KALAU memang ada yang disebut ‘Indonesian Dream,’ maka saya punya sebuah ‘Indonesian Dream’ yang rasanya sepele bagi kalangan menengah ke atas. Mimpi saya sejatinya sepele sekali: punya seperangkat Smart TV. Walhasil, demi memupuk mimpi itu, kalau jam istirahat kantor datang, saya kadang pergi ke megamall sebelah kantor—ya, salah satu mimpi saya yang terkabul, berkantor di sebelah mall—untuk sekadar mengintip televisi pintar buatan Samsung dan Sony. Ya dua merk itu saja yang saya pantengin. Maklum nasehat ayah saya selalu terngiang ‘kalau beli TV yang merk asia saja, murah. Kalau rejeki agak banyak, beli Sony. Gambarnya bagus.’
Mengenai petuah ayah saya ini, mohon pembaca maklum saja. Ayah saya cuma sekadar pegawai negeri rendahan. Baginya, (tayangan) televisi itu fungsinya cuma sekadar tontonan selepas kerja. Jadi, cuma kualitas gambarnya yang melulu dipikirkannya. Tentunya, cara memperlakukan TV seperti ini jalas sudah kuno. Ayah saya mungkin tak tahu kalau perangkat TV jaman sekarang sudah seperti ponsel pintar yang bongsor. Bahkan menurut berita termutakhir, penontonnya bisa melakukan 2 hal ini secara bersamaan: menonton sambil berselancar di dunia maya. Jadi, di tangan pengguna yang tepat, Smart TV harusnya bisa mempertajam cara pandang penggunanya. Misalnya, pasca menonton sebuah berita, penonton yang cerdas bisa langsung berselancar untuk mengacak keabsahan berita atau—jika ingin lebih greget—mencari sudut pandang lain untuk menyaring bias sebuah berita.
Tak ayal, ’Indonesian Dream’ saya makin berkobar. Kali ini begini bentuknya: saya ingin beli tv pintar buat ayah biar beliau bisa menyaring kebisingan pemilu. Ya, susah dipungkiri bahwa pemilu memang begitu bising dan saya ingin bapak saya memahaminya—syukur mengakalinya. Walau sudah uzur, saya tak ingin ayah saya berakhir menjadi seorang yang abai saja atas pemilu dan konsekuensinya. Lebih tepatnya, saya tak ingin ayah menjadi seperti seorang musisi indie kelas menengah atas yang seminggu lalu bercericit di twitter, di manakah para calon presiden dan wakil presiden; kok tak terlihat tanda-tanda kampanyenya?
Sontak pertanyaan ini bikin saya kaget. Awalnya saya pikir ini semacam pameran kemahiran menggunakan ironi di kalangan para—maaf—hipster. Lebih dari itu, saya berdoa mati-matian agar ini sebentuk sarkasme belaka, sebab masalahnya jadi lebih berabe jika ini ucapan yang polos dan apa adanya. Memang, jauh lebih baik bertanya demikian daripada tidak sama sekali. Namun, terlalu ngehek juga untuk begitu saja termangu polos apalagi abai saja di depan kebisingan pemilu—yang didalamnya ribuan orang diupah untuk dihitung sebagai suara dengan bayaran kaos pemilu, yang tentunya tak berbahan Gildan atau produksi Fruits of The Loom.
Ke-ngehek-annya jelas makin kentara menimbang April sudah terlalu dekat, sementara embel-embel pemilu sudah terlalu mencolok di depan mata. Padahal jika mau sedikit membuka mata saja, dimana-mana sudah berhamburan baliho, sticker atau spanduk. Malah mungkin, pos pemenangan pemilu bisa nongol di tikungan depan rumahnya dalam hitungan minggu. Yah, mungkin saja ia melihatnya tanpa disertai kesadaran yang bekerja. Atau—mari berbaik sangka—memang begitulah cara kerja iklan; terlihat lantas merasuki tanpa disadari.
Mungkin, layaknya kelas menengah ke atas Indonesia pasca reformasi umumnya, ia memandang politik sebagai sesuatu yang menjijikkan. Politik itu beda kasta dengan kegiatan penyelamatan topeng monyet, petisi online pelarangan mempekerjakan lumba-lumba atau gigs DIY. Walhasil, ia—dan mungkin kawanannya—lebih care pada monyet di jalan daripada para penerima kaos partai yang dibagikan. Tentu saja mereka ini pun tak pernah pusing dengan uang bensin ketika mengikuti pawai-pawai kampanye, atau kalender seorang calon DPD. Untuk hal-hal itu, ia sama sekali mengangkat bahu dan barangkali berujar, ‘apaan tuh?’ Ah yah, sebelum lebih jauh melangkah, perlu saya ingatkan bahwa ini tidak berbicara tentang semua kelas menengah. Hanya kelas menengah tertentu saja. Yah, kelas menengah yang barangkali bisa disebut dengan #kelasmenengahngehek.
Kalau begini, saya harus menunda dulu hasrat untuk bertanya pada sang empunya kalimat tadi tentang bagaimana banyak orang jauh di luar sana cuma sekadar dihitung sebagai suara yang diiming-imingi impian dari panggung pemilu yang biasanya lenyap begitu saja oleh sebab yang nyata cuma satu; kaos pemilu. Pun, saya harus menahan lebih keras lagi untuk mengajak beliau diskusi bagaimana—karena sempitnya celah hidup—orang-orang menerima ‘upah’ kampanye buat hidup hari ini. Wong, bisingnya pemilu saja abai, apalagi konsekuensi dan korban-korbannya.
Lagipula, konon pemilu memang bukan mainan kelas menengah. Pada pilkada Jakarta beberapa waktu lalu, nyata bahwa sebagian besar yang golput adalah kelas menengah ke atas. Beberapa memang melek politik dan secara sadar golput, tetapi lebih banyak memanfaatkannya untuk liburan di luar kota. Siapa pula dari kelas menengah ke atas yang menggunakan kaos yang didapatinya dari kampanye di kehidupan sehari-hari? Jika ada, nasibnya paling luhur: jadi kain pel.
Atau mungkin baginya pemilu cuma ramai dan terasa kalau sudah pemilu presiden. Sebab, kala itu ia bisa nonton debat presiden. Dalam hatinya, barangkali ia bisa bilang, ‘Ah ini lebih intelek walaupun jauh di bawah kelas US presidential election debates.’ Well. Debatnya memang belum mulai tapi berisiknya kampanye presiden sudah nyolong start dari beberapa bulan yang lampau di berbagai kanal termasuk TV. Ayah saya yang tak pernah mengenyam bangku kuliah saja sudah awas dan jengah melihat muka-muka capres berkeliaran di TV. Malah, Wiranto dan Hary Tanoe dengan kentara masuk dalam salah satu episode sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Ah tapi tentu saja, tak seperti ayah saya yang pilihan channel TV-nya terbatas, kawan kita ini—alih-alih nonton sinetron—memilih menghabiskan waktu menonton serial yang hip seperti Masters Of Sex atau The Big Bang Theory.
Kalau sudah begini, demi rasa sayang saya kepada seorang musisi indie, saya dengan ikhlas menunda ‘Indonesian Dream’ saya. Akan saya beli sebuah TV tabung murah dan bekas di Taman Puring lalu saya kirimkan padanya. Tak lupa, akan saya selipkan sebuah pesan, ‘Hei kawan, jika sempat, sekali-kali tontonlah televisi lokal.’
*dengan penambahan sana sini oleh Berto Tukan
Mochammad Abdul Manan Rasudi*