‘SETIAP manusia, secara kodrati, ingin tahu,’ tulis Aristoteles dalam risalah Metafisika. Keingintahuan merupakan kodrat manusia sebagai spesies biologis yang mengembangkan nalarnya guna menghadapi kondisi eksternal dan karenanya bertahan hidup. Kodrat keingintahuan manusia, karenanya, merupakan hasil evolusi sejarah alam, hasil evolusi kerja spesies manusia untuk mempertahankan hidupnya. Dan dari natural history lahirlah social history. Dari kodrat manusia sebagai entitas biologis, muncullah kodrat mausia sebagai makhluk pekerja dan kemudian kodratnya sebagai makhluk berpikir. Sejarah manusia adalah riwayat evolusi kodrat manusia. Melalui evolusi kodrat epistemik inilah sejarah manusia sampai kepada ilmu pengetahuan modern. Manusia adalah makhluk yang haus pengetahuan, yang mengangankan kebenaran. Inilah titik berangkat konsepsi Marxian tentang propaganda: ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Prinsip propaganda Marxis bukanlah penyebarluasan gagasan apapun asal menguntungkan kepentingan kelas pekerja. Prinsipnya adalah menyebarluaskan gagasan yang benar. Di sini berlaku asumsi: gagasan apapun, asalkan benar, tidak akan merugikan kepentingan kelas pekerja. Di balik asumsi tersebut, terdapat lapis asumsi berikutnya: Marxisme itu benar adanya sehingga kenyataan berlaku seperti yang dijelaskan dalam kerangka Marxian dan oleh karenanya gagasan yang benar tentang kenyataan tidak akan mungkin berlawanan dengan kepentingan kelas pekerja. Namun apa yang dimaksud dengan kebenaran Marxisme? Di sini kita perlu sedikit memutar.
Pertama-tama harus diakui bahwa pemikiran Karl Marx sendiri tidak menjelaskan keseluruhan kenyataan. Pemikiran Marx hanya benar untuk domain kenyataan yang digelutinya, yakni kenyataan sosial. Namun yang paling berharga dari pemikirannya bukanlah ajaran spesifik tentang ini atau itu, melainkan metodenya. Ibarat perumpamaan yang sering kita dengar: berilah seseorang ikan, maka ia akan kenyang hari ini, tetapi berilah ia alat pancing, maka ia akan kenyang seumur hidupnya. Begitu juga hubungan antara ajaran spesifik Marx dan metodenya: ajarannya ibarat ikan, sementara metodenya ibarat alat pancing itu.
Setelah jelas tentang hal ini, maka kita bisa dengan leluasa mengakui bahwa ajaran spesifik Marx belum tentu sepenuhnya benar, sejauh ia masih menggunakan sumber-sumber yang boleh jadi kurang memadai pada zamannya untuk menerangkan kenyataan ekonomi tertentu. Akan tetapi metodenya itulah yang benar. Dalam hal kesetiaan pada metode Marx itulah seseorang menjadi Marxis. Disinilah juga terletak perbedaan antara Marxisme dan agama: dalam Marxisme, orang boleh tidak sepakat dengan ajaran tertentu Marx tetapi setia pada metode atau pendekatannya; sementara dalam agama, orang tidak boleh tidak sepakat dengan pernyataan Kitab Suci (persis karena dalam agama, tidak ada pembedaan antara metode dan isi ajaran). Di sinilah juga terletak perbedaan antara Marxis ortodoks dan Marxis vulger. Marxis ortodoks—seperti kata Lukacs—ditandai dengan kesetiaan pada kebenaran metode Marx dan menggunakan metode tersebut untuk membaca semua cabang kenyataan. Sementara Marxis vulger ditandai dengan kesetiaan pada kebenaran keseluruhan isi ajaran Marx (termasuk salah ketik-salah ketiknya) dan menggunakan isi ajaran itu untuk membaca semua cabang kenyataan.
