Sikuit akumulasi kapital, ‘M-C-M’’ atau ‘Uang-Barang-Uang yang lebih besar’ memang tidak hanya terjadi di dinding-dinding pabrik tempat sebuah komoditas diproduksi oleh para buruh. Lebih luas dari itu, sirkuit akumulasi kapital selalu mensyaratkan relasinya dengan alam. Untuk menghasilkan sebuah komoditas, terlebih dahulu seorang kapitalis mengambil bahan baku dari alam, atau dalam ilmu ekonomi merupakan bagian dari kapital konstan. Dalam skemanya, tidak pernah ada kata berhenti dalam corak produksi kapitalisme, sebaliknya, kapitalisme adalah akumulasi kapital yang tidak pernah berujung. Dalam hal itu, artinya proses ekstraksi bahan baku dari alam pun akan selalu dilakukan. Disinilah persisnya krisis sosial-ekologis terjadi. Sumber daya alam yang terbatas dihantam oleh kebutuhan akumulasi kapital yang tidak berbatas. Selain itu, krisis ekologis akan selalu bersamaan dengan krisis sosial, sebab, yang dirusak oleh kapitalisme tidak lain adalah ruang hidup tempat manusia tinggal.
Untuk membahas krisis sosial ekologis yang disebabkan oleh akumulasi kapital, pada edisi kali ini Rio Apinino dari Left Book Review (LBR) melakukan perbincangan dengan Hendro Sangkoyo, pendiri Sekolah Ekonomi Demokratik (SED), sebuah kelompok belajar bersama yang digunakan untuk melawan kerusakan sosial-ekologis tersebut. Berikut petikannya:
Bisa ceritakan pengalaman intelektual Anda?
Saya pikir pergulatan pemikiran pada tingkat pribadi baik untuk ditaruh pada zona ruang-waktu yang lebih spesifik, di dalam keragaman semangat zaman yang menggelora atau justru meredup di masa itu. Masa terpenting yang menjadi basis pengalaman batin yang sengit pada masa hidup saya adalah perioda Suharto dan rezim sesudahnya dengan berbagi kesamaan karakter ekonomi-politik.
Angkatan sebaya saya masuk ke sekolah tinggi di awal tahun 1970an, ketika perluasan medan akumulasi, khususnya di cabang-cabang industri keruk, berkelindan dengan kemampuan negara untuk menguatkan kehadirannya lewat cadangan devisa dari rente minyak bumi, lewat berbagai proyek rekayasa pengubahan bentang alam, kontrol atas pikiran dan gerakan politik, serta efek stres sosial setelah pengalaman traumatik 1965. Sekolah-sekolah tinggi menjadi loket karcis untuk menghuni birokrasi negara atau menjadi anggota masyarakat profesi di berbagai cabang bisnis besar. Tuntutan ‘pembangunan’ dan syarat ketaatannya adalah kata kunci untuk propaganda dan pasifikasi, dengan imbalan kenyamanan dari keanggotaan dalam rezim sebagai pemikatnya.
Secara umum generasi saya adalah generasi yang mengalami percobaan pengkerdilan imajinasi, nyali, bacaan, dan rentang pengalaman berpolitiknya. Percobaan ini tidak sepenuhnya sukses, setidaknya karena dua hal.
Pertama, apa yang bisa/tidak bisa dikontrol pada masa Suharto dan rezim neoliberal setelahnya tidak terpisahkan dari dinamika perluasan kapital. Dekade 1970an ditandai dengan tamatnya rezim keuangan Bretton Woods tahun 1971 lewat aksi sepihak AS, krisis minyak di negara-industri maju di 1973-1974 karena embargo OPEC, dan di 1979 karena pecahnya revolusi Iran. Industrialisasi pengganti impor sebagai antidote dari turunnya nilai tukar produk primer negara dunia ketiga dibandingkan produk industri negara industri maju, pemicu kerangka-teori dependencia di 1970an, kehilangan basis materialnya dalam dinamika perluasan medan akumulasi global dalam tiga dekade berikutnya. Di sepanjang proses tersebut, di Indonesia memang tumbuh generasi lulusan sekolah yang berkesediaan untuk membayar karcis keanggotaan dalam berbagai lapisan dan cabang rezim perluasan kapital dan mesin politiknya. Sebetulnya seluruh cerita tadi itu serta-merta merupakan karikatur dari pendidikan. Tidak usah dituturkan lagi pendidikan itu tepat atau tidak. Semua kurikulum dari SD sampai SMA dan Sekolah Tinggi itu instruksinya apa? Kita dilatih untuk apa? Dilatih berpikir seperti apa. Itu sudah jelas sekali. Puyeng maksud saya itu. Dari kepentingan kapital, pelatihan keterampilan dan kepatuhan calon pekerja mungkin lebih tepat daripada pendidikan. Tentu, pendidikan yang tidak melatih pelajarnya untuk memeriksa duduk perkara kenyataan dengan kritis, tidak beda dengan indoktrinasi.
