Gagasan mengenai intrumentalisasi negara oleh kepentingan kapital adalah gagasan paling berharga yang dikontribusikan oleh tradisi pemikiran Marxis terhadap pengembangan ilmu sosial. Akan tetapi, bukan berarti gagasan ini menjadi mencukupi dengan sendirinya. Walau secara prinsip kapital memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menggunakan negara dalam memenuhi kepentingannya, mekanisme spesifik yang berlaku secara nyata justru lebih rumit dari gagasan itu sendiri. Dalam hal ini menjadi penting untuk melakukan klarifikasi serta verifikasi atas gagasan ini secara empirik.
Peneliti Asia Monitor Resource Center (AMRC), Hong Kong, Fahmi Panimbang adalah salah seorang figur yang berkutat pada pemeriksaan gagasan ini di ranah empirik. Bagi Fahmi, globalisasi neoliberal yang merupakan bentuk umum dari kapitalisme terkini mempunyai impliksi luas bagi gagasan intrumentalisme negara oleh kapital. Hal ini tentu saja berimplikasi pada bagaimana kelas-kelas sosial diorganisasikan dan mengorganisasikan dalam hubungannya antara negara-kapital itu sendiri, yang membuat kita harus memikirkan kembali bagaimana pengorganisaian sosial yang berkontradiksi dengan kapital itu sendiri. Dalam memahami problem ini, Left Book Review (LBR) melakukan perbincangan dengan Fahmi. Berikut petikannya:
Sebelumnya selamat dulu atas penerbitan buku terbaru Anda, Labour Rights In Hight Tech Electronics. Bisa Anda ceritakan sedikit apa isi buku tersebut?
Terima kasih. Penerbitan buku ini adalah hasil kerja bersama-sama dengan para peneliti-cum aktivis perburuhan di Asia. Buku ini membahas tentang perkembangan industri elektronik di beberapa negara di Asia, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, India, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan dari kacamata buruh dan hubungan perburuhan. Ia mencoba memetakan rantai pasokan dalam industri elektronik dengan mengambil studi kasus Samsung Electronics dan perusahaan-perusahaan pemasoknya, dengan fokus menunjukkan kondisi para buruhnya serta bagaimana mereka berusaha melakukan perlawanan. Buku ini juga menjelaskan bagaimana pembangunan yang berorientasi ekspor terus dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, untuk membuka jalan bagi akumulasi kapital di industri elektronik.
Di Samsung Elektronik Indonesia, delapan puluh persen buruhnya adalah perempuan berusia antara 20-25 tahun. Samsung mempekerjakan pelajar magang dengan upah hanya 300 ribu per bulan meskipun mereka bekerja sebagaimana buruh lainnya. Bahkan para pelajar itu sering dipaksa lembur. Sejak 2012 sudah empat buruh yang meninggal akibat sakit dan kecelakaan kerja – suatu berita yang tak pernah muncul di media. Puluhan pemimpin buruh yang berusaha mendirikan serikat buruh pada November 2012 langsung dipecat, duaratusan lain tidak lagi diperpanjang kontraknya. Puluhan ribu buruh lintas-pabrik melakukan aksi termasuk di depan kedutaan Korea Selatan menuntut kebebasan berserikat dan mengecam pemberangusan aktivis oleh Samsung, tapi tak pernah ada respon dan perubahan.
Mengapa Anda memilih menganalisa hubungan buruh kapital, khususnya di perusahaan eletronik Samsung sebagai studi kasus?
Karena buku ini merupakan sumbangan bagi gerakan buruh dan ingin memetakan rantai pasokan yang rumit di industri elektronik, tentu harus melihat hubungan buruh-kapital-negara untuk menentukan di manakah ruang dan kesempatan bagi serikat buruh melakukan pengorganisasian yang efektif. Dan karena rimba industri elektronik semakin luas dan kompleks, maka melakukan studi kasus tentang salah satu pemain globalnya, yaitu Samsung Electronics, sangatlah membantu penelitian. Bukanlah kebetulan bahwa Samsung menjadi salah satu perusahaan yang paling represif terhadap buruh di banyak negara, termasuk di negara asalnya, Korea Selatan. Faktor utamanya ialah gabungan antara kuasanya yang terus meningkat dan relasinya dengan negara yang mengebawahkan kaum buruh.
