BUS KECIL butut yang saya tumpangi mulai meninggalkan Terminal Giwangan, Yogyakarta pada suatu pagi di bulan Agustus. Kursinya tak empuk. Joknya pun sobek di sana-sini. Penumpang saat itu tak lebih dari sepuluh orang. Ada yang diam saja. Ada pula yang membaca suratkabar. Si supir sudah menyetel musik kencang-kencang sebelum keberangkatan. Jenisnya, lagu-lagu populer periode 1990-an: Bintang Kehidupan dari Nike Ardilla, Hati Yang Luka milik Betharia Sonata, hingga Suci dalam Debu dari Iklim, grup musik asal Malaysia. Di tengah musik yang menderu, saya pun memikirkan tempat tujuan kali ini: Kabupaten Kulonprogo. Di sanalah, konflik pertambangan pasir besi sejak 7 tahun lalu, masih tersisa.
Saya ingin menemui Widodo, petani semangka dari Desa Garongan, yang terletak di Kecamatan Panjatan, menjelang siang itu. Rumah Widodo ditempuh sekitar 15 menit dengan ojek dari Terminal Wates, tempat pemberhentian terakhir si bus butut. Perjalanan dari terminal Giwangan ke Terminal Wates sendiri, memakan waktu lebih dari 1,5 jam. Ini adalah kali pertama kami bertemu, setelah sebelumnya saya meneleponnya dari Jakarta. Widodo berambut agak gondrong. Tubuhnya gemuk, berkulit sawo matang. Dia juga memakai anting, gelang dan kalung. Usianya kini 35 tahun.
Siang itu, Widodo bercerita—dengan batuk yang tak kunjung berhenti—tentang perlawanan para petani terhadap operasi pertambangan pasir besi. Mereka tergabung dalam wadah Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), yang berdiri sejak April 2006. Dari sinilah, Sukarman dari Desa Bugel, turut menggerakkan seluruh kelompok tani. Dari sini pula, Tukijo asal Desa Karangsewu, yang kelak dipenjara, terus melawan akibat ancaman pengerukan di sepanjang lahan pesisir. Ini adalah lahan yang digunakan para petani untuk menyokong hidup mereka selama ini.
Pertanian, memang satu sektor yang menopang ekonomi kabupaten dengan 12 kecamatan tersebut. Pada 2011 misalnya, sekitar 23 persen produk domestik regional bruto Kulonprogo disumbang dari hasil bercocok tanam. Ada tanaman pangan, palawija hingga buah-buahan. Total populasi penduduk di kabupaten tersebut mencapai lebih dari 388.000 dengan hampir separuhnya bekerja di sektor pertanian. Namun dengan munculnya pertambangan pasir besi, keadaan mulai berubah.
‘Warung itu sempat dirusak sebelumnya oleh kelompok yang mendukung tambang pasir besi. Mereka datang dengan membabi buta,’ katanya, menunjuk warung makan di seberang rumahnya. ‘Mereka juga membakar pos-pos ronda dan rumah warga yang tak bersalah.’
Saya melihat warung makan Bu Kus. Nama itu diambil dari kata Kusmini, ibu kandung Widodo. Saya juga menyaksikan Kusmini ikut membersihkan kangkung di teras rumah anaknya sebelum dijual ke pasar. Rumah ibu dan anak tersebut memang berdekatan. Hanya dipisahkan oleh jalan beraspal di tengahnya. Ayah kandung Widodo, Sumarjo juga asyik bermain dengan cucu laki-lakinya. Saya mulai menikmati suasana Desa Garongan siang itu. Ada ketenangan di sana.
Perusakan yang dimaksud Widodo terjadi pada suatu pagi di bulan Oktober 2008. Mereka diduga merupakan kelompok yang mendukung beroperasinya pertambangan pasir besi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat empat pelakunya divonis hukuman 6 bulan, namun tak diketahui siapa dalangnya hingga kini.Kegaduhan di kalangan para petani memang bermula sepanjang 2006—2007. Ini setelah Bupati Kulonporogo periode 2001—2006, Toyo Santoso Dipo menerbitkan izin Kuasa Pertambangan untuk PT Jogja Magasa Mining (JMM) pada Oktober 2005. Areanya mencapai 4.076 hektare yang mencakup empat kecamatan: Galur, Panjatan, Temon dan Wates. PT JMM adalah perusahaan yang didirikan keluarga keraton, yakni BRMH Hario Seno, GBPH Joyokusumo dan GKR Pembayun.
