Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

Print Friendly, PDF & Email

SUATU sore yang masih panas pada hari Jumat, Sang Presiden itu akhirnya mundur dari jabatannya. Dua puluh tujuh tahun lebih enam bulan ia memerintah dengan tangan besi yang menyala. Pada hari keempat belas demonstrasi rakyat, ia menyerah. Hari itu kekuasaannya usai sudah. Aksi mogok makan telah membuat 412 pemuda pingsan. Rumah sakit penuh. Tak kuat dengan desakan negara-negara jiran, Sang Presiden diktator mengumumkan pengunduran dirinya: “Demi rakyat yang selalu saya cintai, saya mengundurkan diri sebagai presiden, menyerahkan jabatan saya kepada Partai Oposisi Rakyat untuk mengambil alih pemerintahan. Terima kasih, rakyatku.” Rakyat bergembira siang itu. Pesta digelar di segenap pelosok negeri. Jalan raya dipenuhi rakyat yang bernyanyi, menari, bergembira, dan berpesta. Malam harinya, sebuah berita mengagetkan terdengar: Sang Presiden mati gantung diri dalam kamarnya.

 

#1

Hari itu juga, partai oposisi mengambil alih pemerintahan. Didukung oleh kekuatan massa, pemimpin partai yang dinilai paling berani dan selalu dipuji rakyat dilantik menjadi presiden. Ia adalah presiden kedua setelah hampir tiga puluh empat tahun negaranya merdeka. Ia dilantik, diiringi sorak-sorai kemenangan perjuangan rakyat. Demi jalannya pemerintahan yang normal dan mencegah kediktatoran, undang-undang darurat segera dibuat. Sang Presiden yang baru hanya diberi jabatan satu tahun. Setelah satu tahun uji coba, pada tahun berikutnya akan digelar pemilu pertama. Sejak hari pelantikannya, Sang Presiden baru menghitung mundur 365 hari ke belakang.  Di kamar istirahatnya, setiap hari ia melingkari kalender, hitungan mundur menuju akhir masa jabatan.

Kebijakan pertamanya sungguh menggemparkan. Sepekan setelah presiden lama runtuh bersama kekuasaannya, tepat pada hari Jumat, sebuah peraturan resmi dikeluarkan: Sejak hari ini, tak ada yang boleh bersedih.

Jumat adalah hari yang sakral, hari kemerdekaan baru. Tak ada yang boleh bersedih mulai hari itu. Rakyat begitu gembira. Sejak hari itu tak ada lagi rakyat yang bersedih.

 

#2

Bagaimana bisa bersedih. Kepada semua rakyat dibagikan tanah dan rumah secara merata. Semua boleh mengelola tanah itu dan hanya lima per seratus bagian saja yang harus disumbangkan untuk negara. Presiden membuat kabinet, membuat dewan-dewan yang menangani segala hal. Harta yang masuk ke kas negara disimpan dan dipakai untuk gaji menteri dan pegawai. Sementara sisanya dipakai untuk membuat jalan, gedung pemerintahan, gedung hiburan, dan memenuhi semua kebutuhan masyarakat lainnya. Masyarakat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Sekolah digratiskan, kesehatan ditanggung negara. Rakyat sangat bahagia dan menyayangi presiden baru mereka.

Setiap kunjungan presiden ke desa-desa, anak-anak menyiapkan tarian sambil membawa bendera. Orang-orang bersukacita. Tidak ada yang boleh menangis kecuali bayi dan anak kecil yang belum mengerti hukum negara.

Makanan dibagikan gratis oleh petani yang telah sukses bercocok tanam. Ibu-ibu memasak sambil bersenda gurau. Negara itu menjadi negara paling makmur dan dipuji seluruh negara. Negara tetangga, negara satu kawasan, dan semua negara lain di dunia yang iri mulai membuat kebijakan yang sama. Semua masyarakat dunia harus bahagia.

 

#3

Tapi selalu saja ada yang tak puas. Segerombolan pemusik dan sastrawan mulai melakukan pertemuan rahasia.

“Kenapa kita tidak boleh bersedih. Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya tertawa.”

