akan yang imajiner, hanya kepada apa yang tidak-terbalikkan; akumulasi, progresi, pertumbuhan, produksi, nilai, kuasa, dan hasrat itu sendiri kesemuanya adalah tak-terbalikkan – suntikkan setetes saja reversibilitas ke bangunan (dispositif) ekonomi, politik, institusi atau seksual kita dan segala sesuatunya akan runtuh dalam sekejap.”
[For we give meaning, following our use of the imaginary, only to what is irreversible; accumulation, progress, growth, production, value, power, and desire itself are all irreversible processes—inject the slightest dose of reversibility into our economical, political, institutional, or sexual machinery (dispositif) and everything collapses at once.][23]
Refleksi Penutup: Mental Petaruh dan Perlawanan Simulakrais
Sampai di sini sekiranya telah jelas mengenai konsep reversibilitas, berikut potensi politik yang terkandung di dalamnya. Reversibilitas merupakan suatu cara dalam mengafirmasi nihilisme hiper-realitas, tidak secara pasif dan naïf, melainkan secara aktif. Reversibilitas ini kemudian juga akan mengganggu pandangan dominan mengenai Baudrillard sebagai seorang pemikir yang pesimis dan fatalis. Selain mendeskripsikan permasalahan dan menempatkannya pada medan problematik yang baru dan lebih realistis, Baudrillard juga memikirkan kemungkinan perlawananannya. Kenyataan bahwa ia belum begitu dikembangkan dengan cukup ekstensif oleh Baudrillard tentu adalah sesuatu yang patut disayangkan. Namun demikian, justru di titik inilah kerja intelektual Baudrillard harus diteruskan.[24] Kerja intelektual ke depan, yang bergulat dengan Baudrealitas, dengan demikian harus mampu beranjak dari sekedar berputar-putar pada konsep hiperealitas dan simulakra. Hal ini bukan hanya karena sudah cukup banyak karya-karya yang menyoroti ini, melainkan juga adalah kontra-produktif secara politis untuk terus berkubang pada lautan simulakra ini. Kritik, dengan demikian, hanya merepetisi tuduhan-tuduhan “bohong!”, “palsu!”, “tidak berdasar!” dst., seraya tidak berdaya menjelaskan mengapa kebohongan tersebut terus direproduksi, apalagi mengintervensinya.
Problem lain yang mengemuka terkait reversibilitas ini adalah problem etik. Kosongnya esensi/substansi/makna, juga berarti bahwa reversibilitas tidak mengenal moralitas sama sekali. Ia bisa dinisbatkan predikat “netral.” Artinya, ia bisa dipakai siapa saja untuk kepentingan apa saja. Mulai dari mereka yang berniat mengeruk keuntungan sampai mereka yang ingin menantang sistem eksploitasi, mulai dari pemimpin berkedok moralis sampai teroris yang ingin menegakkan idealismenya, dst. Inilah implikasi ekstrim dari reversibilitas. Ia menawarkan jalan perlawanan, melainkan ia juga memungkinkan eksploitas jenis baru. Reversibilitas mempunyai struktur farmakon (dalam pengertian Derrida), racun sekaligus penawarnya.
Melihat reversibilitas melulu dari sisi ekstrimnya hanya akan berakhir pada paranoia yang tidak kalah kontra-produktifnya dengan apatisme dan naïfisme. Reversibilitas merupakan sumbangsih Baudrillard untuk mereversi apa yang tampak tak-terbalikkan; ia merupakan saksi dari komitmen optimis Baudrillard untuk melawan sistem simulakra ini. Menyikapi ekstrimitas implikasi reversibilitas ini haruslah dengan mentalitas petaruh (gambler).[25] Itu juga mengapa Baudrillard melihat ini sebagai suatu ‘permainan’ (game) dan ‘tantangan’ (challenge). Bila “game of truth” dalam pengertian Foucault berarti pertarungan klaim-klaim kebenaran, maka “game of truth” Baudrillardian adalah suatu permainan dimana kebenaran telah dikosongkan dari makna esensialnya, untuk lantas kemudian direorientasi demi kepentingan masing-masing. Dalam permainan ini, dimana-mana tampak kebenaran, tapi kebenaran tidak ada dimana-mana.