Alasan lain memilih Samsung sebagai fokus, juga karena upaya ini merupakan bentuk solidaritas untuk memperkuat perlawanan yang selama ini dilakukan kawan-kawan kami di Korea Selatan, di mana Samsung telah sedikitnya ‘membunuh’ 65 buruh perempuan yang masih muda akibat leukimia, dan kanker darah karena terkontaminasi bahan kimia di tempat kerja. Ratusan buruh lainnya yang berusia antara 20-25 tahun mengidap penyakit-akibat-kerja yang sama, padahal usia kerja mereka tidak lebih dari 4-5 tahun. Kami ingin menyambungkan perlawanan-perlawanan buruh di berbagai negara dengan yang selama ini terjadi di Korea Selatan.
Bisakah Anda jelaskan, bagaimana hubungan buruh-kapital dalam Group Samsung ini? Apakah hubungan tersebut mencerminkan hubungan buruh-kapital secara keseluruhan?
Di semua negara di mana Samsung beroperasi, korporasi ini sangat anti serikat buruh. Manajemen Samsung memegang prinsip tak perlu serikat buruh, seperti yang diyakini pendirinya yang mengatakan, ‘sebelum mendirikan serikat buruh, langkahi dulu mayatku.’ Samsung memiliki apa yang mereka sebut ‘Keluarga Samsung’ atau family union sebagai ganti dari serikat buruh, yang, tentu saja, sama sekali tidak mewakili kepentingan buruh. Belum lama ini di Korea ditemukan satu panduan panjang bagi manajemen Samsung tentang strategi membungkam aktivis, memberangus kemungkinan didirikannya serikat, dan menghancurkan serikat jika terbentuk. Tampaknya ini menjadi teladan bagi pengusaha-pengusaha lain, terutama dari Korea, di mana Samsung juga mengajak pengusaha-pengusaha Korea Selatan lainnya mendirikan pabrik pemasok komponen di sekitar unit produksi Samsung. Pengusaha mana pun tentu akan berusaha melakukan hal yang sama, jika tidak ingin tergerus persaingan – satu ciri bengis kapitalisme. Memang, pengusaha Korea Selatan dikenal paling kejam terhadap buruh di banyak negara. Tapi pengusaha lain, misalnya, Jepang yang dikenal lebih baik dalam hal memberikan kesejahteraan, juga sebenarnya sama: memeras dan membungkam kebebasan buruh dengan cara yang lain. Karenanya, gambaran ini bisa dikatakan mencerminkan hubungan buruh-kapital secara keseluruhan yang selalu mengebawahkan buruh. Posisi tawar-menawar buruh pada umunya rendah berhadapan dengan kapital.
Di semua negara di mana Samsung beroperasi, korporasi ini sangat anti serikat buruh. Manajemen Samsung memegang prinsip tak perlu serikat buruh, seperti yang diyakini pendirinya yang mengatakan, “sebelum mendirikan serikat buruh, langkahi dulu mayatku.”
Dalam situasi hubungan yang tidak seimbang itu, bisakah diharapkan peran negara dalam melindungi kepentingan buruh, misalnya, di Indonesia?
Memang negara saat ini tidak bisa diharapkan memberikan perlindungan pada buruh dan rakyat pada umumnya. Tetapi kalau kita masih mau ‘bernegara,’ institusi mana lagikah yang seharusnya berperan? Kita tidak bisa berharap pada korporasi untuk bertanggung jawab tanpa negara yang ‘berfungsi’ dan masyarakat sipil yang kuat. Kebaikan-kebaikan yang semu dari korporasi lewat dana hibah, beasiswa, dana CSR, dan sejenisnya malah turut mengaburkan peran negara. Menurut saya, negara adalah satu-satunya lembaga yang harus berperan melindungi kepentingan buruh, rakyatnya. Kenyataan bahwa banyak korporasi seperti Samsung yang anti kebebasan berserikat, represif, menunjukkan bahwa korporasi saat ini lebih berkuasa daripada negara. Maksud saya, situasi di mana negara yang mengabdi pada kepentingan kapital itulah masalahnya. Karena itu kita perlu pengorganisasian politik yang mendidik kesadaran masyarakat bahwa musuh besar kita adalah kapital global, karena kapital melalui perusahaan-perusahaan multinasional menjalankan proyek politik yang mendisiplinkan (aktor-aktor) negara menjadi budak kapital. Kapital juga merangsek ke negara-negara sosialis seperti Cina dan Vietnam, dengan konsekuensi yang kurang lebih sama. Kuasa kapital itulah yang harus dilawan.
