Jalan yang kutuju amat panas,
Banyak duri pun anginnya keras
Tali-tali mesti kami tatas
Palang-palang juga kami papas
Supaya jalannya SAMA RATA
Yang berjalan pun SAMA me RASA Enak dan senang bersama-sama
Yaitu : ‘Sama Rasa, Sama Rata’
(Marco Kartodikromo, Sinar Djawa, 10 April 1918)
UNGKAPAN politik kiri mengemuka di media massa Indonesia pertama-tema bukan sebagai artikel yang utuh-komprehensif, melainkan dalam seruan-seruan dan puisi. Pada Rabu 10 April 1918, ketika Revolusi Bolshevik belum lagi berumur setahun, seorang jurnalis Jawa bernama Eropa, Marco Kartodikromo, menerbitkan puisi berjudul Sama Rasa Sama Rata. Politik kiri tampil secara vulgar dalam baris-baris terakhir puisinya itu. Sinar Djawa, koran yang menerbitkan puisi itu, merupakan terbitan Sarekat Islam yang baru saja ubah haluan dan naik pamornya. Puisi Marco sendiri menggemasebagai ungkapan politikkiri bukan lantaran rima atau kedalaman makna kalimat-kalimatnya, melainkan karena sesuai dengan kondisi objektif rakyat Hindia Belanda saat itu. Pada 1918 Perang Dunia I telah mencapai klimaks, harga-harga membumbung tinggi tapi upah terus digencet.[i] Sementara keberhasilan Revolusi Bolshevik memberi harapan bagi aktivis-aktivis pergerakan Hindia Belanda seperti Marco yang semakin resah. Oleh karena kemunculannya yang bersesuaian dengan kaidah dialektika-historis Marxis inilah, bahwa bukan ide yang mempengaruhi kondisi sosial melainkan sebaliknya, puisi ini mengguntur. Beberapa tahun setelah kematian Marco, ungkapan ‘sama rata sama rasa’ justru melekat pada Partai Komunis Indonesia yang mewakili kutub kiri dalam politik Indonesia.
Tapi tulisan ini bukan analisis puisi Marco. Tulisan ini hendak membaca kehadiran ikhtiar politik kiri dalam media massa Indonesia. ‘Politikkiri’ sendiri merupakan istilah yang sangat longgar dalam penggunaannya. Untuk itu, sebelum terlalu jauh, posisi politikkiri akan dijelaskan maksudnya terlebih dahulu.
Sejarah pembedaan kiri dan kanan dalam politik dimulai sejak terjadinya perdebatan sengit antara kaum radikal Montagnarddan Jacobin yang mendukung Republik dengan para pendukung Monarki. Dalam perdebatan yang berlangsung di Majelis Nasional pada 1789-1794 ini, kaum radikal duduk di sisi kiri kursi presiden, sedangkan para pendukung monarki duduk di sisi kanannya.[ii] Warisan konflik dalam Majelis Nasional Perancis lebih dari dua abad silam ini masih dapat dirasakan bukan hanya di Perancis tapi juga di belahan dunia lainnya.
Tradisi Politik Kiri dan Kanan di Perancis[iii]
Area Politik | Kiri | Kanan |
Rezim (Awal Revolusi) | Pelaksanaan kekuatan diserahkan pada Majelis Nasional yang terpilih. | Mempertahankan monarki absolut. |
Rezim (Abad Sembilan Belas) | Mendukung Republikanisme. | Mendukung Monarkisme. |
Rezim (Awal Abad Dua Puluh) | Mendukung Republikanisme Parlementarisme. | Mendukung Republikanisme Moderat. |
Posisi Gereja (Abad Sembilan Belas) | Pembatasan wewenang gereja pada urusan spiritual dan pendidikan. Pemisahan kelembagaan antara gereja dan negara. | Mempertahankan wewenang gereja dalam pendidikan. Mempertahankan paham katolik sebagai agama resmi negara. |
Posisi Gereja (Abad Dua Puluh) | Menjaga pemisahan tegas antara gereja dan negara dengan menolak subsidi negara untuk sekolah Katolik. | Memperkuat peran gereja dalam pendidikan melalui pendukungan subsidi negara untuk sekolah Katolik. |
Masyarakat Ekonomi (Abad Sembilan Belas) | Pajak pemasukan untuk membiayai reformasi sosial. Perumusan jam kerja yang lebih pendek dan perundang-undangan pabrik. | kapitalisme Laissez-faire dengan proteksi terhadap produk agrikultur dan industri dalam negeri. Menolak pajak pemasukan dan jaminan sosial. |
Masyarakat Ekonomi (Abad Dua Puluh) | Mengganti sistem kapitalis dengan sistem sosialis melalui reformasi gradual atau revolusi yang berkecenderungan mengandung kekerasan. | Memelihara kapitalisme yang cenderung berwatak reformasi sosial dan menjaga proteksi. |
Tabel 1.1
Jika dilihat pada Tabel 1, tampak bahwa tuntutan gradual politikkiri yang progresif telah mengubah wajah bangsa Perancis dari monarki yang kolot menjadi republik yang sekuler. Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa perbedaan politik kiri dan politik kanan, seperti disebutkan oleh Noberto Bobbio, hanya mengedari isu-isu yang dilancarkan politik kiri.[iv] Ketika politikkiri mendesakkan republikanisme, kaum kanan mempertahankan monarkisme, ketika politikkiri beragenda membatasi wewenang gereja, politik kanan bereaksi dengan mempertahankan wewenang gereja, dan seterusnya. Untuk karakternya ini, pendukung politik kanan seringkali disebut kaum reaksioner oleh pendukung politik kiri.
