Ketika Jeffrey Franks—kolumnis majalah New Yorker—berkunjung selama beberapa waktu ke Norwegia, ia mendapati pengalaman istimewa tentang Knut Hamsun. Waktu itu Franks berburu karya Hamsun di toko-toko buku loak kota Oslo (dulu bernama Kristiania). Seringkali, ketika bertanya pada penjaga toko tentang karya sastrawan tersohor itu, ia mendapatkan jawaban yang hampir serupa.
“Knut Hamsun? Dia adalah seorang Pengkhianat negeri ini.”
Jawaban ini tentu amat mengejutkan Franks mengingat besarnya penghargaan para penulis di berbagai belahan dunia pada sosok Hamsun. Lewat karya-karyanya, tanpa bisa dibantah lagi, ia tampil sebagai pelopor sastra modern dunia. Bentuk novel yang ada sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh karya-karya Hamsun. Bahkan Isaac Bashevis Singer, sastrawan Amerika berdarah Yahudi dan peraih hadiah Nobel tahun 1991 mengakui peran besar Hamsun dalam menentukan perkembangan sastra modern dunia, paling tidak di kawasan Eropa dan Amerika. Posisinya dalam sastra modern seringkali disejajarkan dengan posisi Nikolai van Gogol dalam sastra Rusia yang mencapai bentuk puncaknya pada karya-karya Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy dan sesudahnya. Penulis seperti Ernest Hemingway dan William Faulkner jelas-jelas terpengaruh olehnya. Herman Hesse, sastrawan Jerman yang juga peraih penghargaan Nobel, mengakui Knut Hamsun sebagai penulis favoritnya.
Namun kenapa sastrawan dengan jejak amat membekas dalam peta sastra dunia ini justru begitu mendapatkan kesan buruk di dalam negerinya sendiri?
Pertanyaan semacam ini tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik Eropa dan Norwegia selama berlangsungnya Perang Dunia II. Ketika negara-negara Skandinavia membentuk front bersama untuk netral dalam pertikaian global antara kelompok AS dan Sekutu, lalu dilanjutkan dengan invasi Hitler ke negeri di bagian utara semenanjung itu, Knut Hamsun menunjukkan simpatinya kepada Jerman. Ia bahkan memberikan medali Nobel kepada Goebbels, menteri kebudayaan Jerman di era Hitler, sementara Sigried Undsett dan Henrik Ibsen, sesama sastrawan Norwegia dan sama-sama pula peraih hadiah Nobel, lebih condong pada sekutu.
Hamsun secara nyata mendukung partai Quisling yang pro Nazi walaupun ia bukan anggota partai itu. Bahkan pada suatu kesempatan, ia pernah bertemu dengan Hitler dan berdialog dengannya, meskipun, menurut keterangan yang beredar sesudahnya, mengalami miskomunikasi yang akut. Itu sebabnya ketika Sekutu memenangkan perang dunia, Hamsun ditangkap dan ditahan. Oleh pengadilan, ia diputuskan mendapatkan tahanan rumah dan didenda sebesar 500.000 kroner. Yang makin kontroversial, ketika Hitler diberitakan meninggal dunia, ia menulis suatu artikel yang isinya memuji prestasi-prestasi Hitler dan menyatakan bahwa dunia telah kehilangan salah satu orang terbaiknya.
Masa-masa sesudah Perang Dunia II menjadi bagian paling kelam dari sejarah hidup Hamsun. Sebagian besar orang Norwegia menganggapnya sebagai kolaborator Nazi, dan dengan begitu ia dicap sebagai pengkhianat negerinya. Yang makin problematis, meski dihimbau meminta maaf atas kekeliruan-kekeliruan dalam pandangan politiknya, sampai akhir hayatnya ia tetap tak mau menjilat ludahnya sendiri dan menerima dengan tegar cap pengkhianat. Barangkali kisah getir Knut Hamsun tersebut untuk kasus Indonesia akan memiliki kemiripan dengan kisah hidup salah satu pengarang terbaik—kalau tidak dikatakan yang terbaik—kita, Pramoedya Ananta Toer. Berbeda dengan Hamsun, Pram terperangkap dalam perang ideologi yang getir antara kelompok komunis dan penganut ideologi liberal yang didukung habis-habisan oleh rezim Orde Baru. Dan meskipun tindakan masif rezim Orde Baru-lah yang menyebabkan cap buruk pada diri Pram begitu kuat, setelah rezim ini tumbang, namanya justru makin harum di antara generasi muda yang tak lagi tertipu agitasi dan propaganda politik rezim otoritarian tersebut. Hamsun tidak, jauh setelah ia meninggal, di Norwegia namanya masih sering diidentikkan dengan sebutan pengkhianat!