Masih terkait pertimbangan etis, politik yang berbasiskan pada konsep reversibilitas ini, di kesempatan lain, secara kontroversial disandingkan Baudrillard dengan prinsip Iblis, yaitu “tentu saja bukan tentang supremasi yang Jahat [dari yang Baik], melainkan mengenai ketergandaan fundamental yang menuntut seluruh tatanan yang ada untuk dibangkangi, diserang, dilanggar, dan dibongkar” [not exactly the supremacy of Evil [over the Good], but the fundamental duplicity that demands that any order exists only to be disobeyed, attacked, exceeded, and dismantled].[26] Jadi yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa prinsip Iblis dalam pemahaman Baudrillard adalah selalu melampaui Baik dan Buruk, tidak hanya itu, ia menabrak pendikotomian itu sendiri! Ia akan secara aktif mendevaluasi nilai-nilai yang ada, tapi juga kemudian merevaluasinya.
Perlawanan dengan mendasarkan strateginya pada permainan reversibilitas ini berada pada tataran simbolik, pada permukaan, atau bahkan penulis akan menawarkan, perlawanan pada tataran simulakra—perlawanan simulakrais. Jika perlawanan pada umumnya diarahkan pada dalang, yang-dibelakang-layar, esensi, dst. dari suatu kebohongan, maka perlawanan simulakrais adalah perlawanan yang dilangsungkan justru di medan kebohongan itu sendiri. Perlawanan simulakrais tidak mencari esensi yang tersembunyi dari suatu kriminalitas (korupsi, skandal, eksploitasi, dst.), melainkan justru ia beroperasi dalam dan melalui logika beroperasi kriminalitas itu sendiri. Inilah sumbangsih strategis yang ditawarkan oleh Baudrillard bagi perlawanan politik di era hiperealitas. Hanya dengan memahami dimensi reversibilitas Baudrealitas, suatu peluang pembebasan dari perbudakan kapitalisme berbasis simulakra bisa dimungkinkan.
“Kita tidak akan menghancurkan sistem melalui suatu revolusi yang langsung dan dialektis terhadap infrastruktur ekonomi dan politik. Segala sesuatu dihasilkan oleh kontradiksi, oleh relasi kekuasaan, atau oleh energi pada umumnya, hanya akan mengumpan balik ke mekanisme tersebut dan memberinya daya dorong, mengikuti distorsi sirkuler menyerupai pita Moebius. Kita tidak akan pernah mengalahkannya dengan mengikuti logika energinya, kalkulasinya, rasio dan revolusinya, sejarah dan kuasanya, atau finalitas dan kontra-finalitasnya. Kita tidak akan pernah menaklukkan sistem di ranah riil: kekeliruan paling parah dari seluruh strategi revolusioner kita adalah percaya bahwa kita dapat mengakhiri sistem ini di ranah riil: ini adalah imajinasi mereka, yang ditanamkan kepada mereka oleh sistem itu sendiri, hidup dan terselamatkan semata karena selalu mengarahkan siapapun yang menyerang sang sistem untuk bertarung satu sama lain dalam ranah realitas, yang adalah selalu realitas dari sang sistem. … Karenanya kita harus memindahkan segala sesuatunya ke alam simbolik, dimana tantangan, pembalikan, dan pelampauan adalah hukumnya.”
