SALAH satu hal baru dan mencolok pada Pemilu 2014 ini adalah besarnya antusiasme masyarakat yang memberi sumbangan dana kampanye kepada calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Para penyumbang ini, datang dari kalangan elite, menengah, dan bawah; dari kelas borjuis hingga kelas proletar. Hingga tulisan ini selesai, jumlah donasi yang terkumpul sudah melampaui angka Rp. 29 milyar.
Bagaimana kita membaca antuasiasme masyarakat, khususnya dari kalangan rakyat pekerja? Kalangan ultra-kiri akan mengatakan, antuasiasme itu terjadi karena rakyat pekerja terilusi dengan politik parlementarian. Mereka tidak mengerti bahwa pemilu ini hanyalah pemilunya kaum borjuasi, sekadar ajang bagi-bagi kekuasaan (power sharing) di kalangan oligarki. Tunggu saja saatnya, bahwa kelas pekerja akan mengerti bahwa mereka telah ditipu, hanya dijadikan objek kelas borjuasi untuk mendulang suara, mencari legitimasi ketika cara-cara kekerasan langsung tidak lagi efektif untuk mengamankan kekuasaannya.
Celakanya, demikian lanjut kalangan ultra-kiri ini, banyak kalangan yang mengaku Kiri ikut-ikutan melegitimasi pemilu borjuis ini dengan menggunakan dalih-dalih teori Marxis sebagai pembenarannya. Bukannya membangun organisasi kelas pekerja yang mandiri dan kuat, bukannya menelanjangi tipu-tipu pemilu borjuis ini, mereka malah mendukung calon-calon yang bukan dari kalangan kelas pekerja. Mereka ini telah melakukan praktek kolaborasi kelas. Kalangan yang mengaku Marxis atau Kiri ini, bukannya membongkar kesadaran palsu rakyat pekerja akan tidak bergunanya pemilu ini buat mereka, malahan turut memperkuat kesadaran palsu tersebut. Mereka bukan hanya telah menjadi Marxis liberal, lebih dari itu, mereka bukan lagi Marxis. Mereka telah ‘murtad’ dari kemarxisannya.
Perilaku suka meng’kafir’kan ini memang merupakan penyakit laten di kalangan Kiri, yang umumnya datang dari segelintir kaum terpelajar. Dengan setumpuk bacaan yang dikunyahnya, kalangan ultra-kiri ini merasa dirinyalah yang paling benar. Yang lain itu bukan hanya berbeda, tapi telah memutarbalikkan dan menyelewengkan ajaran-ajaran Marx, Lenin, atau Trostsky. Bagi mereka, penafasirannya terhadap teks adalah teks itu sendiri. Akulah Marx, Akulah Engels, Akulah Lenin, Akulah Stalin.
Itu satu hal. Hal lainnya, dari klaim bahwa merekalah yang paling benar dan paling sadar akan tugas-tugas kelas pekerja, maka tumbuh semangat membara untuk menyuntikkan kesadaran sejati kepada otaknya massa rakyat pekerja yang terkepung oleh kesadaran palsu. Rakyat harus dipimpin kesadarannya, dibimbing langkah-langkahnya ke pintu gerbang kebebasan. Kaum revolusioner tidak boleh mengekor kesadaran palsu rakyat. Ini rumus baku yang terus dirapal berulang-ulang sehingga menjadi mantra. Marxisme lalu menjadi dogma, bukan lagi ilmu pengetahuan. Rakyat pekerja lalu menjadi objek pasif, bukan lagi subjek yang aktif.
Sikap kita adalah menolak perilaku ultra-kiri ini, yang menjadikan Marxisme sebagai dogma. Kita mesti menempatkan Marxisme sebagai ilmu pengetahuan, sebagai metode untuk menelaah secara detil dan sistematis hubungan-hubungan sosial kapitalisme yang menindas ini. Sebagai ilmu pengetahuan, ia terbuka pada beragam tafsir, pada temuan-temuan terbaru dan berdialog secara setara dengannya. Tetapi, Marxisme juga bukan sekadar sains, melainkan sebuah proyek emansipatoris. Berbekal senjata pengetahuan ini kita berjuang sekuat-kuatnya dan sekonsisten-konsistennya untuk menghancurkan sistem kapitalisme ini.
Tetapi semangat emansipatoris ini tidak pernah akan terwujud jika kita selalu menganggap rakyat senantiasa diliputi kesadaran palsu. Marx mengatakan, kemenangan kelas pekerja haruslah merupakan karya mereka sendiri. Bukan karya dari sekelompok kecil prajurit-prajurit intelektual yang menyuntikkan kesadaran kelas pada benaknya rakyat pekerja. Kesadaran kelas rakyat pekerja bukan sesuatu yang diimpor atau dicangkokkan dari luar, ia tumbuh dan berkembang berdasarkan pergulatannya dengan relasi-relasi konkret yang dihadapinya sehari-hari dan pengalaman perjuangannya menghadapi respon kelas berkuasa yang ingin melanggengkan hubungan sosial yang menindas tersebut. Dengan demikian, kesadaran kelas adalah sebuah proses yang menjadi, yang tumbuh dari dalam dinamika perlawanan rakyat itu sendiri. Di dalam medan kesadaran dan perlawanan rakyat itulah kita melibatkan diri, berdialektika bersama dan mencapai kesimpulan-kesimpulan baru dalam perjuangan secara bersama-sama.
Inilah makna dari slogan ‘seorang pendidik harus terus-menerus mendidik dirinya sendiri.’***