Mereka mulai tak merasa nyaman dengan kegem­biraan yang ada. Tapi tentu tak ada yang berani. Hukum akan menangkap siapa saja yang ketahuan ber­sedih. Mereka akan ditangkap dan ditanya kenapa harus berduka. Setelah itu, mereka akan dikirim ke sebuah ruang pementasan. Para pelawak dan dramawan akan bekerja keras untuk menghibur mereka. Jika kesedihan sudah hilang dari jiwa mereka, mereka dibebaskan dan dipersilakan bergabung lagi dengan masyarakat.

 

#4

Seorang penyair membuat sebuah tempat persembunyian di sebuah gua. Ia mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis pada sebuah malam sebelum hari Jumat datang. Para pemusik melantunkan nada-nada minor. Penyair membaca puisi ratapan dan para pengarang menulis kisah-kisah sedih dengan tokoh-tokoh bernasib tragis. Sekte kesedihan didirikan. Sembunyi-sembunyi mereka merayakan kesedihan. Seperti mendirikan sebuah agama suci, mereka akan menyebarkannya kepada siapa pun. Bagaimanapun cara­nya.

Musik dan buku-buku sastra sedih pun mulai ber­edar secara rahasia. Masyarakat yang tergabung dalam sekte menyimpannya secara diam-diam. Mereka bangun membacanya pada tengah malam saat semua orang lelap. Mereka menangis sesenggukan sendirian. Besok pagi, mereka harus segera melupakannya. Mereka harus bergabung bersama yang lain untuk bekerja dan bergembira.

 

#5

Seorang pemuda usia tujuh belas tahun sedang membaca sajak-sajak patah hati karangan seorang penyair terkenal di kalangan pemuja kesedihan. Malam itu ia membaca di beranda belakang rumah. Dengan lampu baca yang samar, ia mulai menapaki tiap kata di lembaran buku itu. Air matanya melinang jatuh membasahi tiap lembar kertas yang ia baca. Dibacanya sajak perpisahan tentang satu pasangan yang saling mencintai dalam satu malam, dan ketika bangun sang kekasih meninggal dunia. Si tokoh menulis sajak-sajak murung dan membuat siapa saja yang membacanya menangis sesenggukan. Sang pemuda membacanya. Ia menangis terisak sendirian pada pukul tiga dini hari. Seorang penjaga keamanan memergokinya. Ia dibawa untuk ditanya.

 

#6

Apakah kamu tidak tahu, kegiatanmu sudah melangggar hukum? Apakah kamu tahu, kami sudah berjuang sangat panjang untuk melawan sebuah tirani dan kami menyiapakan sebuah kebahagiaan untukmu? Para prajurit bertanya dengan lemah-lembut, mereka diwajibkan bertanya dengan cara demikian. Negara dan aparatnya dilarang menyakiti rakyatnya.

Sang anak remaja hanya diam menunduk. Hanya berucap maafkan aku, maafkan aku.

“Bolehkah kami tahu, dari mana kamu men­dapatkan buku itu?” Sang remaja ketakutan. Ia tak mungkin menyebut buku itu datang dari bapaknya. Tapi dengan intimidasi halus yang meyakinkan, tentara keamanan berhasil menemukan jawaban.

Sang anak merasa sangat bersalah. Ia hanya penasaran kenapa bapaknya bangun tengah malam dan sesenggukan sendiri sehabis membaca buku itu. Maka ketika bapaknya lelap tertidur, buku itu ia curi dan ia baca. Apes, ia yang tak tahu aturan membaca buku akhirnya tertangkap oleh petugas keamanan.

Maka bapaknya yang sudah duda dan tua itu pun didatangkan. Tetangga tidak ada yang tahu, sebab tidak seperti layaknya penjahat, sang bapak dijemput dengan penuh senyum. Tetangga hanya bertanya-tanya. Mereka menebak, mengira-ngira, mungkin tetangganya akan mendapatkan hadiah dari presiden.

Dari mana buku ini datang? Siapa penulisnya? Sejak kapan membaca? Kenapa harus bersedih? Semua pertanyaan dilantunkan dengan nada yang halus. Wajah-wajah prajurit pun begitu bersahaja. Sang orang tua menolak menjawab. Anaknya me­nangis meminta maaf.