Nama terakhir adalah putri sulung dari Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Masalahnya, lahan di pesisir pantai itu juga bagian dari tanah milik Kadipaten Pakualaman, salah satu kekuatan feodal yang berdampingan dengan Kasultanan. Sejak 2003, Sri Paku Alam IX sendiri menjadi Wakil Gubernur Yogyakarta, mendampingi Sri Sultan Hamengkubuwono X. Keduanya ditetapkan kembali menjadi pemimpin provinsi tersebut untuk periode 2012—2017.
‘Kami terkejut dengan kabar yang berhembus saat itu. Ironisnya, yang menyediakan modal lokal justru keluarga orang nomor satu di provinsi Yogyakarta,’ kata Widodo. ‘Orang yang selama ini kami anggap baik, ternyata sama saja dengan orang lain. Memiliki nafsu untuk menindas.’
PT JMM juga menggandeng Indo Mines Limited, yang berbasis di Perth, Australia untuk mengerjakan proyek pasir besi—menjadi bungkah besi sebagai bahan baku pembuat baja—di pesisir pantai Kulonprogo. Keduanya sepakat membentuk perusahaan bernama PT Jogja Magasa Iron (JMI) pada September 2008, dengan porsi kepemilikan saham 70 persen dimiliki perusahaan asal Negara Kangguru tersebut. Pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani Kontrak Karya dengan PT JMI, yang memiliki konsesi seluas 2.987 hektare, dua bulan setelahnya. Wilayah itu mencakup tiga kecamatan dengan enam desa. Ini terdiri dari Desa Banaran dan Karangsewu (Kecamatan Galur; Desa Bugel, Garongan, dan Plered (Kecamatan Panjatan; serta Desa Karangwuni (Kecamatan Wates).
Lahan tepi pantai yang akan digunakan untuk eksploitasi pasir besi adalah sepanjang 22 kilometer dengan lebar 1,8 kilometer. Investasi dalam proyek tersebut diperkirakan mencapai lebih dari US$1,1 miliar. PT JMI pun diwajibkan untuk membayarkan 1,5 persen dari total penjualan ke pemerintah kabupaten selama 10 tahun pertama. Perusahaan akhirnya memulai tahap konstruksi. Ada pabrik konsentrator di Desa Karangwuni. Lahan yang mulai dibeli secara bertahap. Tenaga kerja berdatangan.
Pada tahap awal, perusahaan berencana menambang sekitar 150.000 ton pasir besi per bulannya dengan kandungan pra-konsentrat maupun konsentrat masing-masing sebesar 35 persen Fe dan 55 persen Fe. Tetapi, ada pula protes petani yang berkepanjangan. Ini yang membuat PT JMI pernah meminta pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk mengatasi persoalan tersebut. Ini juga terkait dengan target produksi. Pada 2016, perusahaan tersebut berencana menghasilkan 1 juta ton bungkah besi dari 2 juta ton konsentrat pasir besi. Pasar baja sendiri tengah tumbuh di China dan India.
‘Kekhawatiran para penduduk telah menjadi perhatian kami terkait dengan pengaruh tambang,’ kata Phil Walter, Direktur Pelaksana PT JMI, akhir Desember 2008. ‘Pertambangan di lahan pertanian hanya dilakukan ketika ada pemahaman bersama antara petani dan PT JMI.’
‘Kawasan pesisir merupakan bagian dari gugusan gumuk yang berfungsi sebagai benteng terhadap ancaman Tsunami,’ kata Supriyadi, Ketua PPLP dalam suratnya, Februari 2011. ‘Pertambangan pasir besi akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang.’