Mengutip Ravinelli, Bobbio mencatat paling tidak terdapat lima kriteria yang membedakan politikkiri dan politik kanan. Masing-masing kriteria menandakan arena sekaligus cara bertarung masing-masing sayap politik. Kriteria pertama yaitu dalam hubungannya dengan yang-mewaktu. Politik kiri mengambil jalan progresif sedangkan politik kanan mengambil jalan konservatif. Para pendukung politikkiri memandang pemecahan dari persoalan-persoalan hari ini terletak pada laju sejarah yang linear sedang politik kanan terus saja memandang pada yang lampau sebagai era keemasan. Kedua, dalam hubungannya dengan yang-meruang. Politikkiri mengajukan jalan egaliter sedang politik kanan mengajukan jalan non-egaliter. Semua yang dapat terbagi habis bagi pendukung politikkiri harus didistribusikan secara adil, sedangkan bagi politikkanan, distribusi semacam itu dapat menggangu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, agen yang terlibat dalam menentukan jalannya institusi suatu masyarakat. Politikkiri menekankan pentingnya otonomi sedangkan politik kanan menekankan pentingnya heteronomi. Dalam politikkiri, kepengaturan suatu institusi dibetuk sedemikian rupa agar institusi tersebut mandiri dan berdaulat. Sedang dalam politik kanan, kepengaturan suatu institusi dibentuk agar dapat saling berkaitan dengan institusi lainnya. Keempat, dalam hubungannya dengan posisi kelas. Politik kiri sarat dengan kepentingan kelas bawah sedangkan politikkanan sarat dengan kepentingan kelas atas. Kelima, dalam hubungannya dengan epistimologi. Politik kiri mengusung rasionalitas sedangkan politik kanan masih memegang teguh ajaran-ajaran lama yang tak rasional.[v]
Kriteria Pembeda Politik Kiri dan Kanan
Kriteria | Politik kiri | Politik kanan |
Dalam hubungannya dengan yang-mewaktu | Progresif | Konservatif |
Dalam hubungannya dengan yang-meruang | Egaliter | Tidak Egaliter |
Dalam hubungannya dengan keterlibatan agen | Otonom | Heteronom |
Dalam hubungan dengan posisi | Kelas Bawah | Kelas Atas |
Dalam hubungannya dengan epistimologi | Rasional | Tak Rasional |
Tabel 1.2
Kelima kriteria pembeda ini seringkali tak berlaku saklek. Dalam beberapa kasus, pendukung politikkiri dan politikkanan berhimpitan dalam satu kriteria. Namun ada satu elemen paling tradisional yang sangat melekat pada politik kiri yang menjadikan salah satu criteria tetap relevan dalam berbagai kasus. Elemen tradisonal tersebut adalah kesetaraan (egalitarianisme). Kriteria kesetaraanmerupakan satu-satunya yang bertahan dalam ujian waktu dan tetap relevan untuk membedakan politik kiri dari politik kanan.
Dalam konteks Indonesia, ikhtiar politik kiri yang tampil melalu media massa juga tak terlepas dari karakter-karakter yang telah disebutkan Ravinelli. Selain itu, ada aspek-aspek lain yang turut mewarnai dinamika ikhtiar politik kiri melalui media massa di Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini akan dibagi dalam beberapa babak yang menandai pasang-surutnya kehadiran politik kiri media massa Indonesia.
