Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
KEPADA Bapak Prabowo Subianto Yang Saya Hormati,
Pertama-tama, ijinkanlah saya memperkenalkan diri. Saya Airlangga Pribadi Kusman, salah satu putra bangsa Indonesia yang kini tengah menimba ilmu di Australia.
Lewat surat ini, saya ingin berdialog dengan Anda sebagai calon Presiden Republik Indonesia, negeri yang kita ketahui bersama didirikan dengan tujuan bernegara yang tidak kurang jelasnya: pertama, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, dan untuk memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan keempat tujuan profetis berdirinya Republik Indonesia itulah, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada bapak sebagai calon Presiden Republik Indonesia:
Terkait tujuan pertama, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bapak Prabowo, dari tujuan pertama ini kita mengerti bersama bahwa seorang presiden, sebagai pemimpin bangsa, pertama-tama secara eksplisit bertugas untuk melindungi hidup, kehormatan, kemerdekaan dan hak asasi manusia dari seluruh rakyat Indonesia. Kesepakatan ini bermakna Hak Asasi Manusia, darah dan kehormatan dari seluruh rakyat Indonesia dan juga seluruh bangsa-bangsa bukanlah sebuah komoditas politik, namun sebagai prasyarat fundamental dan landasan untuk membangun negeri kita.
Apabila Anda menyadari semua ini, saya ingin mengklarifikasi beberapa hal. Dalam catatan perjalanan yang saya temui, saya ragu Anda memiliki catatan perjalanan hidup yang gemilang untuk mengemban tugas mulia ini.
Saya ingat tulisan sarjana Jerman Ingo Wandelt dalam karyanya Prabowo, Kopassus and East Timor (2007). Tahun 1995, catat Wandelt, sebagai seorang tentara Anda bertugas menangani persoalan sosial di Timor-Timur. Anda terapkan strategi unconventional warfare, dengan membentuk dan membiayai milisi sipil Garda Muda Penegak Integrasi. Awalnya organisasi ini merekrut pemuda untuk diajari baca tulis dan ketrampilan. Namun di kemudian hari, Garda Muda berkembang menjadi organisasi yang melakukan teror—sebagai strategi perang urat syaraf—terhadap penduduk di wilayah yang saat itu masih menjadi bagian dari Indonesia.
Kalau saja benar yang ditulis Wandelt, saya ingin bertanya: begitukah strategi keamanan nasional Anda untuk menciptakan ketertiban? Dengan memelihara teror dan rasa takut?
Masih jernih di pikiran saya ketika Anda ingin masuk dalam bursa calon presiden Partai Golkar di tahun 2004. Di atas podium, Anda menerangkan sebuah strategi kontra-terorisme, yakni ‘loot a burning house’, atau ‘rampoklah rumah yang sedang terbakar’. Saya bisa saja keliru, tapi membaca catatan sejarah Anda ketika bertugas di Timor Timur dan apa yang sudah pernah Anda ucapkan sendiri, besar kesangsian saya akan komitmen Anda menjaga keselamatan dan kehormatan rakyat dan tumpah darah Indonesia.
Mungkin Anda lupa apa yang Anda lakukan di tahun 1996, tapi Robert Hefner (1999) rapi mencatatnya. Saat itu Anda membangun aliansi politik dengan kelompok Islam konsevatif. Saya tidak mempersoalkan aliansi politik tersebut, dulu atau sekarang—itu hak Anda. Sebagai seorang sarjana politik, saya melihat bahwa Islam sebagai bagian dari aktor strategis yang berhak terlibat dalam proses politik di Indonesia. Saya hanya ingin menyoal apa yang dikabarkan oleh aliansi politik Anda kepada publik: mereka menghembuskan rumor bahwa bukan Soeharto yang menjadi akar persoalan krisis dan kerusakan di Indonesia, melainkan kekuatan Katolik, Sekuler, Nasionalis Jawa dan Tionghoa.
Anda tentu saja akan mengatakan Anda tidak terlibat dalam kerusuhan Mei 1998. Namun sadarkah Anda bahwa semangat anti-Cina, Katolik, Sekular, Nasionalis seperti bensin yang disiramkan ke tengah api kebencian rasial yang masih melekat pada sebagian masyarakat kita? Dan kini ketika sentimen rasial yang sama dihembuskan oleh tim kampanye Anda, Anda tutup mulut rapat-rapat.
