Daftar Isi Edisi Ini:
- ‘Politik Kekeluargaan dan Kekuasaan Yang Berpusat Pada Tubuh’ oleh Muhamad Heychael
- ‘The Art of Kimpoi: Sebuah Mixtape’ oleh Mochamad Abdul Manan Rasudi
- ‘Tanggapan Ko-Sutradara Film Jagal terhadap Pernyataan Pemerintah’ oleh Anonim
- ‘Empat Cerita Ihwal Keluarga’ oleh Dede Mulyanto
- ‘Keluarga Berencana (KB) dan Konsep Keluarga dalam Iklan’ oleh Rianne Subijanto
- ‘Dua Belas Puisi’ oleh Yovantra Arief
Sebelum Anda berpikir yang tidak-tidak soal tema yang kami angkat bulan ini, maka jawabannya tidak. Tidak ada satu pun dari kami, redaktur LKIP, yang akan melepas status lajangnya dalam waktu dekat—kecuali yang memang sudah menikah. Edisi kali ini pun tidak disebabkan oleh undangan pernikahan yang belakangan ini kerap kami terima dari kawan-kawan sebaya. Bukan. Bukan itu.
Oke. Lupakanlah paragraf di atas karena ia muncul hanya lantaran kami kerap kesulitan memulai suatu tulisan—dan tulisan ini harus dimulai, dengan apa pun itu. Seperti usaha move on yang kadang sulit dijalankan.
Kata “keluarga” tentu sangat dekat dengan kita semua. Tak ada satu manusia pun yang mampu mengatakan ia tak punya “keluarga”. Keluarga, kita tahu dan kerap kita dengar, merupakan inti dari masyarakat atau—ini hapalan zaman SD—bagian masyarakat terkecil.
Dalam edisi Februari 2014 ini, LKIP memeringatkan para jejaka yang mengirim bunga dan perawan yang memamah coklat pada hari Valentine sebagai tanda kasih menyayang. Bukan, bukan bahwa bunga bakal layu dan coklat bikin gemuk. Kami mengingatkan ini: kalau kalian masih bersikukuh melanjutkan upaya kasih mengasih yang kasmaran itu, kalian akan terpeleset dalam lembaga pernikahan dan mesti membentuk keluarga. Ya. KELUARGA.
Tapi edisi ini bukan bermaksud menakut-nakuti pasangan muda-mudi dimabuk cinta di luar sana. Pun mereka yang sudah berkepala tiga tapi tidak laku-laku juga. Baca saja tulisan Dede Mulyanto pada rubrik teori. Tulisan tersebut setidaknya bisa menentramkan hati Anda, jombloers sejati, bahwa batas umur seseorang disebut bujangan lapuk atau perawan tua bisa bergeser seturut perkembangan jaman. Dan apa yang menyebabkan pergeseran itu; tak lain dan tak bukan corak produksi masyarakat. Kisah mengenaskan para bujangan lapuk dan perawan tua sepanjang sejarah keberadaan masyarakat itu bisa anda simak dalam Empat Cerita Ihwal Keluarga. Sambil membaca tulisan tersebut, Anda mungkin bisa berdoa dalam kamar Anda yang gelap pada sepertiga malam setelah solat tahajjud bahwa, batas usia wajib nikah mundur sampai kepala empat.
Pada rubrik teori Muhammad Heychael memaparkan konsep keluarga yang merasuki praktik dan strategi politik penguasa di Nusantara. Bukan hanya ada di masa Orde baru, Heychael menunjukkan bahwa kecenderungan ini sudah ada sebelum kolonialisme sampai di serambi rumah Nusantara, dan masih saja tak lekang dalam era internet dan smartphone quadcore dengan RAM 1 Gb dengan harga 2 jutaan sekarang ini. Pada masa orde baru, demikian Heychael, secara sistematis perihal keluarga masuk dalam pendidikan.
Kita yang sempat menghirup bau parfum Orde Baru barangkali belum lupa dengan dua huruf ini KB. Yah, Keluarga Berencana. Keluarga Berencana adalah sebuah program Orde Baru. Konsep keluarga dengan dua anak lantas menjadi sesuatu yang dipoles sana-sini oleh media masa sehingga tampak menarik bagi bangsa Indonesia kala itu. Rianne Subijanto sempat mengumpulkan iklan-iklan yang mengangkat tema atau khusus tentang keluarga pada tahun 1970-1980-an. Hasil pencariannya kami sajikan pada rubrik kliping edisi ini dengan pengantar bertajuk Keluarga Berencana dan Konsep Keluarga dalam Iklan.
Kedekatan keluarga dan kehidupan masyarakat dapat kita endus dengan begitu gampang dalam musik atawa lagu-lagu pop. Bahkan di sana imajinasi tentang keluarga dan segala kompleksitasnya tercurahkan dari cara yang paling vulgar hingga cara yang paling halus. Ia menjadi imajinasi hampir semua kelas masyarakat. Simaklah The Art of Kimpoi: a Wedding Mixtape susunan dari Mochamad Abdul Manan Rasudi, dan berujarlah dengan khidmat ketika mendapati sebuah tembang yang menyentuh hati: “oh, ini lagu gue banget”.
Seperti biasa, rubrik karya hadir pula pada nomor LKIP kali ini. Yovantra Arief membentangkan pada kita dua belas puisi yang bercerita tentang aktivitas seorang lelaki bujang dalam sehari. Pada rubrik kritik kami mempublikasikan kembali tanggapan ko-sutradara Jagal: The Act of Killing atas tanggapan resmi pemerintah RI terhadap film tersebut. Kebenaran, seperti apa pun wajahnya, perlu diungkapkan dan bangsa yang dewasa tentu bangsa yang berani mengakuinya. Dan ternyata, bangsa kita belum benar-benar dewasa.
Demikianlah pengantar edisi ini dibungkus mepet tenggat. Untuk mengakhiri, biarlah kami biarkan sebuah pertanyaan menggantung di langit-langit kamar/kantor/ruang tamu/warnet Anda: di manakah letak imajinasi Anda tentang keluarga; zaman Siti Nurbaya, zaman Si Doel Anak Sekolahan ataukah zaman JKT 48? Atau jangan-jangan imajinasi anda masih selebar tengkorak pitecantropus erectus? Jika ya, segeralah ke psikiater terdekat.