Oleh karena Marx tidak menjelaskan semua cabang kenyataan, maka Marxisme sebagai sains tidaklah total; Marxisme hanya total sebagai metode. Totalitas Marxisme adalah totalitas metodologis. Artinya, metode Marx dapat dijadikan paradigma umum dalam memandang alam kenyataan seutuhnya. Tetapi bagaimana mungkin? Bukankah Marx hanya merumuskan pendekatan untuk masalah sosial? Oleh karena itu, diperlukan abstraksi atas metode yang ditawarkan Marx agar bisa menjadi mathesis universalis atau skema pendekatan universal yang sekaligus setia pada semangat metode Marx yang asli.
Lantas apa konsekuensi dari fakta ketidaktotalan Marxisme sebagai sains dan fakta ketotalan Marxisme sebagai metode? Konsekuensinya, terdapat ilmu-ilmu yang sekilas nampak non-Marxis tetapi sejatinya dapat dibenarkan dari sudut pandang metode Marx. Itulah yang terjadi berkenaan dengan ilmu-ilmu alam modern dan matematika. Terhadap ilmu-ilmu semacam itu, pendekatan Marxis vulger bisa dipastikan akan berakhir dalam kekonyolan berlarut-larut. Marxis vulger yang menafsirkan teorema matematis Fermat sebagai simbol dari perlawanan kelas pekerja atau menafsirkan rumus kimiawi benzena yang dihasilkan August Kekulé seolah sebagai perlambang dari siklus kapitalisme mesti diwajibkan ikut kuliah Marxist 101 lagi. Sebaliknya, pendekatan Marxis ortodoks yang setia pada metode Marx akan terhindar dari kesewenang-wenangan heroik macam itu. Pendekatan Marxis ortodoks akan mencari persamaan pendekatan Marxisme dan pendekatan yang digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut. Kebenaran ajaran Marx tentang, misalnya, krisis kapitalisme mensyaratkan kebenaran teori-teori biologi, kimia dan fisika yang menjelaskan kenyataan yang membentuk latar panggung dari sejarah perkembangan masyarakat. Namun kebenaran metode Marx—bahwa keberadaan sifat-sifat dikondisikan oleh keberadaan substansi material tempat sifat-sifat itu muncul, atau bahwa syarat keberadaan material dari sesuatu mengondisikan syarat realisasi sesuatu itu—berlaku juga dalam pendekatan ilmu biologi, kimia dan fisika. Ringkasnya, sebagai sains, Marxisme bertumpu pada ilmu-ilmu pengetahuan non-Marxis, sementara sebagai metode, Marxisme terdapat di dalam setiap ilmu pengetahuan yang benar. Inilah titik pijak Marxis ortodoks berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Apa kemudian relevansi wacana tentang ilmu pengetahuan dan kebenaran ini bagi propaganda Marxis? Tak lain adalah ini: propaganda Marxis mesti berangkat dengan kesadaran bahwa kebenaran nomor satu, baru kemudian kesesuaiannya dengan ajaran Marx. Mengapa begitu? Karena di dalam setiap kebenaran dengan sendirinya ada metode Marxis, sementara dalam ajaran spesifik Marx dimungkinkan ada kekeliruan akibat kerangka acuan empiris yang tidak memadai pada zamannya. Ambillah contoh tulisan Marx tentang ‘masyarakat Asiatik.’ Ketika ia hendak merumuskan modus produksi Asiatik dan berbicara tentang Hindia Belanda, Marx menggunakan sumber rujukan buku Thomas Stamford Raffles, History of Java, sebuah buku yang rincian empirisnya tidak akurat karena dipengaruhi oleh bias epistemologi kolonial. Karenanya, ajaran spesifik Marx tentang masyarakat Asiatik belum tentu dapat diandalkan. Sementara di dalam teori non-Marxis seperti teori evolusi Darwin, berlaku metode yang juga digunakan Marx: sifat-sifat spesies dikondisikan oleh syarat produksi dan reproduksi kehidupan materialnya sehingga evolusi spesies dimungkinkan karena adanya evolusi dalam kondisi material. Karenanya, kebenaran nomor satu, baru kemudian kesesuaiannya dengan ajaran Marx.
Kita akan memperjelas paradigma propaganda Marxis ini dengan mengambil ranah kebudayaan sebagai ilustrasi. Bagaimana meyakinkan seorang intelektual non-Marxis atau bahkan anti-Marxis bahwa Marxisme itu benar adanya? Bagaimana meyakinkan sekelompok personel band indie bahwa Marxisme itu masuk akal? Bagaimana meyakinkan seorang matematikawan kuper atau pemuda putus cinta bahwa Marxisme itu sahih? Tentunya tidak dengan cara-cara vulger seperti menimpakan semua permasalahan dunia pada kapitalisme demikian sehingga sosialisme menjadi solusinya. Tidak juga dengan membagi-bagikan selebaran dengan rentetan kata ‘lawan’ yang lebih banyak daripada jumlah tanda bacanya. Sebaliknya, mulailah dengan cara ortodoks: (1) abaikan semua kosakata Marxis, (2) masuk ke dalam kosakata sang subjek, (3) ikuti penalaran si subjek dan rekonstruksi metodenya, (4) eksplisitkan atau beri penekanan pada ‘metode Marxis’ yang sebetulnya sudah inheren di dalam penjelasan sang subjek tanpa sekalipun menggunakan kosakata Marxis, atau tunjukkan kekeliruan dari metode pemikiran yang ia gunakan dengan penjelasan yang selaras bagi skema dan kosakata berpikirnya, (4) tunjukkan bahwa ‘metode Marxis’ itu punya konsekuensi pada gagasan tertentu tentang kenyataan seperti yang dikupas dalam ajaran Marx.
Implikasi dari pendekatan propaganda yang ortodoks, yang tidak vulger, karenanya, adalah bahwa sang propagandis mesti fasih dalam alam kebudayaan non-Marxis. Singkat kata, propagandis Marxis tidak boleh kuper secara kultural, sibuk dalam komunitas kecilnya sendiri, kepalanya penuh sesak dengan jargon-jargon Marxis dan fraseologi Kiri semata. Ia mesti akrab, atau setidaknya ramah, dengan kegelisahan para matematikawan, kegalauan pemuda putus cinta dan spontanitas kreatif anak-anak band indie. Ia mesti haus dan cinta akan pengetahuan, dipenuhi rasa ingin tahu tentang segala yang terjadi di bawah langit dan di seberangnya. Ia mesti senang membaca tulisan etnografis tentang kebudayaan suku Masai, buku resep masakan, artikel logika tentang hubungan bikondisional dalam semantik matra-dua, novel picisan, buku cerita anak-anak, dan pernak-pernik dunia pemikiran lainnya. Ia mesti girang berdiskusi tentang temuan-temuan terbaru neurosains, tentang seni berkebun, tentang Rollysta dan dangdut indie Pantura, tentang sejarah konsep massa dalam ilmu fisika. Ringkasnya, ia mesti menjadi semacam al-insan al-kamil. Bukan ‘manusia sempurna,’ melainkan manusia yang punya perhatian yang tulus terhadap segala. Bukan karena ia ingin memaksakan Marxisme ke mana-mana, melainkan karena ia mampu melihat Marxisme di mana-mana. Propagandis yang kuper secara kultural hanya punya satu tempat: museum artifak revolusi yang gagal.
Setiap manusia, secara kodrati, adalah Marxis. Mereka menjadi non- atau anti-Marxis karena kesalahpahaman saja. Inilah aksioma fundamental dari propaganda Marxis. Peran propaganda Marxis bukanlah untuk menyalahkan orang-orang karena tidak baca Das Kapital, karena tidak masuk partai progresif, atau karena kosakatanya borju, melainkan untuk menjernihkan kesalahpahaman yang ada sehingga mengantarnya pada kebenaran hal ihwal. Manusia, dari kodratnya, adalah Marxis karena begitu ia mencapai pengertian yang benar tentang suatu hal, ia sejatinya tengah menggunakan metode Marx tanpa ia sadari. Sehingga kalau pada kesempatan lain ia mengeluarkan kosakata maupun kesimpulan yang non-Marxis atau anti-Marxis, itu pasti karena salah paham saja. Artinya, tugas propagandis Marxis bukanlah menginternalisasi nilai-nilai dan ajaran Marxis, menanamkan ideolokhi Kiri dan sejenisnya, melainkan membidani lahirnya gagasan yang benar dari dalam diri manusia itu sendiri. Hadirkan kebenaran, maka Marxisme akan datang dengan sendirinya.***
9 Maret 2014