Tanggapan Atas Martin Suryajaya
Dalam tulisannya yang berjudul Marxisme dan Propaganda, Martin Suryajaya memaparkan bagaimana seharusnya propaganda Marxis itu dijalankan. Titik berangkat propaganda Marxis, menurut Martin, adalah kebenaran. Dan apa yang dimaksud kebenaran di sini adalah metode Marx. Ajaran spesifik Marxisme bisa keliru, karena data-data yang tersedia di zaman Marx bisa saja tidak memadai. Namun, tidak demikian dengan metodenya. Penerapan metode Marx terhadap bahan-bahan yang lebih lengkap dari yang Marx dapatkan bisa menghasilkan kebenaran baru yang lebih benar dari yang ada di ajaran spesifik Marx.
Menghadirkan kebenaran memang merupakan salah satu elemen dari Marxisme. Karenanya, Marxisme beririsan dengan ilmu-ilmu lain yang juga menghadirkan kebenaran. Namun, menghadirkan kebenaran bukan satu-satunya elemen dari Marxisme. Ada elemen lain dari Marxisme selain urusan kebenaran. Jadi, saya sepakat kebenaran sebagai salah satu urusan Marxisme, tapi tidak sepakat jika Marxisme direduksi hanya menjadi urusan kebenaran. Jika Marxisme direduksi hanya menjadi metode ilmiah untuk menghadirkan kebenaran, maka ia hanya menjadi ilmu yang deskriptif. Marxisme akan terdegradasi menjadi ilmu yang hanya bisa menafsirkan dunia secara benar, tetapi impoten dalam mengubahnya.
Sebagai contoh, mari kita lihat analisa Marx tentang dua kontradiksi dasar kapitalisme. Pertama, kapitalisme telah mendorong perkembangan kekuatan produktif dengan pesat, sehingga berkontradiksi dengan relasi kepemilikan borjuis yang menaunginya. Kedua, kapitalisme telah melahirkan kelas proletariat yang berkontradiksi dengan kelas borjuis, dan memiliki kapasitas untuk mengalahkannya. Kontradiksi pertama akan berujung pada krisis. Dan krisis akan mendorong penajaman kontradiksi yang kedua. Tetapi, penajaman kontradiksi kelas tidak secara otomatis menjadi pelampauan atas kapitalisme. Diperlukan usaha aktif agensi agar perjuangan kelas berakhir dengan pelampauan atas kapitalisme. Kapitalisme juga bisa mengatasi krisis serta mengulang kembali siklus boom dan bust dalam hidupnya.
Kita asumsikan bahwa deskripsi Marx di atas benar. Karena sejarah tidak berjalan otomatis, maka pertanyaannya, pilihan praktis apa yang akan kita ambil ketika kontradiksi telah dideskripsikan. Apakah kita akan membantu kapitalisme mempertahankan relasi kepemilikan borjuis, ataukah mendorong proletariat merealisasikan kapasitasnya untuk mengganti relasi kepemilikan borjuis dengan relasi kepemilikan sosial, ataukah cuek-cuek saja? Jika Marxisme direduksi hanya menjadi metode ilmiah, maka ia tidak akan bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Ia hanya bisa mendeskripsikan kontradiksi kapitalisme secara benar, dan berhenti sampai di situ saja. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan praktis pasca-deskripsi: jika kapitalisme demikian, apa yang harus dilakukan?
Bisa saja dinyatakan bahwa korespondensi antara kenyataan dan pikiran bukan satu-satunya kriteria kebenaran Marxisme. Ada juga koherensi logis sebagai kriteria lain dari kebenaran Marxisme. Dan kriteria ini bisa digunakan untuk mengevaluasi kapitalisme. Dalam logika, rantai penalaran dari premis sampai kesimpulan hanya valid jika koheren dan bebas dari kontradiksi. Jika ada kontradiksi, maka penalaran itu tidak valid. Karena kapitalisme mengandung kontradiksi yang merupakan suatu bentuk inkonsistensi logis, maka ia tidak valid dan perlu diubah. Namun, jika ada seorang Marxis berpropaganda ke saya bahwa kapitalisme bermasalah dan perlu diubah karena mengandung inkonsistensi logis, maka saya akan bertanya kepadanya, apa hubungannya inkonsistensi logis kapitalisme itu dengan kehidupan saya?
Saya salut dengan komitmen Martin yang begitu tinggi terhadap kebenaran. Komitmen terhadap kebenaran memang harus tercakup dalam Marxisme. Pasalnya, tanpa komitmen itu, ilmu pengetahuan apapun, termasuk Marxisme, menjadi tidak dimungkinkan. Jika pemalsuan data dianggap wajar, misalnya, ilmu pengetahuan akan rontok. Namun, kita juga harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang otonom dari masyarakat. Ia diproduksi secara sosial dalam pembagian kerja masyarakat. Artinya, masyarakat mengontribusikan sejumlah kerja sosial tertentu untuk memproduksi ilmu pengetahuan. Kita bisa memproduksi ilmu pengetahuan, karena ada lapisan lain masyarakat yang memproduksi barang-barang berguna lain untuk pemuasan kebutuhan kita. Jika kita hanya asyik dengan kebenaran tanpa peduli dengan kegunaan sosial dari kebenaran tersebut, bukankah yang kita lakukan merupakan suatu kemubaziran dilihat dari sudut pandang masyarakat?
Di sini, kita sampai ke salah satu pertanyaan mendasar dari ilmu pengetahuan. Apa sebenarnya tujuan ilmu pengetahuan? Apakah sekadar menghadirkan kebenaran? Ataukah memecahkan masalah masyarakat? Ilmu untuk ilmu? Atau ilmu untuk kemaslahatan masyarakat? Saya memilih yang kedua. Bagi saya, yang sangat pokok dalam Marxisme adalah komitmennya terhadap emansipasi manusia. Metode ilmiahnya untuk mencapai kebenaran tentu penting, karena kebenaran disyaratkan oleh pencapaian kemaslahatan masyarakat. Tetapi kebenaran mengabdi pada kemaslahatan masyarakat, bukan berdiri di atas atau terlepas dari masyarakat. Karenanya, seorang propagandis Marxis tidak hanya mesti menjadi orang yang punya perhatian tulus terhadap segala, semacam al-insan al-kamil, tetapi juga harus menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, rahmatan lil ‘alamin. Marxisme bukan sekadar metode ilmiah, tetapi praxis—kombinasi ilmu pengetahuan dan praktek—emansipasi manusia!***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), beredar di Twitterland dengan id @mzakih