Dalam buku ini Anda mengatakan bahwa pergerakan capital (capital movement) adalah sebuah proyek politik yang melibatkan intervensi aktif baik korporasi global dan pemerintahan nasional. Bisakah Anda jelaskan tesis ini lebih lanjut?
Sudah satu dekade lebih saya sering mengajukan pertanyaan yang sama kepada aktivis serikat buruh di beberapa negara di Asia: apakah respon pengusaha ketika diajak berunding? Kebanyakan buruh menjawab mereka kerap diancam akan dipecat dari pekerjaan, dan dengan berbagai alasan menggertak akan memindahkan pabriknya ke negara lain jika buruh menuntut kenaikan upah. Yang menarik, buruh di Indonesia sering diancam pabriknya dipindahkan ke Cina, sementara yang di Cina diancam dialihkan ke Indonesia. Ada pula pengusaha di Cina yang menggertak memindahkan usahanya ke Vietnam dan yang di Vietnam mengancam pindah ke Kamboja. Begitu juga pengusaha di Kamboja mengancam pindah ke Bangladesh, sebagaimana buruh di Bangladesh diancam pemecatan dan pemindahan pabriknya ke Myanmar. Cerita tentang berpindah-pindahnya kapital serta gertakannya tidak akan berhenti sampai di Myanmar, yang sekarang membuka diri dan berusaha menarik lebih banyak investasi. Kapital akan terus mencari ruang yang kondusif bagi akumulasinya sebesar mungkin.
Kapital berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain (juga dari satu tempat ke tempat lain di satu negara) dan secara struktural membentuk rezim akumulasi kapital. Hal ini dimungkinkan oleh regulasi negara yang membebaskan pajak, memberikan insentif investasi, menyediakan lahan, mengkhususkan hukum di kawasan industri, dll. Negara melakukan itu karena memang ada tekanan sistematis dari kapital global. Contohnya ialah Kawasan Ekonomi Khusus yang merupakan desakan korporasi global dengan dalih kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Hal semacam ini telah menjadikan kapital memiliki kekuasaan struktural yang jauh lebih kuat, yang secara internasional bergerak menuntut iklim investasi yang kondusif, termasuk dengan menekan negara agar membatasi arena yang tersedia bagi gerakan rakyat.
Tetapi kalau kita masih mau “bernegara,” institusi mana lagikah yang seharusnya berperan?…. Menurut saya, negara adalah satu-satunya lembaga yang harus berperan melindungi kepentingan buruh, rakyatnya.
Apakah proyek politik itu juga tampak dalam hubungan korporat-negara-buruh di Indonesia, khususnya setelah jatuhnya rezim Orde Baru?
Sangat jelas. Privatisasi sudah sangat meluas, korporasi dan investasi asing semakin dominan, bahkan pada industri strategis seperti pertambangan. Pembangunan berorientasi ekspor semakin besar, yang ditandai dengan berdirinya pabrik-pabrik pembuat barang bernilai rendah untuk diekspor, sementara malah mengimpor komoditi seperti beras atau kedelai yang mestinya kita bisa produksi sendiri. Dan ini juga menjadi masalah bagi negara-negara lain.