Koran-koran Kiri di Indonesia di masa Revolusi dan Pasca-Kemerdekaan[vi]
Nama Koran | Tahun Terbit | Pemimpin Redaksi | Kota Terbit | |
1 | Doenia Bergerak | 1914 | Marco | Surakarta |
2 | Medan Moeslimin | 1915 | HM Micbach | Surakarta |
3 | Sinar Djawa | 1914 (politik redaksi ubah haluan ke kiri sejak 1917) | Semaoen | Semarang |
4 | Sinar Hindia | – | – | – |
5 | Ra’jat Bergerak | 1923 | HM Misbach | Jawa |
6 | Berani | 1925 | Boullie | Borneo Barat |
7 | Njala | 1925 | Semaoen | Semarang |
8 | Pemberita | 1926 | Sarpinoedin | Semarang |
9 | Api | – | – | – |
10 | Mawa | – | – | – |
11 | Panas | – | – | – |
12 | Suara Ibu Kota | – | – | – |
13 | Penghela Rakjat | – | – | – |
14 | Revolusioner | – | – | – |
15 | Bintang Merah | 1945 | P Pardede, MH Lukman, DN Aidit, Njoto | Jakarta |
16 | Sunday Courier | 1949 | Oey Kim Send an Thio Kin Iok | Jakarta |
17 | Mingguan Sadar | 1955 | Siauw Giok Tjhan | Jakarta |
18 | Terompet Masjarakat | 1953 | Pooei Poo Aan | Jakarta |
19 | Api Kartini | 1959 | SK Trimurti (1961) | Jakarta |
20 | Bintang Timur | 1926 (politik redaksi ubah haluan ke kiri sejak 1956) | Amurnanto | Jakarta |
Harian Rakjat | 1951 | Mula Naibaho, Njoto, Supeno | Jakarta |
Tabel 1.3
Sepak Terjang Koran Kiri pada Era Pergerakan Kemerdekaan
Politik kiri hadir melalui media massa Indonesia pada era pergerakan kemerdekaan dengan agenda merusak formasi sosial kolonial dan membentuk formasi sosial yang lebih egaliter. Upaya ini dilakukan dengan meneguhkan identitas kelas. Awalnya, upaya untuk merusak formasi sosial kolonial dirintis seorang diri oleh Tirto Adhi Soerjo. Di ujung pena Tirto, istilah pribumi dimuati bobot ekonomi-politik dan bukan hanya bermakna rasial saja. Bahwa menjadi pribumi berarti menjadi ‘sekalian bangsa jang terprentah’. Dengan rumusan ‘bangsa jang terprentah’ inilah pembayangan identitas kolektif di seantero Hindia Belanda dimungkinkan.[vii] Murid Tirto yang bernama Marco kemudian mengikuti jalan gurunya.
Pada 1911, Marco memulai debutnya sebagai jurnalis dengan bergabung magang di Medan Prijaji yang dinahkodai Tirto. Setelah Medan Prijaji bangkrut, ia bergabung dengan Sarotomo sebagai editor merangkap administrator pada akhir 1912 atas undangan Marthodarsono. Selain dari Tirto, Marco juga banyak belajar dari teman dekatnya Soewardi. Mengikuti conoth keduanya, Marco akhirnya menerbitkan surat kabar sendiri untuk menyimpan apa yang ingin ia katakan. Untuk mencapai tujuan ini, ia mendirikan Inlandsche Jurnalistenbond (IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914. Marco kemudian menerbitkan Doenia Bergerak sebagai surat kabar IJB. Dengan demikian, ia memposisikan Doenia Bergerak sebagai surat kabar kaum pergerakan. Marco menduduki jabatan sebagai ketua dan Sosrokoernio sebagai sekretaris. M. Haji Bakri, saudagar batik kaya dari Kauman, ditunjuk sebagai bendahara. Hal ini menujukkan pendanaan mungkin didapat dari saudagar-saudagar batik Kauman.[viii] IJB dan Doenia Bergerak juga diramaikan punggawa-punggawa Indische Party (IP) seperti Tjipto dan M. Danarkoesoema. Doenia Bergerak sendiri dicetak oleh perusahaan cetak milik Insulinde, organisasi penerus IP, di Bandung. Hal ini membuat orang-orang Belanda menganggap Doenia Bergerak merupakan ujung tombak IP.[ix]
Di Tangan Marco, Doenia Bergerak kemudian menjadi sarana untuk melancarkan ‘perang suara’. Dalam terbitan pertama, Marco langsung tancap gas dan menyerang D.A. Rinkes, penasihat urusan bumiputera yang tergabung dalam Welvaartcomissie. Marco mengkritik Rinkes yang melalui Welvaartcomissie menjadi simbol bagi politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rinkes pula yang membantu Tjokroaminoto mendominasi Sarekat Islam dan menjinakannya demi kepentingan pemerintah kolonial. Dalam kritiknya, Welvaartcomissie yang terhormat itu disingkatnya menjadi W.C. Gelar Doktor Rinkes juga disamakan doekoen yang tentunya bukan status terhormat di era modern.[x]
