TAHUN 2005, antara bulan Mei-Juli, saya berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Sekedar mencari tahu cerita yang pernah diceritakan oleh Mohamad Charis (Kakek dari pihak Ibuku) yang kebetulan pernah menjadi kawan dari Pram di Pulau Buru. Setiap saya mampir pada saat lebaran ke kediaman Mohamad Charis di Subang, Jawa Barat, ia lebih banyak bercerita tentang wayang, cerita silat Tiongkok dan kisah rakyat Jawa. Pada tahun tahun baru 2000, di hadapan anak-anak dan cucu-cucunya, Mohamad Charis bercerita tentang kisah hidupnya sebagai seorang bekas tahanan politik (Tapol) Pulau Buru, serta keterlibatannya dalam BTI (Barisan Tani Indonesia) dan PKI (kisah hidupnya tidak akan dibahas di sini). Sampailah di bagian yang akan saya ceritakan di sini, yakni ketika ia menuturkan kembali perbincangannya dengan Pram, nama yang pernah kutemui di sebuah buku fotokopian lecek dan bau apek yang disembunyikan oleh ayahku di rumah, Bumi Manusia.
Di lain waktu, saat saya memijat kaki Mohamad Charis, ia bercerita tentang kisah Bhtari Durga dan Calon Arang, serta mengaitkannya dengan sosok Li Mochou di cerita Pendekar Rajawali. Ia berjanji suatu saat akan mengajakku (yang hobi mendongeng dan didongengi) bertemu dengan Pram, sang pencerita asli yang menceritakan kepada Mohamad Charis kisah tentang kebencian terhadap perempuan dan sosok Bhtari Durga di Masyarakat Jawa.
Tahun 2002, Mohamad Charis wafat. Ia gagal mempertemukan saya dengan Pram. Berbekal tanya sana-sini (saya lupa akhirnya dapat dari mana), sampailah saya, seorang diri dengan modal nekat, di kediaman Pram di Bojong Gede, Bogor. Titik Toer (anak Pram) dan Maemunah Thamrin (istri Pram), membukakan pintu. Saya memperkenalkan diri lalu bertemu dengan Pram yang asyik leyeh-leyeh sambil merokok. Sambil memijat-mijat kakinya (sama seperti saat memijat Kakekku), saya merekam ceritanya tentang Bhtari Durga, serta kaitannya dengan imperialisme, militerisme dan patriarki Jawa. Sayangnya, kaset rekaman perbincangan tersebut rusak terkena banjir besar tahun 2007 dan akhirnya, sebelum sempat direstorasi ataupun disadur menjadi bentuk tulisan wawancara, terbuang waktu beres-beres rumah. Ibuku mengira, itu kaset rusak biasa. Adapun kisah yang kutulis ini merupakan ingatan ala kadarnya tentang perbincangan di siang hari itu dengan Pram.
Bhtari Durga di Mata Orang Jawa.
Orang India pasti akan heran kalau menyadari bahwa kedudukan Bhtari Durga di Masyarakat Jawa tidak ubahnya sosok monster, ditakuti dan dijauhi. Padahal, di tempat aslinya di India, Bhtari Durga ialah sosok yang amat sangat dihormati, kuat dan tak terkalahkan serta pembasmi kejahatan, bahkan menjadi simbol nasional Ibu Pertiwi India. Alkisah Bhtari Durga adalah sosok yang ‘tercipta’ dari bergabung dan menyatunya para dewa untuk mengalahkan si Iblis Mahisha Sura. Di Jawa ceritanya berbeda.
Sebelumnya, patut diketahui bahwa nenek moyang masyarakat Jawa berasal dari Hunan di China bagian Selatan, turun ke Annam atau Vietnam lalu sampailah di Pulau Jawa. Kita sebut masyarakat Jawa ini dengan sebutan Jawa Kuna. Sekitar 300 M dan 400 M, datanglah orang-orang India ke Nusantara. Mereka mendirikan Kerajaan dan Koloni di Nusantara. Bukti dari kedatangan mereka ialah penggunaan huruf Pallawa dan Sansekerta pada prasasti-prasasti yang ditemukan di Kerajaan Hindu-Budha Nusantara. Kita sebut orang-orang Jawa yang datang dari India ini sebagai kaum Koloni India atau Kaum Brahmana.