[We will not destroy the system by a direct, dialectical revolution of the economic or political infrastructure. Everything produced by contradiction, by the relation of forces, or by energy in general, will only feed back into the mechanism and give it impetus, following a circular distortion similar to a Moebius strip. We will never defeat it by following its own logic of energy, calculation, reason and revolution, history and power, or some finality or counter-finality. The worst violence at this level has no purchase, and will only backfire against itself. We will never defeat the system on the plane of the real: the worst error of all our revolutionary strategies is to believe that we will put an end to the system on the plane of the real: this is their imaginary, imposed on them by the system itself, living or surviving only by always leading those who attack the system to fight amongst each other on the terrain of reality, which is always the reality of the system. … We must therefore displace everything into the sphere of the symbolic, where challenge, reversal and overbidding are the law.][27]
Akhirnya, sekiranya bisa dipahami kalimat kontroversial Baudrillard berikut, yang saya usulkan untuk juga kita serukan: “Saya adalah teroris dan nihilis dalam teori sama seperti yang lainnya dengan senjatanya. Kekerasan teoritis, dan bukan kebenaran, adalah satu-satunya yang tersisa bagi kita” [I am a terrorist and nihilist in theory as the others are with their weapons. Theoretical violence, not truth, is the only resource left us].[28]***
Penulis aktif Purusha Research Cooperative
Daftar Kutipan
Baudrillard, Jean, “Beyond the Vanishing Point of Art,” terj. Paul Foss, dalam P. Taylor, ed., Post-Pop Art (Cambridge: MIT, 1987, 1989).
Baudrillard, Jean, “Forget Baudrillard” dalam Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).
Baudrillard, Jean, “The Revenge of the Crystal: Interview with Guy Bellavanca,” dalam M. Gane, peny., Baudrillard Live: Selected Interviews,(New York: Routledge, 1993 [1983]).
Baudrillard, Jean, Berahi, terj. R. Wahyudi (Yogyakarta: Bentang, 2000 [1979])
Baudrillard, Jean, Fatal Strategies (NY: Semiotext(e)/Pluto, 1990).
Baudrillard, Jean, Fatal Strategies, terj. P Beitchman dan W.G.J. Niesluchowski (New York: Semiotext(e), 1990 [1983]).
Baudrillard, Jean, Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).
Baudrillard, Jean, Illusion of the End, Terj. C. Turner (Stanford: Stanford University Press, 1994 [1992]).
Baudrillard, Jean, Impossible Exchange, Terj. C. Turner, (New York: Verso, 2001 [1999]).
Baudrillard, Jean, Seduction, terj. B. Singer (Montreal: New world Perspectives Press, 1990 [1979])
Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation, terj. S.F. Glaser (Ann Arbor Michigan: University of Michigan Press, 1994 [1981]).
Baudrillard, Jean, Symbolic Exchange and Death, terj. I.H. Grant (London: SAGE, 1993 [1976]).
Baudrillard, Jean, The Mirror of Production, terj., M. Poster (St. Louis, Missouri: Telos Press, 1975 [1973]).
Benjamin, Breaking “I Will Not Bow,” Dear Agony (2009) [Lagu]
Cultural Politics, Special Issue: Baudrillard Redux, editor tamu, Richard G. Smith, David B. Clarke, and Marcus A. Doel, vol. 7, issue 3, 2011.
Foucault, Michel, “Truth and Power,” dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, peny., C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980).
Foucault, Michel, Birth of Biopolitics: Lectures at the College de France, 1978-1979, terj. G. Burchell (Hampshire, Palgrave Macmillan, 2008)
Foucault, Michel, Society Must be Defended: Lectures at the College de France, 1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador).
Marx, Karl, A Contribution to the Critique of the Political Economy, terj. N.I. Stone (Charles H. Kerr & Compan, 1904)
Noys, Benjamin, The Persistence of the Negative: A Critique of Contemporary Continental Theory (Edinburgh Uni Press, 2010).
Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat, ed. ketiga (Yogyakarta: Matahari, 2011).
Polimpung, Hizkia Yosie, Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana, Makalah pada Diskusi Publik, “Buruh dan Kapital: Mahasiswa ke Mana?” PUSGERAK BEM UI, FISIP UI Depok, Senin, 30 April 2012.
[1] “The only real pleasure in the world is to watch things ‘turn’ into catastrophe, to emerge finally from determinacy and indeterminacy, from chance and necessity, and enter the real of vertiginious connections, for better or worse, where things reach their end without passing through their means, where events attain their effects without passing through causes.” Jean Baudrillard, Fatal Strategies (NY: Semiotext(e)/Pluto, 1990), hal. 156. Semua terjemahan adalah terjemahan bebas dari saya sendiri.
