‘Kita menciptakan uang dan menggunakannya,
tapi kita tak bisa memahami hukum-hukumnya dan mengontrol tindakannya.
Ia punya hidup sendiri.’
– Lionel Trilling –
KRISIS demi krisis yang kita saksikan dalam sejarah ekonomi menyediakan kerangka sempurna untuk memahami narasi-narasi yang menjadi landasan bagi kemunculan kapitalisme kontemporer. Salah satunya adalah pembagian ekonomi ke dalam dua ranah berbeda: ekonomi riil (ranah tempat relasi produksi dan pertukaran yang terprediksi didasarkan pada kebutuhan) dan ekonomi spekulatif (ranah non-produktif, ketamakan, dan kesia-siaan yang membuat kita semakin dekat menuju kiamat). Seperti yang kita tahu, sebagian besar orang di dunia ini melakukan kerja riil yang menghasilkan nilai riil, selagi minoritas kecil lain di Wall Street (mis: Gordon Gekko-nya Michael Douglas) secara tak bertanggung jawab menghamburkan surplus yang dihasilkan dalam sebuah arena bak kasino yang kita kenal sebagai ‘pasar finansial.’
Gambaran tentang trader dan speculator tak bermoral telah lama muncul dalam literatur Barat, misalnya melalui sosok Shylock-nya Shakespeare di ‘The Merchant of Venice’ dan Ebenezer Scrooge-nya Dickens di ‘A Christmas Carol.’ Dan dalam tingkat yang lebih ekstrem, sanksi terhadap para perantara ini dapat berakhir dengan genosida, seperti yang terjadi pada orang Yahudi dan Armenia. Meski begitu, kita tetap tak boleh melupakan bahwa kaum perantara ini (trader, speculator, hedge-fund manager) hanyalah individu-individu yang melakukan tugas mereka dalam sebuah sistem tempat para pembuat kebijakan dan politisi gagal melakukan tugas mereka.
Contoh sederhananya: prinsip finansial yang menyatakan bahwa utang adalah harta. Investor-investor seperti R. Kiyosaki selalu mendengungkan prinsip ini. Karena negara tak mampu memberdayakan rakyatnya, maka negara mengimbau mereka untuk menjalankan hidup dengan utang. Para bankir berbondong-bondong menciptakan produk-produk yang akan mengemas utang menjadi bentuk sekuritas baru. Puncaknya, pada 2005, mereka menawarkan utang/’sekuritas’ bernama subprime mortgage. Dan butuh 3 tahun sebelum dunia menyadari bahwa ‘utang selamanya tetap akan menjadi utang.’ Dengan demikian, sukses gagalnya seseorang dengan utang di tangannya tak dianggap sebagai tanggung jawab negara, melainkan si individu yang bersangkutan. Ini sesuai prinsip lainnya yang juga digemari pasar finansial: individualisme.
Istilah ‘finance’ sendiri berasal dari bahasa Latin, ‘finis,’ yang berarti ‘akhir,’ untuk merujuk pada tanggal jatuh tempo sebuah utang. Dalam dunia finansial modern, ‘finis’ secara konstan diredefinisi: ditunda, direnegosiasi, dan diubah. Intinya, sebisa mungkin diulur tanggal jatuh temponya; utang tak boleh lenyap karena ia adalah harta.
Dunia yang kita tinggali saat ini sangat dipengaruhi prinsip-prinsip finansial. Situasi ini mungkin bisa kita sebut sebagai ‘finansialisasi.’ Para penganut agama finansialisasi bisa saja menyatakan bahwa dunia ini sejak dari sananya telah menganut paham mereka: bahwa setiap masyarakat di dunia ini adalah rasional. Di masa kini, para pedagang bursa memiliki program komputer otomatis yang bisa mengambil alih pekerjaan tersebut. Program akan menjual Dollar secara otomatis bila harganya jatuh atau naik sampai titik tertentu. Program bisa mengukur perubahan arus nilai mata uang, suku bunga relatif, tingkat pinjaman pemerintah, harga komoditas, turunnya neraca perdagangan, dan variabel lain yang dianggap penting. Tapi satu hal yang dilupakan: 75 persen fluktuasi mata uang disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomi, dan hanya 25 persen yang bisa dikorelasikan dengan satuan kuantitatif dan indikator statistik. Hal ini menjelaskan kenapa Dolar AS merangkak naik melampaui nilai riilnya ketika Ronald Reagan menduduki kursi presiden: masyarakat menganggap kemampuan Reagan menjalankan tugas kepresidenan sama baiknya dengan kemampuannya berakting.