Manakah jang lebih ditjintai: badan sendiri atau badanja lain orang!! Saja sangat pertjaja bahwa leden W.C. itu djuga tjinta kepada orang2 ketjil, tapi masih terlalu amat tjinta diri sendiri. Marco pun terlalu tjinta dengan diri sendiri, dari itu dia selalu berteriak sadja, sebab kalau teriaknja itu dikabulkan dia djuga turut enak. Kalau saja pikir pandjang, leden W.C. seakan-akan Dokter (doekoen) umpamanja. Tetapi kita orang Bumi-putera, orang2 jang sakit sudah pajah. Siapakah jang lebih keras minta sembuh dari sakit? Dokter (doekoen) kah? Atau orang jang sakit kah? Sepandjang pendapatan saja, tentu sisakit jang amat keras minta hindar dari dari bahaja itu. Adapun Dokter (doekoen) hanja melakukan semestinja sadja, baik sisakit djadi sembuh baik tidak, itulah tergantung Tuhan punja kuasa, asal Dokter (doekoen) ta’ kurang gadjinja tiap-tiap bulan sudah tjukup. Lain rupa kalau jang sakit diri sendiri dan Dokternjapun diri sendiri.[xi]
Selain dengan kurang ajar menyingkat Welvaartcomissie ‘W.C.’ dan menyebut Rinkes sebagai doekoen yang tak kompeten, Marco juga tak ragu memposisikan dirinya sejajar dalam menderita bersama rakyat kecil, bukannya sebagai juru selamat yang berdiri di ketinggian. Hal ini dapat dilihat ketika ia menulis ‘kalau teriakannja (Marco) itu dikabulkan dia djuga turut enak.’ Dalam surat Marco tersebut tampak pula karakter khas politik kiri yang percaya pada otonomi ketimbang harus menggantungkan nasib pada bangsa lain, yang ia umpamakan sebagai ‘Dokter (doekoen)’ yang sebatas ‘hanja melakukan melakukan semestinja sadja.’
Sepak terjang Marco melalui Doenia Bergerak juga merambah medan-medan yang tampaknya tak mengandung persoalan. Ia bawa seruan ‘kita semua manusia’[xii] ke berbagai seluk-beluk kehidupan masyarakat kolonial. Persoalan-persoalan di stasiun dan kereta misalnya.
Sekarang, seorang ayah Jawa, katakanlah begitu, tak dapat pergi masuk ke peron stasiun, dan terpaksa menunggu di tempat terbuka, di jarak yang aman dari stasiun itu … Namun!!! Kalau seseorang kebetulan tergolong keturunan Belanda atau Cina, ya, silakan masuk dan duduk du bangku, di dalam stasiun. Hmmm!! … Si bapak Jawa dijadikan seperempat manusia.[xiii]
Isu perempuan juga dengan jeli diangkat oleh Marco.
Pada tanggal 19 Juli 1914, beberapa wanita naik kereta dari api ke Kalisoso, di mana mereka akan mengunjungi sejumlah tempat suci bersama-sama. Kondektru Belanda di kereta itu (kereta itu meninggalkan Solo pukul 5.40), dengan cara tidak sopan, menghibur dirinya sendiri dengan para wanita di kereta itu. Begitu kisahnya … kondektur itu mencubit pipi wanita-wanita itu misalnya, dan juga sepanjang perjalanan, ia mengucapkan kata-kata yang sebaiknya tidak didengar di depan umum. Sewaktu dia melakukan ini, para wanita itu menjadi pucat, malu, dan takut. Oleh karena itu, kalau laporan ini benar, mengapa para wanita ini sendiri, suami mereka, atau orang lain dalam keluarga mereka tidak mengajukan keluhan kepada pimpinan kereta api? Apa yang harus ditakuti? Jangan takut! Kami siap membantu sejauh dibutuhkan! Tujuan kami adil![xiv]
Dalam dua penggalan berita Doenia Bergerak ini Marco menuntut kondisi egaliter bahkan hingga ke persoalan yang tampaknya remeh-temeh. Dalam tuntutan akan kesetaraan tersebut, yang diserang bukan hanya diskriminasi rasial tetapi juga diskriminasi gender. Pada penggalan berita yang terakhir, Doenia Bergerak bahkan mencoba melampaui fungsi tradisional pers dengan menawarkan bantuan pada perempuan-perempuan yang dilecehkan kondektur kereta.
Kelantangan berteriak Marco melalui Doenia Bergerak akhirnya mengusik pemerintah kolonial. Pada awal 1915, Marco dituntut karena persdelicten setelah menerbitkan empat surat pembaca dalam Doenia Bergerak. Marco yang menolak memberikan identitas para penulisnya terhadap penguasa dan memilih bertanggungjawab penuh akhirnya dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara. Sepeninggal Marco pada pertengahan 1915, Doenia Bergerak pun berhenti beredar.
