Judul buku: Marx on Gender and The Family, A Critical Study
Penulis: Heather A. Brown
Penerbit: Brill, Leiden-Boston, 2012
Tebal: 229 halaman termasuk index
“I argue that Marx’s discussion of gender extended far beyond merely including women as factory workers”[1]
BARANGKALI satu-satunya karya intelektual abad ke-19 yang awet dibahas orang dari karya-karya awal hingga manuskrip terakhirnya, hanyalah Marxisme. Pemikiran Karl Marx mengenai filsafat, ekonomi-politik, gender, hingga organisasi, dipadukan dengan Friedrich Engels masih terus bergaung dan menunjukkan relevansinya dengan kondisi-kondisi yang terjadi saat ini. Namun, meskipun tidak segemilang penerimaan karya-karya Marx yang berpengaruh pada gerakan buruh, karya Marx ternyata sangat penting untuk ditelaah fondasinya bagi feminisme. Hal inilah yang dilakukan Heather A. Brown melalui bukunya Marx on Gender and The Family: A Critical Study ini.
Topik gender dan keluarga tidak akan pernah lekang oleh perkembangan zaman. Apalagi ketika gender dan keluarga diletakkan dalam perspektif politik ekonomi Marxis dan ditinjau kembali secara kritis, sebagaimana yang dibahas dalam buku ini. Keutamaan buku ini bahwa ia terbit pada saat yang sangat kontekstual, di tengah deras laju perubahan dan perkembangan kapitalisme yang merasuk di tanah air, tak terkecuali di kalangan pemikir mengenai gender dan feminisme khususnya. Di tengah-tengah pergeseran/perubahan nilai-nilai tradisional mengenai konsep keluarga di Indonesia, yang berhadapan dengan pergerakan cepat serta luas dari jangkauan kapitalisme, buku ini menawarkan cara pandang yang bagi saya, konstruktif. Di mana letak konstruktifnya?
Dari jejak sejarah, hubungan antara kelas dan gender merupakan salah satu isu besar yang terus diperdebatkan di masa awal feminisme Gelombang Kedua pada akhir tahun 1960.[2] Bagi umumnya feminis, Marxisme, dengan teorinya tentang eksploitasi kelas sebagai pusat pemahaman masyarakat, disebut sebagai cenderung ‘reduksionis’ dan tidak memperhitungkan dengan cukup aspek penindasan perempuan.
Heather A Brown, adalah intelektual asal Kanada yang bekerja sebagai asisten profesor ilmu politik di Westfield State university. Ia selama ini dengan tekun melakukan riset mengenai pemikiran politik modern dan kontemporer, khususnya subyek yang mencerminkan interseksi antara gender, ras dan kelas. Melalui buku ini, Brown membawa pembaca untuk memahami letak pemikiran Marx mengenai ketiga hal tersebut. Di bagian awal dari prolog buku ini dikatakan, sepanjang sejarahnya relasi Marxisme dengan feminisme selalu tegang, ini adalah istilah yang terbaik—yang seringkali disebabkan oleh kurangnya diskusi mengenai gender dan isu-isu perempuan tradisional oleh banyak kalangan Marxis. Bahkan, menurut Brown, jika pun gender dan keluarga telah dibahas oleh kalangan Marxis, tulisan-tulisan atau hasil kajian mereka cenderung mengikuti determinisme ekonomi Friedrich Engels. Namun Brown berargumen, bahwa karya Marx mengenai gender dan keluarga memperlihatkan perbedaan yang signifikan dari tipe determinisme ini.
Pertanyaan pentingnya adalah tentang kemungkinan nilai-nilai dari pandangan Marx mengenai gender dan keluarga: apa, jika ada, yang dapat disumbangkan Marx kepada perdebatan feminis kontemporer? Apakah ada kemungkinan jika kontribusinya adalah bahwa ‘feminisme Marxis tidak jatuh atau kembali pada determinisme ekonomi, atau lebih mengacu pada klas daripada gender ketika menganalisis masyarakat kontemporer?’
Heather Brown menjelaskan bahwa karyanya ini berkontribusi pada jawaban-jawaban awal terhadap pertanyaan di atas. Brown menekankan posisi pandangannya adalah revisionis—saya sebut Marxisme adalah teori yang progresif sebab senantiasa dapat dicari ruang untuk mengritik dan mempertajamnya: ‘however, I have argued that there are a number of potential starting points for a less deterministic and less gender-blind form of Marxism.’[3] Di sini, menurut saya, Brown tidak sedang membuat teori gender dari Marxisme melainkan mencari akar dari perspektif feminis dalam pandangan Marx mengenai gender dan keluarga.
Buku ini diulas secara kronologis oleh Brown, dengan analisis dan kritik terhadap karya Marx mengenai gender dan keluarga. Brown juga mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan dibukanya analisis feminis dalam keseluruhan teori Marx. Dalam uraiannya, Brown cukup detail dan teliti mendiskusikan bagian-bagian dari karya-karya besar Marx.
Bab Dua dalam buku ini mendiskusikan karya-karya awal Marx termasuk Manuskrip 1884 (The 1884 Manuscripts), Keluarga Suci (The Holy Family), Ideologi Jerman (German Ideology) dan ‘Peuchet tentang Bunuh Diri.’ Tulisan-tulisan Marx yang awal ini memuat kritik yang tajam terhadap keluarga borjuis dan ketidakmanusiawian masyarakat kapitalis, terutama pada perempuan. Sebagai tambahan, pada kritik-kritik ini Marx mengembangkan posisinya pada asal mula penindasan perempuan dalam keluarga dan masyarakat secara luas. Terlebih lagi, Marx membuat upaya penting untuk mengakhiri dualisme alam/budaya dalam filsafatnya. Barangkali yang terpenting, dalam Manuskrip 1884, Marx berargumen bahwa penindasan perempuan dapat saja lebih fundamental dari pada kelas.
Karya-karya Marx hingga pertegahan tahun 1840 memfokuskan pada dua arena penting yaitu pertama, kritik terhadap masyarakat borjuis secara umum terutama dari karya-karya para ilmuwan ekonomi politik di Jerman, Perancis dan Inggris; kedua, Marx merumuskan teorinya mengenai sejarah, masyarakat dan perubahan sosial. Di kedua wilayah ini, Marx mengemukakan diskusi-diskusi penting tentang gender dan keluarga. Di Bab Dua ini juga, Brown mengulas empat karya penting Marx sejak tahun 1840 dan satu artikel singkat yang terbit tahun 1850, masing-masing terdiri dari diskusi-diskusi penting tentang gender dan keluarga. Keterputusan Marx terhadap liberalisme berlangsung tahun 1843-1844, yang kemudian diacu sebagai Manuskrip 1844. Manuskrip ini mengandung diskusi singkat namun penting tentang gender, di mana Marx berpendapat ‘bahwa posisi perempuan dapat digunakan untuk melihat perkembangan umum dari suatu masyarakat. ’Manuskrip 1844 juga mengandung diskusi penting mengenai kemanusiaan dan alam, satu isu yang merujuk pada pemahaman berbeda mengenai nexus antara biologi dan masyarakat yang umumnya tidak sering dialamatkan pada Marx. Keluarga Suci yang ditulisnya bersama Engels merupakan respons atas novel Eugene Sue Les Mysteres de Parisyang dianggapnya moralis. Terhadap novel ini, Marx berargumen bahwa moralitas si pelacur, Fleur de Marie sebagai tokoh dalam novel tersebut lebih manusiawi daripada orang lainnya dalam masyarakat borjuis, meskipun dia hidup di kondisi yang tidak manusiawi, berlawanan dengan moralitas yang dianut Sue sang penulisnya. Hal ini mungkin terjadi karena masyarakat borjuis tidak mempengaruhinya. Dalam Ideologi Jerman yang juga ditulisnya bersama Engels, Marx berargumen bahwa keluarga mengandung semua jenis kontradiksi signifikan yang berkembang dalam masyarakat (keluarga sebagai ‘miniatur’ masyarakat) dan bahwa perbudakan adalah laten dalam struktur keluarga. Dalam sebuah teks yang sedikit diketahui publik tahun 1846, Marx mengadopsi tulisan seorang perwira polisi, Jacques Pauchet mengenai bunuh diri.[4] Di sini Marx menekankan moralitas masyarakat borjuis, kekuasaan patriarkis, dan efek-efeknya yang menghancurkan bagi perempuan. Akhirnya dalam artikel untuk Neue Rheinische Zeitung politisch Ekononomische Revue dalam tahun 1850, Marx dan Engels memaparkan diskusi singkat tentang dualisme alam/budaya (natur/kultur) serta perempuan/laki-laki. Dari diskusi ini, menjadi jelas bahwa Marx memberi perhatian, setidaknya, pada gender dan keluarga dalam karya awalnya dan melihat hal itu sebagai faktor penting dalam memahami masyarakat.
