SAYA sebenarnya sudah memutuskan untuk absen menulis Oase minggu ini beberapa hari yang lalu. Pasalnya, saya tengah dikepung beberapa kerja bakti yang juga berkejaran dengan waktu. Namun, keputusan yang tegas saya ambil itu sontak berubah ketika tadi malam saya berjalan kaki melewati Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat bersama seorang teman. Dalam keadaan yang demikian, saya merasa sedih kenapa diameter bumi 12.742 km saja? Jika diameternya dua kali lipat dari itu, kita mungkin akan punya waktu lebih dari 24 jam dalam sehari.
Malam itu saya dan seorang teman berjalan kaki dari Salemba, menyusuri Jalan Diponegoro hingga mencapai Bioskop Metropol di dekat Stasiun Cikini. Semuanya di wilayah Jakarta Pusat. Dari sana, kami berbelok menuju Taman Proklamasi. Di depan Taman Proklamasilah kepala saya benar-benar sadar bahwa besok adalah peringatan 69 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI. Bukan berarti sepanjang hari di tanggal 16 kemarin saya sama sekali tak sadar bahwa besok tanggal 17 Agustus.
Suasana menyambut HUT Kemerdekaan ini sudah terasa sejak siang di tanggal 16, ketika salah satu stasiun televisi, entah apa, menyiarkan dokumentasi tentang perang di Surabaya tertangkap telinga. Ditambah lagi dengan bendera dan umbul-umbul yang sudah mulai menghiasi jalan-jalan. Dan juga sebuah ruas jalan yang di tutup di daerah Salemba Tengah, Jakarta Pusat, lantaran warga di sekitarnya memanfaatkan ruas jalan itu untuk beraneka permainan orang dewasa. Yang sempat tertangkap mata, karena saya melihatnya dari angkot yang melaju, adalah permainan kartu remi.
Saya jadi teringat masa kecil di kampung menjelang HUT Kemerdekaan RI. Hampir di setiap kelurahan, di sebuah tanah lapangnya, ada permainan-permainan yang mengandalkan keberuntungan. Warga, termasuk saya tentu saja, bermain semalam suntuk hingga subuh. Ada permainan King dengan pantun-pantunnya seperti, ‘siap jaga-jaga nomor mau ke luar, nomor kaki meja…’, ada permainan Lempar Gelang, Bola Dunia, dsb. Saya tak tahu, apakah masih semeriah dulu permainan seperti itu kini.
Kembali pada keterjagaan saya tentang HUT Kemerdekaan ketika berada di depan Taman Proklamasi. Sebuah tempat memang punya ‘daya magis’ tertentu. Tentu jika kita paham sedikit banyak tentang sejarah tempat itu.
Monumen-monumen di kota-kota atau pun di mana saja adalah sebuah cara menancapkan sejarah. Dengan menyebut nama tempat Taman Proklamasi atau Tugu Proklamasi saja, kita sudah secara tak langsung mengamini dan mengenang kemerdekaan itu. begitu juga dengan tugu atau monumen lainnya. Monumen Pembebasan Irian Barat, Tugu Tani, Monumen Nasional dan lainnya. Maka, monumen dan atau tugu pada tempat-tempat yang strategis adalah cara ‘mencekoki’ kesadaran kolektif yang cukup efektif. Tentu tak semua monumen yang dibangun berniat baik dan juga didasari sebuah keinginan untuk mengenang sejarah yang benar. Monumen Pahlawan Revolusi, misalnya, adalah contoh dari pembohongan sejarah. Dan ia menjadi efektif sebagai legitimasi sebuah kekuasaan yang berdiri hampir tiga setengah dasawarsa.
Masalahnya, sejarah juga adalah pertarungan. Apa yang paling awal dikenang di benak massyarakat ketika mendengar atau mengucap kata ‘Hari Kemerdekaan’, ‘Proklamasi Kemerdekaan’ menunjukkan siapa yang menang dalam pertarungan sejarah. Begitu juga hal-hal lainnya. Kita mengenang Soekarno dan Hatta di tempat pertama. Tetapi nama-nama lainnya tersembunyi jauh di ceruk terdalam kepala. Kita perlu duduk berpikir beberapa lama untuk mengenang kembali Rengasdengklok dan para pemuda seperti Sayuti Melik, Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh. Apalagi nama Djiaw Kie Siong, kita harus googling dulu untuk menemukannya. Banyak yang berjasa tapi sedikit yang diingat.
Kembali lagi di depan Tugu Proklamasi dan memang begitu adanya selalu berulang. Banyak yang bekerja namun sedikit yang dikenang. Kita tentu sudah paham adanya dan sudah sadar adanya bahwa kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun itu tidak dirasakan oleh semua orang di negeri ini. Perayaan kemerdekaan di angka aneh 69 ini pun tetap saja diwarnai keterjajahan-keterjajahan. Itu berarti perayaan kemerdekaan hanya sekadar peringatan akan sebuah peristiwa masa lampau tanpa ada relevansinya untuk masa kini. Dan hal itu terus berulang sebanyak 68 kali.
Bayangkan sebanyak 68 kali dan masih saja kemerdekaan itu tak dirasakan semua orang. Sederhana saja, demi perayaan kemerdekaan, demi SBY merenung di Taman Makam Pahlawan—yang lebih banyak diisi koruptor itu—commuter line dari Jakarta ke Bogor harus tertunda di Manggarai dan listrik di sekitar Kalibata harus padam beberapa jam. Belum lagi hal-hal lainnya.
Banyak yang bekerja, sedikit yang dikenang. Banyak yang bekerja lantas terlupakan. Hasilnya dinikmati mereka yang lebih beruntung posisinya. Dengan kata lain, rakyat yang bekerja, namun rakyat tak berkuasa penuh atas hasil kerjanya. Hal ini pula yang mulai mengintip di muka pintu masa depan kita. Kita baru saja merayakan kemenangan rakyat dalam Pilpres kemarin. Setelah sisa-sisa pesta kemenangan mulai dibereskan, pelanggar HAM kita lihat melangkah hampir-hampir mulus memasuki wilayah-wilayah tampuk kekuasaan elit negeri ini. Yah, Hendropriono yang saya maksud.
Di Tugu Proklamasi beberapa waktu yang lalu, Jokowi terlihat dengan mata yang awas dan penuh perhatian mendengarkan sembilan butir Maklumat Rakyat yang dibacakan Hilmar Farid. Menjaga kemerdekaan saudari-saudara adalah merawat bibit hasil keringat kita agar bisa berbuah banyak dan ranum.
Setelah dari depan Tugu Proklamasi, saya dan teman seperjalanan malam tadi berpisah di sebuah belokan. Samar-samar terdengar bunyi petasan dan di kejahuan tampak percik terakhir kembang api perlahan padam.***