Meskipun dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan besar-besaran, kontrol pikiran juga dihadapkan pada kenyataan kacau-balaunya kenyataan ‘pembangunan’ di ruang-ruang hidup warga negara sehari-hari. Kenyataan perubahan yang kasar dan hiruk-pikuk jauh lebih meyakinkan daripada kursus-kursus indoktrinasi ‘pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila’ di sekolah tinggi dan di kantor-kantor. Itulah sebabnya, bahkan dengan isolasi desa dari kemungkinan mobilisasi politik sejak akhir 1960an, pengawalan wilayah-wilayah industri dengan senjata, serta ‘normalisasi kehidupan kampus’ di perkotaan satu dekade kemudian, percobaan satu generasi dari rezim Suharto terpaksa berakhir secara mendadak.
Kedua, terbatasnya daya cengkeram dari percobaan politik otoriter di Indonesia juga disebabkan oleh watak klien dari negara orde-baru dan penerusnya, yang memperluas dan mempercepat destabilisasi sosial-ekologis. Mediokritas, kemiskinan imajinasi sosial-ekologis dan kemalasan para manajer negara yang mengurus perluasan kapital —gagal dalam transformasi industri pertanian rakyat, gagal dalam membangkitkan industri pengolahan, sibuk menghitung pembesaran rente dari industri keruk semata— telah menghasilkan bukti berlimpah. Hanya dalam dua putaran ‘pembangunan lima tahun’, 1/3 jumlah sungai penting di kepulauan dinyatakan rusak parah karena pembongkaran bentang alam besar-besaran. Dalam dua putaran berikutnya, sungai yang bangkrut naik menjadi 2/3 dari 89 wilayah pengurusan sungai. Di pulau-pulau padat-huni, pabrik-pabrik baru berdiri di pinggiran perdesaan, membuka peluang menjadi buruh pabrik dan pekerja kontrak dari proyek-proyek konstruksi raksasa, sekaligus merintis zaman baru pencaplokan tanah berskala ribuan hektar. Gejolak politik, gerakan-gerakan protes warga-negara yang memberikan sinyal peringatan politik, veto, atau bersifat korektif, dianggap ancaman bagi stabilitas rezim, dan menjadi obyek kekerasan sistematis. Dinamika politik dalam negeri rakitan rezim itu seperti kita tahu justru memperluas basis perlawanan bawah-tanah dan terbuka yang ikut mendorong tahap akhir kejatuhan Suharto. Meskipun keterlibatan aktif rakyat jelata terbatas, dan meskipun tidak sepenuhnya didorong oleh kekuatan di dalam negeri, 1998 menandai tamatnya sebuah zaman ‘penjajahan untuk pembesaran kapital’.
Bagaimana anda melihat kapitalisme hari ini dalam kaitannya dengan krisis sosial ekologis?
Setelah berangus politik dibuka, siapa bisa menyuarakan kepentingannya, dan siapa yang paling diperkaya? Dalam 16 tahun setelah rezim Suharto turun, apakah ada perubahan politik mendasar, atau justru terjadi pergeseran ke zaman ‘normal’ orde-Suharto? Generasi yang sekarang masuk di sekolah-sekolah tinggi, dan baru memulai karir di sekolah dasar ketika Suharto turun, dibesarkan dalam modalitas pengendalian partisipasi politik warga negara dalam acara-acara reproduksi politik berkala lewat perpipaan partai politik. Spektrum ‘ideologis’ dari politik kepartaian tidak lagi tercermin dalam garis atau program partai, karena dalam satu setengah dekade ini sangat mencolok naiknya peran korporasi dalam mendominasi proses produksi-konsumsi sosial lewat privatisasi cabang-cabang produksi barang dan jasa publik. Dalam siratan dan kenyataan, Reformasi tidak jauh dari proses liberalisasi alir kapital yang di samping berwatak rentier dan komprador, juga bertitik berat pada ekstraktivisme yang lebih brutal. Kesemuanya berjalan tanpa perubahan berarti antar perioda kepresidenan, dengan restu dari borjuasi dan partisipasi dari golongan terdidiknya. Janji desentralisasi politik dan fiskal juga menjadikan kabupaten dan kota sebagai petuanan baru, situs ekstraksi rente dari aneka bahan mentah serta penarikan pajak, sekaligus medan utama politik partai dan sumber penting bagi pembangkitan dana politiknya.