Meski begitu, orang-orang ini, dengan mengutip dari sana-sini tentang bagaimana budaya di beberapa masyarakat tertentu memungkinkan penyetarafan pembunuhan atau pernikahan dengan nilai ‘uang’ tertentu, mereka bisa saja berargumen bahwa setiap masyarakat di dunia pada hakikatnya memiliki kapasitas berpikir secara ‘ekonomi formal.’ Satu hal yang terlewatkan oleh mereka, perbandingan macam ini menuntut penciptaan rasio-rasio kuantitatif di antara barang-barang yang berbeda ke perbedaan-perbedaan yang setaraf dalam nilai, dan beberapa jenis pertukaran, seperti misalnya pembunuhan yang bisa dikompensasi dengan ‘uang,’ secara antropologis sebenarnya lebih merupakan upaya untuk menciptakan ‘analogi’ daripada ‘rasio.’
Jika kita terpesona dengan hitungan di dalam pertukaran hadiah pada masyarakat tertentu, maka kita, mengutip Maurer, telah sepenuhnya dibutakan oleh matematika dari penyetarafan moneter dalam masyarakat ‘modern,’ karena kita terus bersikukuh dalam memandang uang sebagai ‘ekspresi komoditi yang paling dapat dihitung,’ sebagai ‘ekspresi, indeks, dan ukuran kesetarafan.’
Sebenarnya kita tak perlu jauh-jauh merujuk ke masyarakat ‘non-modern,’ karena pada masyarakat yang sudah ‘modern’-pun terdapat kesulitan dalam penyetaraan moneter. Misalnya: meski kita berupaya menerapkan aneka kebijakan pajak terhadap individu dengan pendapatan yang berbeda-beda, pada akhirnya kebijakan inflasi yang diambil suatu negara hanya akan menyengsarakan individu dengan pendapatan pas-pasan. Bila dilihat sekilas, inflasi mungkin tampaknya akan paling keras menghantam individu dengan kekayaan terbesar (karena jumlah uangnya paling banyak), namun harus diingat bahwa laju inflasi adalah indeks numerik dengan sistem pukul rata. Dengan laju inflasi sebesar x, individu A dengan kekayaan 1 milyar akan kehilangan 100 juta, sedangkan individu B dengan kekayaan 100 juta akan kehilangan 10 juta dari kekayaannya. Antara kehilangan 100 juta dan 10 juta memang sebuah gap yang jauh, tapi mari kita lihat dari sisi yang lain. Individu A masih memiliki 900 juta, selagi individu B kini hanya punya 90 juta untuk dibelanjakan.
Dan yang lebih hebat lagi, tipe-tipe seperti individu A biasanya tak menyimpan semua uangnya dalam bentuk tunai. Karena menyadari rapuhnya uang tunai, mereka biasanya akan menginvestasikan sebagian besar kekayaan mereka, dan kalau beruntung, mungkin malah dapat menangguk keuntungan dari terjadinya inflasi (inilah lingkaran ‘keharusan berinvestasi’). Di lain pihak, tipe-tipe seperti individu B biasanya adalah para penerima gaji dan pensiunan. Kehilangan 10 juta secara substansial telah mengurangi daya beli mereka. Dan mereka ini biasanya tak tahu-menahu tentang investasi. Ketergantungan mereka terhadap uang tunai dalam bentuk pendapatan tetap dan tunjangan pemerintah (yang nilainya selalu jauh di belakang laju inflasi) secara perlahan telah memiskinkan mereka. Kebiasaan berhemat dan menabung ala ‘Etika Protestanisme’ Max Weber adalah sia-sia belaka dalam hal ini, karena bila pajak seperti pajak penjualan dan pajak pertambahan nilai hanya memajaki apa yang dibelanjakan individu, maka inflasi memajaki semua uang tunai yang dimiliki individu, dan bahkan sampai ke pendapatan yang masih belum kita terima di masa kini. Mengutip Anatole France: ‘Hanya orang miskin yang membayar tunai, dan itu bukan karena keluhuran, tapi karena kredit mereka ditolak.’