Tak ada satupun jalan-jalan di Norwegia yang menggunakan namanya. Hanya ada patung dada Hamsun di depan penerbit buku-bukunya. Ia seperti sebuah teks yang ingin dihapuskan dari memori Norwegia. Padahal, bila membaca novelnya yang berjudul Lapar (Hunger atau Sult), kita akan mendapati banyak nama-nama jalan di kota Kristiania (sekarang orang menyebutnya Oslo), di mana nama jalan itu tidak berubah sampai sekarang. Bagi pembaca karya-karya Hamsun yang tak berasal dari Norwegia dan mengunjungi Oslo, ingatannya mau tak mau akan terbawa pada sosok Hamsun saat mereka menjelajahi berbagai jalanan yang telah dimasukkan Hamsun dalam novel yang legendaris tersebut.
***
Knut Hamsun dilahirkan dengan nama asli Knud Pedersen. Ayah dan ibunya hidup miskin sebagai seorang petani merangkap penjahit dengan berbekal sebuah mesin jahit Singer. Pada usia lima tahun, ia dan keluarganya pindah ke Hamaroy, kota kecil yang berada di lingkar kutub Utara. Di situ ia bersama adiknya menjalani masa bahagia yang pendek. Pada usia delapan tahun, seorang pamannya datang dan menagih hutang pada ayahnya. Karena tak bisa memenuhi janji membayar hutang, ia dibawa sebagai sandera.
“Anak ini bertulang besar dan bertenaga kuat, dan tulisannya juga rapi. Ia bisa membantuku di kantor pos,” katanya.
Meninggalkan Hamaroy, ia menjalani pengalaman hidup paling menyiksa di mana hari-harinya dihabiskan untuk bekerja di kantor pos milik pamannya dari pagi sampai sore, lalu dilanjutkan dengan pekerjaan membelah kayu. Beruntung ia bisa menyelesaikan sekolah dasar pada usia 14 tahun. Di kantor pos inilah ia banyak menyalin surat atau dokumen-dokumen penting, sesuatu yang kelak sangat berguna dalam proses kreatifnya. Tapi kehidupan menyiksa di bawah kekuasaan pamannya membuat ia berusaha melarikan diri. Pernah pada suatu ketika ia sengaja mengarahkan kapak ke kakinya supaya sang paman jatuh kasihan dan mengijinkannya pulang. Pengalaman tersebut kelak di kemudian hari muncul dalam salah satu novelnya, Pan, ketika tokoh novel tersebut—Thomas Glahn—dengan sengaja menembakkan peluru senapannya sendiri hingga menembus telapak kaki. Percobaan melarikan diri yang kedua ia lakukan dengan kabur dari rumah pamannya. Namun usaha ini pun gagal, dan ia tetap kembali pada pamannya.
Seiring dengan makin bertambahnya usia, tubuhnya tumbuh besar dan kekar sehingga pamannya tidak berani memarahi atau memukul lagi. Pada usia tujuh belas tahun ia memutuskan meninggalkan sang paman dan kembali ke rumah orangtuanya sebelum memulai petualangan hidup yang akan mengantarnya pada kemasyhuran. Orangtuanya ingin ia bekerja sebagai klerek, namun hasrat menulis telah membuat ia mengabaikan harapan kedua orang tersebut. Hal ini terjadi ketika ia berkenalan dengan seorang kaya dan bupati di kota Kristiania, di mana di dalam perpustakaannya, ia menemukan buku-buku penulis Norwegia seperti Bjornstjerne Bjornson, serta karya-karya para penulis Denmark dan negara-negara Skandinavia lainnya. Namun, karena kecilnya harapan makmur dari menulis, ia tergoda untuk menerima tawaran sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah dasar dimana murid-muridnya tak memiliki beda usia yang jauh dengan dirinya.
