DALAM satu dua minggu terakhir, perbedaan pendapat muncul di antara banyak kalangan terkait pencabutan subsidi BBM. Kali ini perbedaan pendapat tersebut bukan lagi merupakan hasil dari ketegangan politik di antara pemerintah dan DPR, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Melainkan, di satu sisi, lahir dari situasi setelah pemerintah mengeluarkan keputusan untuk membatasi kuota BBM Subsidi, yang mengakibatkan antrean panjang kendaraan bermotor di berbagai daerah. Sementara di sisi lain, presiden terpilih Indonesia Joko Widodo, semenjak presiden SBY membacakan nota RAPBN 2015, melihat adanya beban subsidi BBM yang besar. Dengan postur RABN 2015, menurut perkiraan Jokowi, tidak mungkin ada dana untuk pelaksanaan program-program kesejahteraan rakyat. Lebih jauh lagi, Jokowi berpendapat subsidi BBM perlu dicabut, agar dana subsidi bisa diarahkan untuk pengembangan usaha-usaha produktif. Sehingga karenanya Jokowi meminta presiden SBY untuk menaikkan harga BBM sebelum masa pemerintahannya berakhir.
Permintaan tersebut ditolak oleh SBY, dengan alasan bahwa pada tahun ini pemerintah sudah menaikkan tarif dasar listrik secara bertahap, dan menaikkan harga Elpiji 12 kg. Dengan alasan tersebut, SBY menyatakan bahwa dirinya, sebagai presiden, tidak ingin membuat rakyat lebih menderita lagi dengan menaikkan harga BBM. Sikap SBY tersebut kemudian ditanggapi oleh Jokowi maupun Jusuf Kalla, yaitu bahwa mereka siap tidak populer, siap menaikkan harga BBM, karena selama ini subsidi BBM hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas, yang mampu berkendara dan memiliki kendaraan lebih dari satu.
Tak lama setelah pernyataan Jokowi tersebut, reaksi penolakan terhadap pencabutan subsidi BBM bermunculan. Tak hanya dari kubu Koalisi Merah Putih di Parlemen, penolakan juga berkembang meluas di antara para pendukung Jokowi. Partai politik pendukung Jokowi, yaitu PDIP secara internal juga belum memutuskan dengan tegas apakah mendukung atau menolak gagasan Jokowi. Ada pihak yang mendukung, seperti politisi Maruarar Sirait dan Rieke Pitaloka yang menolak gagasan Jokowi untuk nantinya mencabut subsidi BBM. Dengan keadaan yang demikian, walaupun Jokowi memiliki otoritas penuh untuk menaikkan harga BBM, gagasan Jokowi jika nanti dilaksanakan akan mendapat penentangan yang keras dari Parlemen. Belum lagi terhitung penolakan dari kelompok-kelompok di luar parlemen.
Sejauh sejarah, perbedaan pendapat mengenai BBM semuanya berujung pada putusan setuju atau tidak setuju terhadap penyesuaian harga BBM. Argumentasinya bisa bermacam-macam dari kedua belah pihak. Yang setuju pada umumnya berpandangan sama sedari dulu, bahwa beban subsidi BBM akan membebani anggaran negara. Sementara yang tidak setuju, sedikit banyak akan berpendapat bahwa ada banyak pos-pos lain dari anggaran negara yang bisa dipangkas untuk menutupi beban subsidi BBM, jikalau bukan mendesakkan perihal pengaturan kembali kebijakan fiscal agar pendapatan dari sektor pajak bisa ditingkatkan.
Problemnya sekarang, bagaimana kita dapat berpikir tentang program-program kesejahteraan bagi masyarakat tanpa harus berpijak dari argumen ada tidaknya BBM bersubsidi, ataupun dari perbedaan pendapat terkait penyesuaian harga BBM? Pertanyaan barusan, boleh jadi naif atau bahkan tidak masuk akal bagi sebagian besar masyarakat yang mengikuti berbagai pemberitaan ataupun memperhatikan isu BBM sebagai faktor esensial dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Tetapi jikalau pengelolaan migas Indonesia sejak awal reformasi sudah berada di tangan mekanisme pasar, terutama setelah ditetapkannya UU Migas sebagai ganti UU Pertamina, maka persoalan ada tidaknya subsidi BBM menjadi sekedar persoalan moral, apakah pemerintah A punya hati baik untuk tidak mencabut subsidi BBM atau memiliki niatan busuk untuk menaikkan harga BBM. Sebab mekanisme pasar itu sendiri tidak pernah punya logika untuk menurunkan harga komoditi di pasaran. Dalam keadaan yang demikian, pemerintah atau bahkan negara sekalipun benar-benar akan ditundukkan oleh logika mekanisme pasar.
