Komposisi
45% Dangdut, 15% Grungy Pop, 5% Laidback Hip-Hop, 10% Indie Folk 5% Koplo, 5% Artsy Pop, 15% Genre lainnya.
Cara kerja Mixtape
Seperti kumpulan lagu lainnya, mixtape ini disusun dengan tema tertentu. Kali ini, temanya keluarga dan segala tetek bengeknya; dari pacaran beda kelas, pesta pernikahan, malam pertama, kekerasan dalam rumah tangga, selingkuh, hingga—tak ketinggalan—perceraian. Namun, pengguna diharap untuk tidak lekas gusar lantas antipati terhadap mixtape ini. Bukan, mixtape ini bukan berfungsi untuk membuat Anda mematut apalagi diam-diam berkata “Ah, ga asik nih. Mixtape tentang pernikahan dan keluarga kok isinya yang jelek-jeleknya saja!”
Guna menghindari anggapan saru seperti itu, mixtape memberikan tempat yang luas bagi musik lokal nan merakyat bernama dangdut. Niatnya tak muluk. Setidaknya penikmat musik ini bisa menggoyangkan ujung jempol, kepala atau pinggul saat mixtape ini diputar. Harapannya, goyang dangdut—yang konon sudah jadi naluri alamiah orang indonesia—bisa menjadi penghiburan di kala suntuk di depan meja kerja, terhambat di dalam kemacetan atau memang sedang gerah saja dengan hidup sebab dangdut—jauh sebelum emo, post-punk atau doom metal—merayakan kegamangan dengan goyangan.
Baru, setelah hanyut dalam goyangan, setelah menemukan penghiburan sederhana ini, pendengar bisa “membaca” lirik tiap lagu hingga mafhum bahwa institusi bernama pernikahan—dan lantas keluarga—tidak cuma sekelanjutan logis yang nongol secara alamiah ketika sesorang dianggap mapan (baca: sudah lulus kuliah dan berpenghasilan). Mixtape ini—tanpa harus dijelaskan secara detail—memuat warna-warni institusi keluarga dan pernikahan yang tak selamanya indah. Memang ada malam pertama yang naturally (sic!) memabukkan. Namun setelah itu, masih ada ribuan malam yang bisa jadi malam terberat.
Lagi-lagi, tenanglah dulu, memang ada lirik-lirik kelam dangdut dalam mixtape ini, tentang suami tak pulang-pulang dan ternyata selingkuh, misalnya; namun ingat: ini dangdut, bung! Sesendu apapun, pendengar bisa tetap bergoyang dengan gaya yang sesuai dengan iman dan kepercayaan masing-masing. Ya, silakan bergoyang dan bergoyanglah dengan khusuk. Jangan ragu.
Hanya saja, setelah puas bergoyang, sangat dianjurkan untuk meluangkan waktu guna memikirkan strategi untuk mengakali masalah rumah tangga karena nyatanya kaum pemilik punya andil yang sangat besar untuk menentukan jalannya bahtera rumah tangga kita. Dede Mulyanto dalam tulisannya malah dengan gamblang menunjukkan bahwa jumlah anak—biar romantis biasanya disebut buah cinta—yang bakal kita punya juga kena atur oleh pemilik modal.
Jadi, memang wayahnya untuk memamahami, atau jika memungkinkan mempersiapkan, strategi untuk mengakali campur tangan pemilik modal. Sebab besar kemungkinan kita akan bersinggungan dengan masalah rumah tangga (baca: bumbu pernikahan) jika masih percaya pada pranata sosial bernama pernikahan.
Namun, selama jodoh belum ditemukan atau masih bisa tahan pada peer pressure berbentuk sebilah pertanyaan ‘kapan mau kimpoi[1]”, tak usah ragu-ragu untuk mendengarkan mixtape ini dan—jika sempat—bergoyanglah!
Kontraindikasi
Mixtape ini berpeluang besar menyebabkan kernyitan yang kentara di kening para music snob kelas menengah ke atas. Penyebabnya sederhana. Penyusun mixtape ini dengan sengaja dan tega menghapus sekat kelas di antara Lou Reed dan Elvy Sukaesih, Siti Badriah dan Kurt Cobain atau Neutral Milk Hotel yang begitu kesohor dengan Syaifud Adidharta yang baru dikenal penyusunnya. Galibnya, Kurt, Lou dan Jeff Mangum dari Neutral Milk Hotel memang beda kelas Elvy Sukaesih dan Syaifud Adidharta.
