Fathimah Fildzah Izzati, anggota redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS
Judul Buku: One Dimensional Woman
Penulis: Nina Power
Penerbit: O Books
Tahun terbit: 2009
Tebal buku: 75 halaman
‘…For the propertied bourgeois woman, her house is the world. For the proletarian woman, the world is her house…’
-Rosa Luxemburg-
Prolog : Feminisme dan Cita-Cita Pembebasan Perempuan
Feminisme dan emansipasi perempuan memang seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Cita-cita emansipasi perempuan dari penindasan, perbudakan dan kedudukan yang direndahkan memang menjadi kerangka besar dari feminisme. Para feminis di seluruh dunia dari masa ke masa memiliki definisi dan imaji tersendiri mengenai apa yang mereka idealkan sebagai emansipasi perempuan. Seperti apa imaji ideal dari emansipasi perempuan yang ada di benak para feminis? Tentunya sangat bermacam-macam, tergantung pada pembacaan mereka atas akar penindasan yang terjadi pada perempuan. Rosa Luxemburg–salah satu tokoh gerakan perempuan paling berpengaruh di abad ke 20–misalnya, membayangkan emansipasi perempuan dalam kerangka pembebasan dari belenggu patriarki dan kapitalisme yang salit berkait erat. Ia tidak sendiri, ada juga Clara Zetkin di Jerman, Umi Sardjono di Indonesia dan masih banyak lagi yang berpikir serupa dengan dirinya.
Setiap yang mendaku diri sebagai feminis pasti memiliki imaji ideal mengenai emansipasi perempuan seperti apa yang mereka kehendaki. Seiring dengan kian berkembang dan merasuknya kapitalisme (neoliberal) dalam setiap lini kehidupan, imaji ideal mengenai emansipasi perempuan pun kian lama kian mendapat tantangan. Tantangan tersebut makin terlihat nyata ketika ukuran-ukuran dari emansipasi perempuan lama-kelamaan memiliki kecenderungan untuk ‘menyesuaikan diri’ dengan–dalam termin Gramscian–hegemoni kapitalisme. Salah satu yang cukup dominan dan yang paling terasa sangat wajar ialah konsumerisme.
Meminjam istilah yang pernah dikemukakan oleh salah satu intelektual dari Frankfurt School, Herbert Marcuse ‘One-Dimensional Man’,[1] Nina Power melakukan analisis yang kritis dan mendasar mengenai feminisme dan kapitalisme, dalam buku setebal 75 halaman yang berjudul ‘One Dimensional Woman’. Dalam buku ini, Nina Power menjelaskan apa yang ia maksud dengan One Dimensional Woman yang berangkat dari premis bahwa kita tidak dapat memahami feminisme kontemporer tanpa memperhatikan perubahan yang terjadi dalam kerja (kondisi kerja dan hubungan-hubungan di dalamnya) serta kenyataan dimana ‘feminisme’ sebagai sebuah termin digunakan pula oleh mereka yang secara tradisional dapat dikenali sebagai musuh feminisme.[2]
Femme-capital : Emansipasi Konsumerisme
Feminisme seringkali didefiniskan sebagai cara perempuan memaknai dirinya; bagaimana perempuan mendefinisikan dirinya. Dalam era kapitalisme neoliberal saat ini, apa yang menjadi definisi itu ditentukan oleh ‘selera pasar’. Dalam kaitan dengan hal tersebut, cita-cita emansipasi dari para feminis pun cenderung mengalami pergeseran makna, bukan lagi untuk membebaskan perempuan dari jeratan patriarki dan kapitalisme yang saling berkelindan, tapi untuk membebaskan perempuan dari beban ‘tidak bisa membeli ini dan itu’.[3] Inilah yang disebut oleh Nina Power sebagai feminisme konsumerisme. Dalam feminisme konsumerisme, emansipasi diartikan sejauh mana perempuan dapat membeli lebih banyak barang. Femme-capital, yakni emansipasi dari feminisme ditentukan oleh sejauh mana perempuan dapat mengkonsumsi.[4] Hal inilah yang membuat tesisnya mengenai One Dimensional Woman semakin mirip dengan tesis Marcuse mengenai One Dimensional Man.[5]
