KELAK ketika disumpah sebagai presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014, hal pertama yang mesti diatasi Jokowi dalam jangka pendek, berkaitan dengan masalah subsidi Bahan Bakan Minyak (BBM). Perlu atau tidak Jokowi ‘mencabut subsidi BBM?’ Tampaknya, ada arus pasang yang sangat kuat dari segala penjuru angin untuk mendesak Jokowi agar sesegera mungkin mencabut subsidi BBM.
Soal BBM ini memang sudah seperti ‘dosa turunan’ bagi siapapun yang menjadi presiden di negeri ini dalam 15 tahun terakhir. Saya ingat, dulu ketika Gus Dur baru pindah rumah ke istana negara, kami dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) melakukan aksi massa besar yang menuntut, salah satunya, agar presiden Gus Dur tidak mencabut subsidi BBM. Jawab Gus Dur kala itu kepada Budiman Sudjatmiko sebagai perwakilan PRD, kenaikan BBM adalah sebuah force majeur, sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar, karena kalau tidak dana segar dari IMF tidak akan turun.
Gus Dur jatuh, tapi harga BBM tak ikut jatuh, malah terus merangsek naik. Bahkan presiden selanjutnya seperti Megawati Soekarnoputri dan SBY saat ini, juga telah berulangkali mencabut subsidi BBM secara bertahap. Dan selalu saja alasannya adalah force majeur, logika darurat yang terus didengung-dengungkan setiap menjelang penetapan RAPBN dan kemudian pengesahan APBN. Hanya saja, jika Gus Dur terbuka mengatakan bahwa force majeur karena tekanan IMF, maka presiden selanjutnya beralasan karena subsidi BBM sangat membebani APBN. Argumen ini juga masih dibumbui dengan sentimen kelas, bahwa subsidi BBM telah salah sasaran.
‘Masak orang kaya yang menikmati BBM murah?’
‘Masak uang negara yang sebetulnya bisa digunakan untuk program-program penguatan ekonomi rakyat dibakar saja setiap harinya di jalanan?’
Jokowi, terutama Jusuf Kalla, tampaknya juga mengulang-ulang logika darurat ‘subsidi BBM sangat membebani APBN’ ini. Dan celakanya, JK juga menggunakan bumbu sentimen kelas ini. Dan Jokowi dengan berkelit mengatakan, saya tidak akan mencabut subsidi BBM, tapi memindahkannya ke sektor-sektor yang produktif.
Pak Jokowi, coba tengok sekeliling Anda, perhatikan baik-baik, siapakah yang mendesak-desak Anda untuk segera mencabut subsidi BBM ini? Apakah rakyat miskin yang mayoritas pemilih Anda, yang menaruh harapan pada program-program kerakyatan yang Anda janjikan? Saya berani menjamin, para pengusul itu adalah orang-orang kaya, serta kelas menengah perkotaan yang hidup sehari-harinya sama sekali tidak akan terpengaruh jika harga BBM ini dinaikkan. Mereka tidak akan jatuh miskin, jika harga BBM Anda naikkan. Mereka tetap menerima gaji rutin bulanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka, setelah harga BBM dinaikkan.
Tapi bagi para wong cilik, rakyat segala kecil yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan, petani-petani kecil dan nelayan-nelayan skala kecil, masyarakat-masyarakat adat di pedalaman, merekalah yang akan sangat terpengaruh dengan kenaikan harga BBM ini. Pak Jokowi, sekali Anda naikkan harga BBM, maka inflasi segera naik, harga barang-barang juga berkejaran naik pada saat bersamaan dan tak pernah lagi akan turun-turun. Sementara, pendapatan wong cilik itu tak pernah ikut naik.
Pak Jokowi, jika Anda tetap bersikeras menaikkan harga BBM, maka Anda membuka konfrontasi politik terbuka dengan rakyat pemilih Anda. Anda tentu tidak takut, Anda bahkan bersedia untuk tidak populer. Tetapi, jika Anda semakin terdesak secara politik, saya berani memastikan para pendesak Anda itu juga akan segera menjauh dari Anda. Hanya rakyatlah, yang selama ini tertindas, yang paling berharap pada kepemimpinan Anda, merupakan sahabat setia Anda.