Namun, masalah ihwal nilai finansial bukan terletak pada seberapa fiktifnya ia, melainkan pada kenyataan bahwa kini ia telah menjadi realitas tempat kita tinggal di dalamnya; sebuah sistem sosio-ekonomi yang tumbuh semakin dominan. Dalam tiga puluh tahun terakhir, industri finansial telah menduduki peran penting dalam masyarakat sebagai jaringan pertukaran global tempat aset-aset dari seluruh dunia diciptakan, dibandingkan, diperdagangkan, dan dilenyapkan.
Kita mungkin bertanya-tanya: kenapa industri finansial yang dalam satu abad terakhir ini setidaknya telah empat kali jatuh bangun dihantam krisis (dekade 30-an, 70-an, 90-an, 2008) selalu mampu bangkit kembali dalam wujudnya yang lebih anggun dan canggih? Jawabannya sederhana: karena kelihaian para pelaku di dalamnya dan sarjana penyokong ideologinya dalam berinovasi. Melebihi kecepatan para ahli sosial seperti antropolog dan sosiolog dalam mengkaji fenomena ekonomi kontemporer, ekonom-ekonom seperti Robert Merton atau Merton Miller selalu mampu menciptakan berbagai produk dan kebijakan yang didesain agar dapat berkelit di antara berbagai regulasi. Jika kita melihat hal ini secara sinis, tidakkah semua upaya ini adalah wujud pemenuhan dari kepercayaan neoliberal mereka: bahwa keberadaan aturan-aturan – bahkan negara – hanya menghambat perekonomian?
Kita bisa melihat satu contoh sederhana tentang inovasi ini, misalnya MERS (Mortgage Electronic Registration System). Korporasi ini dibuat di pertengahn 90-an untuk memudahkan pencatatan transaksi jual-beli di AS. Dengan sistem online ini, semua transaksi perumahan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Individu tak perlu lagi pergi ke kantor-kantor pemerintah untuk mencatatkan transaksi mereka. Mereka bahkan tak perlu lagi membayar biaya ini-itu. Dengan demikian, keberadaan MERS telah membuat individu yang terlibat dalam jual-beli rumah dapat menghemat waktu, energi, dan bahkan uang mereka.
Akan tetapi, tentu selalu terdapat keburukan dari sistem M-C-M. Ketika kita mulai menganggap rumah bukan sebagai tempat tinggal kita dan keluarga, melainkan hanya sekadar komoditi perantara untuk menumpuk kekayaan, maka azab hanya tinggal menunggu waktu untuk datang menimpa. Di tahun 2008, MERS akhirnya kena batunya akibat krisis subprime mortgage; ketika rumah-rumah dibeli bukan untuk ditempati, ketika harga rumah terus naik hanya karena dikerek oleh emosi (bukan rasio, seperti yang diagungkan finansialisasi), dan ketika kita bahkan tak lagi tahu rumah mana yang dimiliki siapa. Saat ini, keberadaan MERS mulai digugat. Tapi tentu saja, ia tetap akan berumur lebih panjang daripada pencetusnya: Fannie Mae dan Freddie Mac, yang telah lebih dulu masuk liang kubur.
Bila teori ekonomi klasik melihat komoditi sebagai sesuatu yang netral, sederhana, dan transparan, maka dapat kita katakan bahwa teori finansial sungguh-sungguh meyakini hal tersebut. Semua komoditi di pasar finansial tampak begitu sederhana. Asumsinya, dengan jibunan informasi yang saat ini tersedia dengan gratis di Abad Informasi, maka setiap individu memiliki hak dan risiko yang sama untuk menangguk untung-rugi. Dan berbicara tentang risiko, kini konotasi negatifnya telah jauh berkurang dengan adanya disiplin ilmu risk management (yang balik lagi ke atas, mengasumsikan bahwa risiko bisa diukur di abad timbunan informasi).
Pengaruh dari prinsip-prinsip kuantitatif tertentu dalam kapitalisme kontemporer adalah faktor yang merubah khayalan sosial. Instrumen finansial modern berasumsi bahwa beberapa bentuk spesifik dari resiko dapat dikumpulkan menjadi suatu bentuk abstrak dan dapat ditentukan oleh kalkulasi matematis. Objektivikasi, kalkulasi, dan distribusi risiko bersandar pada koleksi data yang lebih luas dan akurat dan juga pada tenaga komputer yang canggih secara matematis.