Pada tahun yang sama ketika Doenia Bergerak terhenti, Medan Moeslimin yang dipimpin Haji Misbah mulai bergaung. Para saudagar batik dan guru ngaji di tengah kota Surakarta mendukung penerbitan Medan Moeslimin untuk mengimbangi penerbitan Mardi Rahardjo oleh para misionaris Kristen.[xv] Tetapi Medan Moeslimin justru dijadikan Haji Misbach untuk memunculkan Islam yang melawan. Misbach yang akrab dengan ide-ide marxis dan sering dijuluki ‘Haji Merah’ pun menjadikan Medan Moeslimin sebagai terbitan dengan bobot politik kiri. Edisi pertama Medan Moeslimin misalnya, langsung memberi ruang pada Marco untuk menulis pengantar. Pada bagian akhir pengantarnya, Marco menuliskan seruan yang khas komunis: Hidoep Medan Moeslimin!! Hidoeplah kaoem Moeslimin Sedoenia ini!![xvi]
Usaha Misbach untuk mengawinkan Islam dan komunisme semakin jelas dalam tulisannya yang berjudul Islamisme dan Kommunisme,
[K]awan kita yang mengakui dirinya sebagai seorang komunis, akan tetapi masih suka mengeluarkan pikiran yang bermaksud akan melenyapkan agama Islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukanya Komunis yang sejati, atau mereka belum mengerti duduknya komunis; pun sebaliknya, orang yang suka dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya Komunisme, saya berani mengatakan bahwa ia bukan Islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam.[xvii]
Selain Medan Moeslimin, Micbach juga menerbitkan Islam Bergerak yang dengan gencarnya menyerang kapitalisme dari sudut pandang Islam.
[H]idup bersama artinya tidak ada perbedaan, hanya Tuhanlah yang lebih tinggi; karena jika hak manusia tentulah ada juga manusia lebih tinggi, begitu terus menerus sehingga kekalutan dunia terjadi dan semua itu saya ambil pokoknya saja karena dari loba tamaknya kapitalisme dan imperialisme sebab ia-lah yang menggunakan tipu muslihatnya dengan jalan memfitnah, menindas dan lain-lain perkatan pula.[xviii]
Dengan dua surat kabar yang ia kendalikan itu, Misbach siap tempur dan memobilisasi petani-petani di Surakarta dengan penghayatan mengumpulkan umat yang tercerai dan tertindas. Misbach kemudian ditangkap Belanda pada 1920, Medan Moeslimin dan Islam Bergerak pun meredup. Tetapi bukannya kapok, Misbach malah kembali menerbitkan koran baru, Ra’jat Bergerak, hasil kawin Doenia Baroe dan Islam Bergerak.
Layaknya estafet, saat Medan Moeslimin dan Islam Bergerak mulai meredup, radikalisme politik kiriSinar Djawa mulai menyala. Cikal bakal radikalisme ini berawal dari keinginan Sarekat Islam (SI), yang pada saat itu lembek terhadap pemerintah kolonial, mengelola harian sendiri. SI membeli koran ini dari perusahaan Tionghoa Hoang Thaif dan Co. Untuk menjamin kelangsungan hidup ekonomi harian ini, Raden Mohammad Joesoef, pemimpin redaksi dan wakil ketua SI cabang Semarang menjual saham NV Handel Maatschappijen Drukkerij Sinar Djawa pada anggota SI seharga 5 f per lembar pada Januari 1914 untuk membentuk perusahaan dagang yang akan menjalankan koran tersebut.[xix]
Politik redaksi Sinar Djawa belum masuk ke jalur kiri sampai Semaoen mengambil alih kemudinya dari Joesoef pada 1917. Semaoen senidiri adalah propagandis Vereeniging van Spoor-en Tremweg Personeel (VSTP) atau serikat buruh kereta api dan trem. Selain propagandis VSTP, Semaoen yang berasal dari keluarga buruh juga menjadi pengurus Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) dan redaktur di surat kabar berbahasa Melayu VTSP, Si Tetap. Melalui ISDV Semaoen menjadi dekat dengan Sneevliet yang menurutnya ‘manusiawi dan tulus’.[xx] Semaoen yang merangkap juga sebagai Komisaris SI Semarang akhirnya terpilih sebagai ketua dan menjadikan Sinar Djawa sebagai ujung tombaknya.
