Menjelang Ramadhan, kali ini kita kurangi sedikit teori dan perbanyak refleksi
PEMILU presiden (Pilpres) 2014 betul-betul menyedot perhatian banyak orang. Setidaknya, di berbagai media, lini masa media-media sosial seperti facebook dan twitter, hingga obrolan sehari-hari, diskusi dan debat mengenai pemilu mendominasi pembicaraan – sampai-sampai mengalahkan obrolan seputar Piala Dunia dan bulan puasa. Tidak heran, karena pemilu kali ini bukan pemilu biasa. Pemilu ini akan menentukan masa depan kita: antara kemajuan demokrasi atau kemunduran pencapaian-pencapaian yang sudah kita raih selama ini.
Peringatan ini bisa saja terdengar bombastis, tetapi apabila kita melihat perkembangan politik di tanah air beberapa tahun belakangan ini, maka jelaslah terlihat sejumlah perkembangan yang mengkhawatirkan. Dengan kondisi perkembangan politik yang mengkhawatirkan tersebut, apakah siapa yang nanti memenangkan pilpres dan menjadi presiden akan berpengaruh kepada kita? Lebih jelasnya, seandainya, ya, seandainya Prabowo-Hatta menang, akankah itu berpengaruh kepada kita sebagai sebuah bangsa?
Bagi saya, jawabannya jelas: YA.
Yang menarik buat saya, tampaknya hal tersebut seakan-akan tidak menjadi perhatian bagi beberapa kalangan di masyarakat, seperti sebagian dari kita yang berlatar belakang kelas menengah. Karena saya berusaha husnuzan, saya khawatir, jangan-jangan kita lupa berpikir lebih keras atas konsekuensi dari pilihan politik kita, tetapi terkadang saya juga merasa dilanda kekesalan: jangan-jangan kebanyakan dari kita memang punya kecenderungan ngehek.
Tidak akan saya ulangi secara panjang lebar penjelasan mengenai mengapa kemenangan Prabowo-Hatta merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Bagi saya, dan banyak orang-orang lain, Prabowo merupakan representasi dari ancien régime, sisa-sisa dari kediktatoran Orde Baru yang menindas itu. Prabowo, sebagaimana dijelaskan oleh Edward Aspinall (2014) dalam artikel terbarunya:
‘…adalah produk murni dari otoritarianisme Orde Baru…Perlu dicatat bahwa kedua kakak beradik ini (Prabowo dan Hasyim – red) ini menjadi kaya dari usaha perburuan rente ekonomi, misalnya dari kayu dan sumber daya alam…Prabowo diberhentikan dari militer sebagai akibat dari perbuatannya menculik aktivis demokrasi dan pembangkangan-pembangkangan lainnya.’
Dan itu hanyalah sedikit bagian dari rekam jejak Prabowo. Dan sekarang, sang capres militeris itu, maju dalam pilpres dengan dukungan koalisi ajaib yang rawan politik kartel dan bagi-bagi kursi, yang terdiri dari oligark macam Aburizal Bakrie, laskar-laskar vigilantis alias preman, hingga para pendukung agenda-agenda berbau fundamentalisme agama yang mengancam kehidupan kaum minoritas di Indonesia. Dengan slogan-slogan kabur seperti ‘Indonesia Bangkit’, ‘nasionalisasi’, ‘pertahanan nasional’, ‘anti-asing’, dan lain sebagainya, Prabowo dan rekan-rekan koalisinya tampaknya cukup berhasil mengecoh sejumlah orang. Ini mengkhawatirkan.
Yang mengherankan, banyak orang, wabil khusus kelas menengah ‘terdidik’ memamah biak slogan-slogan kosong seperti ini. Burhanuddin Muhtadi (2014), yang juga menyoroti hal serupa, baru-baru ini mengatakan bahwa ‘kelas menengah yang terdidik lebih suka dengan gagasan yang berapi-api, jatuh cinta dengan Prabowo.’ Tetapi, saya pikir alasannya bukan hanya itu.
Petani Karawang melawan 7000 pasukan Brimob yang hendak menggusur mereka dari tanahnya, Juni 2014
Saya menduga, ada imaji-imaji mengenai hidup dan tata pemerintahan yang ideal yang hadir dalam sosok Prabowo. Sebuah mimpi, ya, mimpi, yang berasal dari hasrat-hasrat mengenai kenyamanan, keamanan, dan stabilitas hidup. Mau pemerintahan yang efektif dan efisien? Pilih Prabowo! Ingin pemimpin yang tegas dan berwibawa? Jelas Prabowo! Agar Indonesia menjadi ‘kekuatan ekonomi’ dan ‘Macan Asia’ baru? Coblos Prabowo! Presiden yang ‘nasionalis’ (maksudnya xenophobia yang pro-kapital?), mampu melindungi ‘kekayaan nasional’ (untuk kroninya), dan ‘anti-asing’ (frase ‘asing’ bisa diganti dengan target kesukaan)? Dukung Prabowo! Capres yang paling ‘Islami’ dan ‘dekat dengan umat’? Prabowo solusinya! Dan yang tidak kalah absurd: Capres gagah dan ganteng? Prabowo dong! Singkatnya, dari yang doyan teknokrasi hingga rajin ngaji, mereka semua menemukan ‘jawabannya’ dalam sosok Prabowo.