Terdapat satu idiom tentang manajemen risiko ini: jangan pernah menaruh semua telur di satu keranjang. Bagi para bankir, bila sebuah sistem memungkinkan kita untuk melabeli segala sesuatu dengan harga tertentu dan, dengan demikian, membuatnya dapat diperdagangkan, maka kita bisa menyebarkan risiko ke pihak-pihak yang paling mampu menanggungnya. Namun, satu hal yang luput dari perhatian, para bankir biasanya selalu menyebarkan risiko dengan memperkenalkan risiko jenis baru ke dalam sistem. Produk finansial seperti derivatif adalah contohnya. Hakikat derivatif, tak lain tak bukan, adalah secondary bet; sejenis taruhan kedua.
Ilustrasinya: bila babak pertama pertandingan antara MU vs. WBA berakhir dengan keunggulan tim tamu 0-1, dan kita semua tahu bahwa tim sekelas MU tentu tak akan takluk di kandang sendiri (atau, dengan kata lain, MU adaah jenis saham yang baik), maka saya dan semua orang yang rasional serta berani mengambil risiko akan ‘mencuci’ taruhan, dan kembali memegang MU di babak kedua. Skor akan kembali ke 0-0, dan pertandingan dilanjutkan. Tapi, ternyata WBA kembali unggul satu gol. Skor akhir: 0-2. Saya dan orang-orang senasib kalah di taruhan pertama sekaligus taruhan kedua.
Gambaran di atas tak hendak menyatakan bahwa produk derivatif takkan pernah membawa profit, seperti halnya mengatakan bahwa MU tak mungkin selalu kalah ketika telah tertinggal satu gol di babak pertama. Tapi, seringkali, yang terjadi juga bukan seperti itu. Faktor-faktor tak terukur seperti psikologi dapat muncul. Seringkali, yang terjadi adalah kekalahan ganda; kejatuhan beruntun. Atau istilahnya: dampak yang bersifat sistemik.
Sebenarnya, dan ini juga ironinya, pandangan tentang hakikat komoditi sebagaimana dilihat teori ekonomi klasik dan diresapi teori finansial telah jauh-jauh hari dibantah. Kita bisa merunut tahunnya sampai ke 1923, ketika Marcel Mauss menulis The Gift. Menurutnya, lingkaran penerimaan dan pemberian hadiah dalam masyarakat adalah cara mencegah perang. Atau, dengan kata lain, sirkulasi barang tak pernah bersifat netral ataupun sederhana secara hakiki, melainkan adalah sebuah fenomena resiprokal yang melibatkan seluruh individu dalam masyarakat. Dan jika berbicara tentang keterlibatan seluruh individu, maka sekali lagi pandangan ekonomi formal yang berprinsip ‘ekonomi untuk ekonomi’ akan tumbang. Individu-individu kaya yang menangguk uang dari pasar finansial yang bak kasino tak boleh mengesampingkan kesadaran dan tanggung jawab moral mereka terhadap anggota masyarakat lainnya dengan, misalnya, bersilat lidah bahwa ranah ekonomi tak ada sangkut pautnya dengan ranah sosial-politik-budaya, sehingga seluruh aktivitas mereka di dalam ‘kasino’ tak akan berdampak apapun pada kehidupan masyarakat.
Jika kita ingat rumusan J.M. Keynes tentang MV=PY, maka sudah terang sekali bahwa jumlah uang di pasar harus selalu setara dengan jumlah barang. Para pelaku finansial di Wall Street telah mengabaikan logika sederhana ini dengan terus-menerus menggoreng harga saham sampai setinggi langit, sedangkan output barang yang dihasilkan ‘Main Street’ takkan pernah mencapai tingkat yang sama dengan jumlah uang yang beredar. Pasar mata uang berbeda dari semua jenis pasar lain. Bila di pasar lain pedagang menukar barang dengan uang, maka para pedagang valas bertransaksi tanpa melibatkan barang konkret apapun. Sekarang, bagaimana mungkin seseorang bisa mengelak dari kenyataan sederhana ini dan tetap bersikukuh bahwa kebijakan ekonomi hanya untuk kepentingan ekonomi?
