Mungkin banyak dari kita yang belum pernah mendengar nama Saut Sitompul, membaca puisi-puisi karyanya, dan atau mendengarkannya mendeklamasikan puisi. Namun tentu banyak dari kita pernah bersua pengamen yang mendeklamasikan puisi entah di bus kota, entah di taman kota yang semakin hilang ke-hips-annya itu, entah di warung tenda pinggir jalan. Terkadang beberapa di antaranya begitu perlu untuk disimak, terkadang memang sekadar menjual bising kemiskinan dan pemberontakan.
Kabarnya, Saut Sitompul dahulu adalah salah satu dari mereka. Namun salah juga jika hanya melihat Saut Sitompul sama dengan mereka. Dalam kata pengantar buku bertajuk Tulis!, Saut berbeda dari “…banyak ‘seniman jalanan’ yang kadang pretensius, sok kere dan berlagak politis, Saut tegak pada tujuannya: membuat orang mengalami puisinya, mengalami keseniannya.” Simpulan ini bukannya tanpa alasan. Jika kita perhatikan video puisi Kongres Kodok yang dipublikasikan kembali dalam LKIP edisi ini, tampaklah di sana audiens Saut begitu menikmati, tertawa terpingkal-pingkal, tersenyum bahagia ketika ia mengajak mereka terlibat dalam ‘mementaskan’ puisi tersebut.
Puisi bagi Saut, bukan sekadar untaian kata. Ia memadukan kata, musik, bahkan gubahan komposisi suara. Hal ini sangat kental dalam puisi Kongres Kodok yang sudah disebut di atas. Lebih jauh, Saut pun menyelipkan lagu tertentu ke dalam puisinya; bukan sekadar tempelan tetapi juga menjadi salah satu strategi untuk membangun suasana yang hendak didapatkan puisi tersebut. Lagu Burung Hantu dalam puisi Sepanjang Kaki Lima menunjukkan hal itu.
Saut Sitompul lahir di Pematang Siantar 10 Februari 1955 dan meninggal di Jakarta pada 9 Januari 2004. Dalam sastra Indonesia ia barangkali tak meninggalkan banyak jejak. Pusat dokumentasi sastra HB Jassin pun hanya menyimpan buku kumpulan puisi Tulis! dalam entri namanya, padahal sebelumnya Saut juga pernah menerbitkan kumpulan Kongres Kodok.
Riwayat kepenyairan Saut adalah sebuah tanda tanya: apakah puisi (lebih jauh lagi sastra) selama ini memang jauh dari apresiasi masyarakat? Ataukah apresiasi itu menjadi kering lantaran tak banyak penyair yang mau menjalani laku hidup kepenyairannya seperti yang dilakukan Saut? Saut menjajakan puisinya di bus kota bus kota, di acara-acara budaya, dan di berbagai kesempatan lainnya. Ia pun percaya, ia bisa hidup dari puisi. Dengan membaca puisi minimal di atas 20 bus, ia bisa bisa menghidupi dapur keluarganya; demikian akunya.
***
Kali ini kami hadirkan empat video documenter puisi Saut Sitompul bertajuk Jasad Jeruji Jiwa, Sepanjang Kaki Lima, Kongres Kodok, dan Puisi. Pada Jasad Jeruji Jiwa kita menemukan semacam paradoksal kebudayaan. Saut menjejelkan kata-kata peradaban, akal budi, jenis-jenis hiburan, minuman makanan disandingkannya dengan gelandangan, victim, debu jalanan, pengemis hina-dina, dsb. Sederet nama negara yang diletakannya di bagian akhir puisi pun mayoritas merupakan negara-negara dunia ke III dan ditutupnya dengan semacam harapan akan keadilan. Sepanjang Kaki Lima barangkali potret keseharian sang penulis. Dunia jalanan, dunia malam, mabuk, terpampang di puisi tersebut dengan vulgar. Pembawaan Saut yang begitu lekat dengan dunia yang diceritakannya menambah menarik karya tersebut. Kongres Kodok pada hemat saya adalah puisi yang paling khas dan paling kuat dari Saut Sitompul, meski aroma puisi konkret Indonesia era 1970-1980-an begitu kental dalam puisi tersebut. Bagaimanapun juga, Saut memang berkarya dalam kurun waktu itu. Puisi bertajuk Puisi barangkali adalah puisi yang paling sering terekam dibawakan Saut. Puisi adalah godam yang menghancurkan kesakralan puisi. ‘Siapa saja bisa menulis puisi’, tulis Saut. Puisi, dengan demikian, bukan milik istimewa dari para penyair saja. Kita hanya butuh berjongkok di taman dengan pena di tangan dan menuliskan apa saja yang terlintas.
***
(pengantar oleh Berto Tukan)
PUISI-PUISI SAUT SITOMPUL