SALAH satu penyebab kemiskinan di dunia adalah fakta terjadinya land grabbing (perampasan tanah). Istilah Land Grabbing pertama kali dikemukakan oleh sebuah lembaga pertanian GRAIN di Spanyol pada tahun 2008. Setelah istilah ini muncul, berbagai lembaga PBB seperti Food and Agricultures Oraganization (FAO) dan International Fund for Agriculture Development (IFAD), memberikan perhatian dan advokasi serius terhadap persoalan ini. Tujuan advokasi lembaga internasional ini adalah agar keadilan sosial dan ekonomi bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarkat di dunia.
Pada ranah ekonomi politik global, Land Grabbing biasanya dilakukan oleh kaum kapitalis dengan tujuan ekonomi politik. Agar tujuan ini tercapai, para kapitalis biasanya beraliansi dengan negara agar mendapat legitimasi legal-formal dalam proses pendudukan tanah rampasan. Tidak jarang, negara melalui birokrasinya, melakukan berbagai macam cara, termasuk dengan cara pemaksaan dan kekerasan, demi memenuhi tuntutan para kapitalis. Kenyataan seperti ini sudah menjadi fakta historis yang sering terjadi sejak abad 16 di Inggris, ketika perampasan tanah-tanah rakyat oleh kaum borjuis dengan dibangunnya banyak enclosure dan disahkan secara legal-formal oleh undang-undang negara. Melihat kenyataan seperti ini, Karl Marx akhirnya berkesimpulan bahwa negara tidak pernah netral dan selalu berpihak kepada kepada kepentingan kaum borjuis dengan menindas rakyat kecil.
Pada ranah ekonomi politik nasional, fakta Land Grabbing sudah lazim terjadi. Pada tahun 2011 saja, praktek Land Grabbing terjadi di banyak daerah, seperti di Mesuji, Bima, Pulau Padang, Jambi dan banyak daerah lain. Di Sulawesi Utara, 450 hektar ladang petani digusur. Di Papua, hampir 5 juta hektar tanah masyarakat dirampas pemerintah untuk kepentingan penjualan karbon. Sementara itu, di Jambi 101.000 hektar tanah diklaim pemerintah menjadi kawasan konservasi. Di Ulu Masen, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sekitar 750.000 hektar tanah masyarakat sudah tidak boleh digarap lagi.
Pada level ekonomi politik lokal di Flores, kenyataan perampasan tanah oleh para kapitalis jarang terdengar karena memang belum banyak industri korporasi besar menjalankan aktivitas ekonominya. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menemukan data mengenai Land Grabbing khas masyarakat kapitalis sebagaimana yang dimaksudkan oleh lembaga pertanian GRAIN dalam masyarakat feodal di Flores. Satu-satunya data Land Grabbing di Flores yang dirilis oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) adalah perampasan 3040 hektar tanah pertanian oleh pemerintah daerah untuk dijadikan kawasan hutan lindung di Manggarai.
Kepemilikan tanah, baik masyarkat kapitalis maupun masyarakat feodal, memiliki tujuan ekonomi politik yang sama sebagai faktor produksi ekonomis dan pelanggengan kekuasaan. Dalam hal ini, konsep Land Grabbing dalam masyarakat kapitalis dan feodal, memiliki titik simpul yang sama. Jika Land Grabbing adalah tindakan perampasan hak individu atau masyarakat tertentu atas tanah, maka sistem kepemilikan tanah dalam masyarakat feodal mesti juga digolongkan sebagai Land Grabbing. Hanya saja, proses perampasan dalam masyarakat feodal tidak melalui tindakan koersif-represif atau aliansi dengan negara, tetapi melalui ideologisasi dalam bentuk mitos dan cerita rakyat. Menurut trajektori pemikiran Atonio Gramsci, kenyataan seperti ini disebut ‘hegemoni’. Hegemoni dalam pengertian Antonio Gramsci merupakan ideologi yang diciptakan oleh kelas penindas terhadap yang tertindas tanpa melalui tindakan koersif-represif melainkan konsensus. Oleh karena itu, kelompok tertindas menerima ideologi yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa dengan sukarela.
Karena masih mengentalnya feodalisme di Flores, maka Land Grabbing yang dilakukan oleh para elit kampung adalah land gardian, yang menjadikan dirinya land lord, dengan cara ideologisasi melalui mitos dan cerita rakyat. Misalnya, cerita Tuku Naru sebagai penghuni pertama di Worowatu-Nagekeo memberi legitimasi bagi keturunannya untuk memiliki tanah yang luas. Menariknya, beberapa individu yang bukan keturunan Tuku Naru, agar memiliki legitimasi atas kepemilikan tanah yang luas, berusaha merekonstruksi cerita sebagai bagian dari keturunan dari Tuku Naru. Hal ini terkadang menimbulkan konflik horisontal dengan kelompok sosial yang mengklaim diri sebagai keturunan sah dari Tuku Naru.