Perkaranya, jawaban kelas menengah ini justru bermasalah. Karena, jawaban tersebut hanyalah shortcut, jalan pintas untuk persoalan yang sesungguhnya jauh lebih pelik dan rumit. Dan kita tahu, bahwa jalan singkat bisa buntu atau bahkan ketemu macet lagi. Ia bisa korslet. Jalan pintas tersebut secara singkat bisa dirumuskan sebagai berikut:
‘Prabowo tuh tegas, visioner. Kalau dia terpilih ekonomi kita bisa kuat, politik stabil, dan Indonesia disegani di luar negeri. Kita sudah lama terpuruk. Kita butuh pemimpin seperti itu. Dan dia juga nasionalis serta religius. Dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu kan cuman isu. Lagian, semua orang kan punya masa lalu. Jangan lupa, Prabowo juga nasionalis serta religius. Gak kayak Jokowi tuh, capres boneka antek asing anti-Islam. Lagian, capek-capek amat sih mikirin politik. Udahlah serahkan aja ke ahlinya!’
Kelas menengah seakan-akan lupa, bahwa di balik seribu justifikasi tersebut ada dua asumsi utama yang mendasari rangkaian justifikasi tersebut: 1) pemimpin yang ‘sempurna’ dan ‘kuat’ dan 2) teknokrasi yang elitis. Dua prinsip itulah yang kerap kali digaungkan oleh kubu Prabowo. Dua prinsip itu jugalah yang mendasari keberlangungan Orde Baru selama 32 tahun. Ya, 32 tahun!
Anehnya, di tengah-tengah era keberlimpahan informasi seperti ini, sepertinya ada kecenderungan ‘malas berpikir’ yang cukup akut di kalangan kelas menengah kita. Kelas menengah seakan-akan lupa, sejumlah aktivis yang diculik Tim Mawar masih belum kembali hingga sekarang. Kita seakan-akan lupa, bahwa isu HAM bukanlah isu lima tahunan sekali. Seakan-akan tidak pernah ada aksi para Ibu yang menuntut keadilan dalam aksi-aksi Kamisan di depan Istana Negara yang masih berlangsung hingga sekarang. Lebih lucunya lagi, kelas menengah dengan mudahnya begitu saja menelan mentah-mentah sejumlah kampanye hitam – mulai dari VOA-Islam, Ar-Rahmah, hingga Obor Rakyat – tanpa sadar bahwa rangkaian kampanye tersebut merupakan upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian kita dari rekam jejak Prabowo dan bahkan menggiring kita untuk memilihnya.
Akibatnya, ‘pertunjukkan sulap’ sang jenderal yang mengubah dirinya dari penculik, pengganyang rakyat, dan pemilik gurita bisnis serta ratusan ekor kuda menjadi pemimpin ‘kuat’ yang ‘anti-neoliberal’ dengan mudahnya nyangkut di dalam kepala dan hati kelas menengah yang perlahan jadi ngehek beneran ini. Padahal, sumber informasi – termasuk informasi ilmiah, dari jurnal-jurnal dan situs-situs web akademik seperti Inside Indonesia dan New Mandala – yang membahas mengenai rekam jejak Prabowo begitu berlimpah. Kesan tersebut semakin nyangkut di tengah-tengah kampanye hitam yang semakin vulgar, rasis, dan bahkan fasis – mulai dari Jokowi antek asing dan A Seng, adanya konspirasi asing (antara Amriki-Yahudi atau Zionis-Komunis), hingga pembelaan atas aksi kesenian fasis ala Ahmad Dhani dan propaganda anti-Komunis gaya Orde Baru ala Fadli Zon. Dude, are you serious?
Aksi Kamisan menuntut penuntasan kasus orang hilang dan pelanggaran HAM lainnya di depan Istana Merdeka
Apa artinya semua ini? Artinya, ‘hasrat terpendam’ kita mengenai Orde Baru, tendensi otoriter dari masing-masing kita tampaknya belum betul-betul hilang – dan sepertinya akan selalu menghantui kita.
Mengapa saya angkat bicara mengenai persoalan ini? Karena saya peduli dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Tentu, kita juga harus fair – toh bukankah kelas menengah Indonesia juga berjibaku menghadapi tuntutan hidup yang semakin mencekik setiap harinya? Saya bisa memahaminya, karena saya dan banyak dari kita, berangkat menghadapi tuntutan yang serupa, seperti persoalan pekerjaan, penghasilan yang seadanya, hingga status yang masih jomblo (loh, kok jadi curcol).
Tetapi, keluh kesah dan apatisme saja tidak cukup untuk mengubah keadaan, apalagi menempuh jalan singkat dengan memilih Prabowo, seorang pribadi yang memiliki banyak dosa masa lalu dan tidak hanya itu, bertendensi otoriter dan oligarkis. Sesungguhnya obatnya mudah: kita perlu menengok kembali sejarah.