Apa yang hanya sedikit dituturkan dari cerita perayaan kebebasan bersuara setelah Suharto? Dalam proses liberalisasi ekonomi-politik itu, partisipasi kewargaan didorong dan ditumbuhkan dengan aliran dana-dana hibah. Serupa dengan politik kepartaian pasca Reformasi, perbaikan untuk warga bukan lah proses politik tandingan terhadap dominasi kebudayaan dari kelas penguasa, tetapi sebagai bukti pro forma bahwa proses kritik dan politik oposisi yang ‘profesional’ dan ‘terpelajar’ bisa terus berlangsung tanpa perubahan watak rezim. Dengan proses partisipasi politik rakitan semacam itu, ragam identitas sosial sekaligus menjadi batas-batas dari solidaritas, tanpa kebutuhan mendesak untuk menemukan basis solidaritas baru pada kesamaan kepentingan jangka panjang dalam krisis. Terserpihnya politik tandingan sekarang tidak sepenuhnya berbeda dari citra masyarakat (koloni) majemuk di bawah rezim Hindia Belanda, yang tidak akan berkumpul kecuali di pasar. Salah satu wujud utama dari keadaan ini dapat kita lihat pada lemahnya ikatan dan ingatan sosial pada ruang-hidup bersama. Dalam hal ini, kesadaran terserpih merupakan sisi lain dari pudarnya ingatan bersama akan ruang hidup sebagai kesatuan-kesatuan sosial-ekologis —yang bingkainya adalah bentang-alam dan kesamaan pengalaman ruang-waktu sebagai subyek perubahan di situ. Absennya politik reproduksi ruang-waktu dalam tuturan perubahan ikut menjelaskan kenapa perusakan ruang hidup dan syarat-syarat kelayakan hidup rakyat meluas makin cepat.
Tentu gejala tadi hanya menuturkan sebagian cerita. Perusakan yang sekarang berlangsung pada skala pulau sesungguhnya menciptakan syarat-syarat kekacauannya sendiri. Sebagai metafora kartografis dari ruang-hidup, delineasi batas-batas ‘kesatuan sosial-ekologis’ yang hendak dibela —dalam keragaman corak kesamaan kepentingan dan kemajemukan skala— membuka jalan untuk memperluas praktik sosial melawan perusakan dengan jangkar pengalaman ruang-waktu yang mudah dipahami.
Dalam alur pikiran tadi, ekonomika dipertimbangkan kembali sebagai tuturan pengetahuan tentang dinamika perubahan sosial-ekologis di sepanjang proses perluasan medan produksi-konsumsi sosial, serta sebagai rujukan bagi praktik sosial untuk membalik kecenderungan dominan pemburukan krisis dari rezim produksi-konsumsi kapitalistik yang ada sekarang. Moda produksi-konsumsi yang merupakan tumpuan kehidupan sosial dan pengurusannya menjadi fokus pemeriksaan dan medan perombakan. Dalam hal ini, ekonomi sebuah kesatuan sosial-ekologis mencakup bukan saja syarat-syarat kepentingan bersama sebagai tandingan penggumpalan kekayaan lewat proses akumulasi kapital, tapi juga keutuhan fungsi-fungsi faal lapisan bumi yang dapat ditinggali manusia. Syarat ekologis tersebut menemukan dimensi sosialnya sebagai syarat kepentingan bersama yang dimensi waktunya jauh lebih panjang dari panjang-usia sebuah generasi. Dengan demikian medan perubahan yang menuntut tindakan kolektif bercakupan sosial-ekologis.