Melalui ideologisasi seperti ini, para land gardian di Flores sah miliki tanah yang sangat luas. Sementara itu, masih banyak masyarakat tidak memiliki tanah garapan sama sekali. Agar bisa bertahan hidup, masyarakat yang tidak memiliki tanah ini bekerja sebagai buruh tani atau penggarap tanah milik para land gardian dengan proses bagi hasil yang tidak adil. Misalkan, seorang penggarap di Wolosambi-Nagekeo mengaku bahwa jika menanam 100 pohon cengkeh, maka 40 pohon untuk sang land gardian. Di beberapa tempat, ada beberapa penggarap tanah diusir keluar dari lahan garapannya oleh land gardian setelah tanaman bernilai ekonomi sudah siap dipanen. Bercermin pada kenyataan miris seperti ini, tidak sedikit dari para penggarap yang hanya menanam tanaman pertanian tertentu hanya untuk kepentingan subsistensi semata.
Land grabbing dengan cara ideologisasi merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan di Flores. Menurut data BPS (2010), dari 1,8 juta jiwa penduduk Flores, terdapat 330.380 (17.33 persen) penduduk miskin. Rata-rata kemiskinan di Flores berada sedikit lebih rendah dari propinsi NTT yakni 21.23 persen. Itu berarti ada pulau atau daerah di NTT yang jauh lebih miskin dari Flores. Tetapi, rata-rata jumlah kemiskinan di Flores jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yakni 13.33 persen. Indeks Pembangunan Manusia (2008) di Flores adalah 66,21, sedikit lebih tinggi dari propinsi NTT 66,15, tetapi jauh lebih rendah dari tingkat nasional 71,17.
Jika Land grabbing oleh para land gardian merupakan salah satu penyebab kemiskinan di Flores, maka jalan keluar bagi kemiskinan masyarakat Flores adalah menghapus fenomena Land grabbing ini. Karena ideologisasi merupakan alat land gardian melakukan Land grabbing, maka salah satu cara yang mesti dilakukan melawan ideologisasi ini adalah dengan penyadaran kritis. Menurut, Leon Trotsky, penyadaran kritis harus dilakukan dari bawah, yakni dari masyarakat tertindas. Antonio Gramsci menambahkan bahwa penyadaran kritis dari bawah ini mesti diinisiasi oleh intelektual organik dalam masyarakat yang berani berani bersuara demi melawan kelompok berkuasa. Penyadaran ini bukan terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Siapa saja bisa menjadi intelektual organik. Gereja, LSM dan lembaga masyarakat lainya bisa berperan sebagai alat untuk mencetak atau menjadi intelektual oraganik itu sendiri.
Tujuan akhir dari perjuangan penyadaran kritis ini adalah agar masyarakat Flores sadar akan haknya atas tanah. Mereka yang selama ini terkibuli oleh ideologisasi land gardian melalui mitos dan bahasa adat ideologis seperti Tuku Naru dan ine tana ame watu (ibu dari tanah, ayah dari batu) mampu bangkit menuntut hak-haknya agar redistribusi tanah yang adil di Flores mesti segera dilakukan. Masyarkat Flores yang sudah sadar akan hak-haknya atas tanah bisa menggunakan dua pendekatan berikut untuk mendesak redistribusi tanah di Flores.
Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 56 tahun 1960 mensyaratkan bahwa rata-rata satu keluarga hanya boleh memiliki tanah garapan seluas 2 hektar. Dengan berpatok pada Perpu ini, maka land gardian dengan desakan banyak stakeholder harus segera melepaskan sebagian besar tanah yang selama ini dikuasainya bagi masyarakat lain yang tidak memilikinya. Pemerintah lokal berperan penting dalam hal redistribusi tanah yang adil ini dengan menyiapkan instrumen legal-formal. Kedua, penelitian antropologis oleh Dr. Philipus Tule menegaskan bahwa masyarakat Flores tidak mengenal konsep land lord seperti pada masyarakat Eropa, melainkan land gardian. Land gardian seharusnya hanya bertugas untuk menyelesaikan konflik tanah, mendistribusikan tanah, dan menjaga keharmonisan dalam pengelolaan tanah, bukan ‘membabtis’ diri sebagai land lord yang menguasai tanah yang sangat luas. Dengan temuan antropologis ini, pemerintah dan masyarakat memiliki basis ilmiah untuk melakukan redistribusi tanah di Flores.
Dengan dua pendekatan di atas, baik secara legal-formal maupun sosio-kultural, redistribusi tanah di Flores bisa diupayakan oleh masyarakat Flores yang sudah sadar akan hak-haknya atas tanah. Redistribusi tanah adalah harga mati bagi perkembangan dan pembangunan masyarakat Flores, agar bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Karena mayoritas masyarakat Flores adalah petani, maka dengan adanya redistribusi tanah yang adil kesejahteraan masyarakat Flores bisa lebih mudah tercapai. Semoga ini menjadi cita-cita seluruh masyarakat Flores.***
Penulis adalah peneliti di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta.