BEBERAPA waktu yang lalu, kami dan seorang kawan berkesempatan untuk melakukan penelitian ala kadarnya tentang Taman Ismail Marjuki (TIM) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di masa awal. Penelitian ini sesungguhnya dalam rangka produksi film pendek bertajuk Jangankan Suka, Ngerti Juga Engga. Beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat kami teringat kembali pada beberapa hal menarik yang kami temukan dalam penelitian tersebut.
Ketika diresmikan pada 10 November 1968, Trisno Sumardjo berujar bahwa TIM, yang dibangun di atas lahan 20.000 m2 dan memakan waktu lima bulan pembangunan, ditujukan untuk kepentingan publik. Trisno Sumardjo tentu bahagia kala itu. Konon, ia memang sudah punya konsep tentang sebuah pusat kesenian di Indonesia sejak tahun 1951. Lebih lanjut, pusat kesenian itu diharapkan bebas dari kepentingan politik. Kita yang hidup beberapa puluh tahun setelah itu, barangkali tak perlu berpikir dua kali untuk melihat harapan ini adalah mimpi yang tercetus berkat panorama kesenian di masa Demokrasi Terpimpin.
Pada masa itu, politik dan kesenian bertalian erat. Banyak lembaga kebudayaan atau kelompok kesenian punya afiliasi dengan partai politik tertentu; bukan hanya Lekra. Segala ketakutan dan trauma atas cakrawala kesenian di era Demokrasi Terpimpin, oleh mereka yang pernah merasakannya—dan kenyataan bahwa mereka lebih tua ini terkadang menjadi legitimasi untuk pengetahuan dan tindakan—lantas terbitlah semboyan itu; seni harus bebas dari kepentingan politik. Bahkan Mara Karma, dalam artikelnya dalam rangka menyambut kehadiran TIM, Politik dan Policy mengatakan bahwa politik janganlah mengintervensi TIM. Ia menegaskan, politik bukan hanya mengintervensi tetapi justru merusak kesenian serta menjatuhkan nilai seni yang murni dan tinggi menjadi rendah dan tak berarti. Bagi kita kini, pandangan demikian bisa dilihat sebelah mata, tapi tidak di masa itu.
Kami sendiri kerap bertanya-tanya: politik seperti apa yang dimaksudkan? Bukankah dengan biaya penuh dari Pemerintah DKI pada periode-periode awal TIM beroperasi adalah juga sebuah produk politik? Bukankah dengan menjadi, katakanlah, kurator kesenian secara umum yang menjadi barometer kesenian Indonesia saat itu, TIM mempraktekkan sebuah bentuk politik? Pertanyaan demikian bahkan semakin dipertegas dengan alasan yang berbeda oleh sebuah artikel di Srikandi pada 10 Januari 1971 bertajuk ‘Sorotan Terhadap Pusat Kesenian Jakarta.’ Penulisnya, Bachtiar Ginting, mengatakan bahwa tidak selamanya DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), AJ (Akademi Jakarta), dan TIM bebas dari kepentingan politik. Menurutnya, ada pihak-pihak dalam AJ dan DKJ yang berafiliasi dengan partai tertentu, dan pihak-pihak tersebut melakukan indoktrinasi. Meskipun partai tersebut sudah tidak aktif lagi, tetapi penulis artikel tersebut masih takut akan keleluasaan indoktronasi partai tersebut di TIM. Ada baiknya, lanjutnya, TIM kembali ke sifat awalnya.
AJ awalnya adalah inisiatif dari DKJ. Arief Budiman mengambil contoh Akademi Prancis, dalam hal masa jabatan, ketika mengusulkan AJ. AJ berjumlah sepuluh orang dan dipilih untuk seumur hidup selama kesehatannya masih baik. Masa jabatan seumur hidup ini dimaksudkan agar mereka bisa lebih berkonsentrasi dengan perihal kebudayaan. Anggota AJ terdiri dari mereka yang berumur 40-tahun ke atas, dengan asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang berkomitmen pada kebudayaan.
Orde Baru, sebagaimana kita tahu, dibangun di atas puing-puing Demokrasi Terpimpin dan komunisme. Lekra dan LKN, dua organisasi kebudayaan besar pada masa Demokrasi Terpimpin, disingkirkan secara sistematis dan diam-diam, bahkan oleh budayawan sendiri. ideologi humanisme universal yang keukeuh melawan mereka pada era ‘politik sebagai panglima’ itu keluar sebagai pemenang lotere. Tak heran, cuaca awal Orde Baru adalah kesinambungan pikiran antara pemerintah Orde Baru dan seniman humanisme universal. Tod Jones (2005) mengurutkan pandangan humanisme universal yang cocok dengan pemerintahan Orba: (1) pengingkaran mereka atas massa politik; (2) posisi apolitis dari banyak penganut humanisme universal; (3) estetika artistik mereka yang memberikan preferensi untuk seni dengan semangat rohaniah; dan (4) oposisi mereka terhadap komunisme.
Menurut Tod, TIM dan DKJ adalah salah satu bukti paling jelas bahwa humanisme universal telah menjadi semangat seni arus utama. Dengan memberi tempat pada humanisme universal, sesungguhnya Orde Baru melakukan sensor secara halus dan tanpa biaya tinggi. Untuk apa menyensor seni yang apolitis—seni yang peduli setan dengan politik?
Tentu ini sekadar panorama umum saja; masih ada karya-karya seni yang kena sunat sensor. Contohnya saja, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari yang beberapa tahun lalu diangkat ke layar lebar. Ketika pertama kali diterbitkan, novel tersebut mesti menghilangkan beberapa bagian yang menunjukkan gagasan komunisme. Tentu saja, Ahmad Tohari bukan seorang komunis. Novelnya yang lain, Kubah, adalah orasi standar khotib sholat Jumat tentang bahaya laten komunisme.
Bisa dibilang, karya-karya Tohari adalah anti-komunis totok. Satu-satunya alasan ia banyak melukiskan korban kekerasan 1965 adalah untuk menunjukkan bahwa komunisme itu, saking bejat, kafir dan tidak bermoralnya, ikut menarik orang-orang yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa dalam ladang pembantaian. Ronggeng Dukuh Paruk tidak dicekal karena ia berpolitik. Tohari membicarakan korban dengan jeritan hati nurani yang trenyuh melihat rakyat kecil yang bodoh, yang lugu, mesti jadi korban pertempuran raksasa-raksasa politik. Formula demonisasi komunisme yang sama persis juga diterapkan dalam novel kelas tiga yang belakangan menang sebuah penghargaan bergengsi, Pulang, karangan Leila S. Chudori. Kedua karya tersebut hanya membicarakan politik, bukan karya politis. Sekadar gosip-gosip hati nurani yang resah melihat kebengisan manusia atas manusia lain, tapi juga diam-diam merayakan dan menganggap kebengisan itu perlu dilakukan. Kritiknya cuma satu: jangan berlebihan. Orang komunis totok memang mesti dibunuh, tapi mbok ya tebang pilih; rakyat yang ditipu masuk PKI tanpa secara ideologis mengamini komunisme jangan dibunuh juga.
Orde Baru telah runtuh. Kita tahu ada yang berubah dan ada yang masih melestarikan panorama lama yang ia wariskan. Perubahaan sosial dan juga perubahan dalam ranah kebudayaan memang tidak semudah menginstall ulang komputer. Memori, pikiran, imajinasi, dan hal-hal lainnya tidak bisa begitu saja ditanggalkan yang lama dan diganti dengan yang baru. Di dalam ranah kesenian, misalnya, kita tentu menemukan banyak inisiatif baru untuk merespons keadaan saat ini dan segala warisan Orde Baru yang masih ada. Spesifik pada kedua institusi yang kita sebutkan di atas, TIM dan DKJ, pun hal sama terjadi. Inisiatif untuk membicarakan korupsi secara serius dalam beberapa kali Pidato Kebudayaan DKJ patut kita apresiasi dalam konteks ini. Silahkan periksa buku Imajinasi Kebudayaan. Namun, di TIM juga pernah terjadi pelarangan diskusi buku Asep Sambodja Menulis, lantaran dianggap sebagai salah satu bentuk kebangkitan Lekra.
Di TIM juga masih tersisa kisruh penghargaan Akademi Jakarta 2013. Sejatinya, oleh dewan juri, penghargaan diberikan kepada Martin Aleida dan I Gusti Kompiang Raka, namun akhirnya hanya nama kedualah yang menerimanya. Kita bisa juga membaca hal ini sebagai sebuah bentuk sentimen masa lalu. Martin, sebagaimana kita tahu, adalah salah satu seniman yang diorganisir Lekra dan pernah jadi wartawan untuk Harian Rakyat, koran PKI. Kita juga bisa melihatnya sebagai sistem kerja yang tidak elok, yang tidak obyektif dalam penilaiannya; bahwa sentimen-sentimen pribadi dan golongan tertentu semestinya ditunda supaya kualitas obyektif dari hal yang ingin kita nilai dapat mengemuka. Kritik bernada demikian lazim kita temukan dalam berbagai kesempatan. Dalam dua bulan belakangan, kita menghujat penghargaan atas Pulang karya Leila S. Chudori yang menang Khatulistiwa Literary Award dan penobatan Denny JA sebagai salah satu dari 33 sastrawan berpengaruh dengan logika semacam ini. Tapi satu hal patut kita ingat, segala macam penghargaan dengan kriteria-kriterianya adalah juga sebuah kerja politik. Selalu ada andaian politik dan ideologi tertentu di belakangnya.***