Manuskrip 1844 itu sendiri tidak diterbitkan di masa hidup Marx. Karya ini merupakan eksplorasi Marx pertama yang membahas mengenai masyarakat dan perubahan sosial. Di situ, Marx membahas sejumlah isu seperti keterasingan yang inheren dalam masyarakat kapitalis, struktur ekonomi dan politik kapitalisme, dan kritik serta modifikasi dari dialektika Hegel. Dia juga mengelaborasi kritik terhadap arti komunisme yang ada saat itu. Dalam Manuskrip ini, Marx mendiskusikan relasi gender dalam esai ‘Private Property and Communism,’ yang berargumen bahwa posisi perempuan adalah kunci untuk menentukan perkembangan masyarakat. Menurut Brown, dialektika pemahaman Marx tentang relasi alam, kultur dan kerja berpotensi selaras dengan interpretasi feminis tentang relasi antara alam dan budaya, terutama yang berkaitan dengan perempuan. Di Bab 2 ini Brown juga mengemukakan beberapa ilmuwan yang kritis terhadap tulisan-tulisan Marx terkait dengan perempuan. Salah satunya adalah Christine Di Stefano yang melihat tulisan Marx sebagai maskulin dari tiga sudut pandang: gaya penulisan diskursif yang agresif, ontologi yang dualistik, dan paparan Marx mengenai buruh dalam tulisannya, sebagai buruh laki-laki. Aspek terakhir ini adalah sangat signifikan untuk melihat kemungkinan amalgamasi baru antara Marxisme dan feminisme.
Bab Tiga ‘Political Economy, Gender and the “Transformation” of The Family’ Brown membahas empat karya Marx dan Engels, Manifesto Komunis serta karya Engels, Prinsip-prinsip Komunisme serta karya Marx,Das Kapital Volume I dan II.
Prinsip-prinsip Komunisme merupakan karya Engels sebagai draft awal dari Manifesto Komunis, dimana Engels memberi penjelasan singkat tentang pandangannya mengenai relasi antara arena publik dan keluarga dalam suatu masyarakat baru. Draft ini didiskusikan dengan Marx dalam tahap finalisasinya. Ketika teks ini dibandingkan dengan diskusi mengenai peleburan keluarga dalam Manifesto, beberapa perbedaan antara Marx dan Engels mengenai gender dan keluarga tampaknya muncul.
Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels menyediakan kritik yang keras terhadap keluarga modern, seraya memperkirakan kejatuhannya karena faktor-faktor obyektif dalam sistem kapitalisme. Marx dan Engels dalam Manifesto mendiskusikan proses transformasi keluarga borjuis karena perubahan ekonomi dalam masyarakat. Sementara keluarga borjuis tidak sepenuhnya melebur dalam kondisi-kondisi kapitalisme, Marx dan Engels melihat kondisi-kondisi material untuk peleburannya. Realitas material dari keluarga, terutama untuk kaum proletar, sangat berbeda dengan versi ideal dari keluarga borjuis.
Setelah mendiskusikan Prinsip-prinsip dan Manifesto, di bab ini Brown menggali lebih jauh ide-ide Marx dalam Das Kapital dan mengaitkannya dengan posisi perempuan dalam gerakan buruh dan juga pada transformasi dari keluarga.Brown juga menelaah argumen-argumen Marx mengenai kerja produktif dan tidak produktif, selain mendiskusikan mengenai dualisme natur/kultur. Jika dalam ManifestoMarx hanya memberi outline bagi argumennya, dalam Das Kapital dia menulis secara signifikan dan mendetail mengenai cara-cara di mana perempuan dan anak-anak dieksploitasi oleh sistem kapitalisme, dan kemudian melanjutkan argumennya dengan diskusi mengenai peleburan keluarga. Marx juga mendiskusikan peran perempuan dalam perjuangannya dengan kapitalisme sepanjang hari kerja. Masuknya perempuan dalam angkatan kerja, terutama dengan diperkenalkannya mesin-mesin pada pabrik (dalam konteks buruh) menciptakan kesulitan sekaligus kemungkinan baru bagi gerakan buruh. Di satu sisi, hal ini menciptakan kesulitan-kesulitan karena peremuan dibayar lebih murah daripada laki-laki, dan hal ini cenderung membelah serta melemahkan gerakan. Di sisi lain, masuknya perempuan ke dalam angkatan kerja juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk penghancuran penindasan patriarki.[5]
Sementara Marx dan Engels sudah pasti keliru mengenai peleburan yang massif dari keluarga borjuis, analisis Marx pantas mendapat perhatian utama sebab dia memisahkan kontradiksi-kontradiksi di antara efek-efek yang menyeluruh dari kapitalisme, dan kebutuhan modal untuk mengeksploitasi partikularitas-partikularitas demi mempertahankan keuntungan. Sehingga, walaupun Marx tidak betul dalam menekankan pada efek-efek menyeluruh dari kapitalisme, analisisnya terhadap kontradiksinya dan konflik tetap penting bagi teori feminis. Lebih jauh lagi Brown berpendapat, konsep produksi Marx dan kerja produktif ternyata sangat kompleks daripada yang umumnya dipercaya.
Sementara karya Marx cenderung fokus pada aspek ekonomi politik, Brown melihat bahwa dia tidak mengesampingkan posisi perempuan sepenuhnya. Bahkan, Marx menganggap perubahan signifikan yang muncul berlangsung sebagiannya karena perkembangan kapitalisme, berkenaan dengan keluarga. Keluarga dalam arti ‘lama’ semakin memudar karena perempuan dan anak menjadi lebih berperan dalam produksi kapitalis. Jika pun Marx tampaknya mungkin agak berlebihan ketika memperkirakan cakupan perubahan yang muncul dalam keluarga dan potensinya untuk menghilangkan relasi-relasi patriarkis yang menindas didalamnya, dia adalah satu dari segelintir ilmuwan yang pada masa itu memperlihatkan perkembangan historis keluarga.[6] Brown dengan tepat menunjukkan poin Marx yang melihat bahwa karena keluarga borjuis hanyalah satu tipe dalam bentuk-bentuk sejarah keluarga, maka dapat bertransformasi. Meskipun poin ini mempunyai ambiguitas, menurut BrownMarx melihat potensi bagi sebuah bentuk keluarga baru yang laten dalam masyarakat kapitalis. Perempuan ditarik dalam angkatan kerja dan oleh sebab itu memperoleh kemandirian, karena ayah atau suami tidak lagi secara penuh mengontrol pendapatan keluarga. Terlebih, perempuan membuktikan bahwa diri mereka adalah pekerja tangguh, meskipun ideologi tradisional mengatakan ‘tempat perempuan adalah di dalam rumah.’[7]
Dalam titik ini, menurut Brown, penghancuran keluarga juga mempunyai sisi negatif, terutama untuk anak dan perempuan. Selain disebabkan oleh masuknya mereka ke dalam angkatan kerja, perempuan masih bertanggungjawab atas anak-anak, hal ini diulas oleh Marx secara kurang kritis.
Bab Empat menganalisis tulisan-tulisan politik Marx mengenai perempuan, termasuk artikel-artikel yang ditulisnya bagi harian New York Daily Tribune, esai dari The New York Weekly Tribune yang tidak diperoleh dalam Marx/Engels Collected Works, dokumen-dokumen dari berbagai organisasi buruh dimana dia terlibat, Perang Sipil di Prancis (The Civil War in France) dan The Critique of The Gotha Programme. Tulisan-tulisan ini mengilustrasikan bahwa Marx mempunyai pemahaman mengenai isu-isu perempuan dalam menghadapi kapitalisme dan bekerja untuk mengritik serta menghilangkan hambatan-hambatan itu. Ini termasuk dukungannya pada perempuan untuk bergabung dalam serikat pekerja yang setara dengan laki-laki. Sebagai tambahan, aktivitas-aktivitas Marx selama dan setelah Komune Paris 1871 menunjukkan bahwa dia mulai melihat peran lebih besar dari perempuan dalam berjuang untuk perubahan. Peran perempuan dalam Komune Paris 1871, menginspirasi Marx untuk berpendapat bahwa perempuan sebagai perempuan juga merupakan kekuatan penting untuk perubahan.