Seperti apa konsekuensi dari penglihatan seperti ini? Sementara perombakan politik boleh jadi harus dibayangkan masih akan berjalan dalam batas-batas negeri, syarat-syarat sosial-ekologis yang menentukan berguna tidaknya sebuah pembaruan politik ‘nasional’ harus dipelajari, dimengerti dan dipenuhi pada tingkat asasi —dengan keberlakuan melampaui batas-batas geopolitik formal yang ada saat ini.
Bisa jelaskan mengenai finansialisasi, dan mengapa ia menjadi corak yang khas dalam kapitalisme?
Cerita tentang finansialisasi punya banyak sisi. Finansialisasi mengacu pada pola baru akumulasi melalui pipa-pipa keuangan yang mengungguli penciptaan nilai lewat produksi dan perdagangan barang. Cerminannya dalam proses sosial antara lain adalah meningkatnya kuasa politik dan ekonomik dari ‘kelas rentier’. Daya dorong dari institusi dan mekanisme politik elektoral memudar di hadapan gejala finansialisasi segalanya tersebut. Alir keuangan publik menjadi bagian dari medan akumulasi kapital keuangan global. Barang kebutuhan publik seperti sumber energi primer secara sistematis diubah makna sosialnya, dari ‘infratruktur ekonomik’ menjadi barang, yang alirnya dipandu oleh mekanisme harga internasional. Mandat pengurus negara untuk menjamin keselamatan warga dan keutuhan ruang-hidupnya menjadi subordinat dari terpeliharanya kelancaran alir kapital dan perluasan sirkuit-sirkuitnya. Ruang-ruang hidup warga di darat dan di laut beserta kandungan bahan mentahnya resmi diperlakukan sebagai bagian dari medan akumulasi keuangan.
Finansialisasi juga merupakan sisi lain dari hegemoni dolar AS dalam transaksi keuangan di seluruh dunia, setelah tamatnya rezim Bretton Woods. Di bawah kuasa kapital keuangan dan cairnya alir keuangan antar negara, negara-negara yang hendak menempuh jalan lain dengan mudah bisa ‘dihukum’ lewat berbagai mekanisme. Kalau kita lihat rontoknya Wall Street di AS di 2008 sebagai jantung kapital keuangan global dalam lintasan perkembangannya sejak Depresi Besar 1929, jelas bahwa gejala finansialisasi tidak akan mengatasi cacat genetik kapitalisme keuangan yaitu ketidak-stabilan sistemnya sendiri.
Kekuatan sebuah ekonomi dengan finansialisasi terletak pada kemampuannya menciptakan kredit dari nol, meminjamkan dan menarik bunganya, dan memilih menyalurkan labanya pada sirkuit yang sama. Di 2012 nilai nominal dari instrumen derivatives ditaksir lebih dari 600 Triliun dolar AS, atau setara dengan sembilan kali GDP dunia. Dengan kecepatan pengaliran dana ke manapun dalam hitungan menit, kecepatan perluasan pasar lahan global dan mekanisme rampas lahannya lewat berbagai instrumen keuangan juga ikut naik. Syarat dari penguasaan lahan dalam hal ini adalah terpenuhinya syarat legalitas lahan sebagai sebuah kelas aset. Redistribusi lahan-tani dengan sertifikasi dapat dibaca sebagai akuisisi finansial, bukan transfer aset ke pekerja-tani. Bicara reforma agraria artinya kita harus bicara tentang transformasi, bukan redistribusi lahan. Apa gunanya kita mengolah lahan satu hektar kalau seluruh aliran uang dari rente dan surplusnya dirancang untuk menghisap produsennya? Sertifikasi aset bukan saja menyangkut lahan, tetapi juga berbagai jenis infrastruktur —salah satu kelas aset yang tertinggi produktivitas asetnya. Lakon percepatan konstruksi infrastruktur di Asia tenggara, sebagai contoh, dapat diperiksa berdasarkan logika tersebut tadi. Dalam propaganda mengenai makna kenaikan GDP sebagai peningkatan kesejahteraan, siapa yang diuntungkan dalam cerita itu?
