KALAU saya sedang membicarakan soal pemilu, saya tak bakal langsung bicara hal-hal yang signifikan seperti perkiraan persentase golput, pentingnya pemilih muda atau urgensi menyusupkan agenda yang pro-rakyat di tengah partai-partai yang mendadak populis. Alasannya, saya masih harus banyak belajar untuk menalaah isu semasif itu. Pun, sudah terlalu banyak cendikia yang menulis tentang isu-isu tersebut. Biar saya – hipster perjuangan kelahiran Cirebon – bicara tentang hal yang remeh temeh dalam pemilu. Misalnya, tentang dangdut dalam kampanye.
Lagi-lagi, ketika mereka yang lebih mafhum politik mempermasalahkan adagium pemilu sebagai pesta demokrasi 5 tahun sekali, saya malah dengan santai mengamini bahwa pemilu memang sebuah pesta, walau tak lekas menyandingkannya dengan kata demokrasi. Tentunya, anggapan tak punya dasar ilmiah yang kuat. Kan saya bilang saya hanya seorang hipster perjuangan. Lagipula, kalau mau dirunut asal muasal anggapan saya, maka itu berakar social upbringing yang saya alami.
Perlu anda tahu, saya lahir dan besar di keluarga seorang PNS Depertemen Penerangan. Tak ayal, dua norma yang langgeng di keluarga saya sampai paruh akhir dekade 1990an adalah ASS (Asal Soeharto Senang) & AHS (Asal Harmoko Senang). Walhasil, boro-boro mau berpikir kritis tentang konstelasi dan kontestasi politik yang kentara saat pemilu, kami malah secara kodrati menganggap pemilu sebagai sebuah pesta. Kalau tak pesta kaos partai gratis, ya pesta dangdutan gratis di lapangan.
Tujuh belas tahun lalu menjelang pemilu 1997, ketika saya mulai sadar apa yang namanya kampanye dan biduan cantik dangdut cirebon, saya sempat minta izin nonton kampanye yang nyaru jadi konser dangdut gratis. Sayangnya, orang tua saya tak memberi saya izin. Alasannya, tentu bukan karena saya di bawah umur. Sederhana saja, Orang tua saya sudah kadung termakan stigma konser dangdut yang senggol bacok. Akhirnya, kalau ada teman yang berkata ‘Biduannya kampanye itu begini-begini lho’ sambil mengacungkan jempol dan sedikit mengerlingkan mata. Saya cuma bisa menebak-nebak saja apa arti simbol itu sambil bertekad dalam hati ‘Nanti kalau udah gede saya nonton kampanye!’
Fast forward ke kampanye 2014, kepenasaran saya akan kampanye cum konser dangdut makin menjadi. Tadinya saya optimis bakal bisa menonton barang satu kampanye secara langsung. Pikir saya ‘partai ada banyak. Masa sih tak bisa nonton barang sekalipun’. Tapi takdir berkata lain, sampai artikel ini ditulis – beberapa hari akhir masa kampanye 2014 – saya masih belum bisa menghadiri satu pun kampanye partai di lapangan luas. Jika dulu dilarang orang tua, maka kini saya punya segudang tugas korporat yang menghadang. Belum lagi, gara-gara jakarta yang sudah terlalu macet, musnah sudah kesempatan nonton gig-gig dangdut gratis itu. Lagi-lagi, saya harus memendam hasrat untuk membuktikan gambaran teman-teman saya 17 tahun lalu.
Tapi ini 2014 Bung! Selalu ada siaran ulang hidup—termasuk kampanye partai—di Youtube. Maka, saya tonton gig dangdut kampanye di situ. Memang, rasanya tak senendang nonton langsung di lapangan tapi sebagai pilihan terakhir yang tersisa, apa salahnya dicoba. Lagipula, cara nonton lewat proxy seperti ini memang sudah penanda kelas pekerja kerah putih seperti saya. Kami yang dilesakkan dalam kotak kelas menengah ini kerap menjalani kehidupan sosial kami juga lewat proxy. Contohnya yang paling gampang, jika mau protes tentang KTK (Kekerasan Terhadap Kucing), proxy-nya bernama change.org. Bagi kami, tanda tangan itu adalah dukungan yang final dan tidak bisa dilampui lagi. Maka, ketika saya menonton kampanye dangdut lewat youtube, saya juga sudah merasa cukup. Sirna sudah kewajiban untuk berpanas-panasan demi nonton suguhan dangdut dalam kampanye. Plus, jelas sudah apa yang dimaksud acungan jempol dan kerlingan teman saya 17 tahun yang lalu. Semuanya gara-gara proxy bernama Youtube!