Pada Bab Lima Brown mulai mendiskusikan karya-karya akhir Marx. [8]Di bab ini Brown membandingkan catatan-catatan Marx tentang karya Lewis Henry Morgan, Ancient Society to Engels Origin of The Family, Private Property and The State, yang juga berdasarkan pada karya Morgan dan pada titik tertentu, catatan-catatan Marx mengenai Morgan. Meskipun catatan-catatan Marx dalam bentuk draft kasar dan tidak pernah dimaksud untuk diterbitkan, Brown berpendapat, mengikuti Dunayevskaya, bahwa catatan-catatan itu mengilustrasikan bahwa pandangan Marx mengenai asal mula kelas dalam masyarakat dan penindasan gender lebih bernuansa daripada yang ditulis Engels. Sebagai kontras dengan model unilinear dan monokausal ala Engels, Marx memperlihatkan bagaimana antagonisme-antagonisme kelas dan gender telah dimulai dalam masyarakat berbasis klan-klan yang terstruktur secara komunal sebelum berkembangnya kepemilikan pribadi.
Bab Enam mendiskusikan bagian-bagian lainnya dari catatan-catatan Marx mengenai etnologi, termasuk catatan-catatannya mengenai bahan ajar oleh Henry Summer Maine Lectures on The Early history of Institutions, dan terhadap tulisan Ludwig Lange Romische Alterthumer (Ancient Rome). Dalam catatannya mengenai Maine, Marx sangat kritis terhadap pandangan Maine mengenai keluarga di Irlandia kuno dan India. Marx, yang setelah itu mengritisi pandangan Morgan mengenai keluarga, kemudian mengritik Maine atas ketidakmampuannya untuk melihat bahwa keluarga tidak selalu merupakan keluarga borjuis yang patriarkis; namun hal ini telah berubah secara drastis sepanjang sejarah. Catatan-catatan Marx mengenai Lange, memberikan wawasan penting ke dalam sudut pandang Marx mengenai perkembangan keluarga patriarkis, terutama berkaitan dengan kondisi di Romawi Kuno. Di sini, sebagaimana pula dalam catatan-catatannya yang lain, Marx tampaknya memberi gambaran bahwa posisi perempuan beragam atas dasar sejumlah faktor subyektif dan obyektif. Jadi bagi Marx, tidak ada istilah ‘kekalahan sejarah dari jenis kelamin perempuan.’ Meskipun perlawanan perempuan seringkali tidak berhasil untuk mencapai hasil yang signifikan, hal ini dan juga kemungkinan perubahan- perubahan dalam relasi gender tampaknya selalu hadir dalam karya Marx. Bab Tujuh menyediakan tinjauan dan ulasan terhadap karya Marx mengenai gender dan kemungkinannya untuk mengadopsinya dalam konteks situasi saat ini.
Karl Marx dan Keluarga, Ghan ZenLun
Relevansi Mendiskusikan Marxisme, Gender dan Keluarga
Studi ini merupakan upaya yang timely jika kita letakkan pada konteks politik dan ekonomi global serta respons atas gerakan protes terhadapnya. Ini digambarkan dengan jelas di bagian pengantar, di mana Brown menarik relasi antara kembalinya perhatian ilmuwan dan aktivis terhadap kritik Marx pada kapitalisme dengan sejumlah gerakan massa. Dalam konteks ini, khususnya Brown melihat bahwa animo para akademisi terhadap gerakan sosial kembali muncul sejak gerakan antiglobalisasi menjadi pusat aktivitas gerakan protes di Seattle, AS, 1999. Di titik inilah, Brown menelusuri para aktivis yang kembali pada kritik Marx mengenai kapitalisme. Para penulis seperti Antonio Negri, John Cassidy dan Michael Hardt, dalam bagian pengantar, dilihat oleh Brown sebagai para penulis yang mengakui kekuatan dari kritik Marx terhadap kapitalisme dan dengan berbagai cara berupaya untuk melihat kembali tulisan-tulisannya untuk kondisi saat ini di mana kapitalisme telah mengglobal.[9] Pertemuan antara konteks ekopol neoliberal yang dilanda krisis dan protes-protes terhadapnya membuat karya-karya para penulis itu dan juga karya lainnya semakin signifikan, sebagaimana di saat yang sama sejenis resesi global jangka panjang telah terbangun dan memperbarui serta memperkuat gerakan anti neoliberal. Hal ini juga diperkuat dengan maraknya aksi massa di jalanan di kota-kota Paris, London, Madison, Wisconsin, dan sejumlah lokasi di dunia mengikuti gerakan protes Occupy Wall Street. Dalam setiap aksi-aksi tersebut, perempuan merupakan partisipan utama dalam rangkaian protes besar pada pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia. Dalam protes mereka, para perempuan ini bukan hanya menyuarakan penindasan ekonomi terhadap mereka tetapi juga terhadap kekerasan seksual.
Rangkaian protes yang terakhir melanda kawasan Timur Tengah, yang mengacu pada tumbangnya rejim-rejim di Tunisia, Libya, Mesir di samping meluasnya protes rakyat di Negara-negara Bahrain, Syria dan Yemen. Keseluruhan protes ini menunjuk pada besarnya kemarahan dan frustrasi pada kebijakan ekonomi dan politik, baik di negara-negara maju maupun berkembang. Tampaknya, dari gejala-gejala tersebut neoliberalisme tengah mengalami krisis dengan skala penuh.[10]
Brown melihat bagaimana situasi ini menjadi semakin problematik ketika posisi perempuan dalam konteks kapitalisme yang mengglobal didiskusikan. Apalagi dalam dekade terakhir, masalah ini telah berkembang dan mempunyai relevansi lebih besar jika melihat pada situasi meningkatnya perempuan dalam angkatan kerja yang dibayar di seluruh dunia, yang merupakan akibat dari perubahan dalam kapitalisme global. Sebagai contoh dikemukakan oleh Brown, berdasarkan laporan PBB, perempuan ‘menempati 66 persen dari total angkatan kerja di dunia, memproduksi 50 persen makanan, tetapi hanya memperoleh 10 persen dari pendapatan dan memiliki 1 persen dari kepemilikan.’[11] Terlebih lagi, demikian Brown, krisis ekonomi hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi perempuan. Menurut Bank Dunia (2009), perempuan menempati dari 60 menjadi 80 persen dari tenaga kerja pabrik manufaktur di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang.[12] Sementara itu, mengutip data ILO tahun 2009, krisis ekonomi global akan menjerumuskan sebanyak 22 juta perempuan menjadi pengangguran, dimana angka rata-rata pengangguran perempuan menjadi sebesar 7.4 persen versus 7 persen dari tingkat pengangguran pada laki-laki. Lebih jauh dari itu, menurut Brown, dalam konteks kapitalisme yang mengglobal ini kekuasaan politik perempuan malah meningkat. Sebuah studi tahun 2011, menunjukkan bahwa rata-rata partisipasi perempuan dalam dewan perwakilan, baik yang perwakilan tunggal maupun sistem bicameral, mendekati 20 persen.[13] Negara-negara Nordik menempati angka tertinggi sebesar 43.1 persen, diikuti dengan seluruh Eropa sebesar 20,3 persen, dan Amerika pada angka 22 persen. Belakangan perempuan Mesir juga terlibat sangat aktif dalam revolusi menggusur Mubarak. Meskipun demikian, ketika dia telah tersingkirkan, peran perempuan tidak terakomodasi dalam posisi di pos-pos pemerintahan yang penting, bahkan perempuan justru berkurang jumlahnya di kabinet yang sekarang dibandingkan dengan masa Mubarak berkuasa.[14]