Perempuan memiliki hak untuk memilih tapi banyak feminis seringkali melupakan kenyataan bahwa semua pilihan itu ditentukan oleh keadaan dan kesejarahan. Dalam iklan-iklan di televisi dan berbagai media lainnya, kita sering menyaksikan gambaran mengenai perempuan yang berbahagia. Mereka digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang bisa membereskan rumahnya sekaligus merawat anak-anaknya tapi dapat tetap menjaga penampilannya, baik di tempat kerja maupun dimana saja termasuk ketika sedang berbelanja. Perempuan dicitrakan sebagai manusia yang harus selalu tampil sempurna. Berbagai produk diciptakan demi mendukung tuntutan citra tersebut dan iklan menjadi sarana untuk memasarkannya. Perempuan bebas memilih, akan tetapi pilihan-pilihannya dibatasi standar yang dipaparkan dalam iklan.[6]
Dalam bukunya ini, Nina Power mempertanyakan kembali konsep equality atau kesetaraan dalam konteks kapitalisme. Perempuan diilusi oleh konsumerisme dimana kebahagiaan perempuan sebagai manusia yang punya hak untuk memilih (right to choose) sebagaimana yang diperjuangkan oleh feminisme, juga sangat dibatasi dan ditentukan oleh ideologi konsumerisme. Dalam hal ini, kebahagiaan perempuan ditentukan oleh seberapa mampu ia dapat membeli dan mengakses apa-apa yang menjadi penanda kunci dalam femininitas kontemporer: membeli lebih banyak barang, pergi ke bioskop, makan cokelat, dan melakukan hal-hal aneh lain dari teologi romantisisme yang ditawarkan oleh kapitalisme.[7]
Ideologi konsumerisme yang dilanggengkan melalui iklan (advertising) mempengaruhi pembentukan imaji mengenai perempuan yang terbebas dan berbahagia. Sebagaimana dinyatakan Fay Weldon[8] berikut ini:
‘What makes women happy? Ask them and they’ll reply, in roughly this order: sex, food, friends, family, shopping, chocolate’
‘Apa yang membuat perempuan bahagia? Tanyakan pada mereka dan mereka akan menjawab, secara tidak berurutan : seks, makanan, teman, keluarga, belanja, cokelat’.
Akibatnya, imaji mengenai perempuan yang bebas dan berbahagia yang ditampilkan secara terus-menerus melalui iklan menjadi imaji ‘umum’ yang diterima sebagai sebuah hal yang wajar.
Iklan sendiri bukan hanya mempengaruhi masyarakat manusia yang mendapat dampaknya tapi juga merefleksikan aspek-aspek tertentu dari nilai-nilai dalam masyarakat tersebut dan struktur masyarakat itu sendiri.[9] Dalam hal ini, patriarki yang menjadi ideologi dominan dalam masyarakat juga terus direproduksi keberadaannya melalui iklan.
Dengan memanfaatkan patriaki yang telah mengakar dengan sangat kuat dalam masyarakat, kapitalisme memberikan berbagai ilusi kepada perempuan dimana dengan demikian perempuan tidak akan merasa menjadi objek dari komodifikasi. Ilusi yang dilancarkan dengan menggunakan berbagai jargon seperti ‘itu pilihanmu,’ ‘kamu berhak menjadi apa saja,’ atau ‘yang terpenting adalah bisa merasa sexy,’ dan sebagainya, dijalankan kapitalisme sehingga dalam kenyataannya seringkali perempuan tidak menyadari bahwa dirinya telah dijadikan komoditas. Bentuk dari objektifikasi dan komodifikasi perempuan yang paling gamblang dan mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari tersebut, ironisnya, juga dapat kita temukan dengan mudah dalam iklan.[10]