Sejarah menunjukkan, kelas menengah seringkali cenderung ambivalen terhadap demokrasi. Lebih parahnya lagi, kelas menengah terkadang justru memiliki kecenderungan otoriter. Buktinya jelas: Chile tahun 1973 (di mana Allende dan pendukung program kerakyatannya dilabeli ‘para komunis marxis yang menjijikkan’) dan sejumlah negara Amerika Latin di dekade 1970-1980an, Thailand tahun 1976 dan juga 2014, dan masih banyak lagi. Dan ingat, Orde Baru, yang belum lama kita tinggalkan itu, yang sekarang diam-diam kita hasrati kembali, dibangun di atas ongkos 500,000-3 juta jiwa yang dibantai di tahun 1965 dan masih banyak lagi. Kecenderungan ini terjadi di depan mata kita. Kita tidak perlu menjadi pelajar ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk melihat dan memahami kenyataan getir ini.
Bagi kelas menengah, yang bisa menemukan kenyamanan di ruang-ruang diskusi berpendingin udara, di kafe-kafe ternama di ibu kota, dan juga di berbagai kelompok pengajian, mungkin deretan angka dan tahun tersebut cuma sekedar statistik. Maklum, toh seringkali kita merasa dengan duduk-duduk, kritik dan mengomel, dan sesekali berdoa, kita sudah mengubah keadaan, baik dengan alasan ‘kebebasan individu’ atau ‘instruksi jamaah’. Tetapi tidak bagi kaum buruh, yang setiap harinya harus berhadapan dengan gebukan kapital dan aparat, yang aksi demonstrasinya tahun lalu kita tanggapi dengan cibiran, sikap nyinyir, dan keluhan somplak macam ‘bikin macet aja nih demo buruh gak sekolahan!’. Tetapi tidak bagi bapak ibu tani, yang tiap harinya berjuang mempertahankan tanahnya dari rampasan aparatus negara dan korporasi. Tetapi tidak bagi orang-orang Syi’ah, Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok minoritas kebudayaan dan keagamaan di Indonesia, yang merasakan gebukan laskar-laskar liar dan harus terusir dari tanah airnya sendiri. Tetapi tidak bagi rakyat Rembang dan Karawang, yang, di saat saya menulis artikel ini, harus menghadapi ribuan personil Brimob dan preman!
Netralitas, dalam kondisi seperti ini, entah atas nama (pseudo)heroisme ‘anti-sistem’, peranan intelektual yang ‘seharusnya objektif’, atau yang paling parah karena apatisme, kemalasan berpikir, atau kejumudan, hanya akan menjadi langkah politik yang tidak mengubah keadaan. Bahkan sastrawan dan intelektual besar semacam George Orwell memilih untuk berpihak membela Republik Spanyol yang dirongrong oleh kaum Fasis pimpinan Jenderal Franco. Netralitas adalah sebuah ilusi.
Konsekuensinya, hanya ada dua pilihan bagi kelas menengah Indonesia: antara menempuh jalan singkat dengan mencoblos pasangan Prabowo-Hatta dan karenanya menjadi ngehek seutuhnya atau menyadari bahwa saya, Anda, kita semua, yang setiap harinya menghadapi persoalan hidup, komodifikasi pasar, dan minimnya ruang publik yang demokratis, sesungguhnya merupakan bagian dari perjuangan rakyat untuk memperjuangkan ruang demokrasi yang lebih luas, deliberatif, dan partisipatoris. Prahara politik Thailand yang berawal dari keengganan para elit politik Bangkok, pendukung monarki, dan kelas menengah perkotaan untuk konsisten dalam berdemokrasi yang berujung kepada pembentukan junta militer yang diktatorial dan tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah seperti stabilitas makroekonomi, persoalan buruh migran, kebebasan politik, dan keamanan publik (Thearith, 2014) mungkin bisa jadi bahan refleksi mengenai apa yang terjadi apabila tendensi otoriter dalam diri kita ikuti. Be careful for what you wish for!
Demokrasi, keadilan ekonomi dan sosial, HAM, apa-apa yang kita cita-citakan pasca tumbangnya Orde Baru – semua itu adalah aspirasi universal yang terwujud, dan hanya terwujud, dengan perjuangan orang-orang biasa, perjuangan rakyat. Pencapaian tersebut tidak jatuh dari langit. Sepanjang sejarah, para tiran, diktator, dan kacung-kacungnya selalu berusaha untuk merebutnya dari kita. Adalah tugas kita untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan memperdalam ruang demokratik untuk perjuangan segenap rakyat Indonesia! Memilih pasangan Prabowo-Hatta berarti memilih kemunduran sejarah dan mengkhianati cita-cita tersebut!
Karena, sekali lagi, pilpres kali ini, taruhannya demokrasi sob!***
Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS yang sedang berusaha sebisa mungkin untuk sembuh dari virus #KelasMenengahNgehek. Beredar di twitterland dengan id @libloc