TERJADI disensus di kalangan gerakan kiri Indonesia menyikapi Jokowi. Secara sangat general, setidaknya tiga posisi telah diajukan:[1]
- Mendukung Jokowi, bukan demi Jokowi melainkan demi merealisasikan agenda rakyat pekerja dan mewujudkan sosialisme melalui perebutan kekuasaan politik. Strateginya adalah memanfaatkan populisme, menginstrumentalisasikan populisme untuk sosialisme. Dengan kata lain, menolak Golput pada Pemilu 2014 dan memilih menjadi partisipan aktif dalam politik elektoral.
- Menolak Jokowi dan menolak keterlibatan dalam Pemilu dengan motif ‘politik kelas:’ membangun kemandirian kelas pekerja untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa harus melalui jalan politik elektoral. Menguatnya kelas pekerja merupakan kekuatan bagi kelas pekerja untuk membangun sosialisme dengan tangan sendiri, tanpa harus meminjam tangan pemimpin yang populis. Dengan kata lain, memilih Golput pada Pemilu 2014 dan terus membangun kekuatan dari bawah.
- Menolak Jokowi dan menolak terlibat Pemilu untuk membangun suatu model berpolitik di luar politik elektoral: Pemilu bukan satu-satunya takdir bagi rakyat Indonesia. ‘Politisasi aliran putih,’ demikian gerakan ini menyebut kerjanya. Gerakan ini mengajak rakyat pekerja dan ‘publik’ untuk mengakuisisi kapasitas kebijakan politik yang menyangkut kehidupan mereka sehari-hari dari otoritas partai-partai politik ke tangan mereka sendiri. Dengan kata lain, memilih Golput dan membangun kekuatan dari tengah dan bawah, dan di segala lini yang mungkin.
***
Mengapa pencalonan Jokowi menghadirkan tantangan yang rumit bagi rakyat pekerja dan gerakan kiri? Antara lain, karena Jokowi bukan sosok yang lahir dari rahim perjuangan rakyat pekerja. Jokowi ditemukan ‘di tengah jalan,’ di tengah kontradiksi antara kapitalisme dan sistem politik yang korup dan perjuangan rakyat pekerja dalam menemukan ekspresi terbaik bagi kepentingan kelasnya di dalam kontradiksi yang semakin menjadi-jadi. Pertemuan yang ‘koinsidental’ tapi kelihatan menjanjikan. Dan inilah kebaruan dari pertemuan itu: ia menjadi momen subyektif bagi rakyat pekerja dan gerakan kiri untuk mengambil keputusan politik yang menentukan arah dan bentuk perjuangan apa yang sedang dan akan dilakukan – jika mendukung Jokowi atau menolaknya, jika memilih ikut Pemilu atau abstain, dst. Di sela-sela disensus itu, kita melihat rakyat pekerja yang berpikir; keputusan politik ada di tangan mereka, bukan di tangan Jokowi, partai, media, atau borjuasi.
***
Tetapi, kesulitannya lebih dari memutuskan untuk mendukung Jokowi atau menolaknya, untuk memilih ikut Pemilu atau abstain. Kesulitannya terletak pada struktur ganda dari obyek yang menginterpelasi keputusan itu: ‘realitas’ kepemimpinan populis, dalam hal ini ‘Jokowi.’ Apakah dengan sendirinya ia ‘sosialis,’ atau sebaliknya, di balik ‘sosialisme’-nya, ia tidak lebih dari kekuatan yang reaksioner? Apakah ‘realitas’ itu, yang menjanjikan, sesuai dengan penampakannya (berpihak kepada rakyat pekerja, dst.), atau fatamargona yang memperdaya?