Industrialisasi berorientasi ekspor memang sudah menjadi proyek terencana korporasi transnasional sejak 1960-an, dimana salah satu dampaknya adalah berpindahnya sektor manufaktur dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dengan jumlah buruh melimpah dan berupah lebih rendah, yang dikenal dengan istilah relokasi industri. Salah satu dampaknya, kini Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, atau Taiwan mengalami apa yang disebut sebagai hollowing out: para buruh di negara-negara itu kehilangan pekerjaan akibat berpindahnya industri manufaktur ke negara-negara Asia Tenggara yang surplus buruh dan berupah rendah, termasuk Indonesia. Misalnya, perekonomian AS dan Jepang semakin lesu, investasi kian berkurang, dan tingkat upah buruhnya juga turun karena persaingan global. Dengan berpindahnya sektor manufaktur di negara-negara tersebut ke negara-negara yang berupah rendah, mengakibatkan kesempatan kerja di negara asal semakin berkurang. Data statistik menunjukkan, kontribusi sektor manufaktur pada PDB AS, misalnya, berkurang dari 28 persen pada tahun 1950an menjadi hanya 12 per sen pada 2010. Kenyataan ini, pada akhirnya, mengadu-domba para buruh di negara-negara maju dan berkembang satu sama lain.
Persaingan antarnegara dalam memperebutkan investasi juga mengakibatkan lahirnya rezim politik yang secara sistematis saling bersaing dalam hal menjajakan upah murah dan anti-buruh. Contoh persaingan ini tampak, misalnya, pada saat musibah banjir besar yang terjadi di Thailand pada akhir 2011 yang direspon oleh pemerintah Indonesia bukan dengan solidaritas, melainkan dengan suka-cita karena mendatangkan peluang investasi masuk serta nilai ekspor yang meningkat bagi Indonesia akibat lumpuhnya Thailand.
Apakah Anda ingin mengatakan bahwa negara sepenuhnya tunduk pada keinginan perusahaan transnasional tersebut, yang Anda sebut harus bersikap ‘market friendly?’
Negara – baik secara individual maupun kolektif – berperan penting dalam memuluskan agenda kapital dengan menyediakan dukungan pada proses akumulasinya. Misalnya, keberhasilan Samsung dari yang semula merupakan perusahaan kecil penjual ikan kering dan sayuran, hingga menjadi korporasi transnasional raksasa adalah salah satu contoh kolaborasi negara dan kapital. Saat ini, Samsung menyumbang 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Korea Selatan, tidak ada korporasi lain yang sedemikian dominan di satu negara selain Samsung di Korea Selatan. Hal ini menjadi mungkin karena peran negara yang memfasilitasi perkembangan Samsung. Akan tetapi, kenyataan ini juga menunjukkan bagaimana kini korporasi seperti Samsung memiliki kuasa lebih besar dibanding negara.
Sudah banyak literatur yang menunjukkan bagaimana korporasi transnasional seperti Samsung menggurita, baik dalam hal jangkauannya yang mengglobal maupun dalam caranya meraup keuntungan. Sekarang ini, korporasi transnasional malah berperan penting dalam kegiatan dan transaksi ekonomi dunia yang hampir semua kita tidak bisa luput dari pengaruh dan jangkauannya: komputer, telepon genggam, makanan di sekitar kita yang diproduksi secara rumit dalam satu rantai nilai global (global value chain) yang melibatkan buruh, bahan baku, dan teknologi secara lintas-negara oleh korporasi transnasional. Jadi jelas penentu arah politik dan ekonomi global sangat ditentukan oleh korporasi transnasional ini ketimbang negara.
Kolaborasi negara dan kapital di Korea Selatan ini juga terkuak dalam peristiwa pembantaian sedikitnya lima buruh di Kamboja hingga tewas dan puluhan lainnya kritis pada awal Januari 2014 ini, menyusul demonstrasi para buruh yang menuntut kenaikan upah minimum. Duapuluh tiga aktivis ditahan. Pada aksi damai buruh itu, kedutaan besar Korea Selatan di Phnom Penh dengan bangga di halaman facebooknya menyatakan sudah melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan Korea Selatan di Kamboja, dengan mengerahkan kekuatan militer dan preman.
