DALAM dua hari ini, kita disuguhkan oleh berita mengenai penyerangan oleh kelompok Islamis terhadap kegiatan ibadah yang dilakukan oleh kalangan Kristen di Yogyakarta. Serangan brutal itu, tidak saja mengejutkan atau mengganggu ketentraman dan kerukunan hidup beragama, tapi sudah merupakan suatu penyakit laten bangsa ini.
Apa alasan penyerangan itu? Kalau karena beribadah di tempat yang tak punya ijin, maka beribadah di Candi Borobudur pun tak boleh, karena candi itu didirikan tanpa ijin. Logika inilah yang aneh dan rusak.
Seorang teman berkata, ‘Kenapa mereka harus diserang? Bukankah kelompok Kristen, Liberal, Atheis, dan/atau Sosialis’ itu tidak pernah menyerang kelompok Islam secara fisik? Bukankah tidak ada protes terbuka terhadap pengeras suara di masjid-masjid yang menyebarkan pesan-pesan Islam dengan nyaring melampuai sekat-sekat dinding masjid? Kalau hanya wacana yang ditulis, kenapa tidak dibalas dengan wacana? Bukankah ini cara beragama yang lebih manusiawi dan damai sesuai dengan pesan dan misi dasar Islam, yakni agama ‘rahmat bagi seluruh alam?’ Jika sudah menyerang secara fisik dan brutal seperti itu, lalu dimana letak pesan ‘rahmat bagi seluruh alam?’
Tentu saja ada banyak alasan untuk berkelit, misalnya dengan mengatakan bahwa ‘itu perilaku yang tidak Islami, itu tidak mencerminkan tindakannya seorang Muslim.’ Saya setuju. Tetapi, kita mesti juga mengakui bahwa memang ada yang salah dalam cara sebagian umat Islam beragama, atau dalam hal menyebarkan pesan-pesan keagamaan. Sebagian umat Islam ini, senantiasa hidup dalam lingkungan yang dipenuhi oleh musuh yang sewaktu-waktu akan menyerang mereka, cara beragama yang paranoid.
Lalu darimana musuh itu datang? Saya ingin mengatakan bahwa musuh itu adalah sesuatu yang mereka bayangkan, yang mereka ciptakan sendiri dan kemudian mereka percayai sebagai benar adanya. Mereka membayangkan bahwa kelompok Kristen, Liberal, Atheis, Sosialis adalah musuhnya, yang seaktu-waktu hendak menerkamnya bulat-bulat. Kemudian mereka percayai itu, sebagai akibatnya ketimbang diterkam duluan, adalah lebih baik menerkam mereka lebih dulu. Sehingga yang terjadi adalah, ‘untuk menang maka mereka bersiap-siap untuk perang.’ Dengan musuh yang dibayangkan itu, secara internal mereka bisa memperkuat identitas kelompoknya dan mengikat kepatuhan anggotanya.
Karena musuh ini adalah musuh yang dibayangkan, maka ia tidak mengenal ruang dan waktu. Bagi mereka, musuh itu ada di mana saja dan kapan saja. Ia bisa saja ada di Yogyakarta, di Jawa Barat, di Afghanistan, atau di Amerika. Musuh itu bisa merupakan warisan masa lalu, atau kini dan di sini, atau berada di masa depan.
Berhadapan dengan kelompok seperti ini bukan perkara mudah. Karena mereka mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari Islam, bahkan sebagai pejuang Islam, maka mayoritas umat Islam sering sekali menahan diri untuk tidak mengutuk tindakan barbar ini, walaupun mereka sangat tidak setuju dengannya. Aksi diam dari mayoritas semacam ini, sangat tidak membantu, karena itu seperti memberi persetujuan terhadap tindakan kelompok minoritas tersebut. Di lain pihak, sebuah tindakan tegas dari Negara terhadap kelompok seperti ini akan dengan mudah dicap ‘Anti Islam,’ yang membuat Negara gagal berfungsi sebagai pelindung dan penjamin hak-hak konstitusional warga negaranya. Apalagi diperparah dengan tingkah laku pejabat negara yang korup, makin lengkaplah sudah rasa tidak percaya terhadap Negara itu.
Karenanya, pada momen pemilu kali ini, kita betul-betul harus memanfaatkannya untuk memilih pemimpin yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk menjaga dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara. Pemimpin yang tidak terbebani dengan persoalan-persoalan hukum di masa lalu, karena hanya dengan demikian ia leluasa untuk mengambil keputusan. Pemimpin yang mau melayani rakyat, karena hanya dengan begitu ia dipercaya rakyat untuk menyelesaikan penyelewengan dan pelanggaran hukum oleh kelompok-kelompok yang rasis dan diskriminatif ini. Dengan pemimpin seperti itu, kehadiran Negara dalam mengatasi persoalan-persoalan diskriminatif ini bisa diterima dengan sewajarnya.***