Semua fenomena di atasmendorong Brown untuk lebih jauh mengamati relasi antara Marxisme dan feminisme. Tentu saja, dengan belajar dari contoh-contoh di atas, hubungan yang kompleks antara gender dan kelas adalah satu hal yang harus ditinjau kembali untuk memperbaiki kondisi perempuan di manapun. Setelah sejumlah upaya dilakukan pada periode 1970an dan 1980an untuk mengadopsi dan mengintegrasikan pandangan ekonomi Marx dengan metodologinya ke dalam teori feminis, kritik-kritik kalangan feminis terhadap Marx tampak menjadi pemenang dari perdebatan, dengan argumen bahwa Marx tidak menawarkan apapun (atau hanya sedikit menawarkan sesuatu) dalam arti feminisme dan gerakan pembebasan perempuan. Bahkan, dalam pembacaan Brown, banyak teori feminis dalam dua dekade terakhir telah bergerak ke arah pemahaman pasca strukturalis.[15]
Brown melihat, sejumlah studi dari genre pasca strukturalis ini telah mengevaluasi banyak keterbatasan feminisme sosialis dan upaya-upayanya untuk mensintesiskan Marxisme dan feminisme. Ini benar khususnya tentang kritik terhadap esensialisme, etnosentrisme dan penerimaan yang tidak kritis dari kalangan feminis Marxis awal terhadap determinisme ekonomi Marxis ortodoks, setidaknya dalam konteks diskusi mengenai ‘ranah produktif.’ Sebenarnya, belum jelas betul apakah perdebatan ini benar-benar telah selesai. Pascastrukturalisme dan teori mengenai perbedaan tidak dapat menciptakan feminisme anti kapitalis, sebab teori-teori ini hampir semuanya memfokuskan pada wilayah-wilayah kebudayaan, ideologi, dan gerakan-gerakan resistensi yang bersifat lokal.[16]
Namun demikian, menurut Brown, justru dalam kurun waktu limabelas tahun terakhir ini sejumlah studi dengan berbagai angle telah berupaya untuk ‘membawa Marx kembali ke dalam diskusi.’ Ia mencontohkan dalam buku ini karya-karya beberapa akademisi tersebut. Misalnya, Grant dan Klotz membuka kembali topik mengenai pemahaman Marx tentang gender dan kondisi alamiah manusia dalam Manuskrip 1884.[17] Sedangkan Carver berupaya untuk menempatkan Marx sebagai feminis dalam konteks abad ke-19, meskipun, menurut Carver ‘dia tidak banyak gunanya dalam teorisasi feminis saat ini.’[18] Leeb mendiskusikan sejauh mana gender distrukturkan di bawah kapitalisme dan bagaimana, bahkan Marx, tidak dapat melampaui dualisme gender dalam karyanya sendiri.[19] Gimenez memberikan tinjauan penting terhadap metode dialektis Marx dan berargumen bahwa itu bisa digunakan secara produktif oleh para feminis untuk mengatasi kategorisasi yang tetap seperti ‘laki-laki’ dan ‘perempuan.’[20] Anderson memaparkan suatu hal yang sering dikesampingkan, sebuah esai dari karyaMarx awal mengenai bunuh diri yang melibatkan perempuan.[21] Dalam karyanya yang lain, Anderson secara ringkas mendiskusikan catatan-catatan Marx mengenai masyarakat prakapitalis dan gender.[22] Hennessy mendiskusikan bagaimana kebutuhan emosional yang terkandung dalam nilai-nilai dan identitas dimasukkan ke dalam hubungan kerja di dalam dan di luar pasar.[23]
Brown berkesimpulan, dari beberapa referensi yang memperlihatkan bangkitnya kembali studi mengenai Marx serta tampaknya menawarkan banyak hal bagi pemahaman mengenai relasi antara gender dan klas, namun kesemuanya masih bersifat parsial: tidak ada studi yang meninjau karya Marx tentang gender dengan membahas karyanya secara menyeluruh, termasuk karyanya mengenai etnologi. Disinilah letak signifikansi dari buku ini: berupaya mengisi kesenjangan dalam literatur tentang Marx, dan diharapkan, menawarkan beberapa wawasan umum ke dalam interseksi antara gender dan kelas. [24]
Titik penting dari buku ini adalah ajakan Brown untuk mengevaluasi dan mengembangkan Marx guna kepentingan teori feminis saat ini. Dia menunjukkannya dengan mengetengahkan bagaimana sejumlah akademisi memperlihatkan daya tahan Marxisme, meskipun dalam kurun waktu pasca runtuhnya komunisme di Eropa Timur. Brown mengutip karya akademisi Amerika, Martha Gimenez mengenai feminisme, yang mengatakan ‘jika karya Marx (dan konsekuensinya, tradisi Marxis) secara substantif dipengaruhi oleh semua kekurangan yang disumbangkan oleh ilmuwan sosial dan feminis, maka sudah pasti akan dilupakan. Tapi kekuatan intelektual Marx dan vitalitasnya masih tak menyurut, sebagaimana diperlihatkan, bahkan oleh ilmuwan yang menolaknya, haruslah berkutat dengan tantangan dalam karyanya, sedemikian sehingga teori-teori mereka dipengaruhi oleh proses penolakan terhadapnya.’[25]
Brown lebih jauh mengemukakan, di luar teori Marx yang tampaknya buta gender dan dualistis, sejumlah ilmuwan feminis telah mengakui kekuatan kritik Marx terhadap ekonomi politik, dan pada beberapa kasus, berupaya untuk memasukkan ke dalam analisis. Tentu saja, setiap studi yang berkenaan dengan Marx dan gender harus mengakui pentingnya studi-studi yang dilakukan oleh para feminis Marxis awal, seperti Margaret Benston, Mariarosa Dalla Costa, Silvia Federici[26] dan Wally Seccombe, untuk menyebut beberapa nama penting dalam studi mengenai nilai kerja rumah tangga.[27] Sementara, meskipun mereka memunyai kesimpulan yang berbeda-beda, (lihat Bab 3 mengenai diskusi di antara para ilmuwan tersebut) semua membawa Marx dalam menilai kembali secara politik, ekonomi dan sosial, dari kerja perempuan dalam rumah tangga. Ini dipandang merupakan perkembangan penting, sejak kebanyakan ilmuwan melihat Marx buta gender dan tidak dapat berurusan dengan isu-isu yang melibatkan perempuan di luar angkatan kerja. Namun, karya-karya mereka mengilustrasikan bahwa teori Marx dapat dipengaruhi untuk memasukkan isu-isu perempuan setidaknya melibatkan ekonomi politik. Di Bab 3, Brown berargumen bahwa para ilmuwan feminis Marxis awal itu gagal mengintegrasikan diskusi mengenai upah kerja dengan suatu teori Marxis yang menyeluruh mencakup perempuan dan masyarakat. Tentu saja, tujuan-tujuan dalam esai buku ini lebih terbatas daripada keinginan yang disebut Brown di atas, sehingga Brown pun menyadari bahwa kritiknya pada para feminis Marxis itu pun kurang fair. Namun, masih menurut Brown, mungkin saja menciptakan teori Marxis yang memperhitungkan efek-efek pembeda dari gender, sehingga diperlukan lebih dari sekedar teorisasi tentang kerja rumah tangga. Brown juga menelusuri karya ilmuwan lainnya yang telah meninjau aspek-aspek berbeda dari Marx untuk menghindari implikasi-implikasi ‘buta gender’ dari teorinya.