Masyarakat Jawa Kuna, datang dari kebudayaan pertanian yang cenderung lebih purba, yang berasal dari peradaban Dong Son dan Bac Son Hoa Binh di Vietnam sana. Corak produksi yang mereka lakukan ialah gabungan dari kegiatan berburu-meramu dengan pertanian awal, yaitu bercocok tanam dengan cara berhuma. Mereka masih tinggal di pedalaman hutan. Berbeda dengan Kaum Koloni India, Para Brahmana yang sudah mulai bertani di tanah becek alias sawah. Mereka pun tinggal secara menetap dalam pemukiman-pemukiman dalam sebuah desa yang dibangun dengan cara ‘babat alas’ (membuka hutan), biasanya berdekatan dengan aliran sungai.
Dalam pewayangan Jawa, dikisahkan pada awalnya, Bhtari Durga ialah sosok Bhtari Uma, Istri dari Bhtara Guru (yang diasosiasikan sebagai Shiwa) sebelum dikutuk menjadi buruk rupa dan menyeramkan. Suatu sore, Bhtari Uma dan Bhtara Guru menyebrangi laut di angkasa, menunggangi Lembu Andini. Syahdan, Bhtari Uma makin nampak kecantikannya, terkena cahaya matahari sore. Betis dan pahanya yang tersingkap membangkitkan gairah Bhtara Guru, yang terus-terusan membujuk untuk bersetubuh. Namun Bhtari Uma menolaknya, hasrat Bhtara Guru sampai di puncak dan tak tertahankan, spermanya jatuh ke laut. Sampai di Kahyangan, Bhtara Guru marah dan murka kepada Bhtari Uma yang tak mau diajak bersetubuh. Bhtari Uma yang kesal karena menganggap Bhtara Guru berperilaku buruk mengutuk Bhtara Guru, lalu tumbuh taring di gigi Bhtara Guru. Bhtara Guru balas mengutuk Bhtari Uma, menjadi sosok yang buruk rupa, lalu mengasingkannya ke Pasetran Gandhamayit, di dalam wilayah hutan Krenda Wahana. Kelak, mani Bhtara Guru yang jatuh ke dalam lautan, menjadi cikal bakal Bhtara Kala, lambang kekacauan dan angkara murka.
‘Dikawin’ atau ‘disetubuhi’ ialah istilah yang sering dipakai atau digunakan untuk menyimbolkan ‘ketertundukan’ dalam budaya Patriarki. Dalam kisah lainnya, Panembahan Senapati, sang pendiri kerajaan Mataram Islam, ‘memperistri’ atau ‘menyetubuhi’ Nyi Rara Kidul, yang merupakan perlambang ‘tunduknya’ masyarakat pesisir Jawa bagian Selatan kepada kekuasaan Mataram. Kisah Bhtara Guru yang marah dan murka karena gagal ‘bersetubuh’ ini, erat kaitannya dengan ‘pembangkangan’ atau ‘penolakan atas ketertundukan’ masyarakat Jawa Kuna (yang matrifokus) kepada kaum Brahmana (yang cenderung patriarkis). Tentu dalam kisah-kisah yang digambarkan dalam buku sejarah dan pelajaran sejarah, seolah-olah kehidupan di Jawa ini selalu adem ayem tentrem, cenderung jauh dari konflik kelas. Padahal sedari awal, dalam kisah peradaban Jawa yang dibangun oleh huruf Hanacaraka, sudah terdapat konflik kelas antara kaum Brahmana dan masyarakat Jawa Kuna, yang digambarkan lewat kisah Aji Saka yang bertarung dengan Prabu Dewata Cengkar.