Dengan kata lain, feminisme yang larut dalam logika kapitalisme berulang kali menggunakan argumen yang individual sentris, yang menekankan pada aspek pilihan individual seseorang dengan sama sekali mengabaikan analisis struktural atau dimensi kolektif dan historis. Hal ini misalnya bisa sangat terlihat jelas dalam industri hiburan, termasuk di dalamnya, industri pornografi. Nina Power, dalam buku ini, mengartikan pornografi sebagai sebuah industri yang masif dimana bersamaan dengan itu, juga menggeser makna dari seks. Kini, industri pornografi telah meletakkan seks sebagai sesuatu yang berada di luar manusia dan hubungan-hubungan sosial.[11] Terkait dengan itu, Beatrix Campbell yang juga membahas mengenai industri pornografi mengungkapkan bahwa sex work hanya akan ada sejauh masih ada seksisme dimana ideologi pasar telah menjadi metafora bagi kehidupan. Sex work sendiri merupakan wujud dari erotic capital yang menunjukkan hubungan yang erat antara kapitalisme dan patriarki.[12]
Selain persoalan seks dan industrinya, Nina Power juga mengomentari tentang cara berpakaian dalam agama, yang menurutnya juga larut ke dalam logika pasar. Persoalan penggunaan jilbab misalnya, bagi Nina Power jika kembali pada argumen ‘pilihan individual’ maka hal tersebut tidak lain adalah bentuk keberhasilan hegemoni kapitalisme ke dalam perjuangan feminisme. Sebagaimana menurutnya,
“…On the one hand, any woman who wears the hijab must, by the logic of secular reason, be oppressed. On the other, if she makes too much rhetoric of choice to justify her wearing it, she misunderstands precisely what rhetoric is for. The logic of choice, of the market, of the right to pick between competing products cannot be used to justified the decision to wear what one likes,…”[13]
“…Di satu sisi, setiap perempuan yang memakai jilbab, berdasarkan logika sekuler akan dianggap ditindas. Tetapi di sisi lain, jika perempuan tersebut terlalu banyak beretorika mengenai pembenarannya mengenakan jilbab, dia tidak paham apa tepatnya retorika itu. Logika hak individual untuk memilih antara produk yang bersaing di pasar tidak dapat digunakan untuk membenarkan keputusan untuk memakai apa yang disukainya…”
Feminisasi Kerentanan dalam Pasar Tenaga Kerja Fleksibel
Disamping feminisme dan konsumerisme, perubahan dalam kerja dan hubungan-hubungannya juga menjadi perhatian utama Nina Power dalam buku ini. Menurutnya, tidak ada diskusi mengenai perempuan dan feminisme saat ini tanpa diskusi mengenai kerja. Apa yang diungkapkan oleh Nina Power ini senada dengan yang diungkapkan oleh Kathi Weeks[14] bahwa berbagai persoalan yang berkaitan dengan kerja, termasuk mengenai persoalan housework (kerja domestik), jam kerja, dan sebagainya, sangat erat kaitannya dengan agenda perjuangan politik feminis. Inklusi perempuan ke dalam dunia pasar tenaga kerja telah membawa perubahan dalam hal bagaimana kita memaknai ‘peran’ perempuan, kapasitas perempuan untuk hidup secara mandiri dan partisipasi perempuan dalam ekonomi secara keseluruhan. Tentu saja, perempuan selalu bekerja, membesarkan anak-anak, merawat rumah, dan sebagainya. Sejarah pun mungkin akan menjadi sangat berbeda jika sejak awal pekerjaan-pekerjaan domestik (housework) ini dianggap sebagai kerja.[15]
Sama dengan para feminis Marxis lain seperti Beatrix Campbell, Silvia Federici, Kathi Weeks, dan Maria Mies yang juga mengritik housework atau pekerjaan-pekerjaan domestik yang selama ini selalu dibebankan kepada perempuan, Nina Power juga menaruh perhatiannya pada hal tersebut.[16] Menurutnya, tugas-tugas atau kerja yang berkaitan dengan motherhood seharusnya jadi tanggung jawab sosial dimana kenyataan yang terjadi selama ini ialah hal yang sebaliknya. Perempuan didorong untuk menjadi ibu sekaligus kembali bekerja, tanpa adanya akses yang memadai atas perawatan anak yang difasilitasi negara.