Sisi lain dari percepatan penguasaan ruang lewat mekanisme kapital keuangan tersebut adalah berlangsungnya percepatan pembongkaran dan perubahan bentang alam beserta infrastruktur ekologisnya. Air dan pegunungan sebagai wilayah resapan dikenai valorisasi finansial, lewat transformasi keberadaaannya menjadi barang-barang yang dapat dikuantifikasi. Fungsi ekologis yang rumit dari karst dapat disetarakan dengan berat keseluruhan gamping yang membentuknya, diukur dalam satuan ton. Ekosistem hutan yang begitu rumit bangunan dan fungsi-fungsi faalnya direduksi menjadi bobot karbon yang terkandung pada pohon dan lapisan akarnya, untuk dikonversi nilai finansialnya. Pelepasan makna dari fungsi makin panjang daftarnya. Kajian lingkungan hidup strategis bahkan bisa digunakan untuk mengkonversi ‘derita’ atau kenaikan entropi sosial ke dalam kuanta. Lebih dari semata perubahan dalam moda dominan akumulasi, gejala finansialisasi juga memicu destabilisasi sosial-ekologis secara besar-besaran, yang belum pernah berlangsung pada episoda perkembangan kapitalisme sebelumnya. Integrasi ekonomi tempatan di Asia yang meminta syarat-syarat kepatuhan sosial yang lebih ketat boleh jadi akan mendorong pembesaran basis gerakan buruh pabrik serta perlawanan terhadap pencaplokan ruang-ruang hidup di situs-situs industri keruk.
Lebih jauh, gejala finansialisasi juga mencerminkan proses sosialisasi resiko dan privatisasi segalanya dari proses akumulasi. Kita sekarang berada pada garis depan kemajuan dari lex mercatoria, rezim hukum untuk membela kepentingan dagang. Kontradiksi di antara berbagai institusi, mekanisme dan instrumen kenegaraan dewasa ini kecil sekali kemungkinannya untuk diatasi dari dalam tubuh birokrasi negara. Privatisasi proses legislasi dan peradilan menjadikannya mustahil dilakukan. Tanpa penguatan desakan rakyat, pengurus negara dan kantor-kantor negara akan melindungi dan menjamin kelancaran aliran investasi, bukan pemenuhan hak rakyat.
Pertanyaan yang menurut hemat saya penting begini: kalau kapital keuangan adalah mekanisme alir kapital, seperti apakah transformasi sosial-ekologis yang didorongnya? Lebih dari sekedar ‘finansialisasi produksi-konsumsi barang’, kelihatannya kita tengah dipertalikan oleh sebentuk protokol reproduksi-kehidupan yang patuh bukan pada etika reproduksi kehidupan yang memulihkan dan memperbaiki, melainkan pada logika akumulasi.
Bisa ceritakan tentang SED (Sekolah Ekonomika Demokratik)?
Dorongan awal penumbuhan SED adalah kehendak untuk menciptakan cara dan ruang-bertutur tandingan mengenai dinamika krisis berdimensi ekologis dan kemanusiaan, terutama yang dipicu oleh pembesaran rerantai ekonomik. Jika perubahan bisa dituturkan dalam kerangka ruang-waktu dan pengalaman sang subjek di dalam ruang-hidupnya sendiri, yang bersangkutan akan terlibat dalam proses belajar memahami medan interaksi di antara perubahan dalam rerantai ekonomik dengan perubahan dalam rerantai kemasyarakatan/kemanusiaan kehidupannya serta rerantai ekologis dari bentang alam yang merumahinya, dan memudahkan perumusan tindakan untuk mempengaruhi arah perubahan di situ. Apabila perambatan dan pengayaan pengetahuan/pengalaman bertindak lewat proses belajar tersebut bisa dikelola dengan baik, pembalikan kecenderungan percepatan pemburukan krisis akan berlangsung sebagai praktik sosial di berbagai konteks institusional dari para pelajarnya. Dengan beberapa kelengkapan alat bantu bercakap-cakap, tuturan mengenai perubahan yang sekarang didominasi oleh sistem bertutur dari dalam rerantai ekonomik dapat dipetakan duduk perkaranya dengan menaruhnya kembali di dalam rerantai sosial dan rerantai ekologis. Sebagai ilustrasi, terdapat perbedaan mendasar di antara sistem bertutur yang berpusat pada rerantai ekonomik, sosial dan ekologis, dalam tuturan tentang waktu, ruang, daya ubah, identitas genetik yang mengalami perubahan dan logika perubahan.