Nancy Holstrom, sebagai contoh, memaparkan diskusi yang bagusterhadap pandangan Marx mengenai kodrat manusia.[28] Di sini Holstrom berpendapat bahwa pemahaman Marx tentang kodrat manusia terbuka pada feminisme, sebab kodrat manusia bukanlah entitas esensial yang statis, melainkan dapat menjadi subyek dari kekuatan-kekuatan sosial dan teknologi dan oleh karenanya bisa berubah. Karena inilah maka dimungkinkan menyarankan, melampaui Marx, dan berargumen bahwa perempuan tidak mempunyai kodrat yang esensial namun juga subyek dari perubahan sebagaimana masyarakat juga berubah.[29] Selain itu akademisi Amerika lainnya, Lisa Vogel juga berupaya untuk menyediakan koreksi terjadap pemahaman dualistis Engels tentang hubungan antra produksi dan reproduksi sosial.[30] Terhadap hal ini, Brown berpendapat bahwa karya-karya penting Holmstrom dan Vogel itu problematis sebab masing-masing hanya menyangkut aspek tertentu dari pemikiran Marx daripada mempertimbangkan totalitas dari karya Marx. Sebagaimana Dupre telah mengatakan, substansi dari kesimpulan-kesimpulan Marx tidak dapat dipisahkan dari metodenya.[31] Keduanya terkait secara dialektis, sehingga upaya-upaya untuk mengambil aspek-aspek yang berbeda atau substansi Marx dari keseluruhannya adalah problematis, sebab teori Marx yang relasional justru mendapatkan kekuatannya berdasarkan pemahamannya terhadap interkoneksitas antara keseluruhan dan bagian-bagiannya. Oleh sebab itu, menurut Brown, sangat penting untuk melihat teori Marx sebagai suatu totalitas—baik dalam aspek-aspek negatif maupun positif—untuk meninjau potensinya dalam rangka mengedepankan teori feminis dan tujuan-tujuannya. Dalam memenuhi tujuan itu, buku ini menampilkan telaah Brown yang bertumpu pada karya Raya Dunayevskaya yang menganalisa secara total karya-karya Marx.[32]
Brown berargumen bahwa ‘diskusi mengenai Marx dan gender terletak jauh melampaui batasan yang sekedar memasukkan perempuan sebagai pekerja pabrik.’ Menurut Brown, semua karya-karya Marx secara mendasar mempunyai perhatian pada aspek manusia serta bagaimana mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dunia di luar mereka. Brown berpendapat, meskipun Marx tidak menulis cukup banyak mengenai gender dan keluarga, dan tidak mengembangkan teori yang sistematis tentang gender, namun baginya gender merupakan kategori penting untuk memahami pembagian kerja, produksi, dan masyarakat secara umum.[33] Secara garis besar, karya-karya Marx mencerminkan petunjuk untuk emansipasi manusia yang genuine. Dengan ini, Brown melihat adanya celah dalam semua teori Marx mengenai masyarakat yang bisa jadi dapat dimaknai kembali oleh interpretasi feminis. Dengan tepat ditunjukkan oleh Brown bahwa Marx sangat concern dengan pembebasan perempuan sebagai bagian dari upaya besar emansipasi manusia di sepanjang karya-karyanya.
Bagaimana Brown menelusuri akar pemikiran Marx mengenai gender dan keluarga? Dalam buku ini, Brown mengulas karya-karya Marx yang telah diterbitkan yang membahas gender dan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, termasuk catatan (notebooks) 1879-1882 yang sebagiannya masih belum diterbitkan. Brown berkesimpulan, melalui kajian terhadap seluruh materi tersebut, menjadi jelas bahwa Marx, meskipun tidak pernah sepenuhnya mengembangkan ide-ide ini, telah memberi indikasi-indikasi penting untuk menuju pada teori mengenai gender dan masyarakat.[34]
Posisi di atas oleh Brown diterjemahkan ke dalam metode penulisan buku ini. Brown mengidentifikasi semua yang ditulis Marx terutama tentang keluarga dan peran perempuan, dan dalam menjelaskan maksudnyamengutip kata-kata Marx yang tak jarang panjang daripada memparafrase argumennya. Meskipun ia sadar bahwa pilihan itu berimplikasi cenderung mengurangi alur dan kelanjutan dari teks, namun Brown merasa penting untuk memaparkan konteks relasional untuk argumen-argumen Marx. Ini terutama dilakukan Brown ketika mendiskusikan beberapa karya Marx yang kurang banyak diketahui publik atau karya-karyanya yang belum terpublikasikan sehingga tidak terlalu banyak pembaca yang tahu.
Brown bertumpu pada Raya Dunayevsyaka penulis Rosa Luxemburg, Women’s Liberation and Marx’s Philosophy of Revolution. Karya ini dibagi dalam tiga bagian yang memfokuskan pada ide-ide dari teoritisi, aktivis, dan internasionalis, Rosa Luxemburg. Dibandingkan dengan sejumlah area dari riset-riset feminis yang seringkali merancukan Marx dengan Engels, atau hanya mengambil aspek-aspek tertentu dari inti pemikiran atau metode Marx untuk teorisasi feminis, Dunayevskaya dalam menulis menggunakan metodeyang mengaitkan pandangan Marx mengenai perempuan dengan pandangannya mengenai masyarakat dan perubahan sosial. Dunayevskaya, menurut Brown, merupakan contoh terpenting dari seorang ilmuwan yang telah melakukan studi semacam ini.[35] Metode yang digunakan Dunayevskaya pada studi Marxisme ditemukan dalam penitikberatannya terhadap peninjauan pada totalitas karya Marx dan terlebih lagi pada bagaimana Marx menempatkan faktor-faktor selain kelas.
Melalui karya Dunayevskaya Rosa Luxemburg, Women’s Liberation and Marx Philosophy of Revolution, Brown memperlihatkan bagaimana Dunayevskaya mengacu pada pentingnya pemikiran Luxemburg tentang ‘massa sebagai pikiran.’[36] Bagi Marx, ‘poin-poin inti dari suatu teori revolusioner berakar dalam aktivitas massa itu sendiri yang membuat revolusi bukan sekedar sebagai kekuatan politik tetapi juga pikiran yang ilmiah.’[37] Ini oleh Brown dilihat kontras dengan vanguardisme Leninis di satu sisi, dan di sisi lain, determinisme ekonomi yang mengatakan perubahan sosial datang hanya dari kondisi-kondisi ekonomi yang obyektif. Brown memahami, bagi Dunayevskaya, Marx melihat bahwa massa itu sendiri yang bekerja untuk menciptakan teori perubahan mereka sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman dan visi mereka mengenai apa yang mereka pikir sebagai masyarakat non eksploitatif yang seharusnya. Namun, ini tidak boleh dibaca sebagai voluntarisme. Perkembangan-perkembangan sejarah yang obyektif di sini sama pentingnya dengan faktor-faktor subyektif, ia hanya satu bentuk teori. Proses membangun teori perubahan sosial pada dasarnya sangat dialektis dan bergerak dari baik pada tataran praksis menuju teori dan atau dari teori menuju praksis.[38] Dunayevskaya berpendapat, konsep ini sangat berakar dalam pandangan dunia Marx dan mempengaruhi analisisnya tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang konkrit, sebagaimana juga pandangannya tentang kekuatan-kekuatan revolusi termasuk perempuan, yang dikutip oleh Brown sbb:
‘Pembentukan Internasional Pertama, di satu sisi, dan penyusunan final Das Kapital di sisi lain, dalam tahun 1860 telah membuka, pada satu dan waktu yang sama, tidak hanya keterputusan dengan konsep dari teori sebagai perdebatan dengan para teoritisi, dan pembangunan konsep dari teori sebagai suatu sejarah perjuangan kelas, tetapi suatu konsep juga tentang kekuatan revolusioner baru-Black (pembebasan). Kulminasi dari semua teori-teori dan aktivitas-aktivitas itu adalah, tentu saja, penampilan historis dari Komune Paris 1871 dan di sana juga kita saksikan—seiring dengan penemuan besar dari sebuah bentuk historis untuk mengerjakan emansipasi ekonomi dari kaum proletar—sebuah kekuatan revolusi baru, perempuan.’[39]
Jadi menurut Brown, mengikuti argumen Raya Dunayevskaya, Marx belajar dari peristiwa-peristiwa sejarah seperti gerakan abolisionis dan Perang Sipil Amerika dan juga Komune Paris, dan memadukan wawasan-wawasan ini pada kekuatan-kekuatan baru dari revolusi ke dalam teorinya mengenai masyarakat dan perubahan sosial.[40] Menurut Dunayevskaya, Komune Paris secara khusus penting dalam konteks posisi Marx tentang perempuan sebagai subyek sejarah. Terlebih, berlawanan dengan para akademisi yang berpendapat bahwa Marx tidak mempunyai hal penting untuk dikatakan mengenai perempuan, atau pendapat yang mengatakan bahwa dia misoginis, Dunayevskaya justru berargumen bahwa pembebasan perempuan adalah integral dengan perkembangan sosialisme.