Masalahnya, pasir besi di pesisir selatan sudah terlanjur dianggap komoditas yang sangat berharga. Kandungan pasir besi di Kulonprogo, ternyata tak hanya mengandung titanium, melainkan vanadanium. Bahan tersebut biasanya diproduksi untuk logam anti karat dan peralatan yang berkecepatan tinggi. Ini macam tank dan pesawat ulang-alik. Dalam situs resmi Kabupaten Kulonprogo, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan pasir besi di pesisir Selatan, memiliki nilai yang sangat tinggi.
‘Di dunia ini, pasir besi yang punya kandungan vanadium secara baik hanya di Meksiko dan Indonesia, di Yogyakarta,’ kata Sri Sultan dalam kunjungan kerja ke kabupaten tersebut pada Maret 2010. ‘Pasir besi di pesisir selatan dapat dikatakan emas hitam, karena harganya bisa lipat seribu dibandingkan besi biasa.’
Ini belum lagi ditambah dengan data dari Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis data cadangan terbukti pasir besi di seluruh Indonesia mencapai 5 juta ton. Sedangkan sumber daya komoditas itu jauh lebih besar lagi, yakni mencapai 1,66 miliar ton. Apalagi, demikian kementerian tersebut, pertumbuhan investasi di sektor mineral dan batubara selama 2009—2011 mengalami peningkatan. Dari sekitar USS2,2 miliar menjadi USS3,4 miliar. Pertambangan juga termasuk dalam program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), suatu proyek konektivitas koridor ekonomi, hingga 2025.
Melalui keterangan resminya, pemerintah berencana mengembangkan delapan program utama dalam proyek jangka panjang tersebut. Ini terdiri dari pertanian, pertambangan, energi, industri,kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut juga mencakup 22 kegiatan ekonomi yang disesuaikan dengan potensi dan nilai strategis dalam koridor bersangkutan.
‘Mineral sebagai sumber tak terbarukan, seharusnya untuk keuntungan optimal masyarakat,’ kata Thamrin Sihite, Direktur Jendral Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, dalam presentasinya. ‘Masalah utamanya adalah mentransformasikan keuntungan tersebut ke basis yang berkelanjutan.’
Rencana besar Jakarta rupanya tak jauh berbeda dengan tataran lokal. Proyeksi itu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Kulonprogo periode 2005—2025, yang memasukkan pertambangan pasir besi di dalamnya. Tentunya, ini juga tak berdiri sendiri. Di kawasan selatan itu pula, akan dibangun jalan lintas selatan, bandar udara internasional dan pelabuhan, kawasan ekonomi khusus hingga pabrik baja. Kebutuhan lahan berskala besar, suka tak suka, tak bisa dihindari.
Tetapi itu belum cukup.
Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No.1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032, bahkan mengatur rinci soal pertambangan untuk pelbagai jenis. Aturan yang disahkan pada Februari 2012 itu memaparkan soal Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP)—mineral dan batubara, panas bumi serta minyak dan gas bumi—yang tersebar pada hampir seluruh kecamatan. Mari melihat beberapa di antaranya. KPP untuk mineral logam emas, barit, dan galena, misalnya, dapat ditemukan di dalam Kecamatan Kokap. Sedangkan untuk mineral mangaan, dapat dieksplorasi di Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Kokap, Kecamatan Nanggulan, Kecamatan Pengasih, dan Kecamatan Samigaluh.
Pasir besi sendiri, akan dijumpai pada Kecamatan Galur, Kecamatan Panjatan, Kecamatan Temon, dan Kecamatan Wates. Ada pula yang mengejutkan. Pertambangan batubara di Kulonprogo juga akan dapat ditemukan pada Kecamatan Girimulyo dan Kecamatan Nanggulan, sementara panas bumi dan migas akan dapat digali di seluruh kecamatan. KPP tersebut, belum termasuk wilayah pertambangan untuk mineral bukan logam: pasir kuarsa, fosfat, batu gamping, marmer hingga bentonit.