Seperti dikatakan oleh Foucault dalam Naissance de la biopolitique, hanya kepada kaum sosialis kita dapat bertanya apakah sosialismenya ‘benar’ atau ‘palsu.’[2] Sementara terhadap kaum liberal kita tidak perlu bertanya apakah liberalismenya benar atau palsu; kaum liberal tidak membutuhkan justifikasi untuk disebut liberal ‘sejati.’ (Itu sebabnya lebih banyak orang yang menyaru sebagai sosialis daripada mengafirmasi sebagai liberal, sebagaimana lebih banyak orang yang berkata ‘pro-rakyat’ daripada mengafirmasi diri sebagai anti-rakyat.) Dengan kata lain, apakah populisme Jokowi bukan salah satu manifestasi dari candu ideologi borjuasi yang patut dicurigai oleh kelas pekerja, atau sebaliknya merupakan sebentuk ekspresi otentik dari apa yang selama ini dicari oleh kelas pekerja: kepemimpinan yang memajukan dan mewujudkan sebagian kepentingan kelasnya?
***
‘Jokowi’ adalah figur liminal itu, irisan antara kepentingan proletariat dan kepentingan borjuasi. Figur itu memiliki daya tarik sekaligus godaan. Daya tariknya terletak dalam sebagian tendensi yang membawanya mendekat dengan kepentingan rakyat pekerja, dengan godaan yang mematikan bahwa tendensi itu, pada titik terdalam, sebenarnya mengkonservasi kepentingan borjuasi. Figur yang di dalamnya terdapat potensi protagonis sekaligus antagonis terhadap kepentingan rakyat pekerja.
***
Persoalan dari setiap keputusan politik, dalam kaitannya dengan obyek yang harus diputuskannya, adalah bahwa ia datang terlalu cepat atau terlambat. Kita tidak tahu kapan waktu akan memperlihatkan watak yang sebenarnya dari rezim Jokowi (andai ia terpilih); ketika keputusan telah diambil (dalam hal ini untuk mendukung Jokowi, misalnya), momen di mana keputusan itu pada akhirnya terbukti meleset tidak terjadi pada saat yang tepat, tetapi selalu terlambat atau sudah sangat terlambat. Dan untuk itu, keputusan harus dimulai lagi, otokritik dan kritik harus dilancarkan lagi. (Kita bisa mengatakan secara tautologis di sini, bahwa keputusan politik dibuat bukan untuk dibuktikan benar, melainkan lebih-lebih untuk dibuktikan salah atau keliru agar dapat diakui bahwa keputusan itu benar sebagai sebuah keputusan – prinsip falsifikasi daripada verifikasi.)
Dalam salah satu upayanya memberi argumen bagi perlunya gerakan rakyat mendukung Jokowi, Iqra Anugrah menulis, ‘Lagi-lagi musti kita pertegas: tentu kita tidak naif, melainkan berusaha untuk cekatan dan cermat.’ Tentu kita tidak naif pada saat keputusan itu diambil, tetapi kita sungguh-sungguh naif ketika keputusan itu pada gilirannya terbukti keliru.
***
Namun kesulitannya tidak sekadar terletak pada dimensi subyektif dari keputusan, tetapi juga dari ketidaktepatan waktu (modalitas temporal di mana sesuatu datang terlalu dini atau sudah terlambat, yang diistilahkan Daniel Bensaïd, seorang tokoh Marxis-Trotskys, sebagai ‘l”intempestif’[3]) dalam organisasi rakyat pekerja sendiri. Partai rakyat pekerja, yang mewakili kepentingan kelas pekerja sendiri, belum cukup kuat untuk bertarung dalam politik elektoral. Maka, argumen taktisnya, sembari partai itu berproses menjadi besar dan kuat, rakyat pekerja harus memanfaatkan kepemimpinan personal yang populis (meski datang dari borjuasi) untuk mencapai tujuan-tujuan rakyat pekerja.
Seperti dirilis dalam pernyataan PRP: ‘Sudah saatnya rakyat pekerja di Indonesia mengintervensi penyelenggaraan Pemilu tahun ini dengan mengambil sikap untuk merebut kekuasaan negara sebagai agenda utama perjuangan politiknya. Hal ini dapat direalisasikan dengan turut terlibat dalam agenda penyelenggaraan Pemilu tahun 2014.’ Pertanyaannya: bagaimana merebut kekuasaan negara tanpa partai yang berangkat, sedari awal, dari rahim rakyat pekerja? Apakah yang dimaksud adalah merebut kekuasaan politik melalui instrumen partai populis borjuis atau semi-borjuis, dengan harapan dapat mempengaruhi dari dalam kebijakan-kebijakan yang diambil partai tersebut, dan membelokkan orientasi elite partainya untuk kepentingan rakyat pekerja?