‘Di Jerman, Marx muda melanjutkan pengembangannya terhadap suatu karya yang utuh, teori revolusi proletar, sebuah filosofi menyeluruh mengenai pembebasan manusia, berakar kuat baik dalam perjuangan kelas dan dalam relasi yang paling mendasar: laki-laki dan perempuan. Marx membantu mengorganisir gerakan perempuan, tidak hanya untuk mendapat upah lebih baik, tetapi untuk memperoleh kondisi perburuhan yang berbeda; tidak hanya untuk mendapat hak memilih, tetapi untuk kemerdekan penuh. Delapan puluh halaman mengenai perempuan dan buruh anak ditulisnya dalam Das Kapital Volume I, tidak hanya sebagai deskripsi dan bertahan, namun, sebagaimana diekspresikan Marx ketika dia menuliskan kesimpulan, “hasrat-hasrat baru dan kekuatan-kekuatan baru” yang akan memproduksi “negasi dari negasi,” yaitu untuk mengatakan, menjadi “penggali kubur” dari kapitalisme, menciptakan suatu masyarakat yang baru seutuhnya, dimana “pembangunan kekuatan manusia adalah akhir dari dirinya sendiri.”’[41]
Di sini menurut Brown, Dunayevskaya berpendapat bahwa Marx tidak hanya mengkritisi posisi perempuan dalam masyarakat secara teoretis, melihat relasi laki-lakidan perempuan sebagai hal paling penting, tetapi dia juga berpartisipasi dalam mengorganisir perempuan selain laki-laki. Barangkali paling penting bagi Dunayevskaya, bagaimanapun, adalah bahwa karya Marx tidak hanya menggarisbawahi mengenai penindasan perempuan, tetapi juga memperlihatkan bahwa perempuan merupakan elemen penting dari pertahanan dari kapitalisme. Laki-laki dan perempuan harus bekerjasama dalam dasar yang setara untuk membangun relasi antar manusia yang baru dan sejati.
Sebagai tambahan, dalam upaya untuk memperlihatkan keberlangsungan dari pemikiraan Marx (sebagai lawan atau kebalikan dari pendapat kalangan Marxis ortodoks yang hanya memusatkan pada karya ‘dewasa’ nya mengenai ekonomi politik), Dunayevskaya menunjuk pada sejumlah arah baru yang diambil Marx, terutama karya-karya terakhirnya yang memasukkan analisis mengenai masyarakat non Barat dan perempuan secara lebih langsung. Terpenting lagi, bagi Dunayevskaya, adalah catatannya dari tahun 1880an yang berisi diskusi-diskusi penting mengenai perempuan dalam masyarakat pra-kapitalis. Dunayevskaya mengontraskan catatan-catatan Marx yang belum selesai itu dengan studi Engels The Origin of the Family, Private Property and the State. Jika Engels memfokuskan pada introduksi kepemilikan pribadi sebagai awal mula konflik kelas dan ‘sejarah kekalahan dari jenis kelamin perempuan,’ Marx dalam Ethnological Notebooks” memperlihatkan nuansa yang lebih luas dari masyarakat-masyarakat kapitalis awal ini. Marx melihat kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat komunal yang lebih awal daripada Engels: ‘Marx…memperlihatkan bahwa elemen-elemen penindasan secara umum, dan terhadap perempuan khususnya, muncul dari dalam komunisme primitif.’[42]
Apa yang paling signifikan, bagi Dunayevskaya, adalah penekanan Marx pada penghapusan semua bentuk penindasan, termasuk penindasan gender. Revolusi ekonomi dan politik kaum proletar tidak akan cukup. Relasi-relasisosial juga harus mengalami perubahan signifikan, dan perempuan, sebagai perempuan, akan harus memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat baru. Dunayevskaya oleh sebab itu berargumen bahwa perspektif Marx mengenai masyarakat dan perubahan sosial tidak terbatas pada kelas dalam arti sempit. Melainkan, semua kelompok tertindas lainnya dan, terutama perempuan juga, sama pentingnya bagi Marx.[43] Brown setuju dengan posisi Dunayevskaya yang mengetengahkan kritik dari sudut pandang kritis pada posisi determinisme ekonomi Engels ini. Namun menurut Brown, Dunayevskaya tidak pernah secara sistematis menguji seluruh tulisan Marx tentang perempuan untuk mengilustrasikan poinnya.
Diletakkan dalam konteks kekinian, kombinasi dari unsur-unsur yang berbeda di atas menghadapkan kalangan sosialis dengan tantangan baru tentang teori-teori yang selama ini dianut dan digunakan sebagai landasan aksi. Buku ini bertujuan untuk melihat tulisan-tulisan Karl Marx sendiri dalam mencoba untuk mengembangkan teori feminisme untuk abad kedua puluh satu. Brown dalam buku ini berpendapat, Marx memiliki banyak hal untuk ditawarkan pada feminisme baik dari segi pendekatan khusus untuk keluarga dan penindasan, dan dari segi metodenya untuk memahami masyarakat.
Penutup
Heather Brown melakukan pembahasan dengan menganalisa berbagai elemen tulisan Marx, dimulai dari tulisan-tulisan awalnya hingga catatan yang dibuat tak lama sebelum kematiannya. Hal ini mencakup berbagai isu yang berbeda, karena Marx cenderung menjawab pertanyaan ini sebagai bagian dari karya lain, bukan sebagai topik sentral. Brown menulis jauh melampaui analisa teks dari Marxisme dan bahkan berpendapat bahwa ‘kita harus menggunakan metode dan teori secara luas termasuk pendekatan materialisme historis Marx untuk mengembangkan wawasan ketika melihat penindasan-penindasan terhadap perempuan hari ini.’ Bagi saya, ini merupakan ajakan yang progresif dan tepat jika perspektif Marxisme digunakan untuk melihat realitas hari ini.
Dari sisi pembacaan terhadap insights Marx maupun para ilmuwan yang menggunakan pemikiran Marx untuk analisis terhadap isu gender dan keluarga, saya berpendapat Brown telah membuat terobosan yang luar biasa. Isu ini, meskipun tampaknya sederhana, namun cukup kompleks mengingat konteks ekonomi dan politik di mana Marx menulis karya-karyanya yang menjadi rujukan penulis Raya Dunayevskaya yang dibahas Brown sebagai pijakan untuk mengidentifikasi pikiran Marx tentang gender, keluarga dan kerja telah berubah sama sekali. Namun poin-poin utama yang dapat menjadi benang merah untuk melihat bagaimana kondisi perempuan saat ini masih relevan diperbincangkan.
Brown dalam pembabakannya telah membuat argumen yang kuat untuk melihat relevansi tulisan Marx dalam pemikiran feminis di masa ini, dan mencoba untuk menjelaskan berbagai isu, misalnya dari sikap Marx terhadap moralitas abad ke-19 seperti yang tampak di beberapa bagian dari Das Kapital. Namun, dalam melakukannya kadang-kadang Brown secara sengaja lebih menujukan pembahasannya pada Marx daripada mengenai isu yang dikemukakan dalam tulisan Marx sendiri. Selain itu, seluruh pendekatan Brown terhadap hubungan antara Marx dan kolaborator terdekat sekaligus teman seumur hidupnya, Friedrich Engels, adalah bahwa Marx itu baik dan Engles adalah ‘buruk.’ Brown kerap menyebut Engels sebagai deterministik dan mengecilkan arti aspek ekonomi dari pemikiran Marx, cenderung memisahkan aspek ekonomi ini dari pandangannya tentang suprastruktur (termasuk keluarga). Dia menekankan dengan tepat tindakan subyektif dari perempuan dalam mengubah keadaan mereka, tetapi kadang-kadang dengan mengorbankan juga mempertimbangkan perubahan sosial dan ekonomi di mana mereka sendiri bertindak sebagai individu dengan subyektivitasnya.
Sebetulnya saya melihat pandangan kritis Brown terhadap Engels senada dengan pandangan Dunayevskaya yang lebih mencari aspek-aspek humanis dari tulisan Marx. Meskipun demikian, jika melihat poin-poin argumen Brown terhadap karya Marx dan Engels, lebih baik dikatakan keduanya saling melengkapi daripada disebut salah satu lebih deterministik daripada yang lain, atau yang satu lebih bernuansa dari yang lain. Namun tak dapat dipungkiri, jika Brown meletakkan keseluruhan analisisnya pada karya Dunayevskaya apalagi dengan maksud buku ini adalah ‘fill the gap,’ maka posisi Dunayevskaya yang kritis terhadap Engels memang telah mempengaruhi Brown sedemikian rupa.
