SEGERA setelah pengumuman keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta, saatnya berpikir bagaimana idealnya hubungan antara Relawan dengan Jokowi. Dalam acara Halal bi halal yang digelar Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dengan para relawan, Jokowi meminta agar para relawan tidak membubarkan diri. Jokowi ingin agar dalam lima tahun ke depan ini, relawan tetap menemani dan mengawal dirinya dan Jusuf Kalla, karena tugas yang lebih besar lagi justru baru akan dimulai.
Permintaan dan ajakan Jokowi ini tentu saja perlu disambut serius oleh segenap elemen relawan dan gerakan sosial lainnya. Setelah Soekarno, baru Jokowi, sebagai presiden, yang dengan terbuka mengajak massa rakyat untuk terlibat aktif dalam urusan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan di luar momentum pemilu. Soeharto sangat takut dengan rakyat yang aktif berpolitik. Kekuasaannya digerakkan oleh politik teror yang bertumpu pada kekuatan militer, birokrasi dan teknokrat. Para presiden pasca Soeharto, hanya membutuhkan rakyat yang sadar politik pada momen pemilihan umum. Kesadaran dan partisipasi politik rakyat, bagi mereka, diukur dari seberapa banyak rakyat datang ke TPS-TPS untuk mencoblos. Habis pemilu, rakyat kembali disuruh ke aktivitas rutin mereka: bekerja cari uang untuk makan dan hidup sehari-hari. Urusan politik cukup diserahkan pada wakil rakyat dan pemerintah yang terdiri dari birokrat dan teknokrat. Jika rakyat tidak setuju atau kecewa dengan kinerja pemerintah dan wakilnya di parlemen, solusinya mudah, jangan pilih kembali mereka dalam pemilu berikutnya.
Menyambut ajakan Jokowi ini, maka apa yang perlu dilakukan oleh relawan dan gerakan sosial? Pertama-tama, menurut saya, relawan perlu merumuskan apa yang dimaksud Jokowi dengan ‘menemani dan mengawal’ pemerintahannya? Kalau kita lihat pengalaman Tim Transisi yang dibentuk oleh Jokowi, sangat tampak bahwa ‘menemani dan mengawal’ itu tidak jelas kriteria dan ukurannya. Sebab, siapa-siapa yang menempati posisi Tim Transisi dan apa yang dilakukan oleh tim tersebut, sepenuhnya ditentukan oleh Jokowi tanpa konsultasi publik. Ini mengherankan, karena untuk posisi kementrian yang jauh lebih strategis Jokowi melakukan konsultasi publik.
Karena tanpa konsultasi publik, maka protes dan kritisisme publik belum tentu akan ditanggapi serius oleh Jokowi. Sebagai contoh, pengangkatan mantan jenderal Hendropriyono sebagai penasehat Tim Transisi, jelas menciderai komitmen penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, karena Hendropriyono adalah orang yang diduga kuat terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut. Tetapi, ketika diprotets oleh publik dan para aktivis HAM, Jokowi dengan enteng menjawab ‘jangan berprasangka buruk, itu kan baru katanya, katanya.’ Pada titik ini, Jokowi tak peduli dengan kritik serta pengetahuan umum dan hasil-hasil riset tentang siapa Hendropriyono dan kejahatan masa lalunya. Bahwa ia belum diadili untuk menentukan apakah ia benar-benar terlibat atau tidak dalam rangkaian tindak kejahatan HAM masa lalu tersebut, itu sama sekali bukan persoalan hukum semata. Pengadilan HAM adalah murni persoalan politik negara yang memang secara sengaja tidak ingin menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berkaitan dengan keterlibatan para mantan jenderal tersebut.
Pola hubungan Jokowi-Relawan seperti yang tampak dalam kasus Tim Transisi, pada akhirnya akan membawa Jokowi berhadap-hadapan dengan relawan dalam kasus yang lain-lainnya lagi. Frasa ‘menemani dan mengawal’ itu pada akhirnya bisa diterjemahkan dalam satu kata ‘Kritik’ tak berkesudahan sehingga bisa dituduh: relawan kok ‘nyinyir,’ bisanya hanya ‘mengganggu’ bukan mendukung. Di pihak relawan sendiri, pada akhirnya muncul rasa tidak percaya pada komitmen Jokowi untuk merealisasikan janji-janji masa kampanyenya. ‘Bagaimana ia bisa menuntaskan kasus pelanggaran HAM, sementara di saat bersamaan ia mengangkat seorang terduga pelanggaran HAM sebagai penasehatnya?’