Konstruksi sosial dari tuturan dominan tentang ekonomi politik energi, misalnya, bukan saja punya bias mencolok pada sisi pasokan, tetapi juga mengerutkan soal energi sebagai urusan energetika bagi reproduksi sosial-ekologis, menjadi urusan kecukupan sumber energi primer untuk kesinambungan industrialisme kapitalistik. Keselarasan ruang-waktu bagi proses reproduksi rerantai sosial dan rerantai ekologis hilang dari pertimbangan dan penglihatan publik. Pasokan listrik poros kapital keuangan Sudirman-Thamrin di Jakarta sepanjang 6.3 km diperkirakan tak jauh berbeda dari pasokan listrik seluruh propinsi Kalimantan Timur. Jakarta dengan populasi 10 juta, luas 661.5 km2, setara pasokan listriknya dengan pulau Sumatra yang memiliki populasi 50 juta dan luas 443065 km2. Cerita seperti ini menunjukkan bahwa moda perubahan di ketiga rerantai berlangsung dalam ‘jenis waktu’ atau chronotype yang berbeda. Percepatan konsumsi sumber energi fosil untuk pembangkitan daya listrik tidak mengacu pada metabolisme sosial di sebuah ruang-hidup, melainkan pada pertimbangan perluasan rerantai ekonomik. Serupa, percobaan penyatuan zona waktu di seluruh kepulauan Indonesia untuk kelancaran finansialisasi ekonomi mengecil-ngecilkan pentingnya perbedaan zona waktu di ujung barat laut Sumatra dengan di ujung timur Papua bagi kehidupan sehari-hari warga masyarakat, yang mustahil dikuantifikasi, apalagi dinilai harga uangnya.
Dalam proses belajar-bersama atau social–learning ini, bagaimana orang menemukan tubuh dari perlawanannya? Kata organisasi sendiri kan kita harus pertanyakan kembali. Kita bicara sebuah proses sosial yang pada kenyataannya tidak berlangsung menurut batas-batas institusional. Pada saat yang sama kita juga lihat bahwa krisis sosial itu tidak berlangsung di ruang hampa. Di Kalimantan Timur misalnya, kita harus bicara krisis yang bagaimana, sangat spesifik zona ruang-waktunya. Kita bicara sosialnya, bicara ekologisnya, bicara yang kita lawan, ekonominya begini, lalu setelah itu kita meski ngapain? Sense itu penting sekali untuk kita mengerti. Oleh karena itu kemudian kita menggunakan sebuah alat bercakap-cakap, ‘kesatuan sosial-ekologis menyejarah’, sebuah construct yang menunggu dimaknai oleh pengalaman batin sang subjek belajar.
Dengan begitu yang bersangkutan bisa mempertautkan apa yang tengah atau sudah menjadi kenyataan secara ex–post. Yang hilang dalam abstraksi, pemodelan berlebihan atau yang merancukan tuturan rerantai ekonomik dengan yang sosial dan ekologis, menemukan tuturan yang lebih utuh. Masalah ‘penglihatan terbalik’ dalam kajian ideologi, karena efek kamar-gelap atau camera obscura, dapat diperiksa dengan cepat. Kita sekarang hidup dalam sebuah pelapisan proses kehilangan, seperti yang disiratkan oleh penulis Kiran Desai dalam ‘The Inheritance of Loss’. Warga kampung mewarisi kehilangan, dan dalam pemburukan krisis, peran sejarahnya adalah mewariskan kehilangan yang berlapis-lapis.