Bahkan ekonom seperti David Ricardo pun telah mengingatkan kita: ‘tak ada negara maupun bank dengan kekuasaan tak terbatas untuk menerbitkan uang kertas yang tak akan menyalahgunakan kekuasaan itu.’ Namun faktanya kini, uang modern tak hanya dicirikan sebagai unit akun dan alat pembayaran, tapi juga tempat penyimpan nilai. Uang jenis ini, tak seperti garam atau kakao misalnya, tak hanya digunakan untuk memperoleh barang, tapi juga bisa disimpan sebagai bentuk kekayaan dalam dirinya sendiri.
Uang modern yang ‘dicetak’ secara tak terbatas, yang secara intrinsik tak bernilai, hanya bisa terus berlaku bila ada institusi kuat seperti negara yang menjaminnya. Misalnya Dolar AS, yang diasumsikan sebagai ‘as good as gold.’ Karena besarnya hegemoni AS di planet kita, maka pada akhir tahun 90-an, 70 persen cadangan devisa dunia memakai dolar.
Tapi sebelumnya, kita dapat berhenti sejenak untuk bertanya: ‘Dengan apakah negara kuat seperti AS menjamin Dolar AS yang disimpan oleh tiap-tiap kita di rumah masing-masing?; Apakah jaminannya adalah sesuatu yang konkret?’ Jawaban untuk keduanya: ternyata tidak.
Kita bisa merunut kembali ke zaman Presiden Abraham Lincoln ketika sedang terjadi perang saudara di AS. Pada 28 Februari 1862, pemerintah AS mencetak uang kertas untuk membiayai ha-hal seperti pembayaran gaji tentara. Namun hal ini pada gilirannya menciptakan sistem mata uang berlapis, karena pemerintah tetap menghendaki agar pajak impor tetap dibayar dalam koin emas atau perak, selagi di lain pihak mereka membayar para serdadu dan kreditor dengan uang kertas yang hanya ditopang oleh janji. Sederhananya, pemerintah berjanji untuk membayarkan nilai pada lembaran kertas pada satu waktu tertentu. Artinya, uang kertas tak lain daripada aktivitas pemerintah memaksakan berutang pada warganya sendiri; dan hebatnya lagi, utang ini adalah obligasi tanpa bunga.
Jadi ironinya di sini: individu dipaksa meminjamkan hartanya pada pemerintah, dan pemerintah berjanji akan mengembalikannya kelak suatu hari di masa depan. Tanpa bunga. Bahkan tanpa kepastian bahwa harta akan benar-benar kembali ke pangkuan pemiliknya.
Mungkin sebagian dari kita akan segera terpikir tentang Federal Reserve atau Fort Knox, bunker penyimpan emas di AS, dan berargumen bahwa timbunan emas di sana mewakili sistem moneter AS; semacam jaminan keamanan psikologis untuk menggaransi lembar uang di dompet kita. Namun hal ini juga keliru. Emas di Fort Knox dan Federal Reserve sama sekali tak ada kaitannya dengan Dolar AS. Ketika Presiden Richard Nixon secara resmi memutus ikatan antara Dolar dan emas pada Agustus 1971 karena kebijakan perang Vietnam yang membuat suplai Dolar meningkat di pasar (yang pada gilirannya menimbulkan inflasi), sistem Bretton Woods pun berakhir. Bagi Nixon yang khawatir kalau-kalau negara-negara lain yang merasa dirugikan karena Dolar AS yang mereka pegang saat itu terdevaluasi hampir sepertiga nilainya terhadap emas (di tahun 1995, Dolar AS bahkan sudah terdevaluasi hampir 12 kali lipat terhadap emas) akan berbondong-bondong menukarkan emas mereka, ‘putus hubungan’ antara uang kertas dan emas tampaknya menjadi keputusan tercerdas yang pernah dibuatnya.
Kini, tak satu ons pun emas di dunia ini yang berdiri di balik Dolar AS. Dengan kata lain, uang kertas yang kini nilainya mengambang bebas tak ubahnya lembaran cek kosong. Kertas di saku kita bukan emas, tak juga perak. Negara tak akan menukar kertas kita selain dengan kerta lainnya. Kertas di saku kita hanyalah mata uang fiat. Ia bertumpu pada hegemoni pemerintah, dan pada keyakinan orang-orang yang menggunakannya; orang-orang seperti kita. Frase yang disodorkan kepada kita bukan lagi ‘Payable to the Bearer on Demand,’ melainkan diganti menjadi ‘In God We Trust.’