Dunayevsyaka dalam Rosa Luxemburg (1981) memang menekankan, jika Marx melihat tindakan manusia sebagai kekuatan penggerak sejarah, Engels melihat hanya sebagai ‘arena/stages’ sejarah yang mendominasi manusia. Menurutnya lagi, dimana Marx melihat konflik, kontradiksi dan pilihan, Engels melihat kekuatan-kekuatan produksi yang berkembang hingga saat ini sebagai sesuatu yang tidak mungkin dihindari.Jadi,bagi Brown maupun Dunayevskaya, tidak ada ‘kekalahan historis’-mereka sama-sama melihat bahwa dominasi laki-laki telah ada sejak saat periode yang oleh Engels disebut ‘komunisme primitif.’[44] Menurut Dunayevskaya,
(1) ‘The world historic defeat of the female sex,’ which Engels grounds in transition from matriarchy (or at least a matrinlineal descent) to patriarchy, is no expression of Marx’s. (cetak miring sesuai teks aslinya)
(2) ‘The world historic defeat of the female sex’ is related, in turn to the so called ‘primordial division of labor between the sexes,’ which can conveniently put freedom off until the millenium. Again, it is not Marx’s concept, even where Marx said that the first division of labor was sexual (in 1845 in the German Ideology, which he and Engels wrote together), it was perceived as not just personal but social.[45]
Dengan mengikuti logika totalitas analisis Dunayevskaya, Brown dalam buku ini menganalisis Marx dengan bertolak pada spektrum tulisan Marx yang cukup luas: kita melihat bagaimana pandangan Marx mengenai perempuan dalam industri di Inggris pada abad ke-19, tulisannya mengenai penindasan perempuan dan bunuh diri, intervensi politiknya, sebagai contoh selama Internasional Pertama dan Komune Paris, perilakunya dan hubungan antara produksi sosial dan reproduksi dari generasi buruh berikutnya. Barangkali, isu yang paling kontroversial adalah pandangan-pandangan Brown mengenai catatan-catatan antropologi Marx tentang gender dalam masyarakat pra kelas. Analisis terhadap tulisan-tulisan Marx menunjukkan beberapa sisi mengenai perilakunya terhadap perempuan dan gender. Sangat jelas bahwa sosialisme Marx, tidak mengejutkan karena dipengaruhi oleh sosialisme utopis dan antusiasme Marx sendiri terhadap sebab-sebab yang khusus, sangat memperhatikan tentang penindasan perempuan. Jelaslah dari contoh-contoh itu bahwa Marx, tidak- seperti kerap dituduhkan- mempunyai pandangan yang reduksionis tentang kelas dalam isu penindasan, yang berarti bahwa perubahan ekonomi akan mengatasi semua masalah. Bahkan, dia memahami bahwa keluarga yang diprivatisasi adalah pusat penindasan dan hal ini mempengaruhi perempuan dari semua kelas. Dampak sosial dari ini adalah moralitas yang menindas yang memberi prasangka pada perempuan berdasarkan perilaku seksual mereka. Lebih luas lagi, keterasingan dalam masyarakat kapitalis mempengaruhi semua orang, bahkan jika, sebagaimana ditulisnya dalam The Holy Family, orang-orang borjuis merasa nyaman atau puas dalam keterasingannya.
Sebagian besar dari fokus Brown adalah asal mula penindasan, dan di sini dia berurusan dengan relasi antara alam dan kultur dan antara produksi dan reproduksi. Kedua hal ini merupakan titik perhatian Marx yang utama, di mana dalam tulisan-tulisan awalnya dibicarakan secara ekstensif mengenai cara perilaku manusia dengan alam untuk menghasilkan bentuk tertentu dari masyarakat dan bagaimana ide-ide muncul dari masyarakat semacam itu. Barangkali alasan paling dasar bagi penindasan perempuan dalam kapitalisme terletak dalam kontradiksi di antara produksi sosial dan reproduksi yang diprivatisasi. Berbagai perdebatan dalam kerja domestik dan perannya dalam kapitalisme dicakup oleh Brown.
Kalaupun ada kritik, dan agak sulit menemukan celah untuk mengritik Brown karena dari awal sampai akhir Brown telah cukup dalam mengulas karya Marx dan bahkan cenderung ‘berpihak pada posisi Marx saat itu, antara lain Brown berulangkali memperlawankan pandangan Marx terhadap Engels.Menurut saya, dalam karya mereka Engels dan Marx telah menjelaskan asal mula penindasan perempuan untuk merujuk pada konteks ekonomi politikmasyarakat tertentu. Dalam hal ini adalah industri. Kitalah yang ‘bertugas’ mempelajarinya agar dapat melihat di titik mana penindasan sejenis ini di suatu waktu muncul. Inilah mengapa keduanya memberi perhatian pada bagaimana monogami dikembangkan, siapa mengontrol anak-anak, dan dalam setiap masyarakat tertentu, dan dengan pekerjaan apa yang diidentifikasi dengan posisi-posisi tertentu. Pendekatan umum inilah yang membuat The Origin of the Family menjadi buku yang penting, yang membolehkan kita untuk menggunakan pendekatan ini untuk memahami strategi-strategi mengakhiri penindasan perempuan saat ini.
Selain itu, sangat diapresiasi bagaimana Brown telah mengambil kesimpulan bahwa dalam artikel Marx tentang bunuh diri dan kasus Bulwer Lytton, Marx, setidaknya, mulai mendiskusikan relasi saling ketergantungan antara kelas dan gender tanpa secara mendasar memberikan privilese pada satu pun dari keduanya dalam analisisnya.[46] Marx dengan pasti memperlihatkan ketertarikan pada pertanyaan-pertanyaan ini (tulisan mengenai perceraian dan keluarga, sebagai contoh, s/d 1842) tetapi analisisnya sangat jelas berbasis kelas, dan dia melihat sederetan isu seperti penindasan gender, keluarga dan agama, sebagai produk spesifik dari masyarakat kelas, dalam kasus kita, kapitalisme. Namun ini bagi saya dapat dipahami sebagai sebuah upaya komplementer untuk menemukan basis bagi perjuangan umat manusia yang tidak hanya kelas. Metode pembacaan secara total dan dialektis yang dipakai oleh Brown terhadap karya-karya Marx, berdasarkan karya Dunayevskaya yang juga secara dialektis membaca karya-karya Marx sehingga menemukan aspek-aspek lainnya, dan tidak hanya kelas, tidak berarti menegasikan dalil dalam Manifesto bahwa ‘sejarah seluruh perjuangan manusia adalah sejarah perjuangan kelas.’
Buku ini telah membedah dan mengembangkan dengan cukup kritis karya-karya Marx dengan maksud menjelaskan secara sistematis teorisasinya mengenai gender dan keluarga. Meskipun Brown secara tegas mengakui tidak semua teorisasi Marx relevan hari ini, sementara di beberapa bagian ada keterbatasan disebabkan oleh konteks ekonomi dan politik dari telaah obyektif Marx dalam tulisannya di abad ke-19, teks-teks itu masih memberikan kontribusi wawasan yang penting mengenai gender dan pemikiran politik dewasa ini. Selain itu, walaupun Marx tidak menulis dalam jumlah banyak mengenai gender,dan tidak mengembangkan teori yang sistematis mengenai gender dan keluarga, namun Brown dengan menelaah karya-karyanya melihat bahwa, bagi Marx, gender dan keluarga adalah kategori yang esensial untuk memahami pembagian kerja, produksi dan masyarakat secara umum. Argumen utama Brown, telaah Marx mengenai gender dan keluarga tidak dibatasi hanya sejauh mengaitkan perempuan dalam posisi mereka sebagai buruh-buruh pabrik semata. Marx justru menunjukkan kebertahanan pola penindasan dalam keluarga borjuis (yang kalau kita perhatikan masih berlangsung hingga sekarang) dan keperluan untuk membangun sistem keluarga yang baru. Selain itu, tampak dari karya-karyanya bahwa Marx menjadi semakin suportif dengan kebutuhan kesetaraan perempuan dalam lapangan kerja, serikat buruh (hal yang juga diperjuangkan oleh banyak organisasi serikat buruh di Indonesia dalam konteks protes kenaikan UMR kemarin, yang terlihat dari lebih militannya partisipasi buruh-buruh perempuan) dan di internasional. Sedangkan, masih menurut pembacaan Brown, catatan Marx mengenai etnologi sangat signifikan sebab Marx merujuk langsung pada karakter sejarah dari keluarga berdasarkan karya penulis-penulis seperti Morgan, Maine dan Lange. Terlebih, Brown menekankan bahwa penggunaan metode dialektis Marx sangat penting sebagai kontribusi metodologis bagi feminisme dan riset ilmu sosial pada umumnya, sebab dia tampaknya melihat isu gender sebagai subyek perubahandan perkembangan, dan bukan konsep yang statis.
