TULISAN ini akan saya awali dengan sebuah fantasi.
Bayangkanlah sebuah kondisi masyarakat Indonesia yang terkutuk untuk selalu mengingat. Tak ada hal apa pun dalam sejarah bangsa itu yang dilupakan oleh setiap ingatan pada setiap generasinya. Bahkan siapakah yang sesungguhnya bertanggung jawab dalam perang bubat-pun tak lekang dari ingatan generasi Seven Eleven. Betapa menyenangkan. Mereka-mereka yang cacat sejarah selalu menyalakan alarm bahaya yang ada di batok kepala setiap orang. Pada dunia yang demikian, tak perlu ada satu persen rupiah pun jatuh untuk membangun monumen peringatan, tak perlu satu hari khusus dalam almanak dimerahkan untuk mengenang sebuah peristiwa.
Pada dunia seperti itu pun batok kepala manusia pun membesar sedemikian rupa. Konsekuensi dari semakin banyaknya rekaman ingatan dan rekaman peristiwa adalah terus menuntut tubuh melahirkan atau memperbesar bagian-bagian tertentunya yang bertugas untuk itu. Masyarakat yang demikian berisi manusia dengan kepala yang begitu lebar dengan tubuh yang lebih kecil jauh dari kepala. Laksana Payung.
Barangkali setelah berfantasi, kita melihat sedikit tentang kita.
Namun kita tahu, itu sekadar fantasi. Kita hidup di masyarakat yang penuh pelupaan. Jangankan untuk melupa, untuk mengetahui apa yang perlu diingat pun belum semua mampu, belum semua merata. Untuk mengingat, tentu saja orang harus tahu dulu apa yang akan menjadi isi ingatannya. Dan itu adalah pengetahuan. Di sini kita berhadapan dengan sebuah masalah yang mendahului masalah menolak lupa, yakni distribusi pengetahuan. Distribusi pengetahuan memungkinkan seberapa banyak yang mengingat dan dengan demikian seberapa banyak yang harus menolak untuk lupa. Tentu memang bisa juga kampanye menolak lupa sekaligus membonceng misi menyiarkan pengetahuan. Tetapi agak lucu jika hendak kita illustrasikan: Si A mengatakan pada Si B bahwa Si B harus tidak lupa akan sebuah hal yang pernah terjadi. Si B ternyata belum tahu perihal yang pernah terjadi itu. Dan Si A mengatakan bahwa hal yang hendak kuberitakan padamu inilah yang hendaknya harus kau tolak untuk lupa. Ada baiknya tentu Si B telah tahu peristiwa yang terjadi sebelum Si A memintanya untuk tidak melupakannya.
Beberapa contoh bisa kita sebut. Tragedi 1965 yang menelan begitu banyak korban selama Orde Baru tidak dianggap sebagai sebuah heroisme 1965 alih-alih kejahatan. Ya, tentu saja ada yang sudah ‘tercerahkan’ tetapi tentu hanya pada kalangan tertentu. Pasca reformasi, kenyataan dari tragedi yang sama ini pun belumlah juga mampu menjadi sebuah pengetahuan bersama. Mei 1998 misalnya, selain memang sulit ditasbihkan sebagai sebuah kejahatan kolosal terencana, tetapi juga, dan saya rasa ini adalah kenyataan, memang tidak semua orang di Indonesa saat ini mengetahui dengan benar apa yang terjadi saat itu di beberapa kota besar kita. Problemnya bukan mereka tidak empati atau mereka mempuyai hati nurani yang tidak selembut kain sutra, tetapi lebih karena mereka tidak tahu. Lebih parah, pengetahuan itu tidaklah pernah sampai pada mereka. Alangkah tak elok jika kita menuntut mereka untuk tahu tentang sebuah perihal yang tidak pernah sampai pada mereka. Tak ada wangsit dalam perkara ini. Apalagi, kita berhadapan dan atau hidup dalam sebuah iklim pendidikan dengan kurikulum yang menciptakan burung-burung beo. Ditambah akses informasi yang tidak merata ditimpa pula kesenjangan ekonomi yang begitu jauh.
Sampai di titik ini saya sedikit terkejut dan trenyuh dengan konsekuensinya. Mereka-mereka yang punya cacat sejarah dan yang kehadirannya akan menyalakan alarm bahaya di kepala kita tentu akan memelihara dan kalau perlu semakin memperdalam segala ketimpangan itu. Lebih jauh mereka pun akan memelihara dan bahkan mempertebal sistem pendidikan atau kurikulum yang menciptakan burung-burung beo tadi. Jika kesenjangan akses pengetahuan hilang maka akan semakin banyak orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan itu tentu berbahaya untuk mereka-mereka yang punya cacat sejarah. Tanpa mengetahui seperti apa sejarah sesungguhnya, orang tidak akan pernah berpikir untuk lupa tentang perihal itu. Itu pun jika memang pengetahuan akan kebenaran sejarah itu tersedia secara luas dan ‘resmi’.
Jika kita mendambakan sebuah distribusi pengetahuan akan kenyataan yang sesungguhnya, jika kita menginginkan sebuah cuaca pendidikan yang memungkinkan tumbuh berkembangnya daya krititisme dan menghalau jauh-jauh mental burung beo, memilih calon pemimpin tanpa cacat sejarah yang berbahaya adalah salah satu jalannya. Jadi, pembeberan akan cacat sejarah seseorang, sebut saja Prabowo Subijanto (bukan nama sebenarnya-red), tentu saja bukan dan sama sekali bukan sirik-sirikan a la dedek-dedek. Justru itu merupakan upaya untuk menjaga dan mengembangkan sebuah iklim keterbukaan, khususnya dalam bidang distribusi pengetahuan akan kebenaran sesungguhnya, yang juga susah payah diusahakan sebelumnya.***
Lasiana, 24 Mei 2014