Proyek-proyek massif tersebut tak lama lagi, benar-benar hadir di tengah-tengah kehidupan para petani lahan pantai. Mungkin saja akan hadir di sela-sela Kusmini tengah membersihkan kangkung di teras rumahnya. Di antara waktu Sumarjo bermain dengan cucu kesayangannya. Kulonprogo di masa mendatang, saya kira, adalah Kulonprogo yang akan dikelilingi dengan pelbagai eksploitasi pertambangan dan pembangunan raksasa di seluruh penjuru.
‘Jawa bagian Selatan akan habis,’ kata Widodo.
TUJUH PEKERJA PT Jogja Magasa Iron (JMI) baru saja pulang dari kantornya pada suatu sore, April 2011. Ada yang mengendarai sepeda motor atau yang berboncengan. Mereka akan melintasi jalan Gupit, Desa Karangsewu saat itu. Ketika mendekati gedung pelelangan cabai, ketujuhnya disetop oleh beberapa warga. Sebagian mereka memasang portal dari bambu sehingga ketujuh karyawan itu tak bisa menembus jalan tersebut. Ada yang menghentikan sepeda motornya. Ada pula yang berbalik arah ingin meloloskan diri, namun gagal. Ketujuhnya kemudian dipaksa masuk ke dalam gedung pelelangan. Mereka duduk di atas tikar.
Tukijo, salah satu petani Karangsewu, meminta para karyawan tersebut untuk tak lagi melewati jalan Gupit dan berhenti bekerja di perusahaan pertambangan pasir besi. Dia juga meminta Basroni, salah satu karyawan, untuk menandatangani surat pernyataan, sesuai dengan permintaan warga.
‘Ora lewat dalan Gupit, ora kerja neng pasir besi!’ kata Tukijo, seperti tertera dalam putusan pengadilan.
Surat perjanjian itu pun diteken Basroni. Mungkin, gara-gara ini pula Tukijo dijadikan target operasi kepolisian, sebulan kemudian. Saat itu Tukijo tengah beristirahat usai mengurus tanamannya. Awalnya, dia diminta masuk ke dalam mobil oleh sejumlah aparat kepolisian. Alasannya, salah satu komandan mereka ingin berbicara. Namun tiba-tiba saja, aparat keamanan itu menciduknya dan memacu mobil cepat-cepat. Tujuannya kali ini: Markas Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tukijo diperiksa hingga akhirnya didakwa merampas kemerdekaan orang lain: para pekerja perusahaan pasir besi.
Masalah pasir besi sepanjang 2009—2011 memang memicu protes dan demonstrasi yang bergelombang. Dari Kulonprogo hingga Melbourne, Australia. Kasus Tukijo macam mencapai titik klimaks. Namun pada Agustus 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Wates akhirnya menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara terhadapnya. Dia pun dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II B Wates dan berakhir di LP Wirogunan, Yogyakarta. Saya menemuinya pada awal Agustus lalu.
Tukijo berperawakan kurus. Tulang pipinya menonjol. Kulit sawo matangnya dibungkus baju khas tahanan. Dia mencopot sepatu botnya. Kami duduk di atas karpet dalam ruang tamu khusus tersebut. Saya melihat belasan pasangan lainnya. Ada orangtua dengan anaknya. Sebagian terlihat sedih. Sebagian lagi asyik bercerita. Ada pula yang tengah kasmaran: melihat pasangannya lekat-lekat dan saling berpegangan.
Cerita Tukijo pada pagi itu, menyadarkan saya tentang beratnya tantangan yang mereka hadapi selama ini. Di antaranya, lagi-lagi adalah soal aturan. Misalnya, Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Provinsi Yogyakarta untuk 2009—2029, yang disahkan pada Maret 2010. Salah satu soal adalah penggunaan area untuk kawasan pertambangan. Kegiatan tersebut akan dapat dilakukan di sepanjang area pertanian, permukiman pedesaan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan rawan bencana alam.
Tak hanya itu. Peraturan tersebut juga menetapkan dua kawasan pertambangan yang akan digunakan di masa mendatang: Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo. Wilayah Gunungkidul akan digunakan sebagai tempat pertambangan batu kapur dan kaolin, sedangkan Kulonprogo untuk emas, mangaan dan pasir besi. Atau mari melihat UU No.13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam soal pertanahan, demikian aturan tersebut, baik Kasultanan merupakan Kadipaten dianggap sebagai badan hukum yang memiliki hak milik atas tanah. Dua kekuasaan itu juga bisa menetapkan kerangka umum kebijakan tata ruang tanah atas lahannya masing-masing sesuai dengan keistimewaan Yogyakarta.