[2] “What interests me is indeed something like a fatal strategy … which dismantles the beautiful order of irreversibility, of the finality of things. I think what troubles people is the idea of reversibility when given as a kind of law. I do not accept it as law. I take it as a rule of the game.” Jean Baudrillard, “The Revenge of the Crystal: Interview with Guy Bellavanca,” dalam M. Gane, peny., Baudrillard Live: Selected Interviews,(New York: Routledge, 1993 [1983]), hal. 57.
[3] Saya menerjemahkannya secara mentah dari bahasa Inggrisnya demi kepentingan keselarasan citra akustik saja. (Terjemahan Indonesia yang bisa saya pikirkan, misalnya: keterputarbalikkan dan keterbolak-balikan, menurut saya kurang berterima dan cenderung njelimet di lidah).
[4] Lihat karya-karya posmodernis Indonesia seperti Yasraf Amir Piliang, misalnya, yang tampak sangat kental dengan pemikiran Baudrillard yang nihilis naïf ini.
[5] Orgy, adalah bahas Inggris untuk ‘pesta seks’. Baudrillard menggunakan terma ini secara metaforis untuk menunjukkan euforia perayaan kebebasan di era posmodernitas, yaitu era di mana tatanan sosial kehilangan tiang-tiang penyangga tradisionalnya (agama, negara, keseimbangan pasar, dst.). Lihat bagian berikut tulisan ini.
[6] Nietzsche menekankan dua bentuk nihilisme: pasif dan aktif. Nihilisme pasif larut dalam euforia matinya transendensi, sementara nihilisme aktif mengambil posisi aktif dalam terus menerus menciptakan dan menghancurkan transendensi-transendensi baru. Nihilisme naïf yang dimaksud di sini adalah nihilisme pasif dalam artian Nietzsche, atau yang dengan sinis disebut Baudrillard sebagai orgy.
[7] Apresiasi demikian banyak dilakukan oleh kelompok filsuf baru yang menamai filosofinya sebagai ‘akselerasionisme’. Sebenarnya nama ini diberikan oleh Benjamin Noys dengan semangat kritik, namun ia malah diafirmasi oleh sejumlah pemikir seperti Nick Srnicek, Alex Williams, dan Robin Mackay, bahkan disambut oleh filsuf sekelas Antonio Negri. Lih. Benjamin Noys, The Persistence of the Negative: A Critique of Contemporary Continental Theory (Edinburgh Uni Press, 2010), h. 4-9. Pengantar dan arahan sumber penting bisa klik di sini: http://monoskop.org/Accelerationism. Sayangnya, pendeketan akselerasionis ini rawan mengulai mesianisme nihilisme pasif. Kritik ekstensif terhadap akselerasionis ini akan disampaikan di lain kesempatan.
[8] “Forget Baudrillard” merupakan judul artikel penutup buku Jean Baudrillard, Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).
[9] Sebenarnya kritik ini juga bukan tanpa masalah. Apakah konsepsi produksi yang telah berubah, atau Baudrillard sendiri yang memang gagal melihat antisipasi Marx terhadap “perubahan”—jika ada—konsep produksi. Saya membahas ini melalu konsep ‘produksi imaterial’; lihat, Hizkia Yosie Polimpung, Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana, Makalah pada Diskusi Publik, “Buruh dan Kapital: Mahasiswa ke Mana?” PUSGERAK BEM UI, FISIP UI Depok, Senin, 30 April 2012.
[10] Jean Baudrillard, The Mirror of Production, terj., M. Poster (St. Louis, Missouri: Telos Press, 1975 [1973]), hal. 129. Penekanan pada teks asli.
[11] Ibid., cat.kaki no. 95. Penekanan dari penulis. *cat: ‘General equivalence’ dalam teks asli saya terjemahkan sebagai ‘ekwivalensi universal’. Hal ini untuk mengikuti konseptualisasi Marx mengenai uang sebagai ‘universal equivalent’, yaitu yang secara umum merupakan upaya mengonversikan kerja manusia yang abstrak (susah diukur) dalam menghasilkan suatu komoditas ke dalam satu ukuran umum (yi. universal) yang setara (yi. ekwivalen) sebagai medium pertukaran. Alhasil, karena ekwivalen universal (yi. uang) ini, kerja manusia menjadi tak tampak, menjadi terepresi. Lih. Karl Marx, A Contribution to the Critique of the Political Economy, terj. N.I. Stone (Charles H. Kerr & Compan, 1904), h.26-30.
