GERAKAN Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendorong penghapusan pilkada langsung dalam UU Pilkada merupakan langkah politik yang melawan kehendak Rakyat.
Gejala politik tersebut telah diukur oleh Indonesia Indicator (I2). I2 adalah lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping). Monitoring dilakukan secara real time, 24 x 7 x 365, dengan cakupan 330 media online nasional dan daerah dalam waktu sebulan terakhir.[1] Metode pengumpulan dilakukan oleh perangkat lunak crawler (robot) secara otomatis dengan analisis berbasis AI, semantik, dan text mining. [2]
Masalah RUU Pilkada, sebenarnya bukan isu baru dalam jagad politik nasional. Pada tahun 2012, rancangan undang-undangan ini sudah mengisi benak publik dan ruang pemberitaan. Sejauh dari telusuran media, upaya mempersoalkan dan gagasan untuk meninjau kembali urgensi RUU Pilkada sudah disuarakan dalam Munas NU dua tahun lalu,[3] namun setelahnya isu ini kembali mereda.
Dalam rentang 2012 hingga Agustus 2014, rata-rata pemberitaan RUU Pilkada tidak lebih dari 250 eksposur per bulannya. Pemberitaan ini menjadi gegar politik dan mencuat secara spektakuler dengan capaian angka 8.490 ekspos. Hal ini tidak lain dikarenakan move politik Koalisi Merah Putih di parlemen yang mendorong penghapusan pilkada langsung dalam RUU Pilkada. Tak pelak, dalam sebulan terakhir pemberitaan ini menjadi perhatian media nasional maupun lokal di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pro dan kontra tak bisa dihindari. Polaritas politik pun membelah diri: yang mendukung RUU Pilkada vis a vis yang menolak RUU pilkada. Dari pemetaan konten media online, argumen yang mendasari masing-masing kubu dapat dikategorikan argumen empiris, politis dan normatif, sebagaimana tabel berikut.
Dalih empiris yang digunakan oleh KMP untuk menghapuskan pilkada langsung – pada tingkat tertentu – tidak bisa disangkal bahwa dengan pilkada langsung lebih banyak memunculkan mudharat (kerugian) daripada manfaat, seperti boros anggaran, politik uang, korupsi hingga terjadinya amuk massa.
Akan tetapi, bagi kalangan yang menolak RUU Pilkada, dalih mereka dianggap mengabaikan semangat zaman, kurang proporsional tersebab tidak ada data, misalnya, yang menunjukkan korelasi positif dan linier antara maraknya korupsi dengan pilkada langsung. Maraknya politik uang, secara politis, muncul bukan karena pilkada langsung, melainkan karena masih adanya oligarki dan kartel politik yang merupakan praktik politik yang sudah hidup jauh waktu sebelum pilkada langsung diimplementasikan.
Sumber: data diolah dari penelusuran konten media online
Terendus kuat anggapan bahwa aspirasi menghapus pilkada langsung sejatinya lebih didorong alasan dendam politik kubu KMP atas kekalahan di Pilpres, ketimbang dalih empiris maupun normatif lainnya. Adanya anggapan inilah yang membuat banyaknya penolakan dan mencoba membendung lolosnya RUU Pilkada.
Melawan Kehendak Rakyat
Sepuluh tahun lalu, lembaga kajian demokrasi Demos, mengangkat tesis bahwa demokrasi telah dibajak elit politik. Dalam penelitian tersebut dikatakan, elite politik menggunakan dan menjadikan demokrasi layaknya benda milik pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongannya sendiri. [4] Disahkannya RUU Pilkada makin memperkuat kebenaran tesis tersebut.
Namun demikian, seolah tidak ingin diam, pasca putusan DPR RI yang mensahkan penghapusan pilkada langsung dalam RUU Pilkada, gerakan menolak UU Pilkada ini tetap menguat di ruang publik. Ini terlihat hingga tanggal 27 September total terdapat 2.224 eksposur (78.5 persen) pemberitaan yang menolak penghapusan pilkada langsung di 146 media online. Sementara, pemberitaan yang mendukung penghapusan pilkada langsung hanya memiliki 610 eksposure (21.5 persen) yang tersebar di 112 media online.