Pada masa Semaoen ini Sinar Djawa terbit 4 halaman setiap hari (kecuali hari ‘Ahad, Djoemaat, dan hari besar’). Distribusi Sinar Djawa pun tak hanya mencakup wilayah Nusantara, tapi merambah hingga benua Amerika dan Eropa. Biaya berlangganan setahun untuk wilayah Hindia Belanda sebesar f 16, setiap tiga bulan f 4. Sedangkan tarif berlanggan untuk luar Hindia Belanda setahun sebesar f 20, dan setiap 3 bulan f 5. Atas distribusi yang luas maka tak heran bila harga iklan Sinar Djawa tergolong mahal, yaitu 75 cent untuk setiap baris, dan satu kolom 30 cent. Satu kali memasang iklan, setidaknya akan dimuat dua kali.[xxi]
Cara-cara radikal Semaoen segera saja tak disenangi oleh Joesoef yang lembek. Sinar Djawa kemduian memuat perdebatan antara keduanya mengenai keterlibatan untuk mendukung Marco yang dituntut untuk kedua kalinya pada 1917. Joesoef menentang keterlibatan SI Semarang dalam komite kebebasan pers yang agendanya membantu Marco menghadapi persdelicten.
Sebetoelnja sadja kalau Boemipoetra mempoenjai keberatan apa-apa tida perloe anak Boemipoetra bertereak dengan soeara keras, aken tetapi tjoekoeplah kirim wakil di moeka Gouverneur Generaal oempamanja. Disitoelah kita bisa menoendjoekkan kaberaten kita dengen tiada oesah diketahoei beriboe-riboe orang, sedeng kalau kita bertereak beriboe-riboe orang aken mengetahui keberatan kita, hal jang mana bisa menimboelkan benih kebentjian sebagi diatas.[xxii]
Semaoen kemudian menjawab,
Di mana ada pergerakan, di sitoelah ketentreman tentoe aken hilang, sebab adanja pergerakan itoe karena hilangnja ketentreman. ‘bergerak’ dan ‘tentrem’ adalah doea perkara jang berlawanan. … Tentang menanem benih kebentjian itoelah aken tida bisa kedjadian kalau memang tidak ada dasarnja jang bisa ditanemi atau bisa menimbulkna taneman itoe. Apakah kalau boemipoetra dan Belandadi lain-lain dan laloe kata bahwa pemerintah tida adil lantas dipandeng nanem benih kebentjian? Siapakah jang bikin perbedaan dan menimboelkan kebentjian? Toch boekan jang tjoema memberi tahoe hal itoe dan toelis sadja?[xxiii]
Karakter politik kiri nampak pada jawaban Semaoen yang menganggap pergerakan rakyat adalah langkah untuk merebut kembali ‘ketentreman’. Bukannya dengan mengirim wakil elit seperti diusulkan Joesoef. Ketika Joesoef menyarankan agar ‘kaberaten kita tida oesah diketahoei beriboe-riboe orang’, Semaoen justru menganggap penerbitan isu tersebut sebagai langkah yang taktis. Semaoen tidak melihat penerbitan berbagai persoalan ketidakadilan sebagai upaya menyebarkan benih kebencian seperti halnya Joesoef. Ia melihat persoalan sudah ada pada struktur dan sistem itu sendiri dan merupakan tugasnya sebagai jurnalis untuk menyingkapnya ke hadapan ‘beriboe-riboe orang’. Dengan begitu Semaoen sebenarnya sedang memperagakan politik kelas. Pendapat Posisi Semaoen kemudian didukung mayoritas anggota bestuur anggota biasa SI.
Keberadaan Semaoen yang radikal dalam mengarahkan mata pena Sinar Djawa mengundang cercaan dari berbagai pihak. Meskipun begitu, Rinkes yang jadi musuh bebuyutan Tinto dan Marco justru memuji dan mencatat adanya perbaikan mutu dalam Sinar Djawa setelah Semaoen menggantikan Joesoef. Tetapi Rinkes juga menyesalkan adanya pengaruh ‘buruk’ Sneevliet terhadap Semaoen. Tjokroaminoto, punggawa SI dan guru Semaoen, juga melihat Sneevliet sebagai pengganggu. Tetapi Tjokro melihat radikalisme Semaoen bersumber dari gejolak darah mudanya dan bukan pengaruh ideologis atau Sneevliet.[xxiv]
Tjokro akhirnya naik pitam juga oleh Semaoen yang semakin tak bisa ia kendalikan. Semaoen dan Sneevliet terpaksa hengkang dari Sinar Djawa pada 1922 dan membentuk Sinar Hindia. SI Semarang yang merah kemudian mengambil alih penerbitan Sinar Hindia pada 1923. Setahun kemudian, SI Semarang berganti nama menjadi Sarekat Rakjat (SR) Semarang, mengikuti perubahan nama SI Merah menjadi SR. Sinar Hindia juga otomatis menjadi bagian organisasi baru tersebut. SR inilah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada 1926 melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Kegagalan perlawanan tersebut membuat perselisihan di antara kelompok-kelompok kiri sendiri dan memicu pembungkaman terhadap koran-koran kiri. Pembungkaman tersebut berlanjut hingga masa pendudukan Jepang. Koran-koran kiri baru kembali beredar setelah Jepang terusir.