Nina Power mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Marx, bahwa hanya ketika perempuan memasuki kerja ‘diluar cakupan ekonomi domestik’ transformasi-transformasi yang terjadi didalam kerja dalam hubungannya dengan jenis kelamin, komposisi dari keluarga dan sebagainya, benar-benar dimulai. Dalam kondisi kapitalisme neoliberal saat ini, perempuan menjadi kunci utama dalam Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga fleksibel. Perempuan telah beradaptasi dengan sangat luar biasa dalam kerja. Sekarang, perempuan melakukan yang terbaik di sekolah, berada di tempat yang lebih baik di universitas, dan pergi bekerja selama, sebelum, dan setelah kehamilan.[17] Namun, perempuan berada dalam posisi yang sangat rentan dalam pasar tenaga kerja fleksibel. Perempuan menjadi kunci dan bagian terbesar dari precarity atau kerentanan dalam pasar tenaga kerja fleksibel.[18]
Dalam konteks kapitalisme neoliberal seperti saat ini, pekerjaan seringkali dianggap sebagai pilihan pribadi dan tidak dilihat aspek strukturalnya. Meskipun perempuan cenderung mendapatkan akses yang lebih baik dalam pendidikan dan lebih baik dalam melakukan pekerjaan, feminisasi tenaga kerja yang terjadi dimana-mana telah menempatkan perempuan sebagai penentu dari keberlangsungan kerentanan (precarity) dalam LMF. Precariat (precarious proletariat)[19] yang kian meningkat di mana-mana, menempatkan perempuan sebagai komposisi yang terbesar.
Di Inggris, partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja telah sangat meningkat untuk waktu yang cukup lama. Perempuan, khususnya perempuan muda, merupakan faktor kunci dalam agensi-agensi pekerjaan. Di Korea Selatan, 70 persen pekerja perempuannya adalah precariat. Menurut Campbell, kondisi itu merupakan hal yang terburuk sepanjang sejarah.[20] Kemudian, dari setidaknya sebanyak 250.000 orang buruh bekerja di 500 perusahaan elektronik di Vietnam, sebanyak 90 persen diantaranya ialah buruh perempuan dan 70 persennya merupakan buruh yang berasal dari wilayah pedesaan di Vietnam.[21] Kondisi kehidupan buruh perempuan baik di Inggris, di Korea Selatan, di Vietnam, maupun dimanapun hampir sama, dimana para buruh perempuan mendapatkan upah yang sangat rendah, bekerja dalam kondisi yang buruk, dan hidup dalam kerentanan (dalam hubungan kerja serta tidak memiliki perlindungan sosial apapun).
Apa yang terjadi tersebut dinamakan Nina Power sebagai feminization of labor yakni cara dimana perempuan dijadikan sebagai pekerja dan hanya berada di posisi kedua dimana posisi perempuan sebagai ibu atau istri atau identitas lainnya tidak berhubungan dengan produktivitas ekonomi. Kebanyakan perempuan bekerja paruh waktu dan dibayar dengan upah yang sangat murah dibandingkan dengan laki-laki, meskipun beban pekerjaan yang dilakukan perempuan sama besarnya atau bahkan lebih besar dari yang dilakukan oleh laki-laki.[22] Organisasi pekerjaan pun telah terfeminisasi. Feminisasi ini juga terjadi saat pencarian tenaga kerja dimana perempuan (termasuk tubuhnya) menjadi curriculum vitae tersendiri.
Analisis yang diajukan Nina Power hampir sama dengan yang diajukan oleh Beatrix Campbell, dimana menurut Campbell, perempuan telah didisiplinkan oleh pekerjaan sehari-hari dan hidupnya didedikasikan untuk kebahagiaan orang lain. Pekerjaan perempuan tidak lain adalah taking care of care. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak dibayar (unpaid work) seperti pekerjaan merawat, housework, dan sebagainya tidak menjadi bagian dalam kebijakan fiskal meskipun mengambil sepertiga hingga setengah dari penerimaan domestik bruto (GDP). [23]
Epilog : Ideologi Kesetaraan Feminisme Imperialis
Selain membahas femme-capital dan feminization of labor, dalam buku ini Nina Power juga membahas mengenai bagaimana konsep feminisme mengalami ‘penyesuaian’ dengan jalan cerita kapitalisme. Ia mempertanyakan konsep equality atau kesetaraan yang berkembang saat ini yang kemudian malah keluar dari cita-cita awal feminisme sebagaimana yang ia yakini yakni untuk membebasakan perempuan dari belenggu patriarki dan kapitalisme yang saling bertautan. Seperti diketahui, banyak perempuan ‘feminis’ memajukan dan memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki tapi tidak memajukan agenda yang berbeda.[24]
Dalam bukunya ini, Nina Power memberikan contoh Sarah Palin atau Condoleezza Rice yang menduduki kedudukan penting dalam politik di Amerika Serikat. Mereka berdua adalah perempuan dan menduduki jabatan penting dalam dunia politik, akan tetapi kebijakan mereka berorientasi pro perang dan justru anti terhadap keberlangsungan hidup perempuan.[25] Ia mencontohkan bagaimana kebijakan Amerika dalam melakukan invasi terhadap negara-negara seperti Afghanistan, Irak, dan lain-lain, yang menghancurkan kehidupan banyak perempuan, juga dirancang oleh perempuan dan mereka yang mengaku mendukung feminisme. Nina Power mengistilahkan hal ini dengan imperialist feminism atau feminisme imperialis.[26] Nina Power menekankan pentingnya mengkritisi keberpihakan perempuan dalam kekuasaan. Perempuan yang berkuasa belum tentu memihak pada agenda dan kepentingan perempuan secara luas. Begitu pun dengan kelompok minoritas.