Sayangnya, mixtape ini disusun dengan dalih yang sangat sederhana: bahwasanya bumbu-bumbu kehidupan rumah tangga ini milik semua kelas. Konyol rasanya membatasi masalah domestik sebagai milik kaum-kaum kelas bawah yang diobral dengan vulgar di koran kuning. Ingat, perceraian artis sudah jadi tontonan basi di televisi. Dan pemetaan macam itu makin konyol misalnya ketika—pada saat mixtape ini disusun—Woody Allen juga bisa (dituduh) melakukan kekerasan (seksual) domestik.
Tapi, katanya tak sopan menjadi fasis musik. Jadi, jika memang dangdut kampungan bukan kelas Anda, sila lewati semua tembang dangdut di lagu ini. Niscaya, isinya sama saja!
Efek Samping
Pembacaan kontinu—dalam hal ini mendengarkan lagu beserta liriknya seksama—bagian tertentu bisa menyebabkan pendengar mixtape menjadi jomblo atawa bujangan ideologis dan militan. Gejalanya adalah keengganan berumah tangga demi menihilkan peluang untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan dalam keluarga. Ini adalah resultan logis dari pembacaan berulang pada lagu Caroline Says II (Lou Reed), Diam (Potret), Tak Ada Cinta Di Lemari (Wonderbra), serta Shoot (Sonic Youth).
Pilihan menjadi bujangan ideologis juga bisa muncul setelah mengkonsumsi lagu-lagu ini secara berlebihan: Bojo Loro (Nganjuk Female Artist), Sepondok 2 Cinta (Rana Rani), Gula-Gula (Elvy Sukaesih). Bedanya, Bujangan Ideologis tipe ini memilih menjomblo dengan alasan yang lebih romantis: takut selingkuh. Sementara yang menganut konsep polyamory, sudah lebih dulu menunda atau malah anti pernikahan sebab sistem keluarga yang berterima di sini cuma: Monogami dan poligami.
Pun, pembacaan menyeluruh—meski tak melulu berujung menjadi bujangan ideologis—menyebabkan penundaan rencana pernikahan. Perkaranya, kian hari kian banyak pula strategi yang perlu disiapkan pra-pernikahan. Cakupannya pun makin lebar. Dari Kredit Kepemilikan Rumah yang makin mahal, asuransi pendidikan anak hingga manajemen waktu keluarga yang digerus kegiatan menjadi buruh upahan dan kemacetan. Malah, bagi yang memberhalakan perkara seremonial, hitung-hitungan strategi mulai lebih awal: menentukan tanggal pernikahan yang cantik!
Bagi kelompok terakhir ini, pertanyaan “kapan mau kimpoi?” bisa lekas dibalas “Nanti Jeng, nikah itu ada itung-itungannya. Ada seninya. The Art of Kimpoi!”
Peringatan
- Camkan: Mixtape ini tidak serta merta disusun untuk mengendurkan niat Anda untuk menikah, berumah tangga atau beranak-pinak. Sebaliknya, mixtape ini diniati sebagai usaha merangkum sisi lain kehidupan keluarga agar—semoga ini tak berkesan didaktis—lantas dipandang sebagai kelanjutan logis hidup setelah beroleh pekerjaan hingga mentok jadi prokreasi tenaga kerja bagi kaum pemodal.
- Tidak dianjurkan untuk didengarkan dan diresapi oleh remaja tanggung dan di bawah umur—atau dalam terminologi kekinian yang derogatory—cabe-cabean dan terong-terongan.
Interaksi Mixtape
Penggunaan mixtape ini di saat problema kehidupan menghadang bisa mengakibatkan goyang tak tanpa henti. Sementara, penggunaan mixtape ini disertai minuman berakhir bisa berujung dampratan Bung Haji Rhoma Irama.
SIMPAN DI TEMPAT YANG AMAN.
MAINKAN SAAT GAMANG!
The Art Of Kimpoi: A Wedding Mixtape from mixtapeLKIP on 8tracks Radio.
8Track link: http://8tracks.com/mixtapelkip/the-art-of-kimpoi-a-wedding-mixtape
[1] Kimpoi berasal dari bahasa batak yang artinya menikah atau melakukan hubungan badan.