Daftar Isi Edisi LKIP 15:
- Mundo Nuevo: Jejak CCF di Amerika Latin (Ronny Agustinus)
- Masih Muda Aja, Main Netral (Wawancara dengan Herry Sutresna)
- Pidato Soekarno di Kongres Gerwani 1961 (Kliping)
- Apresiasi Karya (Mooseo, Saut Situmorang, dan Alexander Haryanto)
Untunglah KGB sudah tak terlalu menakutkan dan menyeramkan seperti zaman ketika banyak seniman kontref Russia dibuang ke Siberia, sehingga pengantar ini kami tulis tanpa ada bayangan di kepala bahwa besok pagi akan masuk di rekening kami sejumlah sekian rubel. Malahan bahkan akan muncul satu lagi spanduk atau baliho Caleg di jalan tempat kami berteduh. Namanya juga teknologi design dan percetakan, kemarin kami menyaksikan senyum sumringah Ramadhan Pohan di tubuh salah satu APV yang dengan serampangan dan seenak hatinya menerobos jalur busway di pukul setengah enam petang. Ramadhan Pohan ini terlihat begitu ganteng, bersih, dan bisa dikatakan kulitnya selicin pria bintang iklan salah satu merek pembersih muka pria.
Yah, bulan ini kita pasti akan sering menemukan kesibukan-kesibukan beraroma politik praktis a la borjuis di sekitar kita. Jika Anda masih saja bertanya di mana keramaian itu, kami sarankan Anda untuk beli pembersih telinga dan mata banyak-banyak. Cukup sesekali menengok ke salah satu kantor partai yang anda lewati dalam perjalanan anda. Kesibukan itu tak ayal nyata di depan mata Anda. Tetapi sudahlah. Pemilu, oh pilu pilu, demikian Widji Thukul pernah menulis.
Bulan Maret adalah bulannya perempuan. Tiga hari lagi setelah LKIP edisi ini diluncurkan, kita memperingati Hari Perempuan Internasional. Clara Zetkin dan kawan-kawannya itu telah menorehkan sesuatu yang cukup berarti dalam perkembangan kebudayaan kita. Meski pun, tentu saja, masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Untuk itu rubrik kliping kali ini menghadirkan Pidato Soekarno pada Kongres Gerwani IV di Jakarta pada 1961.
Lain cerita dengan Simon Wiesenthal, seorang Yahudi yang lolos dari kamp konsentrasi Nazi. Ia punya amarah yang terus disimpannya hingga akhir hayat. Baginya program denazifikasi—peradilan para penjahat perang, kolaborator, serta pembersihan anasir-anasir fasis dalam politik, budaya, dan kehidupan sosial masyakarat Jerman pasca-Perang Dunia II—belumlah cukup. Ia, sebagaimana dipotret dalam fiksi The Boys From Brazil, memburu para bekas Nazi, para jagal beserta intelektualnya, yang minggat ke luar Eropa. Seumur hidupnya.
Kejahatan itu, kita tahu, bukan hanya terwujud dalam pengiriman jutaan manusia ke kamar gas, tapi juga dimuluskan oleh para kolaborator yang berasal dari kalangan intelektual, seniman, penulis–pendeknya, budayawan. Ada yang akhirnya mengaku, bertobat, dan kembali berkarya untuk publik. Sebagian lagi, seperti Heidegger, memilih diam, sembari filsafatnya dirayakan di negeri jiran.
Polemik yang tengah berlangsung selama beberapa bulan ini, tentang keterlibatan sejumlah budayawan dalam menciptakan imajinasi antikomunis pasca-1965, memperoleh nafasnya yang baru–dalam spirit Wiesenthal. Tulisan Ronny Agustinus yang kami muat ulang di edisi ini pada rubrik kritik adalah sumbangan penting untuk melihat sepak terjang Congress for Cultural Freedom di sub-benua seberang yang sama bergolaknya dengan Indonesia di tahun 1960-an.
Pada rubrik apresiasi karya kami hadirkan lagu dari Mooseo serta sebuah kolaborasi apik penyair Saut Situmorang dan musisi Alexander Haryanto. Jika pada Mooseo kita diingatkan akan Orba yang melenggang kangkung hingga saat ini di atas remah-remah belulang komunisme dan soekarnoisme, maka pada Saut dan Alexander kita diajak melihat keadaan alam kita yang semakin terkisis. Terkikis oleh apa? Tak lain dan tak bukan kapitalisme.
Suguhan paling asoy barangkali rubrik liputan. Betapa beruntungnya LKIP ketika berhasil mewawancarai Ucok Homicide. Bernama asli Herry Sutresna, Lelaki ini memang lebih dikenal sebagai salah satu kolektif Hip-Hop par excellence Homicide (RIP) yang kerap dikutuk sebagai pembanding laskar hiphop conscious mana pun di nusantara. Namun, LKIP tidak datang untuk berbincang tentang hiphop. Biar itu jadi urusan wartawan dan kritikus musik saja. Di teras rumah Ucok AKA Morgue Vanguard, kami malah berbincang dengan santai tentang gerakan anak muda kekinian serta berbagai masalah yang dihadapinya. Tanpa Ucok yang berbandana dan pretensi untuk berusaha memberikan solusi final pada buntunya gerakan anak muda, wawancara kami setidaknya bisa dibaca sebagai sebentuk kritik terhadap diri sendiri agar gerakan anak muda kembali menyengat.
Begitulah. Akhirulkalam, selamat membaca dan sampai berjumpa di edisi berikutnya.