Kritik Nina Power memang sangat tepat dan juga relevan, khususnya dengan kondisi yang terjadi di Indonesia dimana banyak perempuan memiliki kedudukan dan posisi penting dalam pemerintahan akan tetapi tidak memajukan agenda-agenda yang pro pada kepentingan perempuan. Kita dapat melihatnya dari berbagai kebijakan yang dihasilkan misalnya pada masa Presiden di Indonesia diduduki oleh seorang perempuan, Megawati SP (2003-2004). Kita dapat bertanya, kebijakan apa yang ia hasilkan yang pro terhadap kepentingan perempuan? Pada masa ia menjabat sebagai Presiden, Megawati SP menghasilkan kebijakan-kebijakan neoliberal dan juga pro-perang (DOM di Aceh salah satunya).
Mengapa para perempuan yang menduduki posisi yang penting dalam politik seperti Sarah Palin atau Condoleezza Rice di Amerika Serikat atau Megawati SP di Indonesia nyatanya tidak memajukan agenda-agenda yang pro terhadap kepentingan perempuan? Masih banyak contoh-contoh lainnya, termasuk pada saat ini dimana jumlah perempuan yang menduduki posisi sebagai anggota legislatif cenderung mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Legislasi apa saja yang telah mereka hasilkan yang mendukung dan berpihak kepada kepentingan keberlangsungan hidup perempuan?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa didapatkan salah satunya dengan menggunakan analisis kelas. Uraian tesis Nina Power mengenai feminisme imperialis ini sangat penting adanya untuk memunculkan kembali debat mengenai ‘politics of presence’ yang sangat penting dalam memaknai kehadiran perempuan dalam politik yang tidak dapat dilepaskan dari hubungan-hubungan/relasi-relasi kelas yang melingkupinya. Tesis mengenai feminisme imperialis ini juga penting untuk menunjukkan perdebatan lain yang juga tak pernah usai dalam feminisme, yakni mengenai kelas sosial dan perjuangan perempuan. Bagaimana memajukan agenda-agenda yang pro terhadap kepentingan perempuan dan gerakan perjuangan pembebasan perempuan namun disaat yang bersamaan juga menghapuskan ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada.
Tesis lain yang diajukan Nina Power dalam bukunya ini mengenai apa yang ia sebut dengan femme-capital dan problem emansipasi konsumerisme pun secara nyata dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ukuran-ukuran dari emansipasi ditentukan oleh kemampuan mengkonsumsi. Kritik mengenai hal ini begitu penting adanya karena ideologi konsumerisme telah menjadi nilai yang sangat dominan yang berkembang di masyarakat saat ini dimana didalamnya turut melanggengkan patriarki yang menjadi sumber utama penindasan perempuan.
Begitupula dengan laborization of women yang menjadi permasalahan pokok yang ditemui sebagian besar dari populasi perempuan. Permasalahan mengenai precarity dalam kerja dan hubungan kerja menjadi penentu dari perkembangan feminisme di masa yang akan datang. Sebagai bagian terbesar dari precariat, apa yang perlu dipikirkan lebih jauh ialah bagaimana perjuangan feminisme di masa depan harus berhadapan dengan segala kerentanan dan ketiadaan jaminan hidup yang dialami sebagian besar populasi perempuan di dunia.
Menurut saya, permasalahan-permasalahan serta tesis-tesis yang diungkap Nina Power dalam bukunya ini begitu tepat dan penting. Secara keseluruhan, buku ini sangat penting dibaca oleh siapa saja, khususnya yang tertarik dengan perkembangan feminisme kontemporer.