Sepak Terjang Koran Kiri pada Era Pasca-Kemerdekaan
Hanya berselang dua bulan dari pembacaan proklamasi kemerdekaan, terbitlah Bintang Merah sebagai wahana para intelektual muda PKI memupuk pemikirannya. Akan tetapi Bintang Merah terkubur setelah peristiwa Madiun pada 1948. Setelah itu PKI tak diakui secara resmi dan kader-kadernya harus memulai hampir dari nol lagi. Lima pemuda kader PKI kemudian tampil menyelamatkan partai dengan membereskan konflik internal partai dan menyingkirkan kelompok tua. Mereka yaitu DN Aidit, Njoto, Lukman, Sarkiman, dan Sudisman. Di bawah komando kelimanya, PKI kembali segar bugar dan siap tempur.
PKI kemudian memilih Harian Rakjat sebagai corongnya sejak 1951. Dalam konteks politik saat itu, media massa memang pada berafiliasi langsung dengan partai politik. Pendiri Harian Rakjat adalah Siauw Giok Tjhan, wartawan, anggota Konstituante, dan pendiri Baperki. Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat pada dua tahun pertama, kemudian digantikan Njoto hingga akhir hayatnya. Njoto kemudian mengemudikan Harian Rakjat menjadi koran politik terbesar pada masanya. Di tangan Njoto, yang kemudian diangkat sebagai Ketua Departemen Afitasi dan Propaganda, Harian Rakjat Harian Rakjat diklaim oplahnya mencapai 60 ribu eksemplar. Koran dengan jargon ‘Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat’ ini tak pernah muncul tanpa kata ‘rakjat’ dan dukungan terhadap Manifesto Politik Sukarno.[xxv] Pada ulang tahun keenam Harian Rakjat, Njoto menyebutkan keunggulan utama korannya, yakni ‘para korespondennja jang lahir dari tengah-tengah massa. Setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden. Njoto kemudian mengukuhkan metode jurnalisme Harian Rakjat, yaitu ‘turun ke bawah’, ‘dari massa kembali ke massa’, ‘kritik dan otokritik’, dan meningkatkan mutu ideologi dan jurnalistik sekaligus.[xxvi]
Harian Rakjat tak hanya menyediakan ruang bagi kader PKI, tapi juga yang bukan PKI. Lembar kebudayaan misalnya, dipercayakan pada aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terdiri dari seniman komunis dan bukan komunis. M.S. Ashar yang tokoh Murba misalnya, diberi ruang luas di Harian Rakjat.[xxvii] Namun ruang yang luas bagi golongan lain itu tak meredam kedoyanan dan keberanian Harian Rakjat untuk berkonfrontasi. Perang konfrontasi bahkah kerap kali tampil vulgar dalam karikatur yang muncul saban hari.[xxviii] Kedoyanan Harian Rakjat berkonfrontasi tak ayal memunculkan musuh. Kaum militer yang anti komunis misalnya. Harian Rakjat beberapa kali dibredel lantaran melanggar ketentuan pihak militer. Harian Rakjat pertama kali kena bredel pada 13 September 1957. Kemudian pada 1959, Harian Rakjat dibredel hingga tiga kali: 16 Juli, 2 November, dan 9 Desember. Penutupan kembali terjadi pada 3 Februari 1961. Menghadapi pembredelan demi pembredelan itu para penggerak Harian Rakjat tak tinggal diam. Pada pembredelan 2 November 1959 misalnya, para pentolan PKI turun tangan untuk membela korannya yang ditutup militer. Aidit dan S. Utarjo mengecer Harian Rakjat di Stasiun Pasar Senen sambil meneriakkan ‘Harian Rakjat, pembela rakjat, beritanja hangat, Harian Rakjat, Harian Rakjat,harian kita, beritanja hangat, boleh coba.’[xxix] M.H Lukman melakukan hal yang sama di Stasiun Jatinegara sedangkan Njoto dan Njono di Stasiun Tanjung Priok.