Peristiwa lain yang saya catat: Anda bertanggung jawab atas penculikan aktivis dan mahasiswa yang sebagian di antaranya masih hilang sampai saat ini. Sejauh ini Anda membantahnya. Anda selalu katakan, ada tangan-tangan lain yang terlibat dalam penghilangan orang-orang malang ini.
Ketika Anda membaca surat ini saya meminta Anda merenung sejenak. Sejak penculikan terjadi, sebuah keluarga kehilangan ayahanda yang tak pernah henti-hentinya mengasihi istri dan anak-anaknya. Ada seorang kangmas yang selalu memberikan inspirasi dan harapan kepada adik dan rekan-rekannya tentang masa depan Indonesia yang merdeka, demokratis dan setara. Ada orang tua yang sampai saat ini selalu menanyakan nasib anaknya, yang pada era Soeharto gigih berjuang demi kedaulatan rakyat Indonesia.
Jika benar Anda tidak terlibat pada penghilangan mereka, semestinya Anda tidak perlu takut dan kehilangan ketegasan Anda memperjuangkan terwujudnya Pengadilan HAM? Anda pun tidak usah repot-repot menulis dalam manifesto partai Anda bahwa pengadilan HAM adalah ikhtiar hukum yang berlebihan.
Anda harus ingat tugas berat yang akan Anda emban nanti bila terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia: ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.’ Saya ulangi: melindungi.
Selanjutnya, Bapak Prabowo Subianto, saya ingin mendiskusikan tujuan bernegara kedua, yaitu ‘memajukan kesejahteraan umum’.
Susah payah saya baca secara saksama visi/misi dan program-program yang Anda kemukakan. Sayang, dalam retorika-retorika Anda yang begitu menggelegar, Anda tidak memiliki program dan kebijakan yang jernih, jelas dan tegas!
Pada satu waktu Anda menyatakan akan menerapkan nasionalisme ekonomi dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Di waktu yang lain, Anda menyatakan akan tetap mempertahankan operasi PT Freeport di Indonesia. Di suatu kesempatan Anda bicara tentang ekonomi kerakyatan demi menegakkan kemandirian bangsa. Namun tak satupun kata ‘industrialisasi nasional’ dalam uraian Anda. Anda sekadar memberi sinyal kepada kapitalisme internasional, bahwa Anda akan menegakkan rezim yang mengamankan investasi!
Bagaimana mungkin kemandirian ekonomi dan visi ekonomi kerakyatan sebuah bangsa dibangun tanpa perhatian lebih atas industrialisasi nasional sebagai basis penopangnya? Dari semua yang Anda utarakan, tak satu pun yang mampu menunjukkan posisi tegas Anda sebagai pemimpin bangsa yang akan bekerja keras demi kesejahteraan umum.
Saya tidak menjumpai ketegasan di sana. Saya menemukannya di tempat lain, di dalam pendirian Anda yang kukuh untuk mengembalikan era Orde Baru—Orde Baru yang Anda anggap era gemilang, gemah ripah loh jinawi, di mana Indonesia konon menjadi macan Asia. Betul demikian?
Apabila benar Orde Baru menjadi acuan Anda, silakan tengok fakta keras ini. Di balik catatan mercu suar pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen itu, terjadi proses pembangunan yang sungguh timpang. Telah banyak riset yang menunjukkan bahwa kue pembangunan itu lebih besar dikonsumsi oleh keluarga Soeharto—ingat, Anda termasuk di dalamnya—melalui praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Proses pembangunan ekonomi sangat sentralistik dan berpusat di Jakarta. Sementara Aceh hingga Papua tak pernah dilirik kecuali jika ada sumber daya alam di sana. Tak heran, sejarah pembangunan Orde Baru sarat oleh catatan sejarah kekerasan dan penindasan terhadap rakyat. Dan memang begitulah mesin kekuasaan Orde Baru bekerja menopang pola-pola pembangunan yang tidak adil.