Daftar Referensi
Campbell, Beatrix. 2013. End of Equality. Calcutta : Seagull Books.
Federici, Silvia. 2012. Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. PM Press.
Mies, Maria. 1998. Patriarchy & Accumulation on a World Scale : Women in the Internasional Division of Labour (New Edition). Zed Book Ltd.
Panimbang, Fahmi, Jiwon Han, et.all. 2013. Labor Rights in High Tech Electronics : Case Studies of Workers’ Struggles in Samsung Electronics and Its Asian Suppliers. Kowloon, Hong Kong : Asia Monitor Resource Centre.
Phillips, Anne. 1995. The Politics of Presence. Oxford : Oxford University Press.
Standing, Guy. 2011. The Precariat: the New Dangerous Class
Bloomsbury Academic.
Vestergaard, Torben dan Kim Schroder. 1985. The Language of Advertising. Oxford : Basil Blackwell Ltd.
Weeks, Kathi. 2011. The Problem with Work :Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries. Duke University Press.
Penulis beredar di twitland dengan ID @ffildzahizz
[1]Pada tahun 1964, Herbert Marcuse menulis buku berjudul “One-Dimensional Man”
[2]Nina Power. 2009. One Dimensional Woman. OBE : O Books., hlm. 2.
[3]Ibid., hlm. 35-37.
[4]Ibid., hlm. 29.
[5]Tesis Marcuse dalam One Dimensional Man merujuk pada kritiknya terhadap demokrasi liberal yang telah menjebak individu dalam dominasi konsumerisme, termasuk didalamnya : dominasi teknologi.
[6]Salah satu yang paling khas yang hampir selalu ditampilkan dalam iklan adalah konstruksi tentang kecantikan perempuan. Iklan mengonstruksi definisi perempuan yang cantik dan kecantikan perempuan.
[7]Ibid., hlm. 28.
[8]Ibid., hlm. 36.
[9]Torben Vestergaard dan Kim Schroder. 1985. The Language of Advertising. Oxford : Basil Blackwell Ltd, Editor’s Preface.
[10]Contohnya dalam sebuah iklan televisi di Indonesia mengenai sebuah mobil, bintang iklan yang ditampilkan adalah perempuan ‘sexy’ yang tidak ada hubungan langsung dengan produk mobil tersebut, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
[11]Nina Power. Op.Cit., hlm. 46.
[12]Beatrix Campbell. 2013. End of Equality. Calcutta : Seagull Books.
[13]Nina Power. Op.Cit., hlm. 14.
[14]Kathi Weeks. 2011. The Problem with Work :Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries. Duke University Press.
[15]Ibid., hlm. 17.
[16]Lihat Beatrix Campbell. 2013. End of Equality. Calcutta : Seagull Books; Federici, Silvia. 2012. Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. PM Press; Kathi Weeks. 2011. The Problem with Work :Feminism, Marxism, Antiwork Politics, and Postwork Imaginaries. Duke University Press; dan Mies, Maria. 1998. Patriarchy & Accumulation on a World Scale : Women in the Internasional Division of Labour (New Edition). Zed Book Ltd.
[17]Nina Power. Op.Cit., hlm.18.
[18]Ibid.
[19]Lihat definisi precariat dalam buku Guy Standing. 2011. The Precariat: the New Dangerous Class
Bloomsbury Academic.
[20]Beatrix Campbell, Op.Cit.
[21]Fahmi Panimbang, Jiwon Han, et.all. 2013. Labor Rights in High Tech Electronics : Case Studies of Workers’ Struggles in Samsung Electronics and Its Asian Suppliers. Kowloon, Hong Kong : Asia Monitor Resource Centre
[22]Hal ini juga terjadi karena dalam ideologi patriaki yang menempatkan laki-laki sebagai breadwiner atau pencari nafkah utama, perempuan hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga upah yang diberikan pun seringkali lebih sedikit dari jumlah yang diberikan kepada laki-laki.
[23]Ibid.
[24]Perdebatan mengenai hal yang hampir serupa juga pernah diajukan Anne Phillips dalam bukunya yang berjudul The Politics of Presence.
[25]Nina Power. Op.Cit., hlm. 8.
[26]Ibid., hlm. 13.