Kami sudah bilang, kami tidak suka ada yang bersedih. Rakyat sudah terlalu lama menderita. Terlalu lama bersedih. Apakah salah jika kami membuat aturan kalian tak boleh bersedih?

Orang tua itu diam saja. Ia malah menangis.

“Pak Tua, tolong jangan menangis. Kami tak akan menghukummu. Segeralah menjawab. Sebelum wartawan tahu dan berita ini bocor dan seluruh rakyat tahu.”

Pak tua hanya diam. Sesenggukan.

 

#7

Keesokan harinya negara gempar oleh pem­beritaan. Dua orang lelaki ditangkap negara karena ketahuan membaca buku yang sedih. Berita muncul dari negara tetangga. Koran internasional laris ter­jual.

Tentu ini berita yang sangat penting bagi para wartawan. Mereka yang selama ini nyaris tak bekerja sebab hanya memberitakan kebahagiaan, kemajuan negara, pembangunan, dan hal-hal menggembirakan lainnya seolah mendapat sebuah pemantik untuk bekerja. Mereka diam-diam mulai bosan menulis berita yang sama, membuat artikel-artikel lucu, karikatur-karikatur humor.

Wartawan pun menggila. Beberapa sepekulasi mulai terdengar di mana-mana. Di tv dan di radio para pengamat politik yang sudah lama kehilangan pekerjaan mulai gentayangan. Mereka menyimpulkan banyak hal dan membuat masyarakat resah. Sementara itu, presiden semakin gencar mengadakan acara hiburan. Pasar malam dibuka di setiap desa, badut, pelawak, dan pesulap didatangkan untuk menghibur mereka. Masyarakat diminta melupakan berita itu dan diajak berbahagia. Tapi wartawan memang makhluk-makhluk yang suka sekali meng­intip. Koran, radio, dan televisi makin banyak yang memunculkan dugaan-dugaan.

“Sepertinya ada gerakan bawah tanah yang mulai tak suka dengan pemerintahan kita,” ucap seorang pengamat politik.

“Saya rasa, sisa-sisa kekuatan rezim sebelumnya masih ada. Mereka adalah gerombolan anarkis yang tidak ingin ada kestabilan. Mereka bergerak tanpa motif selain mengacaukan.”

Maka demontrasi pun mulai merebak. Para aktivis mulai mendesak agar pemerintah menghentikan kejahatan kesedihan ini. Mereka menggelar poster antikesedihan; menggelar tarian dan nyanyian ke­riangan. Tak ada satu pun manusia yang muncul di permukaan untuk mengakuinya. Beberapa pembaca buku berpura-pura tidak tahu. Mereka segera me­nyem­bunyikan bukunya dan ikut bergabung ke dalam demonstrasi. Dalam pertemuan rahasia, mereka malah bersepakat untuk membakar semua dokumen yang mereka miliki.

Sebab kalau ketahuan, mereka akan ditangkap dan dipaksa bahagia oleh pemerintah.

 

#8

Kestabilan negara mulai terancam. Pada sebuah Jumat yang sejuk, presiden mengeluarkan dekrit yang mencengangkan.

“Rakyatku tercinta. Sudah lama kita ditindas dan dibuat berduka oleh rezim sebelumnya. Maka perjuangan kita menggoyangkan kekuasaan tiran telah usai. Sudah hampir satu tahun kita menikmati kemerdekaan ini: bergembira, bahagia, dan menjadi manusia yang seutuhnya merdeka. Dalam jangka waktu setelah itu, kita telah bahagia. Tak ada kesedihan, semuanya bahagia. Maka untuk kestabilan nasional, bapak tua yang bersedih dan tidak mau mengaku ini akan kami gantung di lapangan sebagai simbol bahwa kedaulatan akan kebahagiaan harus utuh dan menyeluruh. Negara sudah berusaha dengan apa yang ia bisa. Maka demi keamanan Nasional, Jumat minggu depan, hukuman gantung akan dilaksanakan!”