Rayuan Orde Baru inikah yang ingin Anda jual dan tawarkan kepada kami para pemilih? Maaf, sekali lagi saya sangsi jika Anda sanggup dan memiliki ketegasan untuk memimpin Indonesia. Saya sangsi Anda akan memajukan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia.
Bapak Prabowo Subianto, cita-cita kesejahteraan umum dalam corak pembangunan yang manusiawi di abad ke-21, tidak bisa dikejar dengan kata-kata besar, grandiose dan megah. Jika Anda betul-betul hidup di abad 21, program pembangunan Anda tak punya pilihan kecuali melibatkan rakyat banyak dan sensitif terhadap hak-hak dasar warganegara. Jika Anda sungguh-sungguh manusia Abad 21, model pembangunan Anda akan menekankan kehadiran ruang seluas-luasnya di mana segenap warga Indonesia mendapatkan kesempatan dan perlindungan sosial dari ancaman kapitalisasi pendidikan yang menghalangi orang miskian untuk mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Jika Anda berniat menjadi pemimpin di abad ini, sudah semestinya visi pembangunan Anda memastikan jaminan kesehatan warganya. Dalam pembangunan tersebut, Anda juga akan melibatkan kedaulatan dan hak dari segenap warga dari sumber daya alam di sekitarnya.
Pembangunan seperti ini, meskipun Anda torehkan dalam visi dan misi Anda, tidak akan bisa berjalan seiring dengan logika pembangunan ekonomi ala Orde Baru yang menindas rakyat seraya memakmurkan sekelompok kecil elite oligarki yang Anda banggakan itu.
Selanjutnya, mari kita mendiskusikan tujuan bernegara kita yang ketiga, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bapak Prabowo Subianto yang saya hormati, salah satu indikator dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah terbentuknya karakter warga yang beradab. Patut diketahui, dalam kaitannya dengan karakter beradab tersebut, apa yang dilakukan oleh sebagian besar tim sukses Anda selama kampanye presiden ini diselenggarakan, sangat jauh dari kata beradab.
Bagaimana Anda dapat membangun sebuah bangsa yang cerdas, beradab dan menghormati kebhinekaan, jika banyak dari pendukung Anda memanfaatkan sentimen etnis, agama dan ras untuk memenangkan Anda? Kenapa pula Anda hanya diam ketika pendukung Anda menyebarkan berita bohong bahwa kompetitor Anda sebagai bukan muslim, anak keturunan Tionghoa, dan seorang komunis?
Bapak Prabowo Subianto, kebhinekaan bangsa kita, persatuan dan kesetaraan dari tiap warga Indonesia telah diperjuangkan dengan susah payah. Penghormatan terhadap kebhinekaan adalah mutlak sebagai bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya menyaksikan bahwa apa yang dilakukan tim sukses Anda justru merupakan bentuk paling vulgar dari pembodohan rakyat Indonesia.
Kini kita masuk pada pokok paripurna dari tujuan kita bernegara: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Saya lihat pokok keempat ini absen dari program dan kampanye Anda. Apa yang Anda kemukakan sebagai bagian dari peran Indonesia dalam kancah internasional? Semangat anti-asing yang digelorakan oleh tim Anda memperlihatkan bahwa visi Anda tentang hubungan nasionalisme dan internasionalisme begitu usang, tertinggal dan obsolete.
Ketika saya mengemukakan hal ini, saya tidak sedang mengulang-ulang mantra kaum globalis yang menihilkan pentingnya negara-bangsa. Tidak, sekali lagi, tidak! Keyakinan saya tentang hubungan nasionalisme dan internasionalisme tertanam dalam diktum monumental yang dikemukakan Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, bahwa ‘Internationalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.’ Sebuah pandangan nasionalisme yang luas dan humanistik ini tidak dapat tumbuh bersemi beriringan dengan semangat anti-asing yang selama ini dikumandangkan para pendukung Anda.
Bagi saya, retorika harus berlandaskan pada kenyataan-kenyataan praktek yang kita lakukan selama ini. Dan saya temukan betapa lebarnya jurang antara retorika bergelora yang Anda sampaikan dengan rekam jejak kepemimpinan Anda selama ini.***
Perth, 29 Juni 2014