Harapan untuk memasukkan agenda rakyat pekerja melalui instrumen partai tersebut, sembari menunggu partai yang benar-benar lahir dari rakyat pekerja berevolusi hingga menemukan bentuk dan momen terbaiknya, menghadirkan dua risiko ganda : 1) Risiko yang praktis dan strategis, dan nyaris selalu terjadi, yaitu agenda itu akan dibelokkan, tidak tercapai, atau ditelikung oleh lobi-lobi politik di dalam partai; 2) Risiko yang lebih besar, bahwa embrio partai dari rakyat pekerja gugur dan tidak berkembang sebagaimana diharapkan, involutif, atau bubar dalam fusinya dengan partai status quo. Risiko kedua ini berpulang pada ambiguitas temporal dari dua momentum yang tidak seirama dan tidak hadir pada waktunya yang bersama (intempestif), yaitu momentum organisasi kelas pekerja sendiri (yang belum tiba) dan momentum kepentingan kelas pekerja (yang tiba dan menuntut diekspresikan hari ini, yang selalu tiba sebelum waktunya, sebelum organisasi yang menginkarnasikan kepentingannya siap dan menemukan momentumnya).
***
Kita melihat dalam hal ini, bahwa masing-masing dari ketiga posisi politik itu memiliki dimensi ‘realis’ dan ‘utopis’-nya (sejauh ‘utopis’ di sini dimengerti sebagai titik-buta dalam yang-riil atau yang dipersepsikan sebagai yang-riil, dan sebagai pelampauan batas, ekses, atas yang-riil).
Posisi pertama realis, dalam hal berhasil mengakui relevansi kepemimpinan populis bagi realisasi sebagian agenda rakyat pekerja, tapi ‘utopis’ dalam kenaifannya tidak melihat bahwa realisasi itu harus dilakukan tanpa organ yang lahir sendiri dari rakyat pekerja, dan bahwa realisasi itu akan melibatkan konsesi-konsensi di dalam realpolitik demokrasi perwakilan. Mimpi terjauh dari posisi ini adalah transformasi, dan bukan revolusi.
Posisi kedua realis, dalam kemampuannya menggarisbawahi kekuatan objektif rakyat pekerja, dan dalam kritiknya atas ketidakmemadaian segala pendekatan ‘reformis’ dan transformatif untuk mewakili kepentingan rakyat pekerja. Ia ‘utopis,’ dalam hal bahwa ia berharap kelas pekerja akan solid dengan sendirinya, dan bahwa momentum organisasi rakyat pekerja yang revolusioner yang ditunggu-tunggu itu akan tiba. Utopia ini, namun demikian, afirmatif dan integral dengan dimensi realisnya, dan memberi kekuatan tersendiri bagi posisi ini.
Posisi ketiga paling utopis dan kurang realis, namun kekuatan imajinasi politik yang dibukanya, yang cair, desentralistis, diseminatif, dan cenderung autonomis membuka kembali cakrawala berpikir tentang kemungkinan membangun ‘yang-politis’ (the political) tanpa referensi niscaya kepada negara atau entitas kenegaraan. Posisi ini membuka kemungkinan memaknai komunisme sebagai kehidupan politik di mana subyek-warga (sujet citoyen), meminjam istilah Étienne Balibar, mengambil alih ‘yang-politis’ melalui apropriasi atas kapasitasnya sendiri dalam pengambilan keputusan, dan di mana negara dan entitas-entitas politik yang menopangnya pada gilirannya menjadi tidak relevan dan disfungsional (sebagaimana dalam tesis Marx bahwa menghilangnya kelas bersamaan dengan lenyapnya negara). Imajinasi politik ini, namun demikian, belum berhasil memikirkan aliansi yang lebih luas antara ‘aliran putih’ yang menjadi subyeknya dan rakyat pekerja yang memiliki agenda politik lebih dari sekadar menjadi Golput dalam Pemilu.
