Daftar isi:
Planet of Slums : Reproduksi Pekerja dan Involusi Penduduk Kota
Marxisme yang Belum Habis Masanya
PROBLEM Kiri Indonesia dalam mempropagandakan gagasan-gagasannya masih sama: masyarakat kita telah terbentengi terlebih dahulu dengan terminologi-terminologi Kiri sehingga gagasan yang ada di balik termonologi tersebut sudah layu sebelum berkembang, mati sebelum dilahirkan. Saya teringat dengan cerita seorang kawan, yang kebetulan adalah seorang dosen di salah satu kampus. Dalam satu mata kuliah yang membahas satu fenomena sosial yang terbagi dalam dua kelas yang berbeda, kawan tersebut membahas fenomena tersebut dari perspektif Kiri, khususon Marxisme. Bedanya, dalam kelas yang pertama, dia memberikan materi dengan terminologi-terminologi Marxis secara eksplisit, dan satu kelas lagi tidak. Hasilnya, dalam kelas yang pertama mahasiswa dari kelas tersebut menyimpulkan bahwa kelas tersebut adalah kelas yang ideologis dan tidak ilmiah, sedangkan kelas yang kedua justru sebaliknya. Hal ini membuktikan bahwa–bahkan bagi kalangan mahasiswa sekalipun-stigma negatif tentang Kiri masih begitu kuat.
Hal ini tentu saja masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita yang mendaku Kiri. Di tengah gempuran kapitalisme yang semakin ganas, adalah hal yang mendesak untuk semakin mempropagandakan gagasan Marxisme ke tengah rakyat banyak dengan mengasumsikan terlebih dahulu bahwa ada sistem yang hegemonik yang bekerja di balik stigma negatif terhadap Marxisme. Di sini kita berhadapan dengan strategi politik, terutama yang berkaitan dengan strategi proyeksi pengetahuan bagaimana yang akan kita bangun ke depan. Apakah kita akan lebih menonjolkan terminologi-terminologi Marxis dalam tiap analisis, agar terlihat keren dan revolusioner, ataukah menomorduakan terminologi-terminologi tersebut dengan lebih mengutamakan analisa yang khas Marxis. Sebab tentu saja, kita dapat membuat sebuah analisa yang khas Marxian tanpa menggunakan berbagai terminologinya.
Analisis tentang perkembangan perkotaan misalnya. Kita dapat memulai analisa tentang perkotaan dengan titik pijak dari sesuatu yang konkret, misalnya kemacetan, sesaknya ruang oleh perkantoran-perkantoran dan semakin tersisihnya ruang publik seperti taman kota dan perpustakaan umum. Menggunakan analisa Marxian tetapi minus terminologi-terminologinya, kita dapat menjelaskan bahwa semakin tersisihnya ruang publik adalah karena adanya kepentingan lain yang juga membutuhkan ruang-ruang tersebut untuk melakukan usaha. Sebagaimana Kluge yang dapat menunjukkan relasi antara digunakannya rempah-rempah dalam pembuatan semangkuk sup dengan sejarah kolonialisme Eropa dalam filmnya tentang Das Kapital (2008), seperti itu pulalah analisa yang khas Marxis: ia memberikan analisis yang menjelaskan kesalingterhubungan antara satu fenomena dan fenomena lainnya yang sekilas tidak berkaitan.
Dalam semangat terus menghadirkan perpektif Marxisme sebagai ideologi pembebasan inilah Left Book Review (LBR) kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Pada edisi kali ini, kami menghadirkan tulisan dari Bayu Baskoro yang mereview buku Terry Eagleton tentang mitos-mitos seputar Marxisme dan bagaimana Eagleton menjawabnya. Sedikit banyak, buku ini juga beresonansi dengan mitos-mitos yang juga ada di masyarakat kita. Selain itu, kami juga menghadirkan tulisan kedua dari Firman Eko Putra yang mereview buku Mike Davis yang membahas tentang perkembangan perkotaan dalam konteks kapitalisme.
Selamat membaca!