[12] Jean Baudrillard, Illusion of the End, Terj. C. Turner (Stanford: Stanford University Press, 1994 [1992]), hal. 27.
[13] Contoh untuk ini adalah sikap kawan-kawan anarkis dan punk kebanyakan dan kelas menengah pada umumnya.
[14] Lihat karya-karya Yasraf Amir Piliang, misalnya, Dunia yang Dilipat, ed. ketiga (Yogyakarta: Matahari, 201) untuk ini.
[15] Jean Baudrillard, “Beyond the Vanishing Point of Art,” terj. Paul Foss, dalam P. Taylor, ed., Post-Pop Art (Cambridge: MIT, 1987, 1989), hal. 182.
[16] Ibid., hal. 189.
[17] Sebenarnya Foucault pun telah menyadari hal ini saat menyerukan untuk “[l]et’s suppose that universals do not exist” untuk memulai analisis tentang kekuasaan dan kepemerintahan (governmentality). Hal ini karena menurutnya universal-universal ini—yaitu agasan semacam sang berdaulat, kedaulatan, rakyat, subyek, negara dan masyakarat madani,” dan bahwa itu semua hanyalah korelat-korelat dari suatu cara tertentu dalam memerintah.” Michel Foucault, Birth of Biopolitics: Lectures at the College de France, 1978-1979, terj. G. Burchell (Hampshire, Palgrave Macmillan, 2008), hal. 2-3. Di kesempatan lain, Foucault juga menyerukan “[k]ita perlu memenggal kepala sang Raja: dalam teori politik yang masih harus dilakukan,” dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, peny., C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 121.
[18] Baudrillard, Forget Foucault, hal. 31.
[19] Lihat, misalnya, Michel Foucault, Society Must be Defended: Lectures at the College de France, 1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador), hal. 24.
[20] Hal ini tidak lantas berarti faktor-faktor subyektif/antropo-sentris (kuasa, hasrat, kepentingan, bahasa, dst.) dikesampingkan. Melainkan poinnya, menjelaskan sesuatu dari faktor-faktor ini saja hanyalah menjelaskan separuh cerita saja, separuh lainnya adalah bagaimana sesuatu tersebut bekerja dengan caranya sendiri. Analisis yang holistik dengan demikian berkomitmen untuk melihat dan memahami tarik-menarik kedua faktor ini.
[21] Jean Baudrillard, Impossible Exchange, Terj. C. Turner, (New York: Verso, 2001 [1999]), hal 150.
[22] Lih. & bdk. Jean Baudrillard, Seduction, terj. B. Singer (Montreal: New world Perspectives Press, 1990 [1979]), hal. 34-5. Dari konsepsi ini sekiranya jelas bahwa terjemahan bahasa Indonesia atas buku ini telah salah kaprah sedari, bahkan, penjudulannya ke dalam bahasa Indonesia: “Berahi.” Lih. Jean Baudrillard, Berahi, terj. R. Wahyudi (Yogyakarta: Bentang, 2000 [1979])
[23] Baudrillard, Forget Foucault, hal. 55
[24] Jurnal Cultural Politics vol 7, issue 3, 2007, edisi khusus: Baudrillard Redux, misalkan, mendedikasikan seluruh volumenya untuk membahas warisan Baudrillard selain konsep-konsep simulasi, simulakra dan hiper-realitas.
[25] Uraian lebih ekstensif mengenai mentalitas petaruh ini, lihat karya Baudrillard, Seduction.
[26] Jean Baudrillard, Fatal Strategies, terj. P Beitchman dan W.G.J. Niesluchowski (New York: Semiotext(e), 1990 [1983]), hal. 77.
[27] Jean Baudrillard, Symbolic Exchange and Death, terj. I.H. Grant (London: SAGE, 1993 [1976]), hal 36. Penekanan dari teks asli.
[28] Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. S.F. Glaser (Ann Arbor Michigan: University of Michigan Press, 1994 [1981]), hal 163.