Benarlah Marx berpendapat, kapitalisme mentransformasikan bentuk hubungan sosial terdahulu dan menciptakan bentuk-bentuknya yang baru. Termasuk di dalamnya adalah keluarga dan penindasan, yang sekarang muncul di bawah bentuk kapitalisme yang berbeda dari masyarakat kelas sebelumnya. Bagaimana konteks keluarga di bawah kapitalisme yang mengglobal inilah yang menarik untuk terus kita amati, diskusikan dan refleksikan. Relevansinya adalah agar kita dapat menentukan di sisi mana kita harus berpijak ketika masih ada kelompok yang terseret dalam prasangka non-kelas, padahal jelas di depan mata penindasan perempuan saat ini masih berada dalam struktur-struktur yang menindas dan memeras, yang masih menghalangi jalan menuju kesetaraan sepenuhnya.¶
Bacaan tambahan:
Barker, Cox, Kinsky and Nilsen, eds., Marxism and Social Movement (Leiden: Brill, 2013).
Dunayevskaya, Raya, Rosa Luxemburg, Women’s Liberation and Marx’s Philosophy of Revolution (New Jersey: Humanities Press, Inc., 1981).
Engels, Friedrich,Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, (Penerj. Vidi, Ed., Joesoef Ishak (Jakarta: Kalyanamitra, 2011).
Fraser, Nancy, “Social Justice in the age of Identity Politics: Redistribution, Recognition, and Participation” makalah dalam The Tanner Lectures on Human Values, Stanford University, April 30-May 2, 1996.
Marx, Karl dan Friedrich Engels, Keluarga Suci, Kritik atas Kritik yang kritikal (Jakarta: Hasta Mitra, 2005).
Suseno, Franz-Magnis, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999).
[1] Brown hlm. 1
[2] Pembahasan mengenai sejarah perkembangan feminisme gelombang kedua yang terbagi menjadi tiga babak dapat dilihat secara lengkap dalam Nancy Fraser, Fortunes of Feminism, From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis, (London: Verso, 2013).
[3] Brown hlm. 218.
[4] Brown hlm.12.
[5]Brown, hlm. 52-53.
[6]Lih. Dunayevskaya, Rosa Luxemburg, 1981, hlm. 105-106.
[7]Brown hlm. 98.
[8]Catatan Marx mengenai karya Morgan dan Maine telah diterjemahkan dan diterbitkan tahun 1972 oleh Krader.
[9] Ibid.
[10]Browhn hlm.1.
[11]Ibid., hlm. 2
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Ibid,
[15]Leyne 2001 dalam Brown hlm. 2. Lihat juga mengenai kembalinya Marxisme dalam literatur gerakan sosial termasuk feminisme yang dikategorikan sebagai ‘New Social Movements’ dalam Colin Barker, Laurence Cox, John Krinsky and Alf Gunvald Nilse, eds., Marxism and Sosial Movements, (Brill: Leiden, Boston, 2013)
[16] Brown, hlm. 2.
[17] Brown, hlm. 3.
[18]Ibid.
[19] Ibid
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23].Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26]Lihat, Mariarosa Dalla Costa dan Giovanna Dalla Rosa, peny., ( terj. Emil Olla Kleden), Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi Internasional, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000).
[27] Ibid.
[28] Brown, hlm. 5.
[29] Ibid.
[30]Ibid.
[31] Ibid.
[32] Raya Dunayevskaya (1910-1987) adalah pendiri filsafat Marxis-Humanis. Dia adalah aktivis yang berfilosofi untuk menjadi bagian dari gerakan revolusioner seumur hidupnya. Dunayevskaya merupakan tokoh dari American Marxist, bagian dari generasi yang memisahkan diri dari pengaruh Stalinisme dalam kurun waktu pasca perang kemudian melanjutkan eksplorasinya mencari inti emansipatoris dalam tulisan-tulisan Marx. Sejak muda terlibat dalam semua gerakan pembebasan di AS: pekerja, perempuan, kulit hitam, dan pemuda. Raya Dunayevskaya pernah menjadi sekretaris berbahasa Rusia bagi tokoh revolusioner Leon Trotsky pada tahun 1937, selama pengasingan Trotsky di Meksiko, namun kemudian memutuskan hubungan dengan dia pada tahun 1939 pada saat Pakta Hitler-Stalin. Studi simultan Raya adalah tentang ekonomi Rusia dan tulisan-tulisan awal Marx (kemudian dikenal sebagai 1844 Humanist Essays) menyebutkan analisis bahwa selama 1941-1942 tidak hanya Rusia, masyarakat negara-kapitalis, tetapi negara-kapitalisme (state-capitalism) adalah panggung dunia baru. Setelah lebih dari satu dekade mengembangkan teori negara-kapitalisme, Dunayevskaya membuat terobosan filosofis. Dalam dua surat yang ditulis 12 Mei dan 20 Mei 1953, dia memperdalam studinya tentang dialektika Hegelian dan melihat di Hegel mutlak dualisme gerakan-gerakan dari praktek yang itu sendiri merupakan bentuk teori dan gerakan dari teori untuk mencapai filsafat. Surat-surat ini menjadi momen filosofis dari mana seluruh perkembangan Marxisme-Humanis mengalir. Pada tahun 1955, ia mendirikan organisasi News and Letters committe dan surat kabar News and Letters. Dunayevskaya menulis apa yang kemudian dikenal sebagai triloginya tentang revolusi : (1) Marxisme dan Kebebasan, dari 1776 sampai hari ini-1958 (Marxism and Freedom, from 1776 until Today (1958)); (2) Filsafat dan Revolusi: dari Hegel ke Sartre dan dari Marx ke Mao ( 1973)/ Philosophy and Revolution: from Hegel to Sartre and from Marx to Mao (1973)); dan (3) Rosa Luxemburg, Pembebasan Perempuan, dan Filsafat Marx tentang Revolusi (1982) ( Rosa Luxemburg, Women’s Liberation, and Marx’s Philosophy of Revolution (1982)). Selain itu, ia menerbitkan kumpulan tulisan pada tahun 1985 ‘Pembebasan Perempuan dan Dialektika Revolusi’ (Women’s Liberation and the Dialectics of Revolution). Pada tahun terakhir hidupnya, ia mengerjakan sebuah buku yang sementara diberi judul Dialectics of Organization and Philosophy: The ‘Party’ and Forms of Organization Born Out of Spontaneity.Seperti halnya pendekatan Brown pada buku ini, Dunayevskaya mempelajari catatan-catatan etnologi Marx dan membandingkannya dengan karya Engels, The Origin..yang diterbitkan tahun 1979.
[33]Ibid
[34] Brown, hlm. 4
[35]Brown, hlm. 6
[36] Lihat, Raya Dunayevskaya, Rosa Luxemburg, Women’s Liberation and Marx’s Philosophy of Revolution (New Jersey: Humanities Press, Inc., 1981).
[37] Brown hlm 6.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40]Mengenai bagaimana peristiwa-peristiwa itu mempengaruhi karya teoretik Marx, lihat Dunayevskaya 2000, bab 5 dan 6. Brown, hlm. 7.
[41] Brown, ibid.
[42]Dunayevskaya, 1991, hlm. 180 dalam Brown hlm. 8.
[43] Brown, ibid.
[44]Dunayevskaya, 1981, hlm. 104
[45] Ibid.
[46]Brown, hlm.220