Untuk diketahui, nilai perdagangan Korea Selatan ke Kamboja pada tahun 2000 adalah 77 juta dolar AS, kemudian meningkat menjadi 236 juta dolar AS pada tahun 2008. Namun tidak sebaliknya, bagi Kamboja malah defisit: nilai impor Kamboja dari Korea Selatan sebesar 229 juta dolar, sementara ekspornya hanya 7,3 juta dolar AS.
‘Gerakan populis dan nasionalis yang manipulatif akan menjebak kita untuk memilih kapitalis yang baik ketimbang kapitalis yang jahat, bukan menolak keduanya.’
Jika tesis tentang hubungan yang tidak seimbang antara negara dan perusahaan transnasional ini kita terima, lalu apa makna dari hubungan antar negara, khususnya dalam kerjasama ekonomi, baik bilateral maupun multilateral seperti kerjasama ekonomi kawasan?
Peran korporasi transnasional dan kapital global sangat dominan dalam kerjasama-kerjasama semacam itu. ASEAN itu termasuk kawasan yang paling liberal, karena kerjasama ekonomi kawasan yang sangat memfasilitasi gerak kapital, sehingga memudahkan mereka menumpuk keuntungan dari kegiatan ekonomi dengan merampas tanah rakyat, eksploitasi atas buruh, dan perusakan atas lingkungan. Tak heran jika sekarang kita saksikan nilai tambah (added value) yang dikumpulkan oleh korporasi transnasional pada tahun 2010 saja mencapai 16 triliun dollar AS, lebih dari seperempat PDB dunia!
Asia Timur (meliputi negara-negara Asia Timur Laut dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia) menjadi semacam kawasan yang paling favorit bagi korporasi transnasional saat ini. Pada 2010 saja, kawasan ini telah menyumbang nilai PDB dunia tak kurang dari 28 persen. Padahal pada 1980, nilai PDB Asia Timur hanyalah 10 persen.
Bagaimana Anda melihat program-program atau retorika-retorika bernuansa populis/nasionalis yang cenderung anti modal asing, seperti yang disuarakan oleh Prabowo Subianto melalui Partai Gerindra-nya atau oleh PDI-P?
Program nasionalis yang kita lihat sekarang tidak lahir dari tradisi, prinsip, atau ideologi, melainkan sejenis ‘jualan dan pemosisian yang pura-pura’ selama musim pemilu tiba. PDI-P sudah terbukti melakukan privatisasi yang paling massif malahan, saat Megawati jadi presiden.
Yang membedakan kapital asing dengan kapital dalam negeri hanyalah bungkusnya, sedangkan isinya sama-sama kapital yang sekarang ini hampir tidak mungkin terpisah satu sama lain. Apakah kita akan toleran pada pengusaha dalam negeri ketimbang investor asing, meskipun sama-sama memeras buruh, sama-sama merampas tanah rakyat? Jangan salah, banyak pengusaha lokal sebenarnya bekerja, berkolaborasi, atau merupakan kaki tangan pengusaha asing, sebagaimana juga banyak pengusaha Indonesia yang banyak berinvestasi di luar negeri dan mengeksploitasi para buruh di negara tujuan investasi. Gerakan populis dan nasionalis yang manipulatif akan menjebak kita untuk memilih kapitalis yang baik ketimbang kapitalis yang jahat, bukan menolak keduanya.
Yang menarik, aksi dan program gerakan buruh masih berpikiran bahwa Negara bisa dijadikan media untuk membela kepentingannya. Mereka masih sebatas ‘menitipkan’ kepentingannya kepada negara, bukan ‘merebut’ kekuasaan negara itu sendiri.
Tidak semua demikian. Beberapa serikat buruh di Indonesia sangat sadar bahwa kuasa negara harus direbut oleh kekuatan buruh dan rakyat. Ada serikat buruh yang beraliansi dengan gerakan sosial lain dan membuat partai politik – meskipun masih jauh dari diperhitungkan, dan ada juga individu-individu aktivis yang masuk dalam partai yang sudah ada. Sementara banyak yang anti untuk terlibat dalam politik karena memandang politik sudah busuk, semakin banyak juga yang percaya bisa mengubah sistem dari dalam. Saya kira ini adalah pilihan: masing-masing memiliki alasannya dan kita tidak berhak menilai mana yang lebih baik. Namun dengan situasi Indonesia saat ini, menurut saya, yang lebih diperlukan adalah upaya memperkuat pengorganisasian sosial: buruh, petani, pedagang, guru, dan warga lainnya, sebagai warga yang berdaulat tapi selalu diperdaya oleh negara dan kapital. Untuk itu merebut kuasa dan kedaulatan negara adalah agenda utama gerakan sosial dan politik rakyat.