Ia pernah pula mengadu nasib ke Amerika sampai dua kali. Pertama ia datang ke kota California, di mana ia menyaksikan sendiri Mark Twain sedang memberikan ceramah di sebuah universitas, suatu pengalaman yang tak akan pernah dilupakannya hingga akhir hayat. Di California inilah ia terserang penyakit hepatitis dan oleh dokter divonis tak akan memiliki usia panjang. Oleh teman-temannya ia dinasihati untuk pulang ke Norwegia. Akhirnya, setelah menimbang penyakit dan ucapan teman-temannya ia pulang. Sesampainya di Norwegia penyakitnya itu memang sembuh, namun itu bukan petualangan pertama dan terakhir, karena di kemudian hari ia memutuskan kembali lagi ke Amerika.
Sayangnya ia tak cukup beruntung bisa mengais rejeki di negeri itu. Meski banyak orang menghormatinya karena tulisan-tulisan dan ceramahnya cukup mengesankan, ia menyerah. Atas bantuan keuangan teman-temannya, ia meninggalkan Amerika untuk kedua kali, sebuah kepergian yang tak akan lagi membuatnya penasaran untuk kembali.
***
Novelnya yang menggegerkan kalangan sastra Norwegia berkisah tentang seorang yang mempunyai cita-cita tinggi sebagai seorang penulis dengan duka lara tak terperikan. “Aku seorang sastrawan. Suatu kali seluruh Norwegia akan mengenangku,” ucap sang tokoh dengan kepercayaan tinggi di tengah-tengah bahaya kelaparan yang membuatnya hanya berjalan-jalan mengelilingi kota Kristiania yang aneh dan selalu meninggalkan bekas bagi orang yang pernah tinggal di sana. Dalam kelaparan teramat sangat ia sampai memamah serpihan-serpihan kayu, atau menggadaikan selimut pinjaman seorang mahasiswa filsafat, bahkan meminta tulang pada penjual daging dengan alasan akan diberikan pada anjingnya. Ketika melihat kue-kue nikmat yang dijual seorang nenek yang pernah diberinya uang, dalam terkaman kelaparan yang menyiksa tubuh dan pikiran, sang penulis muda ini merampas kue dan melahapnya dengan rakus, tanpa membayar satu sen pun. Ia berlalu saja dari tempat nenek tua itu dengan mulut penuh kue hingga bertemu seorang gadis kecil yang dalam pandangan ganjilnya patut dikasihani. Sisa satu buah kue di tangannya itu kemudian diberikan pada gadis kecil tersebut.
Orang pertama yang menerima naskahnya menganggap penulis muda ini sebanding dengan Dostoyevski. Dan memang, begitu naskah novel itu diterbitkan dalam bentuk buku, ia banyak dibandingkan dengan Dostoytevsky, terutama dengan imaji-imaji gila dan tindakan tokohnya yang tidak rasional. Kecenderungan sang tokoh yang berpikir di luar kecenderungan umum bahkan oleh sebagian pengamat dianggap lebih halus dari Dostoyevsky. Kalangan sastra Norwegia geger oleh terbitnya novel tersebut. Setelah Lapar, berturut-turut lahirlah karyanya seperti Pan, Victoria, dan Growth of Soil yang oleh sebagian besar pengamat sastra merupakan masterpiece-nya selain Lapar. Hamsun segera mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan besar setelah keberhasilan-keberhasilan kecil menerbitkan beberapa cerita pendeknya. Yang membuat kagum pengamat sastra adalah karena ia menulis dalam bahasa Norwegia, mengingat pada saat itu Norwegia berada di bawah kekuasaan Denmark dan bahasa Denmark dianggap berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan bahasa Norwegia. Nama kota Kristiania dalam Lapar sendiri berasal dari nama Raja Denmark Christian IV.