Dalam General Theory, Keynes menyebut karakter uang yang seperti ini sebagai ‘the fetish of liquidity’ (jimat likuiditas). Disebut ‘jimat’ karena, dari perspektif makroekonomi Keynesian, tak ada sesuatu yang bisa kita namai sebagai likuiditas dalam komuniti secara keseluruhan. Faktanya, uang bukanlah kekayaan, dan oleh karenanya, sistem finansial modern akan terus-menerus menderita karena kontradiksi intrinsik antara apa yang mungkin dilakukan oleh individu dan apa yang tepat bagi komuniti. Kontradiksi ini akan menciptakan krisis bagi sistem finansial kapanpun individu memutuskan untuk menimbun uangnya atau menunda konsumsi dan investasi. Untuk mengatasi ‘jimat likuiditas’ ini, Keynes sampai merasa perlu dilakukan sebuah reformasi moneter, yang akan memahami uang hanya sebagai perantara yang dioper dari tangan ke tangan, diterima dan dibagikan, dan lenyap ketika tugasnya rampung.
Bila ‘jimat likuiditas’ tak teratasi, maka kita akan dikungkung oleh jerat kapitalisasi. Sebagai cara menilai sesuatu dari sudut pandang finansial, dapat didefinisikan bahwa kapitalisasi adalah proses mempertimbangkan expected return yang akan dihasilkan dari sebuah investasi. Aturan-aturan untuk mengalokasikan uang dalam masyarakat saat ini hampir semuanya dicirikan oleh teknik penilaian finansial yang demikian. Segala sesuatu – mulai dari proyek-proyek sains, proyek pemberdayaan, ide-ide kreatif, sampai ke penanggulangan bencana – dinilai dengan apa yang disebut oleh para spesialis penilaian finansial sebagai biaya kapital, yakni: mengukur seberapa berharganya membiayai hal-hal tersebut berkenaan dengan ketidakpastian yang melingkupinya (biasanya dihitung dengan suku bunga). Akibatnya, tentu saja segala sesuatu kini terorientasi karena penilaian yang demikian, dan mungkin akhirnya malah dimungkinkan untuk terbentuk semata-mata untuk tujuan kapitalisasi. Saat ini, jerat kapitalisasi telah mengalihkan kekayaan dari para pedagang (berjaya di zaman penaklukan kolonial) dan industrialis (berjaya di zaman industri) ke tangan para pemodal. Produksi tak lagi mengontrol perekonomian, karena para pemilik alat produksi sudah bukan merupakan suatu kelas tertentu. Kelas pemodal tak perlu memiliki alat-alat produksi; mereka hanya perlu mengontrol pergerakan arus uang dan bentuk uang.
Produk-produk finansial yang diciptakan para pelaku pasar finansial, tak bisa tidak, adalah sesuatu yang teramat canggih. Contohnya saja uang elektronik seperti kartu kredit. Kemunculan kartu kredit merevolusi pola konsumsi dan pembayaran. Ia menawarkan kesempatan bagi para individu untuk memakai uang yang belum mereka peroleh, tapi diperkirakan akan diperoleh suatu saat nanti. Dengan mengandalkan pendapatan di masa depan ini, seorang pemegang kartu mampu bertindak layaknya bank sentral; ia mampu menciptakan uang, dan itu dilakukannya hanya dengan melakukan konsumsi. Pembelian sebuah barang di toko seharga x akan meningkatkan jumlah uang beredar di pasar seharga x. Toko tak ambil pusing apakah konsmen benar-benar memiliki uang di Bank. Satu hal yang pasti, mereka menerima uang, para pegawainya bisa digaji, dan pemerintah mendapat pajak penjualan.