Hari-hari ini, bila sebagian dari rakyat pekerja dan aktivis kiri memilih Jokowi, kita mengetahui bahwa itu adalah pilihan politik yang pragmatis, demi untuk menghindari the greater evil, yaitu para capres fasis atau kuasi-fasis. Suatu posisi yang paling mudah, walaupun bukan paling legitim dalam garis perjuangan kaum kiri sendiri.***
Penulis adalah santri filsafat di Universitas Paris VIII, Prancis
[1] Berturut-turut dirumuskan dari artikel-artikel: Iqra Anugrah, ‘Fenomena Jokowi dan Konstelasi Politik 2014,’ Harian IndoProgress, 24 Maret 2014, https://indoprogress.com/2014/03/fenomena-jokowi-dan-konstelasi-politik-2014/ dan pernyataan sikap Partai Rakyat Pekerja (PRP), ‘Munculnya Kepemimpinan Populis, Apa Artinya bagi Rakyat Pekerja?’, 21 Maret 2014, http://www.prp-indonesia.org/2014/munculnya-kepemimpinan-populis-apa-artinya-bagi-rakyat-pekerja# ; Ted Sprague, ‘Berlomba-lomba Memenangkan Jokowi ke Pemilu 2014,’ 30 Mei 2013, http://www.militanindonesia.org/analisa-politik/8421-berlomba-lomba-memenangkan-jokowi-ke-pemilu-2014.html ; AE Priyono, ‘Golongan Putih: dari Alienasi ke Oposisi,’ Harian IndoProgress, 24 Februari 2014, https://indoprogress.com/2014/02/golongan-putih-dari-alienasi-ke-oposisi/
[2] Naissance de la biopolitique : Cours au Collège de France (1978-1979), Paris: Gallimard-Seuil, « Hautes Études », 2004, hlm. 94. ‘Batas,’ demarkasi, dan garis pembeda menjadi lebih menentukan bagi sosialisme daripada liberalisme. Itu karena, menurut Foucault, sosialisme tidak memiliki ‘rasionalitas kepemerintahan’ (rationalité gouvernementale) pada dirinya, sesuatu yang membedakannya dengan liberalisme. Pertanyaan Foucault kurang lebih begini: dengan kriteria ‘rasionalitas’ apa sebuah tata pemerintahan dapat disebut ‘sosialis?’ Pertanyaan yang dapat diajukan di sini: dengan kriteria apa seorang pemimpin atau calon pemimpin dapat disebut ‘sosialis?’ Atau, dengan kriteria apa seorang calon pemimpin negara yang populis dapat disebut ‘sosialis?’ Bila Foucault tampak merujukkan absennya jawaban atas pertanyaannya pada ambiguitas eksistensi ontologis ‘negara’ sebagai figur tata pemerintahan dalam tradisi sosialis (antara perlunya negara dan likuidasinya dalam komunisme, dst.), kita bisa merujuk, untuk kasus Jokowi, pada absennya kriteria ontologis yang memungkinkan Jokowi diidentifikasi sebagai sosialis yang ‘benar’ ( ‘sejati’) atau sosialis ‘palsu.’ Satu-satunya kriteria itu (kriteria ontologis yang sekaligus historis), dalam tradisi Marxis, adalah bahwa kepemimpinan itu lahir dari kelas pekerja, sesuatu yang tidak ada pada Jokowi. Absennya kriteria ontologis itu membuat identifikasi ‘sosialis[‘ dalam tipe kepemimpinan populis menjadi dapat digunakan begitu longgar, meski kelonggaran itu, di sisi lain, berpulang pada kesatuan yang nyaris tak terpisahkan dan tak terbedakan antara sosialis ‘sejati’ dan tiruannya, antara yang-riil dan simulakrumnya.
[3] Marx l’intempestif, Paris: Fayard, 1995.