Sebagai orang yang mendukung dan memilih Anda, saya ingin mengatakan sebaiknya Anda lebih hati-hati. Seperti yang sudah saya sebutkan, kebijakan mencabut subsidi BBM bukan khas kebijakan Anda, karenanya ini bukan soal berani atau tidak berani populer. Gus Dur yang juga sangat populer saat itu, juga sudah bertindak tidak populer dan hasilnya Anda warisi saat ini. Sebab mencabut subsidi BBM, selain makin menambah beban rakyat miskin menjadi bertambah berat, juga kebijakan itu tidak pernah menyelesaikan masalah krisis neraca transaksi berjalan selama ini. Telah berkali-kali subsidi BBM dicabut dalam 15 tahun terakhir ini dengan argumen itu itu juga, tetapi krisis neraca transaksi berjalan tidak pernah bisa diselesaikan. Itu artinya, krisis anggaran sama sekali tidak disebabkan terutama oleh adanya subsidi BBM itu. Penyebab krisis neraca transaksi berjalan ini harus dilihat secara menyeluruh.
Jika Anda tetap ngotot hendak mencabut subsidi BBM, maka bersiap-siaplah menghadapi perlawanan massa, baik yang terorganisir maupun yang sporadis. Jika itu terjadi, tidak saja popularitas Anda jeblok di mata rakyat, tetapi itu akan mengundang terjadinya dua hal: pertama, perlawanan massa pasti akan membuat Anda sibuk menghadapinya dengan argumen yang sulit diterima, karena argumen Anda pasti sama saja dengan argumen Gus Dur dan presiden-presiden pencabut subsidi BBM sesudahnya. Demonstrasi-demonstrasi dijalanan tentu akan membuat pergerakan ekonomi terhambat, dan apakah Anda akan menurunkan polisi dan tentara untuk meredam aksi-aksi yang memiliki dasar ekonomi yang kuat itu? Atau apakah Anda akan mengabaikan saja, dengan akibat para investor asing kemudian berkesimpulan bahwa Anda ternyata tidak becus menjamin keamanan investasi?
Jika ini terjadi, maka muncul akibat kedua, oposisi Anda di parlemen akan memperoleh ruang politik lebih luas untuk merecoki pemerintahan Anda. Koalisi Merah Putih yang saat ini dipandang oleh rakyat sebagai ‘barisan sakit hati’, ‘barisan tidak ksatria’ akan kembali memperoleh legitimasi politiknya. Mereka akan kembali tampil sebagai ‘pahlawan.’ ‘Tuh kan kami sudah bilang bahwa Jokowi memang tidak pernah siap menjadi pemimpin nasional, kepemimpinannya selama ini hanya pencitraan media belaka.’
Tentu Anda, para intelektual dan media disekeliling Anda dan juga partai-partai pendukung Anda sudah memiliki argumen pembela diri. Tipikalnya adalah, ‘apa alternatif untuk mengurangi beban APBN yang sangat berat itu?’
Saya tak mau terjebak terus-menerus dalam logika darurat ini pak Jokowi. Saya lebih ingin mengatakan, buktikan dulu kepada rakyat bahwa pemerintahan Anda sungguh-sungguh hendak memberantas mafia Migas, menegakkan kedaulatan rakyat di sektor energi agar tidak tergantung pada kepemilikan asing, membatasi peredaran kendaraan bermotor, dan membangun transportasi publik yang aman dan nyaman. Jika dalam waktu setahun ini Anda bisa menyelesaikan program-program ini, maka barulah persoalan subsidi ini didiskusikan ke publik.
Dalam kondisi ekonomi yang memburuk saat ini, jangan lagi pertama-tama menjadikan rakyat segala kecil sebagai tumbal. Cukup sudah mereka dikorbankan selama ini. Jika para elite politik, ekonomi, dan intelektual itu sungguh-sungguh ingin memperbaiki ekonomi kita, kini saatnya mereka dituntut untuk berkorban terlebih dahulu.***