Aji Saka, diduga kuat ialah pangeran atau keturunan ningrat dari kaum Brahmana yang datang dari India bagian Selatan, yang membawa sistem penulisan Pallawa yang disesuaikan sehingga berubah nantinya menjadi Aksara Jawa. Sedangkan Prabu Dewata Cengkar dikaitkan sebagai Kepala Suku atau penguasa lokal dari masyarakat Jawa Kuna, yang digambarkan sebagai penyembah Bhtara Kala, dengan sifatnya yang Kanibal. Dikisahkan, Aji Saka, meminta ‘sebidang tanah’ seluas ‘ikat kepala’ yang dimilikinya, yang akhirnya ‘mementalkan’ Prabu Dewata Cengkar (yang berubah menjadi Bajul/Buaya Putih) ke Laut Selatan (Samudra Hindia). Cerita ini secara simbolik erat kaitannya dengan keterusiran atau kekalahan masyarakat Jawa Kuna dengan kaum Brahmana. Dari cerita sebelumnya, kita telah memahami bahwa Bhtara Kala adalah ‘anak yang tidak diinginkan’ oleh Bhtara Guru. Bhtara Kala sendiri erat hubungannya dengan Bhtari Durga, sebagai simbol ‘kegelapan’ pagan animisme dan dinamisme Jawa Kuna yang coba ‘ditundukkan’ oleh kaum koloni India di Jawa.
Dalam cerita lainnya di Kisah Calon Arang, digambarkan bahwa si penyihir perempuan Calon Arang ialah penyembah Durga yang taat, yang tinggal di Desa Girah, kontras dengan masyarakat Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga, Brahmana penyembah Bhtara Whisnu. Syahdan, warga Desa Girah yang dipimpin oleh Calon Arang ialah pengikut aliran sesat pagan animisme dinamisme Jawa Kuna, yang menyembah Ibu Pertiwi, yang lebih dikenal oleh para Brahmana sebagai Bhtari Durga. Calon Arang sebagai Kepala Desa Girah, jelas menggambarkan sebuah sistem matrifokus, dimana perempuan dijunjung tinggi kedudukannya di dalam masyarakat, dengan kedudukannya yang setara dengan kaum laki-laki. Di mana-mana hampir di seluruh belahan dunia, sistem matrifokus selalu berusaha ditundukkan oleh sistem patriarki, di mana laki-laki bertindak sebagai pemimpin dan perempuan menjadi pendamping yang tunduk dan setia.
Dikisahkan penduduk Kediri dan Jenggala dalam daerah Kahuripan (daerah kekuasaan Airlangga) terkena bencana. Panen mereka gagal, wabah (pagebluk) dimana-mana. Lalu siapakah yang patut dipersalahkan? Tentu saja si kafir, si pagan Calon Arang dan para penduduk Desa Girah, yang diduga memantra-mantrai penduduk dengan kuasa Bhtari Durga. Dalam kisah pewayangan dan Kisah Rakyat Jawa (dan terus berlanjut hingga saat ini), dikisahkan bahwa para pengikut Bhtari Durga merupakan ‘orang-orang yang menyenangi jalan pintas’ dengan menggunakan tumbal dan sesajen untuk mendapatkan keinginannya, para abdi jin, setan, demit dan ghandharwa (genderuwo). Sebenarnya, ini erat kaitannya dengan budaya pagan (animisme dan dinamisme) masyarakat Jawa Kuna, dimana konsep pertanian masih dilakukan dengan cara membuka ladang dengan cara berhuma dan dilakukannya semacam ritual ‘pengorbanan’ untuk mengembalikan kesuburan tanah, sedangkan para penyembah Bhtara Wishnu, para penghuni Kahuripan, yang membawa budaya pertanian dari India harus mengolah tanah terlebih dahulu serta mengairinya atau bahkan menunggu hujan turun (sawah becek). Tentu, cara bertani dengan membuka huma (serta kegiatan berburu meramu) dianggap sebagai sebuah ‘kemalasan dan jalan pintas’ oleh kaum Brahmana.
Sosok perempuan Gerwani, diambil dari dewicandraningrum.com
Dalam cerita lain, dikisahkan bahwa para pengikut Bhtari Durga digambarkan senang mengubur bayi orok dan makan bayi orok. Tentu cerita ini dibumbui pesan kebencian agar para pembaca dan pendengarnya semakin murka dengan sosok Calon Arang. Kemungkinan besar, yang dilakukan masyarakat Jawa Kuna, terkait fitnah tersebut, sebenarnya masih berlangsung hingga sekarang adalah tradisi sedulur papat limo pancer alias mengubur ari-ari bayi di halaman rumah, yang tak lain bertujuan untuk menjaga nutrisi dalam tanah. Kegiatan menyimpan dan mengeringkan tali pusar, yang mana potongan dari bagiannya nanti akan diseduh menjadi obat untuk diminumkan ke anak yang sakit, juga masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa.