Dengan kata lain, pembelian yang dilakukan individu telah menciptakan uang dengan meminjamnya dari hari esok dan mengonsumsinya di pasar hari ini. Kartu kredit dengan limit tagihan tertentu tak ubahnya kebijakan ‘uang mengalir bebas’ yang dijalankan negara-negara saat ini; kita boleh menciptakan uang sebanyak yang kita mau, asal tak menyerempet jurang inflasi. Kartu kredit juga melakukan prosedur layaknya bank; limit tagihan tak ubahnya kebijakan cadangan wajib di bank yang dapat menggandakan uang dari ketiadaan. Bila cadangan wajib yang harus disimpan sebuah bank adalah sebesar 10 persen , maka bila saya menabung 1 juta, bank dapat menggandakannya sampai mencapai 10 juta, karena ketika sebuah bank mencantumkan angka 10 juta di saldonya, maka dana likuid yang dibutuhkannya sebagai jaminan bahwa ia ‘sehat’ hanyalah 10 persen dari totalnya, yakni 1 juta (diperoleh dari tabungan saya). Sisa 9 juta adalah uang gaib yang bebas dipakai bank untuk kepentingan bisnisnya. Dan demikianlah bank beserta kartu kredit bertindak layaknya lemak di dalam tubuh. Jika terlalu banyak, maka ia akan menghalangi kelincahan. Jika terlalu sedikit, ia akan membuat badan menjadi sakit.
Namun yang seringkali terjadi, lemak finansial ini memang diproduksi terlalu banyak – berhubung betapa gampang dan lapangnya jalan yang disediakan oleh sistem untuk membuat kita menjadi konsumtif (dan memang itulah prasyarat agar tak terjadi overproduction) – persis seorang penderita gangguan pencernaan yang tak tahu kapan saatnya berhenti makan karena terus-menerus merasa lapar.
Komoditi tak pernah merupakan sesuatu yang ‘sederhana,’ terlebih dalam sistem finansial saat ini. Kemampuan mereka untuk selalu berkelit dari regulasi membuktikan hal ini. Dengan demikian, hujan informasi takkan pernah berbanding lurus dengan kemudahan dalam berspekulasi dan mengukur risiko. Selain itu, produk-produk yang diciptakan dalam sistem pasar bebas sebenarnya malah terlalu rumit untuk diperdagangkan. Produk dibuat, dijual, masuk ke dalam neraca saldo seseorang, dan hanya berakhir di situ. Sama sekali tak ada penetapan harga ala pasar bebas. Asumsi bahwa “nilai sebuah aset adalah harganya ketika diperdagangkan di pasar” jauh lebih mudah diucapkan ketimbang diterapkan. Buktinya, bank-bank hanya dapat menebak harga dengan memakai model. Dengan kata lain, mereka hanya berandai-andai.
Dengan memakai analogi sepakbola sekali lagi, maka hal ini akan tampak jelas. Bila MU membuka kompetisi dengan menang 19 kali berturut-turut di liga Inggris dengan skor konstan 5-0, maka pada partai ke-20, apa yang bisa kita harapkan? Bila di partai ke-1 MU hanya memberi handicap 1, maka seiring kemenangannya dari pekan ke pekan, handicap yang diberikannya, tak bisa tidak, hanya akan terus naik. Di pekan ke-20, kita akan menyaksikan MU memberi handicap 3. Tapi, kita bahkan tak sedang berbicara tentang berapa gol lagi yang mampu dan akan dilesakkan MU. Kita membicarakan tentang apakah MU bahkan akan mampu menang lagi di partai ke-20. Model yang berbasis ilmu probabilitas akan memberikan jawaban ‘iya,’ sedangkan kita semua tahu bahwa tak ada tim yang akan menang selamanya.