Kekompakan para petinggi PKI menjadi renggang pada 1964. Pasalnya, Njoto dianggap terlalu dekat dengan Sukarno yang baru saja dinabalkan oleh MPRS menjadi presiden seumur hidup. Ia diskors dari posisi Ketua Departemen Agitasi dan propaganda dan digantikan Oloan Hutapea yang merupakan loyalis Aidit. Konflik Njojto dan Aidit menjalar hingga Harian Rakjat. Awak Harian Rakjat yang berasal dari Sumatera dimusihi awak yang berlatarbelakang Pemuda Rakyat karena dianggap anak emas Njoto. Awak yang berlatarbelakang Pemuda Rakyat juga tak menyenangi awak yang berlatarbelakang Lekra karena dianggap kurang militan. Karena kelekatan harian Rakjat dengan Njoto, bahkan Aidit pun tak berani mengutak-atik posisi Njoto di Harian Rakjat. Partai akhirnya memilih membuat harian baru, Kebudajaan Baru. Harian ini baru muncul 1-2 bulan sebelum peristiwa G30S, sehingga tak banyak diketahui.[xxx]
Peristiwa G30S yang penuh dengan kesimpang-siuran itu akhirnya memaksa Harian Rakjat menerbitkan edisi terakhirnya pada 2 Oktober 1965. Bukan hanya Harian Rakjat, koran-koran kiri lain yang turut mewarnai wacana politik Indonesia pun diberangus demi lempangnya jalan kekuasaan militer Orde Baru. Badai media massa berpolitik kiri yang sempat pasang dan menerjang apapun di hadapannya itu surut untuk waktu yang amat lama.***
(Bersambung ke Bagian II)
—————————————
[i] Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. 2005. Jakarta: Grafiti.
[ii] Andrew Knapp & Vincent Wright. The Government and Politics of France. 2006. New York: Routledge.
[iii]Ibid. [iv] Noberto Bobbio. Left and Right, The Significance of a Political Distiction. 1996. Cambridge: Polity Press.
[v]Ibid.
[vi] Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Bibit Semai Koran Kiri-Komunis di Indonesia. BASIS Nomor 01-02, Tahun ke-58, Januari-Februari 2009.
[vii] Muhidin M Dahlan. Revolusi yang Lahir dari Cetak. BASIS Nomor 01-02, Tahun ke-58, Januari-Februari 2009.
[viii] Takashi Shiraishi, Op. Cit.
[ix]Ibid.
[x]Ibid.
[xi] Marco. Pro of Contra Dr. Rinkes. Doenia Bergerak No. 1 1914. Dalam Takashi Shiraishi. Op. Cit.
[xii] Takashi Shiraishi. Op. Cit.
[xiii] Marco. LenjapnjaTiket Peron. Doenia Bergerak vol. 1 no. 20 1915. Dalam Rudolf Mrazek. Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. 2006. Jakarta: YOI.
[xiv] Marco. Berbagai Berita. Doenia Bergerak vol. 1 no. 19 1915. Dalam Rudolf Mrazek. Op. Cit.
[xv] Takashi Shiraishi. Op. Cit.
[xvi]Medan Moeslimin, Koleksi Dokumen I:BOEKOE. Dalam Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Op. Cit.
[xvii] Muhammad Misbach. Islamisme dan Kommunisme. Medan Moeslimin 11 1925. Dalam Syarif Arifin. Islam dan Pembebasan. IndoPROGRESS 6 Agustus 2012. https://indoprogress.com/islam-dan-pembebasan/
[xviii] Muhammad Misbach. Perbarisan Islam Bergerak: Sikap Kita. Islam Bergerak 20 November 1922. Dalam Syarif Arifin. Op. Cit.
[xix] Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Sinar Djawa:Antara SI, Semaoen dan Radikalisme Pers. Blog pribadi Rhoma Dwi Aria Yuliantri. http://rhomayuliantri.blogspot.com/2007/03/sinar-djawa-antara-si-semaoen-dan.html
[xx] Takashi Shiraishi. Op. Cit.
[xxi] Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Djawa:Antara SI, Semaoen dan Radikalisme Pers. Op. Cit.
[xxii] Sinar Djawa 16 Maret 1917. Dalam Takashi Shiraishi. Op. Cit. [
xxiii]Ibid.
[xxiv] Takashi Shiraishi. Op. Cit.
[xxv] Merahnya HR, Merahnya Lekra. Tempo 11 Oktober 2009.
[xxvi] Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Bibit Semai Koran Kiri-Komunis di Indonesia. Op. Cit.
[xxvii ]Merahnya HR, Merahnya Lekra. Op. Cit.
[xxviii]Ibid.
[xxix] Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Bibit Semai Koran Kiri-Komunis di Indonesia. Op. Cit.
[xxx] Merahnya HR, Merahnya Lekra. Op. Cit.
Azhar Irfansyah, Pegiat Credit Union Gerakan Lingkar Massa
Nella A. Puspitasari, Peneliti media, tinggal di Jogja
*) Naskah awal tulisan ini dipresentasikan dalam serial diskusi Media Kooperasi yang diselenggarakan oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI) pada 28 September 2013 di Jogja. Dimuat lagi di sini untuk tujuan pendidikan.