Bisa jadi, wabah yang menyerang penduduk Kahuripan, disebabkan oleh cara bertani mereka yang tergantung pada sawah becek. Mungkin saja, cuaca yang buruk menjadi penyebab utama gagalnya panen atau genangan air di sawah-sawah dan pemukiman mereka yang padat, menyebabkan wabah yang ditularkan lewat nyamuk atau serangga serta penyakit parasit lain yang berkembangbiak dalam air. Singkat cerita, ketidaktahuan masyarakat akan apa yang menimpa mereka ditimpakan kepada para penyembah Bhtari Durga.
Maka disusunlah rencana dan akal siasat untuk menaklukkan penduduk Desa Girah, sekaligus menundukkan masyarakat Jawa Kuna yang matrifokus oleh para Brahmana yang patriarkis. Dilakukanlah perkawinan politik antara Bahula, sang pemuda murid dari Mpu Baradah, Maharesi Brahmana dengan Ratna Manggali, anak perempuan dari Calon Arang. Dikisahkan pula, kitab pusaka Bhtari Durga yang menjadi milik Calon Arang berhasil dicuri dan dikuasai oleh Bahula, yang kemudian diserahkan kepada Mpu Baradah. Kemudian Calon Arang bersama penduduk desa lainnya menyerang Kahuripan, lalu dilakukanlah perang tanding antara Mpu Baradah dengan Calon Arang, yang berakhir dengan kalahnya Calon Arang yang kehilangan kitab pusakanya.
Kisah di atas merupakan perlambang dari proses asimilasi budaya kaum Brahmana dengan Masyarakat Jawa Kuna, yang berakhir dengan kekalahan sistem matrifokus atas sistem patriarkis. Kitab pusaka Bhtari Durga sebenarnya merupakan gambaran ‘taca cara dan aturan’ yang berlaku dalam masyarakat matrifokus, di mana seorang Calon Arang yang perempuan sah menjadi pemimpin dalam masyarakat, bukan sekedar menjadi pendamping suami. Otomatis, peran Bhtari Durga sebagai sosok Ibu Pertiwi, akhirnya digeser oleh sosok Dewi Sri.
Lalu, bagaimana dengan Dewi Sri (Shridevi) alias Nyai Pohaci (dalam masyarakat Sunda)? Dalam mitologi Hindu di India, Dewi Sri lebih dikenal dengan nama Shridevi Lakhsmi, adalah anak dari Bhtari Durga dan Bhtara Guru (yang diasosiasikan sebagai Shiwa), yang nantinya menjadi istri dari Bhtara Wishnu. Dalam cerita Calon Arang, Dewi Sri disimbolkan oleh sosok Ratna Manggali yang diperistri oleh Bahula, murid dari Mpu Baradah, sang penyembah Whisnu. Dewi Sri sendiri diterima secara ‘resmi’ sebagai simbol ‘Dewi Kesuburan,’ lewat asimilasi budaya, perlambang takluknya masyarakat Jawa Kuna ke dalam kekuasaan kaum Brahmana (sosok Dewi Sri, melambangkan istri yang patuh dan membawa keberuntungan bagi suaminya, persis sebagaimana gambaran Patriarkis).
Dengan berakhirnya matrifokus di masyarakat Jawa Kuna dan bercokolnya sistem patriarkis, dimulai pulalah babak baru kolonialisme dan militerisme Jawa. Kita dengan mudah dapat menemukan kisah serupa terulang, kisah dimana para perempuan menjadi tokoh yang ‘berbahaya dan menakutkan,’ jauh sebelum Amerika mengenal kebudayaan film noir dan karakter-karakter ‘Femme Fatale,’ dalam kisah Dewi Kilisuci dan Lembusura, kisah Rara Jonggrang dan Bandung Bandawasa, cinta segitiga Ken Dedes, Ken Arok serta Tunggul Ametung dan kisah-kisah lainnya. Dalam pola pikir orang Jawa, lelaki ideal adalah yang memiliki benggol (uang) dan bonggol (alat kelamin perlambang kejantanan). Lalu dimana posisi perempuan? Ia adalah milik laki-laki, sejajar dengan banda (harta), griya (rumah), turangga (kendaraan), kukila (burung yang bernyanyi), dan pusaka (perkakas kesaktian).