Ketika sebuah rombongan belajar di sebuah situs krisis memutuskan untuk belajar bersama melawan perusakan dan memulihkan, proses sengit untuk menuturkan ‘siapa kami’, ‘gambaran tentang ruang hidup kami’ dan ‘apakah kami merupakan bagian dari subyek sejarah yang lebih besar yang sama-sama mengalami krisis’ menjadi titik berangkat dari proses pemetaan perubahan di wilayah hidup si rombongan. Ketiganya bersifat vital untuk memulai perubahan secara kolaboratif, yang tepi ruang-waktunya diputuskan si pelajar. Untuk melakukan ‘dekolonisasi’ terhadap tuturan ekonomika neoklasik mengenai rerantai ekonomik di situ, pelajar belajar memetakan lintasan perubahan sosial dan ekologis dari dinamika produksi-konsumsi energi dan bahan di situ ke dalam kategorisasi mendasar, mana-mana yang mendorong destabilisasi sosial atau ekologis, dan mana yang memulihkan kerusakan atau menguatkan. Kualifikasi diperiksa dengan mengacu pada syarat-syarat keselamatan dan keutuhan ruang-hidup yang dirumuskan oleh si rombongan belajar. Rombongan belajar dapat berkolaborasi dengan rombongan lain dan menggunakan berbagai alat bantu yang lebih lengkap, jika dibutuhkan pemeriksaan lebih seksama terhadap vektor-vektor pendorong perubahan, misalnya untuk sebuah pulau berukuran 5000 kilometer persegi, atau untuk merumuskan bagaimana pengurusan tandingan konsumsi air pada skala negeri atau bumi, atau memeriksa daur-hidup beberapa cabang industri yang memicu pemburukan krisis.
Untuk memotong proses melingkar pemburukan krisis oleh moda pengurusan publik buta krisis dan moda perluasan ekonomik pendorong krisis, harus dinyatakan adanya sebuah imperatif pembalikan krisis. Agenda belajar-bersama yang mendesak adalah menaruh kembali seluruh rerantai ekonomik sebagai urusan rumah-tangga dari rerantai sosial dengan segenap persyaratan keselamatan dan keadilan di dalamnya, dan bersamaan dengan itu, menempatkan kembali proses sosial —termasuk penyelarasan rerantai ekonomik pada logika metabolisme sosial— di dalam ikhtiar menjawab pemburukan krisis ekologis berskala bumi sekarang. Pada tataran praktik sosial, proses belajar mencakup tiga agenda belajar. Pertama, penerapan logika tandingan dari produksi-konsumsi bahan dan energi, merujuk pada syarat-syarat keselamatan manusia dan keutuhan fungsi-fungsi faal biosfera. Kedua, perumusan dan penerapan protokol tandingan pengurusan perubahan yang bertujuan membalik kecenderungan pemburukan krisis. Ketiga, menumbuhkan praktik belajar-bersama yang bersifat membongkar sekat-sekat antar rombongan dan institusi, serta berskala majemuk, bergantung pada kekhasan konteks sosial-ekologis dari subyek dan wilayah belajarnya.
Dari perjalanan awal selama empat-belas semester ini, proses belajar SDE di kepulauan juga menjadi bagian dari prakarsa-prakarsa belajar serupa di dan mengenai Asia daratan, Amerika utara dan selatan, Eropa dan Afrika. Tafsir mekanistik bahwa kemajuan dalam proses akumulasi kapital harus disambut hangat karena akan mendorong penguatan politik kelas pekerja-tanpa-aset terbukti meleset. Pemburukan krisis dalam rerantai ekologis dari biosfera menurut hemat kami merupakan sebuah medan baru yang baru sedikit sekali kita mengerti dan petakan. Pertanyaannya, bagaimana mempercepat cara belajarnya, tanpa menebalkan sekat-sekat fragmentasi bagi yang berkesediaan melawannya.
Proses sosial yang meminta keterlibatan kita sekarang mirip dengan sebuah proses belajar menguasai kembali kecakapan berbahasa, menemukan kata untuk menuturkan kerumitan krisis, dan untuk membayangkan apa yang harus kita kerjakan dan harus kita urus. Pembebasan dari segala yang buruk yang kita warisi dan wariskan menuntut ontologi tandingan tentang rerantai ekonomik yang patuh pada etika kemanusiaan dan ekologis. Bukan sebagai lokasi ruang-waktu impian, tetapi sebagai sumber inspirasi untuk merintisnya. Di berbagai wilayah krisis tersebut, hilangnya ruang-hidup-bersama, atau commons, menjadi salah satu garis depan dalam memahami duduk-perkaranya, menemukan cerita tandingannya, dan merintis praktik belajar-bersama untuk menumbuhkan/merebutnya kembali. Ekonomika menjadi sebuah cerita mengurus rumah-tangga dari berbagai jejaring belajar masyarakat pekerja dan mereka yang mewarisi kehilangan. Dalam praktik belajar bersama itu, kata kerja melawan perusakan dan memulihkan juga menjadi rujukan bagi riset dan pertukaran pengetahuan antar berbagai jejaring belajar.