Sama halnya, harga saham yang ditebak dengan memakai model juga sebenarnya tak pernah menunjukkan nilai aslinya. Yang ditunjukkan semata-mata adalah kecenderungan yang akan terjadi di masa depan dengan memakai fakta dan data di masa lampau. Buktinya, perusahaan kadangkala membeli sahamnya untuk mengurangi supply dan meningkatkan demand untuk menaikkan harga. Hal serupa juga dilakukan pemerintah, dengan bank nasional yang bisa membeli mata uang sendiri dalam jumlah besar untuk mendongkrak harga, atau melakukan hal sebaliknya untuk memaksa harga turun. Tak ada kepastian; yang ada hanya harapan demi harapan dan intervensi sesekali. Demikianlah yang marak terjadi di era finansialisasi: kegemaran untuk meramal dan menjadikannya sebagai standar nilai; sehingga fenomena seperti bubble dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Karl Popper sendiri butuh waktu lama untuk meyakinkan dirinya bahwa ilmu probabilitas layak digolongkan ke dalam disiplin ilmu matematika. Resolusinya adalah sebagai berikut: bahwa probabilitas tak bisa dijerat dengan teknik falsifikasi karena ia hanya membuat kepastian dan ketepatan perhitungan tentang kecenderungan yang akan terjadi di jangka panjang. Jadi, bila kita melempar satu koin dan terdapat kemungkinan 50/50 untuk keluarnya gambar dan angka, hal ini tidaklah menyiratkan bahwa tiap dua kali lemparan akan menghasilkan masing-masing sekali gambar dan sekali angka. Bisa saja kita melempar lima kali dan mendapati bahwa yang keluar terus-menerus adalah angka. Namun hal tersebut, menurut Popper, tak akan memfalsifikasi probabilitas karena ilmu ini memang tak berniat menyatakan kepastian untuk jangka waktu saat ini.
Bagi saya pribadi, semuanya sederhana saja. Aktivitas di pasar finansial sebenarnya tak ada bedanya dengan kegiatan taruhan bola. Di jangka panjang, hanya individu-individu bermodal besar dan para spekulan yang akan selalu menangguk keuntungan. Dan dari segi risiko maupun argumen tentang open information, kedua jenis aktivitas berbagi kemiripan yang sama persis. Bedanya bagi saya, taruhan bola, terutama yang online, masih sedikit lebih bermoral daripada pasar finansial, karena sebelum masuk ke situs, biasanya kita akan ditanya tentang kesediaan kita menaggung risiko bila kalah. Artinya, setiap individu yang masuk ke dalam situs, ceteris paribus, adalah orang-orang dengan ‘kesadaran’ yang sama. Hal ini berbeda dengan aktivitas di pasar finansial, tempat segelintir orang tanpa rasa tanggung jawab dan moral di nuraninya berjudi dengan selubung nama ‘spekulasi’ dan ‘investasi.’ Anggota masyarakat lain tak tahu-menahu tentang aktivitas mereka dan tak pernah menyatakan kesediaan untuk turut serta dalam permainan. Dan ajaibnya, bila menang, pelaku pasar akan ‘naik ke surga’ sendiri, namun bila kalah, ia akan menarik anggota masyarakat yang tak tak tahu-menahu ini bersama-sama ‘terjun ke neraka.’
Tapi, tentu saja, takkan ada yang bisa disalahkan bila kita meyakini pandangan neoliberal, mengutip Margaret Thatcher, bahwa “tak ada sesuatu yang dinamakan masyarakat; yang ada hanya individu pria dan wanita, dan keluarga.”
Bila finansialisasi adalah A-Gama (sesuatu yang tak membuat kacau), maka tentulah ia adalah agama paling individualis – dalam pengertian hakikat, subjek, maupun egoisme – yang pernah tercipta di muka bumi.***
Stanley Khu, alumni Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung
Kepustakaan:
Doria, Luigi and Luca Fantacci. ‘Community and Money, Local and European.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/575
Elyachar, Julia. ’The Passions of Credit and the Dangers of Debt.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/577
Guyer, Jane I. ‘Life in Financial Calendrics.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/565
Hertz, Ellen, Leins, Stefan. ‘The “Real Economy” and its Pariahs: Questioning Moral Dichotomies in Contemporary Capitalism.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/576
Lepinay, Vincent Antonin. ‘What Can Anthropologists of Finance Teach Us About the MERS We Now Find Ourselves In?’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/572
Maurer, Bill. 2006. ‘The Anthropology of Money.’ Annu. Rev. Anthropol. 35:15–36.
Muniesa, Fabian. ‘Coping with the Discount Rate.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/566
Ortiz, Horacio. ‘Why Does (or Doesn’t) Finance Need an Anthropology?’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/568
Poon, Martha. ‘Why Does Finance Need an Anthropology? …Because Financial Value is Real.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/564
Tett, Gillian. ’An Anthropologist on Wall Street.’ Theorizing the Contemporary, Cultural Anthropology Online. May 17, 2012. http://culanth.org/?q=node/580
Weatherford, Jack. 2005. Sejarah Uang. Yogyakarta: Bentang Pustaka.