Mengenai pengorganisasian sosial ini, ruang politik apa yang menurut Anda memungkinkan untuk pengembangan organisasi rakyat di tengah semakin dominannya kekuasaan korporasi yang mendisintegrasikan kekuatan organisasi sosial ini?
Menurut saya, yang paling penting adalah pembangunan solidaritas. Pengalaman para buruh di Bekasi yang melakukan aksi gerebek pabrik dan protes jalanan termasuk blokade jalan tol, menunjukkan cukup terpupuknya solidaritas antar-buruh. Aksi mogok nasional yang terjadi pada 2012 dan 2013 menggambarkan solidaritas serikat buruh lintas-sektor yang makin maju. Pengalaman-pengalaman kolektif seperti ini sangatlah penting, karenanya harus selalu diingat, dirawat dan direfleksikan, untuk memproduksi tindakan-tindakan kolektif yang lain. Dan gerakan sosial perlu ruang yang lebih besar lagi bagi upaya pengembangan strategi bersama secara bersama-sama.
Dalam konteks melawan aliansi korporasi global dan negara nasional, Anda mengusulkan perlu dibentuknya jaringan kerja buruh secara internasional. Sejauhmana efektivitas jaringan kerja global ini semenjak gerakan buruh di masing-masing negara begitu lemah, seperti yang tercermin dalam aksi menolak sidang WTO di Bali lalu?
Southern Initiatives on Globalization and Trade Union Rights (SIGTUR) dan Asian TNCs Monitoring Network, adalah dua contoh jaringan kerja buruh tingkat global dan kawasan. Meskipun dalam banyak tingkat masih belum efektif, jaringan lintas negara ini berperan menyediakan ruang untuk berbagi pengalaman, strategi, dan solidaritas kelas pekerja yang cukup kuat. Hubungan antar-rakyat pekerja di berbagai negara sangatlah penting. Para buruh di semua negara menghadapi masalah yang sama: kian represifnya negara, tingginya tingkat pengangguran, panjangnya jam kerja, menurunnnya upah riil, dan minimnya perlindungan sosial. Jaringan kerja buruh ini berperan untuk terus merawat solidaritas bahwa buruh di berbagai negara, seharusnya menjadi kawan seperjuangan untuk mencari alternatif dari sistem yang sekarang ini berlaku. Solidaritas global yang cukup cepat oleh gerakan sosial di banyak negara atas peristiwa pembunuhan dan penahanan aktivis buruh di Kamboja pada awal tahun 2014 ini merupakan salah satu hasil jaringan kerja ini.
Jaringan kerja semacam ini harus lebih fokus pada tujuan-tujuan jangka panjang dan terhubung dengan perlawanan di berbagai tingkat. Menurut saya, ada dua komponen yang penting dan keduanya saling menguatkan untuk kesuksesan konsolidasi gerakan sosial. Pertama, berkaitan dengan pembangunan struktur gerakan, antara lain institusionalisasi, dokumentasi pengalaman, dan pembangunan jaringan untuk kerja sama yang lebih panjang demi memperbesar ruang aktualisasi politik. Kedua, mencakup komitmen, peran, dan kapasitas aktivis, baik teknis maupun intelektual, sebagai aktor yang memainkan peran-peran kunci dalam gerakan. Sebagai bagian dari struktur gerakan, serikat buruh dan organisasi sosial lainnya harus menjadi organisasi belajar, tempat di mana buruh dan masyarakat dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman dan pengetahuan kolektif mereka diharapkan dapat menggerakkan masyarakat bersama-sama menuntut hak-hak mereka, dalam perundingan ataupun di jalanan.¶