Barangkali kecenderungan nasionalisnya yang kuat itulah yang membuat ia banyak menyerang penulis-penulis senegerinya yang tidak berhaluan nasionalis. Dalam suatu ceramahnya, ia menyerang Henrik Ibsen secara habis-habisan sementara Ibsen sendiri menghadiri ceramah itu. Peristiwa itulah yang membuat Ibsen menulis drama berisi ketakutan terhadap orang-orang muda seperti Hamsun yang menyerangnya. Dalam suatu kasus tentang seorang ibu yang membunuh anaknya karena ketakutan menghadapi penderitaan, Hamsun bersilang pendapat dengan Sigried Undset. Ia tak menyetujui pendapat Undset yang menyetujui tindakan ibu itu untuk membunuh anaknya. Ia juga menyerang para penulis Norwegia yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri seperti Ibsen sebelum pulang ke negerinya sendiri dan dielu-elukan sebagai pahlawan.
Kontribusi sastranya yang juga diingat kalangan sastra dunia adalah sebuah novel romantik berjudul Victoria. Karya Hamsun ini berkisah tentang seorang lelaki dari keluarga miskin bernama Johannes yang jatuh cinta dengan anak sang pemilik kastil, Victoria. Ditulis dengan sangat puitis, novel ini menggambarkan perasaan cinta sepasang manusia yang berasal dari dua latar kelas sosial berbeda, kesulitan-kesulitan yang harus mereka hadapi agar cinta-kasih mereka bisa bersatu, dan pahit-getir perjuangan Johannes dalam usahanya untuk mengubah status sosialnya demi memperoleh posisi yang setara dengan Victoria dan keluarganya. Secara tersirat Hamsun menggambarkan senjakala kaum feodal dan aristokrasi akibat perubahan struktural besar di Eropa yang menyentuh berbagai bidang kehidupan. Di akhir cerita, Johannes bisa mencapai impiannya menjadi penyair dan pengarang besar, sementara kekasih pujaannya mengalami nasib mengenaskan oleh derita cinta dan beban penyakitnya: meninggal!
Mau tidak mau, siapapun yang membaca Victoria akan tergoda untuk menafsirkannya sebagai paparan metaforis dari Hamsun tentang berakhirnya era romantik atau Victorian dalam sastra Eropa masa itu dan lahirnya genre sastra realis. Victoria, yang menjadi inspirasi terbesar atau sumber mata air imajinasi bagi Johannes adalah simbol dari penyerahan diri para penulis yang besar di jaman Ratu Victoria di Inggris, sekumpulan penulis yang meyakini kuasa gairah dan inspirasi dalam penciptaan karya-karya mereka. Era yang dihidupi oleh filsafat idealisme Hegel ini menganggap imajinasi adalah segalanya dan memiliki kekuatan hampir adidaya untuk menentukan keberlangsungan kerja-kerja kepenyairan atau penulisan prosa. Kematian sumber inspirasi—yang terwujud dalam novel Hamsun berupa kematian Victoria—membuat sang penulis tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pelengkap dari simbolisasi berakhirnya era Victorian ini adalah terbakarnya kastil ayah Victoria dan bunuh dirinya tunangan Victoria mengetahui calon istrinya itu lebih mencintai Johannes yang berasal dari kelas sosial berbeda. Mengabunya kastil ayah Victoria itu disaksikan oleh ayah Johannes, pembantu yang telah mengabdi pada sang pemilik kastil selama puluhan tahun.
Selesai sudah sebuah era kebangsawanan dan feodalisme yang pernah berjaya selama ratusan tahun. Di belahan Barat Eropa, seorang pemikir ekonomi-politik berhasil membabar kritik terhadap teori idealisme Hegel dengan pisau analitik dialektika materialisme-nya yang terkenal. Puluhan tahun kemudian, pandangan-pandangan Marx ini mempengaruhi dunia sastra dan membuka tabir fajar realisme di belahan Eropa dan Amerika. Dalam novel ini, kematian Victoria diterima Johannes sebagai terbukanya cahaya terang yang dilematis dalam hidupnya yang baru: “Aku telah larut dalam suatu kemabukan dan kembali berada jauh dari bumi tempatku berpijak. Terima kasih Tuhan, aku tidak mendapati semua ini tak begitu menyenangkan sekarang, bahkan aku bisa mendengarkan beberapa musik, dan di atas segalanya, semua ini sesungguhnya tidaklah gelap. Dengan penuh kesungguhan aku mensyukurinya. Namun kini tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk menulis…”
Era kemabukan pada inspirasi telah berakhir dalam diri Johannes. Ia bersiap menyongsong fajar baru kehidupannya sebagai seorang penulis tanpa inspirasi utama yang lekat pada diri Victoria. Ia merasa tak tahu bagaimana lagi menggerakkan jemarinya untuk menulis tanpa inspirasi. Secara metaforis Hamsun menengarai—ataukah meramalkan—arah sastra dunia setelah berakhirnya era Victorian, sebuah era otopoesis yang telah melahirkan penulis-penulis besar semacam Dostoyevski, Dickens, dan Goethe. Masa-masa Knut Hamsun sendiri menjadi titik batas peralihan antara karya-karya romantik menuju karya-karya yang lebih bercorak realis seperti yang ditulis oleh Maxim Gorky, Joseph Conrad, Ilya Ehrenberg, Steinbeck, dan para penulis realis lainnya. Kita bisa berandai-andai, kemampuan Johannes dalam menulis akan kembali ketika ia melakukan analisis yang tajam atas kondisi ekonomi, sosia, dan politik masyarakatnya; memandang ide atau gagasan menulis sebagai sebuah kesatuan organik dengan masyarakat di mana ia hidup.