Pemberitaan mengenai penolakan penghapusan pilkada langsung di atas, tersebar secara merata di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Dengan distribusi pemberitaan yang begitu merata, setidaknya bisa dijadikan data indikatif bahwa — di tataran nasional — gerakan menolak penghapusan pilkada langsung begitu massif disuarakan. Melalui data ini pula, maka bisa dikatakan bahwa aspirasi politik KMP yang ngotot menghapus pilkada langsung adalah sebuah bentuk langkah politik yang melawan kehendak rakyat.
Penolakan yang lebih massif terjadi di linimasa. Sejauh ditunjukkan dalam data, terdapat situasi yang sangat jomplang. Di satu sisi, terdapat 60.721 (89 persen) kicauan para netizen yang me-mention penolakan terhadap penghapusan pilkada langsung. Sedangkan di sisi lain, hanya terdapat 7.515 (11 persen) kicauan netizen yang me-mention dukungan untuk menghapus pilkada langsung. Gerakan menolak penghapusan pilkada langsung, justru makin membesar pasca pengesahan RUU, yakni pada tanggal 26 September.
Kendati penolakan terhadap RUU/UU Pilkada lebih banyak disuarakan di ruang publik, dan secara massif diresonansikan di linimasa, nampaknya kicauan mereka tidak pernah didengar oleh elit politik yang tergabung di Koalisi Merah Putih di parlemen. Oleh karenya, bila kemudian politisi PKS (dari kubu KMP) mengklaim ‘keberhasilan’ mereka dalam menghapus pilkada langsung sebagai kemenangan rakyat,[5] jelas merupakan sebuah kebohongan politik yang menyakiti dan menistakan rakyat.
Demokrat sebagai Penentu?
Sudah diprediksi sebelumnya, di atas kertas, secara kalkulasi politik di parlemen, kubu KMP yang mendesak penghapusan pilkada langsung berpeluang menang, terlebih lagi jika keputusan dilakukan melalui voting. Akan tetapi, konstelasi berubah ketika SBY sebagai Pembina cum Ketua Umum Partai Demokrat secara eksplisit menolak penghapusan pilkada langsung. Pada titik ini harapan publik dilabuhkan kepada SBY (baca: Demokrat).
Pernyataan SBY untuk mempertahankan pilkada langsung, praktis mendokrak ekposure Demokrat. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana media menyediakan volume pemberitaan yang cukup besar, terutama pada tanggal 18 September 2014.
Dari 1.806 pemberitaan mengenai penolakan terhadap RUU pilkada,[6] eksposure Partai Demokrat mencapai posisi tertinggi, yakni 696 news atau sekitar 38.6 persen pemberitaan. Sementara itu sekitar 14,5 persen dari suara (pemberitaan) berkaitan dengan PDIP. Merujuk pada data di atas, secara indikatif bisa dikatakan bahwa dalam konteks RUU Pilkada, Demokrat menjadi determinan atau penentu arah gerakan tarik menarik pendulum politik.
Pasca RUU Pilkada yang dimenangkan oleh KMP, ekspose Partai Demokrat kembali meningkat tajam. Namun kali ini, tidak disebabkan oleh harapan baik rakyat pada partai ini, tapi karena kritik dan kecaman publik atas aksi walk out (WO) yang dilakukannya di saat-saat menentukan dari sidang DPR. Publik menganggap SBY dan Demokrat telah melakukan pembiaran atas dijagalnya hak rakyat dalam melakukan pemilihan langsung kepala daerahnya.
Penulis adalah Head of Data Analyst Division – Indonesia Indicator (i2)
——————-
[1] Posisi terakhir data, hingga 27 September 2014, pukul 08:21 wib.
[2] Mesin I2 secara langsung menganalisis dan membagi pemberitaan berdasar data profil yang terdiri lebih dari 100 ribu tokoh, lima ribu organisasi, sembilan ribu nama wilayah, aktivitas, ekpose media, isu, influencer, relasi, sentimen publik, penyebaran isu, hingga media share.
[3] http://www.antarasulteng.com/berita/3028/munas-nu-rekomendasikan-pilkada-tidak-langsung
[4] http://demosindonesia.org/2004/01/demokrasi-dibajak-elite-politik/
[5] http://news.detik.com/read/2014/09/26/053750/2701730/10/pilkada-kembali-ke-dprd-pks-ini-kemenangan-rakyat
[6] Posisi data hingga tanggal 23 September 2014