Dua aturan tersebut, saya kira, menjadi tantangan tersendiri bagi para petani di pesisir pantai. Tak terasa, waktu kunjungan pada pagi itu sudah habis. Tukijo—yang kelak dibebaskan pada awal Oktober—tak henti-hentinya menceritakan tentang ketidakadilan yang dialaminya. Pembicaraan kami disela oleh petugas penjara.
‘Apa yang akan Anda lakukan setelah bebas?’ kata saya.
‘Tetap bertani dan menolak pasir besi.’
Tukijo mungkin orang yang tidak cepat berubah. Namun, banyak yang terjadi dalam 1 tahun terakhir. Menjelang akhir 2012 misalnya, Indo Mines Limited tak lagi menguasai saham PT JMI karena dibeli oleh Grup Rajawali. Ini merupakan kelompok bisnis raksasa milik Peter Sondakh. Saham sebesar 57,12 persen milik perusahaan asal Australia tersebut dibeli secara bertahap dengan dana hingga mencapai lebih dari Aus$50 juta. Kelompok bisnis itu bukanlah pemain baru, walaupun sempat turun-naik dihantam krisis moneter pada 1998.
Pada Desember 2010, Peter diumumkan sebagai salah satu orang terkaya kedelapan di Indonesia oleh majalah Forbes. Selain mengendalikan PT JMI, Grup Rajawali juga memiliki dua perusahaan pertambangan lainnya yakni PT Golden Eagle Energy Tbk untuk batu bara, serta PT Meares Soputan Mining, dengan komoditas emas. Dalam sejumlah laporan disebutkan, Peter Sondakh pada periode 1980-an juga dikenal dekat dengan anak mantan Presiden Soeharto: Bambang Trihatmodjo. Salah satu wujud bisnisnya, keduanya mendirikan jaringan televisi swasta pertama, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI)pada 1989.
‘Dengan menjadi mayoritas, kami bisa lebih mengelola perusahaan menjadi lebih baik,’ kata Direktur Pelaksana Rajawali Corporation Darjoto Setiawan, dalam keterangannya usai pembelian saham tersebut, November 2012. ‘Yang jelas, lini bisnis kami semakin kokoh,’ tambahnya.
Bisnis perusahaan itu jelas tetap kokoh. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo memang menyatakan dukungan jauh-jauh hari soal investasi di sektor pertambangan. Dan pasir besi bukanlah satu-satunya. Pada 2012, pemerintah kabupaten itu terus memberikan izin usaha pertambangan lainnya hingga mencapai 78 izin, atau meningkat dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 49 izin. Teorinya, setiap investasi yang masuk diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari pasir besi, jalan lintas selatan atau bandar udara internasional. Khusus pasir besi, pemerintah berkomitmen untuk memprioritaskan kesepakatan atas akuisisi tanah hingga mewajibkan dana reklamasi.
‘Jangan sampai penambangan pasir besi justru merugikan masyarakat,’ kata Sekretaris Daerah pemerintah Kabupaten Kulonprogo, Budi Wibowo, dalam surat resminya. ‘Sebelum melakukan penambangan di lahan hak milik, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan.’
Perusahaan pun punya rencana bisnis yang solid. Salah satunya, soal lahan yang diklaim lebih subur ketika kandungan besinya diambil. Dalam keterangan resminya, PT JMI memaparkan hal itu dimungkinkan karena pengerukan mineral tersebut hanya mencapai sekitar 10 persen dari pasir pesisir. Sisa pasir yang tak diolah, akan dikembalikan untuk meratakan lahan reklamasi dan berguna untuk pertanian. PT JMI juga menjanjikan tak akan ada ‘kolam-kolam’ hasil pertambangan, macam di daerah yang kaya sumber ekstraktif lainnya. Desa Karangwuni, menurut rencana perusahaan, ditetapkan sebagai lokasi pabrik pengolahan dan fasilitas pendukungnya. Sedangkan desa-desa di luarnya: area pertambangan.