***
Pada tahun 1920, atas kerja kerasnya yang tak kenal lelah dalam melahirkan karya-karya legendaris, akhirnya Hamsun mendapatkan penghargaan paling prestisius dalam dunia sastra, Penghargaan Nobel. Oleh para Juri Nobel, ia dianggap membawa nafas baru dalam sastra modern, dengan pandangan naturalismenya yang kuat dan gejolak bawah sadar serta pribadi kuat tokoh-tokohnya. Sayang, aktivitasnya dalam masa-masa Perang Dunia II telah menjungkirbalikkan segala kemasyhuran yang pernah didapatkannya. Akhir hidupnya dihabiskan dalam tahanan rumah, di bawah bayang-bayang kehampaan.
Menurut salah satu biografnya, ia sebenarnya tak begitu tertarik dengan ide-ide Nazi. Salah satu alasan ia berpihak pada Nazi adalah karena pertentangannya dengan Ibsen dan Undset. Kedua nobelis itu menyerahkan medalinya pada Swedia (atau Inggris?). Ia telah bertikai panjang dengan kedua penulis itu sehingga tak mau mengikuti langkah mereka. Sementara di sisi lain, Goebbels adalah pengagum berat karya-karya Hamsun dan rela menemuinya hanya untuk menghaturkan puja-puji. Dari Tore Hamsun—anaknya—dan dokumen-dokumen yang diungkap sesudahnya kematiannya, ia terbukti banyak membela orang-orang Norwegia dari kekejaman Nazi. Ia juga banyak menyelamatkan Yahudi Norwegia dari cengkeraman Nazi. Dalam suatu pertemuan dengan Hitler, ia bahkan meminta padanya untuk memecat penguasa perang Nazi yang ada di Norwegia karena perilakunya yang kejam.
Dalam dialog yang berjalan kaku dan dingin itu, ia sampai menitikkan air mata, memohon kemurahan Hitler. Tapi predikat pengkhianat itu masih melekat pada diri Knut Hamsun, bahkan sampai sekarang. Jeffrey Franks, kritikus sastra Amerika yang disebut pada awal tulisan ini, sampai-sampai harus mengenali dan berusaha menghindari toko-toko buku loak di kota Oslo yang mempunyai pandangan negatif tentang Hamsun agar ia tak mendapatkan malu.
Knut Hamsun meninggal pada tanggal 19 Februari 1952, kurang-lebih 54 tahun yang lalu. Sekarang namanya secara bertahap mulai direhabilitasi sesuai dengan jasa-jasanya. Penerbit Penguin dalam waktu dekat akan memperkenalkan edisi lengkap Hamsun untuk memuaskan publik berbahasa Inggris. Dan kita, telah ikut menikmatinya, terutama lewat jasa Marianne Kattopo yang menerjemahkan novel-novel Hamsun ke dalam bahasa Indonesia sebagai usaha penghormatan atas jasa-jasanya pada kita; sebagai warisan dunia.
______________
Dwicipta
Penerjemah novel Victoria.
*Tulisan ini merupakan pengantar Novel Victoria karya Knut Hamsun yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Indie Book Corner.