Rakyat mulai terpecah. Ada banyak orang yang ingin menolak kebijakan itu tapi takut pada kekuasaan. Mereka menganggap selama ini negara baik-baik saja. Tak ada masalah. Bukankah ini adalah cita-cita seluruh umat manusia? Maka kasak-kusuk tak bisa dihindarkan. Di lokasi-lokasi berkumpul, perdebatan semakin hangat dan tak terbendung.

Pada hari Jumat yang murung, digantunglah Pak Tua itu. Anaknya dibebaskan dan dilarang bersedih. Sang anak dengan tangis yang tertahan menyaksikan bapaknya digantung. Rakyat menyaksikannya langsung atau lewat televisi. Semua diawasi dan tidak boleh ada yang menangis.

Malam harinya, pasukan bawah tanah bergerak. Tembok-tembok ditempeli puisi-puisi duka. Beberapa rumah dilempari buku-buku yang berisi kisah tangis dan duka yang mendalam. Banyak orang mulai menangis.

 

#9

Sang Presiden marah. Semua tentara diminta me­ngumpulkan buku dari rumah warga. Poster-poster berisi puisi sedih dibersihkan segera. Diganti poster ancaman. Barang siapa bersedih, maka ia akan ditangkap dan dihukum gantung.

Penjagaan diperketat. Lampu-lampu ditambahkan dan dijaga banyak petugas. Tapi, paginya, dari pelosok-pelosok negeri sudah banyak lagi sajak sedih ditempelkan. Bahkan di halaman istana negara buku-buku duka bersampul hitam sudah berserakan. Pintu kamar Presiden ditempeli sajak-sajak duka. Perlawanan sudah masuk ke dalam istana.

Presiden murka. Semua orang yang dicurigai ditangkap. Pengumuman tidak boleh bersedih se­makin digalakkan. Iklan di tv, radio, koran, dan media lainnya dibuat makin gencar. Para pengamat politik tidak diperbolehkan berspekulasi; tidak boleh tampil di tv. Rakyat yang ketakutan makin tak berani. Mereka terpaksa tertawa meskipun diancam ketakutan.

Pada suatu Jumat hujan gerimis turun. Dari semua pelosok negeri berdatangan para penyanyi yang melantunkan suara menyayat-nyayat. Aparat keamanan segera bergerak. Para penyanyi itu ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Negara mulai mengancam. Kesedihan dinyatakan mengganggu stabilitas Na­sional. Barang siapa melawan, ia akan ditangkap dan dimusnahkan.

Sabtu, Minggu, Senin, Selasa, Rabu, negara kembali aman. Kamis, tak ada apa-apa. Rakyat tetap bekerja dan bergembira. Jumat pagi, manusia-manusia berpakaian hitam kembali muncul di pusat-pusat keramaian. Mereka menyanyi, membaca puisi duka, meratap dengan suara tangisan yang seperti datang jauh dari liang neraka. Setiap hari jumlah mereka semakin banyak. Sepanjang hari, gerombolan mereka tak bisa lagi dibendung. Semakin banyak yang ditangkap, semakin banyak yang datang. Di bawah musim yang hujan, beberapa orang dipukuli di jalan tapi mereka tetap bernyanyi dan berpuisi.

Pada hari terakhir masa jabatannya, Sang Presiden, didampingi ajudan dan barisan pejabat teras partainya, berpidato: “Demi kebahagiaan rakyat, saya tak mau ada yang bersedih. Saya akan terus memerangi kese­dihan bersama negara kita tercinta.”

Dari gunung-gunung, pasar, sungai, dari pusat kota, dan segala penjuru lain manusia-manusia berjubah hitam berdatangan. Mereka menangis, meratap, tetap bernyanyi dan berpuisi: Esok hari Jumat penuh kesedihan akan tiba. Di sana kami akan datang dan berkumpul. Menangis memenuhi pusat kota. Wahai kau jiwa-jiwa yang murung, bersedihlah, menangislah bersama kami.

 

Jogjakarta, 2014

 

Irwan Bajang, Pemimpin Redaksi Indie Book Corner—Jogjakarta. Penulis buku puisi Kepulangan Kelima (2013) dan novel Rumah Merah (2008). Menulis blog di irwanbajang.com.

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.