Pola hubungan seperti ini, saya sebut sebagai ‘hubungan yang patrimoni’ dimana Jokowi memandang relawan sebagai entitas yang dibutuhkan sebagai pelengkap bagi kelangsungan dan keberhasilan kekuasaannya. Saya tidak merekomendasikan pola hubungan seperti ini, dengan alasan yang sudah saya kemukakan. Yang ingin saya usulkan adalah sebuah hubungan yang ‘organik’ antara Jokowi dan relawan, dimana satu sama lain saling membutuhkan dan melengkapi. Kita tahu Jokowi tidak menguasai dan mengontrol mesin partai, ia adalah seorang kapitalis pinggiran dibandingkan dengan kapitalis-oligarkis yang memiliki jaringan kapital dan politik nasional dan internasional, dan lebih dari itu, ia juga belum tentu bisa mengontrol kekuasaan TNI yang sarat kepentingan politik dan bisnis. Satu-satunya basis kekuasaan politik Jokowi adalah dukungan rakyat dan relawan yang sangat besar terhadapnya. Tanpa itu Jokowi akan sangat mudah didikte oleh para elite oligarkis yang memiliki kekuasaan politik dan uang yang tidak terbatas. Di lain pihak, tanpa Jokowi maka program-program bervisi kerakyatan dan pro-HAM yang diusung oleh relawan hanya menjadi catatan tertulis dalam buku-buku, paper-paper, dan modul-modul pelatihan. Karena itu, hubungan organik ini melampaui kerjasama-kerjasama teknis-manajerial seperti yang selalu dituntut oleh para teknokrat.
Namun demikian, agar bisa terbangun sebuah hubungan yang organik maka perlu ada kesamaan pemikiran dan tujuan antara Jokowi dan relawan. Jika kita berkaca pada komitmen Jokowi yang disampaikannya di rumah Si Pitung, sesaat setelah ia dikukuhkan sebagai capres dari PDIP, yakni untuk melawan neoliberalisme, dan juga harapan-harapan yang disampaikan oleh para relawan dan rakyat pemilih dalam Pilpres lalu, maka kesamaan pemikiran dan tujuan itu berujung pada tiga kata ini: ‘Politik Redistribusi Kemakmuran.’
Selama lima belas tahun terakhir pasca Orde Baru, kita hidup dalam sistem politik demokrasi neoliberal, dimana seluruh sistem nilai dan kelembagaan politik yang terbangun ditujukan untuk memfasilitasi dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal, yang masuk akal dalam pandangan masyarakat luas. Misalnya, agar ekonomi bisa bertumbuh dengan baik sehingga pemerataan pembangunan bisa dilakukan, maka campur tangan negara dalam aktivitas pasar harus dibuat seminimal mungkin melalui seperangkat kebijakan seperti deregulasi, liberalisasi, privatisasi, pengetatan belanja sosial, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Berpikir beda, terlebih menentang standar, prinsip dan nilai-nilai ini dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak normal, tindakan yang tidak masuk akal, sehingga jika dibutuhkan perlu direpresi secara fisik.
Akibat dari penerapan sistem demokrasi neoliberal ini, kita menyaksikan suatu parade kebebasan politik yang luar biasa tapi minus redistribusi kemakmuran secara luas. Terjadi kebebasan politik yang merupakan anti-tesa politik teror Orba, tapi tidak berkorelasi positif dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi warga negara. Akibatnya, muncul apatisme politik yang sangat luas di masyarakat, karena menganggap demokrasi hanya menjadi arena pergantian dan bagi-bagi kekuasan di kalangan elite politik dan bisnis, melalui praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan kekerasan politik-militer.
Tidak berarti bahwa dalam demokrasi neoliberal tidak ada ruang bagi partisipasi warga dalam pembentukan kebijakan publik. Melalui seperangkat aturan dan kelembagaan yang ada (misalnya, wadah Musrenbang), partisipasi warga itu coba diwadahi dan dikanalisasi. Tetapi masalahnya, partisipasi warga itu tidak ditujukan untuk mengoreksi ketimpangan redistribusi ekonomi yang bersifat struktural akibat penerapan kebijakan neoliberal, melainkan sekadar untuk memperoleh legitimasi warga atas program-program ekonomi dan politik yang telah didesain oleh para pejabat publik dan teknokrat yang menganut paham neoliberal. Akibatnya, rakyat menjadi enggan terlibat dalam proses musrenbang ini, karena menganggap kehadiran mereka di sana tidak banyak manfaatnya bagi kehidupannya.
Pemilihan presiden 2014 dan terpilihnya Jokowi-JK menjadi momen dimana terjadi titik balik keterlibatan aktif dan sukarela rakyat dalam wilayah politik. Rakyat melihat dan sadar bahwa kini saatnya dilakukan pemisahan yang jelas antara masa lalu dan masa depan, antara politik yang hanya menjadi kontestasi politik di kalangan elite menjadi politik yang sepenuhnya bersifat kerakyatan. Dukungan dan pilihan yang besar terhadap pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah simbol dari harapan dan kebaruan yang diinginkan oleh rakyat.
Dengan demikian, era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini merupakan era di mana bandul pendulum sistem demokrasi neoliberal yang sangat dominan dalam lima belas tahun terakhir agar digeser ke arah demokrasi menentang neoliberalisme. Era baru ini adalah momen dimana kebebasan politik mesti berkorelasi positif dengan kemakmuran ekonomi warga negara. Inilah era dimana Demokrasi Partisipatoris menjadi agenda utama Jokowi dan relawan.
Demokrasi anti neoliberalisme inilah yang seharusnya menjadi titik mula dan sekaligus simpul pengikat hubungan organik antara Jokowi dan relawan. Inilah kebaruan yang kita inginkan.***