Namun, lewat perpanjangan bernama youtube pula, saya melihat betapa dangdut dalam kampanye banyak dipojokan sebagai sarana kampanye bodoh yang menunjukkan keseronokan. Ini buang-buang tenaga menurut saya. Terlalu naif untuk segera memberi nilai merah pada dangdut di kampanye karena kesoronokannya yang pertontonkan di depan umum, misalnya. Faktanya, Dangdut seronok juga ada di hajatan dimana anak-anak kecil bahkan bisa bersliweran dengan santai. Lebih jauh, melarang dangdut di kampanye bukan juga jawaban karena pada akhirnya menghambat kanal hiburan murah rakyat dan aliran rejeki seniman dangdut. Jangan lupa, kita kerap teriak-teriak untuk dukung musisi indie lokal. Masa kah kita tak bisa sedikit saja men-support penyanyi dangdut lokal, yang kadang lebih indie dari musisi indie di Jakarta?
Kalau ada yang harus segera kita periksa atau setidaknya kita isengi, maka itu adalah pameran faux-populism yang berusaha diperlihatkan lewat pencomotan musik dangdut dalam kampanye. Caranya pun tak usah njlimet dan mendakik-dakik. Misalnya, setelah kampanye berlalu dan pemilu rampung digelar, kita bisa menelisik apakah caleg atau capres yang pernah dangdutan pada akhirnya peduli pada isu upah murah yang membuat Bang Toyib tak pulang-pulang atau masalah perebutan lahan yang menghilangkan puluhan Bang Toyib lainnya. Taruhlah sedikit rasa curiga bahwa jangan-jangan paska pemilu kelar caleg-caleg ini—tentunya jika terpilih—malah meniru ARB yang ditengarai mempraktekan ‘Buka Sithik Joss!’ di Maladewa.
Pun, mengenai budaya populer yang dikooptasi oleh partai-partai yang belum tentu anda pilih ini, menurut hemat saya, tak usahlah ditanggapi dengan misu-misu. Jika mereka mengambil dangdut (dan pada akhirnya budaya populer) guna mencipta citra populis, maka kita juga bisa gunakan budaya populer untuk kembali mempertanyakan populisme ala mereka. Perkakas kita masih banyak dari meme, album kompilasi, mural sampai mixtape.
Saya memilih yang terakhir karena—sekali lagi—saya seorang hipster. Mixtape ini saya gunakan untuk mempertanyakan kembali imaji populis yang sekarang sedang gandrung-gandrungnya diklaim semua partai. Isinya beragam mulai dari Alice Cooper yang menyindir caleg-caleg sok care, The Replacements yang mempertanyakan relevansi pergi ke kotak suara dan demokrasi elektoral hingga tentunya Iwan Fals yang menghajar hasil-hasil demokrasi kotak suara. Lantas, layaknya sebuah kampanye, saya menyisipkan tembang-tembang dangdut di antara pelbagai lagu yang mengkritisi atau bahkan anti pemilu. Logikanya mirip logika kampanye: kasih lagu dangdut dulu, setelah itu baru pesan-pesan kritis yang keluar dari lidah Joe Walsh, Neil Young dan lagi-lagi Iwan Fals.
Tentunya, Anda bisa membuat perlawanan kecil serupa ini. Mediumnya terserah Anda. Yang penting adalah sebuah usaha bersama untuk mengklaim budaya populer dan menggunakan sebagai piranti pemupuk kesadaran berpolitik. Hingga suatu hari nanti—seutopis apapun ini terdengar—seorang pemuda tanggung di sebuah kampanye terbuka bisa berkata ‘Sudahlah Pak, orasimu isinya cuma janji-janji pro-rakyat. Kami kesini cuma buat dangdutan. We won’t get fooled again lah Pak!”.
Selamat mendengarkan!
Won’t Get Fooled Again! from mixtapeLKIP on 8tracks Radio.
Tautan 8tracks: http://8tracks.com/mixtapelkip/won-t-get-fooled-again
Tautan unduh: https://www.mediafire.com/?