‘Lahan yang diakusisi hanyalah untuk pembangunan pabrik dan fasilitas pendukung,’ kata Heru Priyono, Direktur Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Komunitas PT JMI, awal Desember. ‘Area penambangan akan dipinjam-pakai blok per blok. Setelah itu direklamasi dan dikembalikan ke petani.’
‘Bagaimana kerja sama dengan pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk mengatasi masalah yang dihadapi perusahaan?’ tanya saya. ‘Kerja sama dengan pemerintah sangat erat dan bisa dikatakan tanpa itu, target pembangunan tidak mencapai hasil seperti saat ini,’ jawab Heru. ‘Contoh nyata adalah proses akuisisi lahan.’
Saya sempat menyusuri Desa Karangwuni bersama dengan Widodo dan motor bebeknya, pada Agustus lalu. Tujuannya, ingin menyaksikan pertentangan di kalangan petani dalam desa tersebut: menjual lahannya atau tidak. Beberapa spanduk yang bertuliskan tentang penolakan pertambangan pasir besi terpampang jelas. Di antaranya berbunyi: ‘Yogyakarta Istimewa, Jika Tak Ada Pertambangan,’ ‘Bertani atau Mati, Tolak Tambang Besi.’ Sejumlah bendera biru milik PPLP pun ditancapkan di pelataran hunian masyarakat. Ini artinya mereka menolak. Namun, ada pula bendera merah putih terpancang, yang menyiratkan bahwa mereka setuju terhadap pertambangan pasir besi. Warga ini pulalah yang mulai bersedia melepas kepemilikan lahannya kepada PT JMI.
Tapi, itu hampir 4 bulan lalu. Hari ini, soliditas para petani kian tergerus. Sebagian besar petani di Desa Karangwuni telah menjual lahan mereka ke perusahaan. Kini lahan yang dimiliki PT JMI—dengan kesepakatan harga terakhir berkisar Rp75.000/meter—di kawasan itu mencapai hingga 160 hektare, dari target perusahaan seluas 225 hektare. Salah satu petani yang menjual lahannya adalah Sujianto, anggota PPLP di Desa Karangwuni, yang saya temui Agustus lalu. Saya ingat benar bagaimana dia mengatakan penolakannya terhadap pertambangan pasir besi. Bagaimana pula, Sujianto yang pernah menghadiri pertemuan sosialisasi, bertekad menolak tawaran perusahaan.
Tetapi semuanya berubah.
Hari ini pula, saya kira, ada perpecahan yang tak terelakkan di antara petani. Masalah macam Sujianto, akan menjadi tekanan sekaligus pelajaran tersendiri bagi Widodo maupun PPLP untuk meneruskan perlawanan. Tekanan hari ini, tak hanya datang dari aturan dan investasi bisnis, namun juga dari kawan-kawan sendiri. Masalah di Kulonprogo bisa jadi menjadi soal yang tak cepat selesai.
Di sepanjang pantai Trisik yang memesona di Desa Banaran, saya menyaksikan bagaimana para petani maupun nelayan, menggantungkan kehidupannya. Ada perahu-perahu yang didamparkan di pasir putih. Tak jauh dari sana, pelbagai tanaman pun terpapar rapi. Buah Naga. Cabai. Melon. Semangka. Juga ada kehangatan lainnya: petani yang saling menyapa. Semua hal itu, membuat saya termenung ketika kembali ke Yogyakarta saat senja tiba. Pertambangan pasir besi dan proyek-proyek raksasa lainnya, bukan tak mungkin, mulai merampas kehidupan petani macam Tukijo, Widodo, atau Sujianto, sekali pun. Perlahan namun pasti. Satu per satu. Tetapi, dalam renungan itu pula, ada ucapan Widodo yang masih saya ingat hingga hari ini:
‘Hanya ada dua hal yang tak bisa hidup di lahan pesisir. Mayat dan tambang pasir besi.’***
Penulis adalah Wartawan Bisnis Indonesia