Kita tentu ingat kisah Perang Bubat yang terjadi dalam usaha Penaklukan Pajajaran oleh Majapahit, dimana Dyah Pitaloka sang putri Pajajaran terbunuh dalam perang tersebut, yang awalnya akan dijadikan istri oleh Prabu Hayam Wuruk. Kita juga dapat mengingat bahwa masyarakat Minangkabau yang memiliki sistem matrifokus yang kuat (sebelum menjadi lebih longgar setelah Perang Paderi) sempat menjadi target ekspedisi militer dan ekspansi kerajaan Jawa. Sesudah Kediri, Singasari, Sriwijaya (ingatlah bahwa kerajaan di Sumatra ini berasal dari garis para penguasa di Pulau Jawa) dan Majapahit runtuh, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa meneruskan militerisme dan kolonialisme yang sama, tentunya dengan membopong semangat patriarki.
Kisah Prabu Brawijaya dan sang Putri Champa yang melahirkan Raden Patah, Syekh Walilanang yang berhasil menyembuhkan penyakit putri dari Raja Blambangan, kisah Sunan Gunung Jati yang memperistri puteri Tiongkok yang berusaha menipunya dengan menyembunyikan bokor yang berubah menjadi bayi ke dalam perutnya, kisah Dewi Pembayun yang berupaya menaklukan Ki Ageng Mangir, serta ditutup oleh kisah epik Panembahan Senapati yang mengawini Nyai Rara Kidul. Ada sebuah kepercayaan bahwa para raja-raja Jawa setelah Panembahan Senapati memiliki istri gaib: sang Penguasa Laut Selatan, yang menjadi sumber kejayaan dan kedigdayaan raja-raja tersebut.
Tentu saja logika mistika itu takkan bertahan lama. Kolonialisme dan militerisme Jawa harus berakhir, setelah armada laut yang pas-pasan dan kuno dibekukan, disebabkan oleh ketakutan Sultan Agung atas pemberontakan wilayah pesisir Jawa. Bersamaan dengan itu, datang pula VOC, sebuah perusahaan multinasional dari Belanda, nun jauh dari belahan bumi Eropa sana, dengan baju-baju besinya, dengan kapal-kapal layar yang lebih maju, dengan meriam-meriam raksasa, dengan bedil-bedil yang mempersenjatai pasukannya. Nampaknya awan gelap penindasan terhadap perempuan serta rakyat jelata yang berlangsung sejak kemenangan kaum Brahmana di bawah Airlangga terhadap Calon Arang, akan segera berakhir. Namun pada kenyataanya, sistem sosial yang terbangun, tidak serta merta runtuh selama berabad-abad Belanda menancapkan kukunya di Pulau Jawa.
Maka, janganlah heran apabila orang-orang Jawa, senang mengaitkan kejatuhan Soeharto karena Tien sebagai ‘lady luck’ lebih dahulu wafat, bukan karena memang ada upaya dan perjuangan dari rakyat—meskipun kemudian dicuri buahnya oleh para plutokrat—untuk menaklukan sang raja Jawa modern. Ketika Megawati berkuasa, ia pun lebih banyak dianggap sebagai ‘titisan’ Soekarno. Perempuan akan selalu terkait dengan laki-laki dalam pola pikir orang Jawa. PKI, bersama Lekra juga Gerwani berupaya keras menjebol bangunan adat dan paham tua yang menindas perempuan dalam masyarakat. Sayangnya usaha itu terputus, PKI dibumihanguskan dan Gerwani dinista jorok sehingga kaum muda kini kehilangan akar sejarah pergerakan rakyat yang kuat. Sampai hari ini pun bahkan kita sering menyaksikan jika perempuan masuk organisasi pemuda, tak jarang ia dicemooh oleh kaum lelaki; jabatannya seringkali dibatasi sebagai sekretaris dan bendahara saja—dan kalaupun jadi ketua, ia akan lebih banyak menerima cibiran. Sebuah organisasi yang baik, harus membuang jauh-jauh sifat itu. Ingatlah, mitos akan perempuan di mata orang Jawa ini harus berakhir, jika kita tidak mau para raja-raja Jawa yang jahat, dengan sifat despotis, kolonialis dan militeristik hadir kembali di jaman ini.***
Penulis adalah pekerja kantoran biasa di Jakarta.