Argumentasi kenaikan harga BBM sudah dan akan selalu pada masalah-masalah konsumsi yang tinggi dan persediaan yang menipis, kalau bukan harga BBM di pasar internasional meninggi akibat konflik politik di negeri-negeri penghasil minyak. Karenanya yang paling mungkin dilakukan oleh pemerintah sepanjang reformasi adalah membuat mekanisme-mekanisme penyaluran subsidi yang berdampak ‘menenangkan’ keresahan sosial.
Sudah bisa diperkirakan, seandainya pemerintahan Jokowi Kalla nantinya memberlakukan pencabutan Subsidi BBM, akan terjadi sejumlah unjuk rasa dari berbagai organisasi rakyat, dan keramaian politik di Parlemen. Ini pun wajar, karena dengan pencabutan subsidi BBM akan berdampak pada peningkatan biaya hidup masyarakat, dan karenanya akan menurunkan daya beli masyarakat; konsumsi menurun dan pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Seperti itu logikanya.
Kendati demikian, terus terang saja, masyarakat Indonesia ketika diakui sebagai warga negara Indonesia, tidak berurusan dengan hati baik ataupun sifat culas dari pemimpin negerinya. Hingga sekarang pun belum terdapat upaya pembuktian bahwa Rejim Soeharto, ataupun Rejim SBY menginstruksikan kepada Kelurahan ABC, untuk menarik pungutan liar secara sembunyi-sembunyi kepada siapapun yang hendak membuat KTP di Kelurahan. Tetapi ketika diakui sebagai warga negara, setiap individu memiliki sejumlah hak yang dapat digunakan sebagai sarana partisipasi publik.
Karena itu, sekarang partisipasi publik tidak bisa hanya dengan memprotes dan atau menolak pencabutan subsidi BBM, kalau bukan mendukung dan atau menerima putusan tersebut. Ia menolak karena ada alternatif yang bisa dijalankan secara praktis, dan memiliki kemampuan untuk membatalkan pencabutan subsidi BBM, karena akan mendorong munculnya pendanaan program-program kesejahteraan negara dari sektor non migas. Dalam hal ini partisipasi publik bisa dalam bentuk mengajukan usulan-usulan berikut rencana kerja pelaksanaannya untuk program-program alternatif pendanaan kesejahteraan. Beberapa di antaranya sudah cukup populer adalah yang berkaitan dengan perpajakan. Rasionalitasnya, pemasukan negara dari sektor pajak adalah yang nomer dua setelah migas, seperti misalnya pemberlakukan pajak progresif terhadap pemilik kendaraan bermotor mewah, atau pemilik barang-barang mewah, ataupun yang memiliki kepemilikan pribadi di atas rata-rata dengan kriteria-kriteria tertentu.
Kemudian yang juga cukup populer adalah pengawasan pajak terhadap sejumlah perusahaan yang hasil-hasilnya dibuka secara transparan kepada publik. Sehingga publik bisa tahu perusahaan-perusahaan mana yang malas membayar dan atau memanipulasi pajak, dan perusahaan-perusahaan mana yang taat pajak; pun mengetahui seberapa banyak yang dibayarkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk masuk ke kas negara.
Kedua, jikalau pencabutan subsidi tersebut tak terhindarkan maka perlu ada upaya dari publik untuk mengawasi berbagai bentuk penyaluran subsidi. Pengalaman 10 tahun pemerintahan SBY membuktikan adanya banyak kekacauan di dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai, ataupun Raskin, seperti adanya banyak penerima BLT yang justru dari kalangan mampu. Kekacauan semacam ini terjadi karena tidak adanya identifikasi yang cukup jelas dari pihak penyalur BLT/Kelurahan/Kecamatan mengenai siapa-siapa yang pantas dan perlu mendapatkan bantuan. Sehingga jikalau nantinya terdapat juga semacam BLT dan Raskin maka tugas publik bisa jadi adalah membantu Kelurahan dan Kecamatan di dalam mendistribusikan bantuan tersebut. Apabila subsidi tersebut diarahkan pada sektor-sektor produktif maka harus dipastikan bahwa subsidi tersebut akan mendorong peningkatan usaha-usaha produktif.
Upaya-upaya mendorong partisipasi publik ini bukan dalam rangka untuk mendukung atau menolak pencabutan subsidi BBM, yang selalu seperti menjadi momok dari berbagai kebijakan politik pemerintahan di masa reformasi. Tetapi upaya-upaya di muka, walau lambat geraknya, tetapi akan mengarahkan negara untuk tunduk pada gagasan-gagasan yang berbasis pada partisipasi publik.***